Geliat Seksual Di Jagad Maya
Meski kerap dijadikan sebuah tabu dalam masyarakat tertentu,
kegaduhan seks selalu saja terdengar. Bahkan problem seks bisa dikatakan
setua umur peradaban manusia itu sendiri. Lantas mengapa pesoalan seks
begitu menggoda sedemikian hingga dorongan untuk membicarakannya,
ketimbang bidang lain seperti problem pangan dan papan, tak terbendung?
Justru mungkin karena status tabu yang dilekatkan pada seks itu
sendiri. Rasanya ketika tabu dibicarakan rahasia misteri dunia sedang
diungkap. Maka ketika seks semakin ditabukan, isu tersebut kian menarik.
Dan bahkan kondisi semacam itu masih menjangkiti era yang serba canggih
seperti saat ini. Padahal perkembangan teknologi informatika begitu
deras, yang tentu saja konsekuensinya dunia beserta pesona rahasia dan
misterinya pudar lantaran luapan akses informasi tersebut. Namun rupaya
tidak demikian adanya, seks tetap saja berstatus tabu sehingga menjadi
begitu mempesona.
Buku Ellys Lestari Pambayun menyuguhkan bagaimana seksualitas
beroperasi dalam internet. Terkait dengan seks, tak bisa dipungkiri di
jagad maya peran subjek lebih didominasi oleh para lelaki, sedangkan
perempuan lebih menjadi objek seksual. Masyarakat yang yang menganggap
tabu seks, akan berdampak pada asumsi sesuatu yang menjijikkan. Maka
seks harus dikunci rapat di kamar-kamar pasangan suami istri legal yang
bersifat privat. Maka ketika seks tampil ke ruang publik masyarakat
menjadi begitu panik dan cemas. Anehnya meski kehadiran seks di ruang
publik selalu disensor, selalu saja ada sejuta cara untuk tetap
membebaskan seks dari ruang privat.
Cara pandang tradisional yang masih lekat pada kaum Adam menjadikan
perempuan layaknya barang menarik yang harus dikejar-kejar. Pun berlaku
di ruang publik cyber di mana perempuan seolah-olah menjadi barang
dagangan dengan cara yang paling sensasional (seks-gila-gilaan). Kondisi
semacam ini memperlihatkan corak pandang patriarki masih mendominasi
tatanan yang ada.
Berbeda dengan dunia real, dunia maya semakin memanjakan fantasi-fantasi seliar apapun. Misalnya dalam kasus cyberporn orang-orang mulai tertarik, baik sekedar melihat atau melakukan, voyeurisme
atau melihat secara diam-diam dengan cara mengintip kaum hawa di
internet. Dalam posisi seperti itu secara tidak langsung
perempuan-perempuan seakan rela dijadikan objek seksual.
Paradigma yang dibangun dalam karya Ellys Lestari Pambayun ini adalah
paradigma feminisme kritis. Intensinya untuk memperlihatkan dan
membongkar bagaimana masyarakat tradisional yang beroperasi di dunia
internet menunjukkan bagaimana laki-laki masih kuat mendominasi
perempuan. Dengan pendekatan kritis buku ini cukup dapat menawarkan hal
baru terutama terkait bagaimana masyarakat kita, terutama lelaki dan
perempuan, bermitra sinergis dengan cara dialog kritis menjawab mengapa
masalah seksual ada yang harus jadi subyek dan harus jadi obyek.
Pendekatan kritis seperti ini akan membuat kaum lelaki lebih
meningkatkan kesadaran untuk tidak memperlakukan perempuan sebagai
obyek, dan dengan itu pula kaum perempuan tidak mudah terperosok menjadi
bulan-bulanan dominasi lelaki.
Kelayakan dari buku ini untuk bisa dibaca tidak terhindarkan. Maka
penting kiranya bagi siapa saja yang ingin memperkaya sudut pandang baru
tentang dunia seksual terutama di jagad maya. Maka tak pelak lagi karya
berjudul Birahi Maya: Mengintip Perempuan di Cyberporn ini sudah sepantasnya dikonsumsi oleh para pendidik, orangtua, dan siapa saja yang setiap hari berurusan dengan internet.
Sumber:Lazuardi Birru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar