Khazanah


Puasa: Ibadah Klasik Umat Manusia Sepanjang Zaman



Puasa (dalam bahasa Arab shaum) adalah salah satu bentuk ibadah yang secara umum berarti menahan diri. Aktivitas menahan diri yang dimaksud adalah menahan diri dari melanggar aturan ibadah puasa itu sendiri. Aturan puasa dalam Islam adalah menahan diri dari nafsu manusiawi dalam waktu tertentu, yakni dimulai sejak matahari terbit sampai matahari terbenam dengan didasari niat beribadah, dilakukan secara sadar, dan dalam keadaan suci, tidak sedang haid atau nifas bagi wanita. Orang yang berpuasa wajib menahan nafsu manusiawinya, termasuk nafsu makan, minum, amarah, seksual, dan nafsu-nafsu lainnya, yang pasti dimiliki oleh setiap insan.

Ibnu Manzur, ahli Bahasa Arab dan sesepuh ilmu Bahasa Arab, dalam karya monumentalnya, Kamus Lisan Al-Arab, mendefinisikan puasa (shaum) dengan “kondisi/hal meninggalkan makan, minum, berhubungan seksual dan berbicara”. Apa yang diungkapkannya tersebut adalah definisi paling asli dan paling sahih menurut ilmu dan sejarah Bahasa Arab. Hal itu selaras dengan keterangan Alquran, di antaranya pada kisah Maryam saat menjawab hinaan dan cemoohan publik terhadapnya lantaran peristiwa super hebat yang menimpanya, hamil tanpa adanya pembuahan sel sperma seorang laki-laki dan sel telur beliau. Saat itu Maryam memilih jalan mengasingkan diri serta berpuasa dari berbicara kepada orang lain. Lebih lengkapnya, Alquran merekam peristiwa tersebut:
“Jika kamu (Maryam) melihat seorang manusia, maka katakanlah, sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun pada hari ini” (QS. Maryam: 26).

Yang menjadi titik tekan pada definisi shaum adalah aktivitas menahan yang juga merupakan makna inti dari kata tersebut. Selain itu, aktivitas menahan juga menjadi fokus pembeda antara puasa dan ritual peribadatan lainnya. Selain puasa, peribadatan umat Muslim dapat diketahui dari sisi lahirnya, misalnya salat, haji, zakat, sedekah, qurban dan ibadah lainnya. Akan tetapi, amalan puasa tidak bisa diketahui dan tidak bisa diperlihatkan dengan gerakan-gerakan lahir atau fisik. Rasulullah Muhammad SAW menegaskan bahwa satu-satunya ibadah yang tidak bisa dicampuri sifat riya (memperlihatkan atau membanggakan kelebihan diri sendiri) adalah puasa.

Menurut seorang pakar tafsir yang bernama Muhammad Ali Al-Shabuni, ada empat hikmah yang terkandung dalam ibadah puasa. Pertama, puasa adalah sarana pendidikan bagi manusia agar tetap bertakwa kepada Allah SWT, membiasakan diri untuk patuh terhadap perintah-Nya, dan menghambakan diri kepada-Nya. Kedua, puasa adalah pembiasaan bagi jiwa dan raga untuk tetap sabar dan tahan terhadap segala penderitaan dalam melaksanakan perintah Allah SWT. Ketiga, puasa merupakan sarana untuk menumbuhkan rasa kasih sayang dan rasa persaudaraan terhadap orang lain, sehingga orang yang berpuasa menjadi sadar dan terdorong untuk membantu meringankan beban penderitaan orang lain atau menyantuni orang lain yang kurang berkecukupan. Keempat, puasa menanamkan dalam diri manusia rasa takwa kepada Allah SWT dengan cara senantiasa mentaati-Nya baik dalam keadaan terang-terangan maupun tersembunyi.

Ulama lain, di antaranya Wahbah Al-Zuhaili, menambahkan bahwa di dalam ibadah puasa terkandung manfaat yang banyak. Manfaat tersebut tidak hanya yang bersifat material, tetapi juga yang bersifat spiritual. Puasa merupakan perwujudan sikap taat dan patuh kepada Allah SWT. Kepatuhan seorang hamba yang berpuasa termanifestasikan dalam puasanya itu sendiri, yang pada hakikatnya merupakan laku seorang hamba yang dekat atau mendekat kepada Tuhannya sebab ia mengalahkan segala nafsunya untuk melaksanakan segala perintah-Nya serta meninggalkan segala larangan-Nya.

Jika yang terjadi demikian, maka puasa yang dilakukan seorang hamba dapat berfungsi sebagai alat penebus dosa. Di samping semua itu, masih menurut Al-Zuhaili, puasa menjadi sarana pendidikan moral yang tinggi yang dapat melahirkan perilaku yang luhur. Puasa mengajarkan kejujuran, kesabaran dan kedisiplinan, meneguhkan tekad, menjernihkan pikiran, serta yang paling penting memerangi hawa nafsu. Dalam konteks kehidupan sosial, puasa menumbuhkan rasa kasih sayang dan persaudaraan yang kokoh sesama umat manusia, mempererat soliditas dan semangat gotong-royong sesama umat Muslim, mendorong umat manusia untuk sadar dan merasakan lapar yang diderita oleh orang lain yang kurang beruntung dan menyadari betapa perlunya membantu mereka.

Setiap tahun, umat Muslim diwajibkan melakukan puasa pada bulan Ramadan. Selama sebulan penuh, setiap Muslim yang baligh, berakal, sehat, dan tidak sedang berhalangan, wajib hukumnya berpuasa. Ibadah puasa pada bulan Ramadan ini merupakan salah satu Rukun Islam, seorang Muslim yang belum melakukannya belum dianggap ber-Islam.
Dalil wajibnya seorang Muslim yang berkemampuan seperti yang telah dijelaskan di atas untuk berpuasa pada bulan Ramadan adalah ayat ke-183 dari Surat Al-Baqarah. Allah SWT berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (QS. Al-Baqarah: 183).

Perintah tersebut turun tidak lain sebagai simbol tindak kepatuhan atau ketakwaan kepada Allah SWT. Hal itu senada dengan tujuan utama ibadah puasa seperti yang telah disebutkan dalam Ayat ke-183 Surat Al-Baqarah, yaitu membentuk pribadi Mukmin (beriman kepada Allah SWT) yang bertakwa kepada Allah SWT. Oleh sebab itu, sudah selayaknya bagi kaum Muslim untuk selalu mendasarkan amalan puasanya dengan niat mendapatkan ridha Allah SWT serta meraih derajat takwa kepada-Nya.

Perintah wajib berpuasa pada bulan Ramadan bagi umat Muslim turun pertama kali pada tahun 623 M, satu setengah tahun setelah peristiwa hijrah Rasulullah Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah. Jauh sebelum itu, puasa sudah diwajibkan oleh Allah SWT kepada umat manusia. Keterangan Alquran mengenai ‘orang-orang sebelum kamu’ dalam Ayat ke-183 Surat Al-Baqarah menjadi bukti. Yang dimaksud dengan ‘orang-orang sebelum kamu’ tidak lain ialah umat nabi-nabi sebelum Rasulullah Muhammad SAW. Oleh sebab itulah, puasa menurut para ulama adalah ibadah klasik, mengingat memang sejak lama telah disyariatkan kepada umat manusia. Pada saat yang sama, sepanjang masa dalam lintas sejarah, ibadah puasa disyariatkan kepada setiap umat dan selalu berlanjut hingga era umat Nabi Muhammad SAW saat ini.

Dalam Ayat ke-183 Surat Al-Baqarah, yang menyebutkan kewajiban puasa berlaku terhadap umat masa kini dan umat terdahulu, muncul dua permasalahan yang menjadi bahan perbedaan pendapat di antara para ulama. Pertama, permasalahan seputar ungkapan “sebagaimana diwajibkan”. Permasalahannya adalah apakah kesamaan (ke-sebagaimana-an) puasa yang diwajibkan atas umat terdahulu adalah puasa pada bulan Ramadan, atau kesamaan itu hanya meliputi hal syariat berpuasa saja, sedangkan waktunya berada di bulan lain.

Mengenai permasalahan ini, lahir dua arus pendapat di antara para ulama. Sahabat Said bin Jabir RA memaknai hukum tasybih atau penyerupaan puasa Ramadan dengan amalan puasa umat terdahulu terletak pada kewajiban hukumnya, bukan pada durasi dan waktu pelaksanaannya. Argumen pendapat ini adalah kondisi realitas masyarakat pra-Islam yang masih mengenali syariat tersebut walaupun pelaksanaannya bukan pada bulan Ramadan. Ayat ke-48 Surat Al-Maidah menjelaskan dasar pemikiran pendapat yang pertama ini,

“… Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, –yakni umat Nabi Muhammad SAW dan umat nabi-nabi sebelumnya– Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kamu semua kembali, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu” (QS. Al-Maidah: 48).

Pendapat kedua menekankan pada durasi serta waktu pelaksanaan puasa. Dasar pendapat kedua ini adalah lanjutan ayat hukum wajib puasa Ramadan (QS. Al-Baqarah: 183), yakni Ayat ke-184 Surat Al-Baqarah. Pada ayat tersebut Allah berfirman: “(Yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu”. Secara tidak langsung ibadah puasa baik yang diwajibkan pada umat-umat pra-Islam maupun yang diwajibkan kepada umat Muslim sudah ditentukan waktu dan lama pelaksanaannya, yaitu selama sebulan penuh pada bulan Ramadan.

Permasalahan kedua mengenai ayat hukum wajibnya puasa Ramadan, Ayat ke-183 Surat Al-Baqarah, adalah tentang siapa yang dimaksud dengan “orang-orang sebelum kamu”. Mengenai hal ini, muncul tiga arus utama pendapat ulama. Pendapat pertama mengatakan “orang-orang sebelum kamu” ialah ahlul kitab, yaitu orang-orang yang masih berpegang kepada kitab agamaYahudi dan Nasrani yang masih murni tanpa tahrif (perubahan atau campur tangan pemikiran) ulama dalam agama-agama tersebut. Pendapat kedua menyebutkan bahwa umat Nasrani-lah yang dimaksud oleh ayat itu. Sedangkan pendapat yang ketiga mengatakan bahwa “orang-orang sebelum kamu” dalam ayat tersebut ialah seluruh umat manusia sebelum umat Nabi Muhammad SAW.

Ibadah puasa Ramadan diwajibkan kepada umat Muslim secara bertahap. Dalam karyanya, Zaad Al-Ma’ad, ulama Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah menyebutkan kronologi turunnya hukum wajib puasa Ramadan. Pada tahap pertama, ibadah puasa bersifat pilihan. Orang yang ingin melakukannya dipersilakan berpuasa, pada saat yang sama orang juga boleh mengganti ibadah puasanya dengan memberi makan orang miskin. Dalil yang menjelaskan hal ini adalah Ayat ke-184 Surat Al-Baqarah.

”….. dan wajib bagi orang yang berat untuk menjalankan puasa membayar fidyah, yaitu dengan cara memberi makan seorang miskin untuk setiap harinya. Barangsiapa yang dengan kerelaan memberi makan lebih dari itu, maka itulah yang lebih baik baginya, dan jika kalian melakukan puasa maka hal itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahuinya” (QS. Al-Baqarah: 184).

Pakar tafsir dan ilmu tafsir Alquran, Imam Al-Hafiz Ibnu Katsir, dalam konteks pembahasan Ayat ke-184 dari Surat Al-Baqarah tersebut memandang bahwa orang yang sehat dan bermukim atau tidak sedang dalam perjalanan yang jauh dan melelahkan serta mampu menjalankan puasa diberikan pilihan antara menunaikan puasa atau membayar fidyah. Jika berkehendak berpuasalah ia, sedang bila tidak ia bisa membayar fidyah.
Dalam sebuah riwayat atsar sahabat, Sahabat Salamah bin Akwa’ RA berkata,

“Dahulu kami saat bulan Ramadan pada zaman Rasulullah SAW, barangsiapa yang ingin berpuasa maka boleh berpuasa, dan barangsiapa yang ingin berbuka maka dia memberi makan seorang miskin, hingga turun ayat Allah (Al-Baqarah: 185): “… Barangsiapa di antara kalian mendapati bulan itu (Ramadan) maka dia wajib berpuasa …” (HR. Bukhari dan Muslim).

Tahap kedua aturan wajib puasa Ramadan bersifat absolut. Orang beriman yang memenuhi kriteria orang-orang yang wajib berpuasa, harus berpuasa dan tidak memiliki pilihan lain. Dalil yang menerangkan tahap ini adalah firman Allah SWT:
“… Barangsiapa yang mendapati bulan itu (ramadhan) maka dia wajib berpuasa …” (QS. Al-Baqarah: 185).

Kasus yang sangat ekstrem sehingga seseorang bisa jadi berpuasa selama 20 jam lebih pun pernah terjadi pada masa itu. Pada aturan puasa tahap kedua ini, seseorang yang siangnya berpuasa lalu tertidur sebelum berbuka puasa hingga kehilangan waktu isya, maka dia wajib berpuasa hingga waktu berbuka pada hari berikutnya, sebab waktu berbuka hanya berkisar antara maghrib dan isya. Pada masa selanjutnya, aturan tersebut diperbarui oleh Allah SWT dengan memberikan keringanan.


Aktualisasi aturan puasa yang awalnya memberatkan lalu diperingan tersebut disebutkan dalam sebuah riwayat hadis dari sahabat Al Barra’ bin Azib RA:
Dahulu para sahabat Rasulullah SAW  jika salah seorang di antara mereka berpuasa kemudian tertidur sebelum dia berbuka, maka dia tidak boleh makan dan minum di malam itu dan juga siang harinya sampai datang waktu berbuka lagi. Dan (salah seorang sahabat yaitu), Qois bin Shirmah Al-Anshory (saat itu) dalam keadaan berpuasa. Tatkala tiba waktu berbuka, ia datang kepada istrinya dan berkata: ‘Apakah kamu punya makanan?’ Istrinya menjawab: ‘Tidak, tetapi akan kucarikan untukmu (makanan).’ — dan Qois pada siang harinya bekerja berat sehingga tertidur (karena kepayahan)–  Ketika istrinya datang dan melihatnya (tertidur) ia berkata: ‘Rugilah kamu (yakni tidak bisa makan dan minum karena tertidur sebelum berbuka)!” Maka ia pingsan di tengah harinya. Dan ketika dikabarkan tentang kejadian tersebut kepada Rasulullah SAW, maka turunlah ayat(QS. Al-Baqarah: 187): “Telah dihalalkan bagi kalian pada malam hari bulan puasa (Ramadhan) untuk berjima’ (menggauli) istri-istri kalian.” Dan para saahabat pun berbahagia sampai turunnya ayat yang berikutnya yaitu: “Dan makan serta minumlah sampai jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar” (HR. Bukhari dan Abu Dawud).

Sejak saat itu hingga saat ini dan akan berlangsung selama kehidupan manusia masih lestari, puasa wajib pada bulan Ramadan berdasarkan pada aturan yang paling final tersebut.

Sumber: Lazuardi Birru




Tiga Masjid Simbol Kebesaran Islam



Islam mengalami masa kejayaan berabad-abad. Sampai dengan abad ke-13 Masehi, masa keemasan agama yang disampaikan melalui Nabi Muhammad SAW ini memberi dampak berarti bagi wilayah yang dilalui atau tercakup dalam penyebaran dakwahnya. Di situ pula peradaban tumbuh, dibangun, dan berkembang secara berkelanjutan. Tidak saja berkaitan dengan mazhab pemikiran, ilmu pengetahuan, dan sistem pemerintahan, tetapi juga seni arsitektur masjid.
Masjid menjadi simbol kebesaran Islam. Di setiap wilayah penyebaran dakwah Islam, banyak dibangun masjid yang menakjubkan dunia. Di antara masjid-masjid besar dan memiliki jejak kenabian adalah Masjid Nabawi di Madinah, Masjid Al-Haram di Mekkah dan Masjid Al-Aqsa di Palestina.

Masjid al-Haram
Mengingat kota Mekkah Al-Mukarramah, secara langsung ingatan kita akan terfokus pada perbincangan Ka’bah dan Masjid Al-Haram. Dua tempat ini punya kisah sejarah yang tidak bisa dilepaskan dari bahasan keberagamaan umat Muslim. Keduanya ibarat magnet yang menarik seluruh umat Muslim dengan begitu kuat. Setiap tahun pada musim haji, umat Islam di seluruh dunia menghampiri pusat magnet bumi ini untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.
Lantas bagaimana sejarah Masjid Al-Haram ini sehingga bisa menarik umat di saentero dunia? Bermula dari adanya Ka’bah yang telah ada sejak zaman Nabi Adam AS, kemudian diteruskan oleh Nabi Ibrahim AS bersama anaknya, Nabi Ismail AS. Keduanya berusaha sekuat tenaga meninggikan pondasi-pondasi Ka’bah, dan sekaligus membangun masjid di sekitar Ka’bah. Masjid tersebut yang akhirnya punya nama Masjid Al-Haram, berdiri kokoh melingkari Ka’bah. Arah kiblat salat yang harus menghadap bangunan berbentuk kubus dengan selimut hitam tersebut juga disesuaikan dalam pembangunan atau pembuatan bentuk Masjid Al-Haram.

Dahulu, masjid ini tidak bertembok, masih dikelilingi rumah-rumah warga dari semua arah. Sejak berdirinya, Masjid Al-Haram telah berulang kali mengalami perbaikan dan perluasan. Sejak awal kemunculan Islam di tanah kelahirannya, Mekkah, perbaikan Masjid Al-Haram dilaksanakan pada periode pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab RA. Kondisi masjid saat itu sudah tidak bisa lagi menampung volume jamaah haji yang setiap tahun bertambah. Itulah sebabnya beliau memerintahkan untuk membeli setiap rumah di sekitar masjid dengan harga yang mahal untuk tujuan perluasan dan pendirian dinding di sekeliling Ka’bah setinggi manusia, (lihat Tarikh Makkah 2/28-29). Setelah itu, upaya perluasan Masjid Al-Haram dilanjutkan pada masa Khalifah Usman bin Affan RA dan Abdullah bin Zubair.

Pada masa kekuasaan Dinasti Umayyah, perluasan Masjid Al-Haram juga terus berjalan. Ketika Walid bin Abdul Malik memegang tampuk kepemimpinan, dengan tangan dinginnya ia menambah sebidang tanah untuk renovasi dan perluasan masjid. Masjid Al-Haram dibangun melengkung dan dipercantik dengan kepingan-kepingan batu, lalu dihiasi dengan tiang-tiang marmer dari Mesir dan Syria.

Perbaikan dilanjutkan secara berkelanjutan pada masa kekhalifahan Dinasti Abbasiyah. Khalifah Abu Ja’far al-Manshur, Khalifah al-Mahdy, Al-Mu’tadid Billah dan Al-Mu’tadir Billah ialah di antara pemimpin Dinasti Abbasiyah yang berkontribusi dalam renovasi dan perluasan Masjid Al-Haram. Hingga pada era modern, di bawah pemerintahan Saudi Arabia, program perluasan masjid terbesar di dunia itu senantiasa dilakukan. Bahkan, pada masa pemerintahan negara Saudi Arabia, renovasi dan perluasan besar-besaran terhadap masjid bersejarah ini terjadi. Hal itu terlihat pada kebijakan pemimpin Saudi Arabia, Raja Saud Abdul Aziz. Pada 1375 H/1955 M, pembangunan Masjid Al-Haram dimulai dari membongkar fasilitas tempat tinggal dan perdagangan yang berlokasi di dekat tempat sa’i (mas’a) dan bangunan-bangunan yang terletak di sebelah timur Bukit Marwa, serta membangun jalan baru yang membentang sepanjang Shafa dan Marwa ke Qarwa, Qarara dan Syamiyah.

Pada 1379 H/1959 M, dibangun pondasi serambi Masjid Al-Haram bagian timur dan dindingnya dilapisi marmer, sementara kubah dan plafon dihiasi dengan batu-batu pahatan. Setelah selesai membangun pondasi, saluran air pencegah banjir dibuat. Kemudian, dibangun gang melingkar di atas Bukit Shafa yang sesuai dengan tingkat atas serambi bagian timur mas’a. Antara serambi dan mas’a dihubungkan dengan plafon bundar yang berbentuk kubah. Gang ini dikhususkan untuk mereka para jamaah haji yang melakukan sa’i, melalui pintu (bab) Al-Shafa yang baru menuju ke kedua lantai.

Pada 1318 H/1981 M, pembangunan terus dilakukan pada bagian kedua serambi barat daya dan lantai bawahnya. Selanjutnya dibangun serambi utama di daerah yang membentang dari Bab Al-Umrah ke Bab Al-Salam. Lalu diselesaikan proyek pembangunan jalan bawah tanah yang dibangun di bawah Masjid Al-Haram, kecuali mas’a.

Setelah pembangunan yang tak pernah berhenti itu, Masjid Al-Haram kini terdiri dari 3 lantai; lantai bawah tanah tingginya 4 meter, lantai dasar dan lantai satu masing-masing setinggi 10 meter. Setiap lantai dilapisi dengan marmer hingga dapat dipergunakan untuk sholat. Tiga kubah bagi perluasan masjid itu berlokasi di tengah-tengah, sejajar dengan pintu masuk utama, tingginya 13 meter, dan di sekitarnya dibuat jendela-jendela celah. Bentuk luar kubah-kubah ini sama dengan kubah-kubah yang telah ada. Perluasan yang dilakukan oleh Raja Fahd bin Abdul Aziz terus dilakukan dengan memperluas masjid dengan pengembangan horisontal dari lantai-latai yang sudah ada, yakni ruang bawah tanah, lantai dasar, lantai satu dan atap. Setiap ruangan bawah tanah secara mekanis dilengkapi ventilasi udara. Sementara itu, lantai dasar dan lantai satu yang berada di atas permukaan tanah, ventilasi udaranya dibuat alami melalui jendela yang saling berlawanan.

Masjid Nabawi
Kebanyakan kita mengenal Masjid Nabawi dari buku-buku sejarah, buku pengetahuan Islam, atau dari sanak famili dan tetangga yang baru saja pulang dari tanah suci untuk melaksanakan ibadah haji atau umrah. Mungkin memang sedikit wawasan yang kita dapat dari beberapa sumber pengetahuan Islam tersebut. Akan tetapi, satu hal terpenting yang harus kita ketahui sebagai umat Muslim adalah bahwa Masjid Nabawi ini merupakan salah satu masjid terpenting dalam perkembangan dakwah Islam.

Masjid Nabawi terletak di Kota Madinah Al-Munawwarah, Arab Saudi. Dipandang dari sisi sejarah, masjid ini menjadi pusat berkumpulnya umat Islam, terlebih ketika Nabi Muhammad SAW berhijrah ke kota ini lantaran penduduk kota kelahiran beliau tidak menghendaki keberadaan beliau di sana. Masjid ini merupakan salah satu masjid yang utama bagi umat Muslim setelah Masjid Al-Haram di Mekkah dan Masjid Al-Aqsa di kota Al-Quds atau Jerusalem di Palestina. Masjid Nabawi dibangun oleh Nabi Muhammad SAW bersama sahabat-sahabatnya. Kompleks di masjid ini juga yang menjadi tempat dimakamkannya Nabi dan para sahabatnya.

Menurut catatan Abdul Ghani dan M. Ilyas (2005), Nabi dimakamkan di tempat agungnya, kamar istri tercinta, Ummul Mukminin Aisyah RA. Pemakaman para sahabatnya seperti Abu Bakar Al-Shiddiq dan Umar bin Khattab juga berlokasi di tempat tersebut.

Yang unik dari Masjid Nabawi adalah fakta bahwa titik pembangunannya didasarkan pada tempat di mana onta tunggangan Rasulullah SAW, saat pertama kali menginjakkan kaki di Madinah Al-Munawwarah dengan tujuan hijrah, berhenti dari perjalanan panjang yang melelahkan. Lokasi tersebut pada mulanya adalah tempat penjemuran buah kurma milik dua yatim bersaudara Sahl dan Suhail bin ‘Amr, yang kemudian dibeli oleh Rasulullah SAW untuk didirikan masjid dan tempat kediaman beliau.

Pada awalnya, Masjid Nabawi berukuran sekitar 50 × 50 m, dengan tinggi atap sekitar 3,5 m. Dinding-dinding temboknya dibangun dari batu bata dan tanah liat. Sementara atapnya ditutup dengan daun-daun kurma dengan tiang-tiang penopangnya dari batang kurma. Sebagian atapnya dibiarkan terbuka begitu saja. Selama sembilan tahun pertama, masjid ini tanpa penerangan di malam hari. Hanya di waktu isya saja dibuat sedikit penerangan dengan membakar jerami.

Kediaman Nabi SAW juga dibuat melekat dengan masjid ini. Tempat tinggal beliau tidak dibangun mewah seperti istana raja atau kediaman seorang pemimpin. Kediamannya dibangun sangat sederhana seperti sederhananya bangunan Masjid Nabawi. Di dalam masjid, terdapat tempat bagi berlindungnya orang-orang fakir dan miskin yang belum memiliki tempat tinggal. Pada perkembangannya, orang-orang ini dikenal sebagaiahlussufah atau para penghuni teras masjid.

Seiring berlalunya masa, Masjid Nabawi mengalami renovasi dan perluasan berkali-kali. Pada masa Khalifah Umar bin Khattab (tahun 17 Hijriah), perbaikan dilakukan pada dinding dan atap, sementara lantai dasarnya juga mulai diperhalus. Renovasi ini merupakan yang pertama kalinya sejak dibangunnya masjid ini.

Untuk yang kedua kali, renovasi dilakukan pada masa Khalifah Usman bin Affan (tahun 29 Hijriah). Kemudian pada masa-masa modern selanjutnya, masjid ini terus diperbaiki dan dipercantik. Dimulai pada masa Raja Abdul Aziz dari Kerajaan Saudi Arabia, yang mengupayakan proyek perluasan Masjid Nabawi menjadi 6.024 m² (1372 Hijriah). Perluasan ini kemudian dilanjutkan penerusnya, Raja Fahd (1414 Hijriah) hingga luas bangunan Masjid Nabawi hampir mencapai 100.000 m², ditambah dengan lantai atas yang mencapai luas 67.000 m² dan pelataran masjid yang dapat digunakan untuk salat seluas 135.000 m². Masjid Nabawi kini dapat menampung kira-kira 535.000 jamaah. Subhanallah.

Masjid Al-Aqsa
Mendengar nama Masjid Al-Aqsa, secara langsung sebagai umat Muslim, kita teringat akan kisah Nabi Muhammad SAW yang melakukan Isra’ Mi’raj setelah dilanda kesedihan ditinggal orang-orang yang dicintainya. Ia melakukan perjalanan dari Masjid Al-Haram di Mekkah ke Masjid Al-Aqsa di Jerussalem. Umat Muslim mempercayai bahwa Nabi Muhammad SAW telah melakukan perjalanan ke Sidratul Muntaha menjumpai Tuhannya dari Masjid Al-Aqsa.

Masjid Al-Aqsa dinilai sebagai masjid bersejarah ketiga dalam sejarah umat Islam. Di masjid ini pula kiblat ibadah umat Islam pertama kali tertuju hingga 17 bulan setelah Nabi SAW melakukan hijrah ke Madinah.

Diceritakan, bahwa Masjid Al-Aqsa mulanya merupakan tempat peribadatan kecil yang dibangun sahabat Rasulullah Muhammad SAW, Umar bin Khattab RA. Pada masa selanjutnya, yakni era Dinasti Umayyah, Khalifah Abdul Malik dan dilanjutkan putranya, al-Walid bin Abdul Malik (705 Masehi) melanjutkan pembangunan dan perbaikan Masjid Al-Aqsa. Empat puluh tahun berlalu setelah perbaikan, masjid ini mengalami kehancuran total akibat gempa bumi yang meluluhlantakkan kawasan Jerussalem pada 746 M. Praktis, upaya untuk membangun kembali masjid ini sangat urgen dirasakan.

Pembangunan secara total dikerjakan pada masa Dinasti Abbasiyah. Khalifah Al-Mansyur melaksanakannya pada 754 M kemudian dikembangkan lagi oleh penggantinya Al-Mahdi pada 780 M. Ancaman gempa terus berlanjut, pada tahun 1033 M, sebagian bangunan masjid ini kembali hancur karena sebab yang sama, gempa bumi. Namun, dua tahun kemudian, khalifah dari Dinasti Fatimiyyah, Ali Al-Zhahir membangun kembali masjid ini sehingga masih tetap berdiri sampai saat ini.

Dalam perjalanannya, Masjid Al-Aqsa terus mengalami renovasi dan perluasan pada setiap pergantian kepemimpinan atau kekhalifahan. Kekhalifan Islam telah melakukan penambahan terhadap masjid ini dan kawasan sekitarnya. Perubahan yang tampak antara lain pada bagian kubah, tiang, mimbar, menara, dan interior bangunan. Ketika terjadi Perang Salib, tentara Eropa yang berhasil menaklukkan Jerusalem pada tahun 1099 M memanfaatkan masjid ini sebagai istana dan gereja. Ketika pasukan Muslim di bawah pimpinan Shalahuddin Al-Ayyubi kembali menaklukkan kota Jerussalem, fungsi masjid dikembalikan seperti semula. Renovasi, perbaikan, dan penambahan lebih lanjut dilakukan pada abad-abad selanjutnya oleh para pemimpin Dinasti Ayyubiyah, Mamluk, Usmaniyah, Majelis Tinggi Islam, dan Yordania. Saat ini, meskipun kota bersejarah Jerusalem berada di bawah pengawasan negara Israel, tetapi Masjid Al-Aqsa tetap berada di bawah perwalian lembaga wakaf Islam yang dipimpin oleh penduduk Palestina.

Pada tanggal 21 Agustus 1969 terjadi pembakaran terhadap Masjid Al-Aqsa. Peristiwa ini mendorong berdirinya Organisasi Konferensi Islam yang saat ini beranggotakan 57 negara. Pembakaran tersebut juga menyebabkan mimbar kuno Shalahuddin Al-Ayyubi terbakar habis. Dinasti Hasyim, penguasa Kerajaan Yordania telah menggantinya dengan mimbar baru yang dibuat di Yordania.

Masjid Al-Haram, Masjid Nabawi, dan Masjid Al-Aqsa, ketiga masjid tersebut memiliki kekuatan yang bisa menyatukan umat Islam. Ketiganya seperti magnet yang menarik umat Islam di seluruh dunia dengan segala perbedaan yang ada untuk setiap saat mengunjunginya. Dengan keberadaan ketiga masjid tersebut, Islam dipandang dunia sebagai sebuah persatuan dan kesatuan. Melalui ketiganya, keteguhan dan kejayaan Islam selama berabad-abad senantiasa bertahan sampai kini. Masing-masing masjid memiliki sejarah jejak kenabian tersendiri, namun keseluruhannya mempunyai satu daya tarik yang mampu mempersatukan umat Muslim, yakni Islam itu sendiri.

Dalam sejarah, pertikaian antara Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiyah selalu penuh pertumpahan darah dan terus berlanjut sampai beberapa keturunan. Akan tetapi dalam urusan pengembangan masjid, kedua dinasti pasca-periode Al-Khulafa Al-Rasyidun (empat khalifah penerus Rasulullah SAW) tersebut sama-sama memiliki perhatian yang besar untuk memajukan masjid. Pada zaman kedua dinasti tersebut, terjadi pembaruan dan perluasan yang tak sebentar terhadap masjid-masjid bersejarah bagi umat Islam. Khususnya, Masjid Al-Haram, Masjid Nabawi, dan Masjid Al-Aqsa, tiga masjid yang menjadi simbol kebesaran Islam dan umat Muslim.






AL AZHAR UNIVERSITY: Pelopor Universitas Islam Modern

Apa universitas yang pertama kali didirikan? Oxford University, bukan. Harvard University, bukan juga. Cambridge University, itu juga bukan. Universitas tertua di dunia ternyata bukan berasal dari Eropa atau Amerika. Dia datang dari Mesir, negara Arab di Afrika Utara yang memang sejak dahulu memiliki peradaban yang tinggi. Negeri Firaun yang kini mayoritas penduduknya muslim itu memiliki kebanggaan internasional tersendiri, yakni menjadi tuan rumah bagi universitas tertua di dunia, Universitas Al-Azhar.  

Sejarah nama Al-Azhar mulai dikenal ketika penguasa Mesir pada dekade akhir abad pertama masehi membangun sebuah masjid besar di pusat kota Kairo yaitu Jami’ Al-Azhar. Mulanya, masjid ini bernama Jami’ al-Qahirah yang dinisbahkan pada nama kota Kairo tempat masjid itu didirikan. Masjid itu diubah namanya menjadi Jami’ Al-Azhar yang dinisbahkan kepada Fatimah Al-Zahra, putri Nabi Muhammad saw. Peresmian masjid ini dilakukan pada 7 Ramadan 361 H/971 M.

Penguasa yang silih berganti selalu memberi perhatian besar terhadap masjid Al-Azhar. Siapa pun sultan atau khalifahnya, berapa pun biaya yang dibutuhkan untuk merenovasi dan mempercantik masjid Al-Azhar, semuanya tidak menjadi masalah. Seiring berjalannya waktu, dibangunlah ruangan khusus untuk pengajaran ilmu-ilmu Islam di kompleks masjid.

Lembaga pendidikan Al-Azhar bermula pada tahun 975 M ketika penguasa Mesir yang berasal dari Dinasti Fatimiyah saat itu, al-Muiz Lidinillah, meresmikan Jami’ah (universitas) Al-Azhar. Tahun peresmian Universitas Al-Azhar ini sudah diakui secara internasional sebagai waktu pertama kali berdirinya universitas di dunia. Ya, Universitas Al-Azhar adalah universitas tertua di dunia.

Pada akhir milenium I Masehi, Dinasti Fatimiyah yang bermadzhab Syiah Ismailiyah mulai goyah. Awal milenium II Masehi, Dinasti Ayubiyah yang bermadzhab Sunni benar-benar sudah menghapus dan menggantikan Dinasti Fatimiyah. Pada masa Dinasti Ayubiyah, para mahasiswa dan ulama ternama dari berbagai penjuru dunia Islam mulai berdatangan dan berkunjung ke Universitas Al-Azhar. Di antara dosen yang datang mengajar pada masa itu adalah Abdul Latif al-Baghdadi (pakar ilmu mantiq dan bayan/sastra), Abu Qasim al-Manfakuti, Jalaluddin al-Suyuti, Syaikh al-Sahruri, Ibnu al-Farid (sufi terkenal), dan Syamsuddin Khallikan (ahli sejarah terkenal).
Pada masa kekuasaan Dinasti Mamluk (1250-1517) Universitas Al-Azhar kembali menemukan momentum kebangkitan setelah hampir satu abad seolah-olah nonaktif karena transisi penguasa yang beraliran Syiah ke penguasa yang Sunni. Pada masa itu peristiwa jatuhnya Baghdad ke tangan tentara Tartar dan pembantaian serta pengusiran umat Islam di Andalusia (Spanyol) beraduk menjadi satu formula yang pas sehingga mengkondisikan Universitas Al-Azhar menjadi tujuan pelarian para sarjana dan ahli sejarah terkenal. Di antara mereka adalah Ibnu Khladun, filsuf, sosiolog, dan pakar sejarah termasyhur yang datang ke Mesir pada 784 H/1382 M dan mengajarkan hadis dan fiqih. Kemajuan ilmu pengetahuan pada masa Dinasti Mamluk meningkat pesat. Khalifah memerintahkan para ulama untuk membukukan karya ilmiah dari berbagai cabang ilmu.

Struktur kepemimpinan di Universitas Al-Azhar berbeda dengan model struktur yang dikenal di universitas-universitas modern saat ini. Di sana terdapat jabatan Syaikh Al-Azhar yang merupakan pemimpin puncak dari keseluruhan tubuh Universitas Al-Azhar.Syaikh Al-Azhar bisa dikatakan grand syaikh dari para syaikh yang ada di Universitas Al-Azhar. Di bawah Syaikh Al-Azhar adalah naib syaikh Al-Azhar (wakil Syaikh Al-Azhar) yang bertanggungjawab atas misi dakwah Al-Azhar ke berbagai wilayah dunia Islam, rektor Universitas Al-Azhar, dan kepala penelitian Universitas Al-Azhar.
Syaikh al-Azhar secara tidak langsung merupakan syaikh yang paling dihormati di Mesir. Selain menjadi rujukan utama penilaian atas reputasi ilmiah bagi guru, dosen, mufti, dan hakim di Mesir, ia juga menjadi yang paling ter-rekomendasi-kan dalam urusan pembagian harta wakaf, hadiah, dan sebagainya.

Sistem pengajaran yang dipakai di Universitas Al-Azhar adalah sistem halaqah (kelompok studi dalam bentuk lingkaran di dalam masjid) yang metode penyampaiannya menerapkansyarah (ceramah), niqasy (diskusi), dan hiwar (dialog).

Pengembangan Universitas Al-Azhar tampak pada masa kepemimpinan Syaikh Muhammad Abbasi al-Mahdi al-Hanafi, rektor ke-21 Al-Azhar. Pada Februari 1872 ia memasukkan sistem ujian bagi mahasiswa untuk mendapatkan ijazah Universitas Al-Azhar. Calon sarjana harus berhadapan dengan tim penguji yang beranggotakan enam syaikh yang ditunjuk oleh Syaikh Al-Azhar. Kandidat yang berhasil lulus mendapatkan al-syahadah al-alimiyah (ijazah kesarjanaan).
Pendidikan di Universitas Al-Azhar selalu terbuka untuk semua orang yang ingin belajar dari seluruh penjuru dunia. Setiap tahun, beribu-ribu pelajar dari berbagai negara melamar untuk mengenyam pendidikan di Universitas Al-Azhar. Tidak terkecuali para pelajar Indonesia. Sebagian mereka bahkan memimpikan untuk melanjutkan studi mereka di sana. Mereka mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian seleksi masuk Universitas Al-Azhar jauh-jauh hari sebelum mereka lulus dari sekolah mereka.

Al-Azhar tidak diperuntukkan khusus laki-laki saja. Sejak 1962, Al-Azhar membuka pintu bagi kaum wanita untuk belajar di Universitas Al-Azhar. Dr. Zainab Rashid ialah pelopor yang membuka “Kulliyat al-Banat” (Fakultas Wanita/Al-Azhar Woman’s College) yang berlokasi di gedung baru yang terpisah dari lokasi kampus utama Al-Azhar dengan jumlah mahasiswi lebih dari 3000 orang dari berbagai penjuru dunia.

Pada masa kepemimpinan Syaikh Mahmud Syaltut (rektor ke-41 Al-Azhar), diberlakukan undang-undang pembaruan yang disebut Undang-Undang Revolusi Mesir No. 103 Tahun 1961 yang mengatur organisasi Al-Azhar. Dalam undang-undang ini ditetapkan adanya pembukaan fakultas baru seperti Kedokteran, Perdagangan, Farmasi, Pertanian, Teknik, Bahasa Arab dan Terjemah, Ilmu Pasti, Tarbiyah, dan Studi Kemanusiaan, di samping Fakultas Syariah, Ushuluddin, dan Sastra yang telah ada. Menurut ayat 33 undang-undang ini, Universitas Al-azhar adalah lembaga pendidikan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan tingkat universitas atau penelitian yang bertujuan untuk memelihara, mempelajari, dan menyebarluaskan turats (warisan) Islam.



Sumber: Lazuardi Birru

Tidak ada komentar:

Posting Komentar