Senin, 06 Mei 2013

Bagaimana cara menghadapi kehidupan yang penuh dengan cobaan? Jelaskan?


Ustadz Menjawab
 
Sobat Birru yang hebat,
Cobaan merupakan hal yang tak akan pernah lepas dalam kehidupan kita. Dalam Alquran Allah sudah menjelaskan bahwa setiap kita akan diuji dengan berbagai kondisi. Kita bisa dicoba dengan kekurangan harta, fisik, atau cobaan lainnya. Berangkat dari pernyataan tersebut, maka dalam menghadapi cobaan hidup ini kita perlu:
  1. Mencipatkan mindset berfikir guna membangun kesadaran awal. Kesadaran bahwa cobaan hidup adalah suatu hal yang selalu menyertai kehidupan manusia. Apa artinya hidup seorang manusia jika tidak ada cobaan atau ujian dari Allah SWT. Sesungguhnya manusia yang tidak mengalami cobaan hanyalah manusia yang sudah tidak bernyawa. Dengan menciptakan pola pikir semacam ini, insya Allah kita akan lebih siap dengan berbagai cobaan hidup yang sedang dan akan kita hadapi.
  2. Berdoalah secara terus menerus. Dengan banyak memohon kepada Sang Pemilik cobaan itu sendiri, akan banyak membantu kita dalam mengahadapi cobaan, dengan selalu diiringi rasa optimisme dalam menghadapi cobaan.
  3. Banyak belajar dari lingkungan dan orang lain, terutama kepada yang lebih tua dari kita. Dengan mengambil pengalaman orang lain, terutama bagi mereka yang telah lama mengahadapi cobaan hidup, akan membawa kita pada langkah tepat dalam menghadapi hidup. Tidak salah jika kita mau mendengar nasihat orang lain sebagai pijakan dalam mengambil tindakan, terutama nasihat dari orangtua dan guru.
Sobat Birru yang hebat, teriring doa dari kami semoga Allah memberi kita kekuatan dan kemudahan kita dalam menghadapi cobaan hidup. Amin.

Sumber:Lazuardi Birru
                                                                                                            

Minggu, 05 Mei 2013

Memaknai Sepinya Diskursus Keislaman

 
Ada apa di balik turunnya minat ilmu keislaman, khususnya di kalangan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI)? Apa arti dari merosotnya peminat jurusan ilmu keislaman dalam beberapa waktu terakhir? Apakah semua ini berhubungan dengan kondisi diskursus keislaman yang belakangan semakin lenyap dari ruang publik?
Inilah pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab secara bersamsa-sama. Sebelum menjawab pertanyaan di atas, ada baiknya kita memperhatikan beberapa fenomena mutakhir yang berkembang di masyarakat, baik fenomena yang bersifat keagamaan, sosial, politik, dan yang lainnya.

Dari segi keagamaan, gairah keagamaan masyarakat justru tampak tak pernah padam. Setidaknya bila hal ini dilihat dari maraknya buku-buku keislaman “praktis” yang memenuhi sejumlah toko buku di kota-kota besar, khususnya pada momentum menjelang bulan Ramadhan seperti sekarang. Begitu juga dengan acara keagamaan di sejumlah media yang menampilan “aneka macam” ustaz. Bahkan di sejumlah perguruan tinggi umum, minat keislaman juga kerap mengalami peningkatan yang ditandai dengan menjamurnya pelbagai macam gerakan keislaman.

Sementara di ranah sosial, fenomena aksi kekerasan semakin latin terjadi. Baik kekerasan yang bersifat sosial murni, kekerasan yang bernuansa keagamaan hingga kekerasan teroristik. Senada dengan ini, ada kecenderungan pengelompokan atau pengorganisasian masyarakat sebagai basis kekuatan yang tidak jarang justru dijadikan kendaraan untuk melakukan aksi kekerasan. Semua ini semakin meminggirkan nilai-nilai kebersamaan, gotong royong dan toleransi yang menjadi kebanggaan masyarakat Indonesia dalam jangka waktu berabad-abad lamanya.

Hal yang jauh lebih memilukan justru kerap ditemukan di pentas perpolitikan nasional. Para politisi yang berada di bawah naungan partai masing-masing justru kerap tampak mengedepankan kepentingan kelompoknya dibanding kepentingan masyarakat luas. Bahkan dalam beberapa waktu terakhir, politisi semakin identik dengan perbuatan tindak pidana korupsi yang belakangan sebagian dari mereka diduga terlibat dalam persoalan korupsi Al-Quran.

Di sini kita bisa melakukan pemaknaan yang lebih komprehensif terhadap fenomena menurunnya diskursus keislaman mutakhir, tak hanya di perguruan tinggi tapi juga di ruang publik yang lain seperti media. Salah satu makna dari fenomena ini adalah menurunnya semangat untuk mengkaji ilmu keislaman secara menyeluruh, sesuai dengan tangga-tangga akademik yang harus dilalui. Kajian serius atas ilmu keislaman tentu sangat melelahkan karena mengharuskan penguasaan sejumlah disiplin ilmu terkait. Sementara hasil yang didapat dari kajian melelahkan ini kerap tidak berimbang, khususnya bila dilihat dari segi materi.

Dalam konteks seperti ini, munculah fenomena “ustaz potong kompas”. Di satu sisi, mereka tidak mau ruwet mempelajari dan menguasai sejumlah disiplin ilmu keislaman yang ada. Di sisi lain, mereka mendambakan hasil yang melimpah, khususnya dari segi materi.

Lebih ekstrem lagi, semua kondisi di atas memunculkan keengganan yang akut di sebagian generasi muda Islam untuk mengambil jurusan keislaman. Hingga dari tahun ke tahun, jurusan ilmu keislaman semakin sepi peminat. Secara singkat dan vulgar dapat dikatakan, mohon maaf, jurusan ilmu keislaman tidak diminati karena dianggap tidak mempunyai masa depan.

Ini adalah persoalan yang sangat serius dan harus dihadapi secara bersama-sama, khususnya oleh pemerintah dan pemangku kebijakan. Para sarjana jurusan ilmu keislaman harus ditopang oleh program-program ekstra kampus yang mengarah pada pemandirian ekonomi. Hal ini penting dilakukan karena apa pun, apalagi dakwah, membutuhkan basis ekonomi yang kuat.

Dengan demikian, sarjana di bidang ilmu keislaman bisa menjadi tokoh agama yang sejati dan tulus mengabdi kepada umat dengan mengajarkan ajaran-ajaran Islam yang jauh dari aksi kekerasan. Mereka tidak perlau was-was dengan kebutuhan ekonominya. Dan itulah hakikat dakwah yang diteladankan oleh para Nabi, khususnya Nabi Muhammad SAW.

Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk (Qs. Yasin: 21).

Jumat, 03 Mei 2013

HADIS

 
Secara bahasa hadis berarti percakapan, berita, peristiwa, dan baru. Dalam terminologi agama, yang dimaksud dengan hadis adalah hadis an-nabiyyi, yakni Hadis Nabi.  Hadis Nabi secara bahasa berarti percakapan Nabi, berita tentang Nabi, dan peristiwa yang dilakukan Nabi.
Dalam istilah ilmu hadis, yang dimaksud dengan Hadis An-Nabiyyi (hadis Nabi) adalah perkataan, perbuatan dan ketetap-an Nabi saw., sesudah beliau menjadi Nabi dan Rasul; Substansi hadis terbagi tiga, hadis al-qawli, (perkataan Nabi); hadis al-fi’li (perbuatan Nabi), dan taqrir an-nabiyyi (persetujuan Nabi atas perbuatan sahabat).
Hadis pada masa Nabi Muhammad saw. disimpan dalam memori para sahabat. Berebda dengan Al-Qur`an yang segera dicatat oleh Kuttab al-Wahyi, pencatat wahyu, yang ditunjuk Nabi saw.,  hadis disimpan dalam ingatan para sahabat. Hal ini, karena Nabi saw melarang para sahabat mencatat hadis. Beliau hanya memerintahkan para sahabat agar menghafal dan menyampaikan hadis secara lisan. Walaupun demikian, ada sebagian kecil sahabat yang diizinkan mencatat hadis.
Hadis Nabi saw merupakan sumber kedua dalam Islam yang berfungsi: Pertama,  tibyânan (penjelasan) terhadap maksud Al-Qur`an yang bersifat mujmal (general/ umum). Kedua, tafshîlan (merinci) tata cara pelak-sanaan ‘ibâdah dan mu’âmalah (interaksi sosial, bisnis dan berbagai transaksi). Ketiga, uswatan (model) bagi umat Islam,  terutama melalui hadîts fi’li (sunnah fi’liyah), perbuatan Nabi.
Gerakan tadwin al-hadis, membukukan atau mengkodifikasi hadis, baru dilakukan pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul ‘Aziz (99-101 H). Beliau menulis Surat Edaran kepada para Gubernur agar melakukan tadwîn al-hadîts, sebagai berikut: “Periksalah apa yang ada dari Hadis Nabi saw, lalu tulislah, karena aku khawatir hilangnya ilmu dan meninggalnya ulama. Janganlah engkau terima, kecuali hadis Nabi saw. Sebarkanlah ilmu dan adakan majelis ilmu, sehingga orang yang tidak berilmu menjadi berilmu, karena ilmu itu tidak akan hilang sebelum ia menjadi sesuatu yang rahasia (disembunyikan).
Abu Bakr bin Hazm, Gubernur Madinah, merespon perintah Khalifah Umar bin Abdul Azizi dengan mengangkat Ibn Syihab Az-Zuhri menjadi Ketua Tim Kodifikasi Hadis yang bertugas untuk mengumpulkan hadis, menyeleksi sanad dan matan hadis, kemudian menuliskannya dalam sebuah kitab, yang menjadi karya rintisan dalam ilmu hadis.

GUA HIRA

 
Gua Hira terdapat di Jabal Nur, bukit cahaya, di Mina, Saudi Arabia. Di Gua ini terjadi peristiwa penting dalam sejarah Islam. Pada tahun 610 M., ketika Muhammad bin Abdullah al-Amin sedang berkhalwat di Gua Hira, beliau menerima kunjungan Malaikat Jibril yang datang atas perintah Allah khusus untuk menyampaikan wahyu kepada beliau. Sejak itu Muhammad bin Abdullah diangkat menjadi Rasulullah saw, utusan Allah. Wahyu yang pertama turun di Gua Hira adalah Surah al-‘Alaq ayat 1-5 yang berikut: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Mahamulia,Yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” (Q.S. al-‘Alaq/96: 1-5).
Selama satu tahun menjelang diangkat menjadi nabi dan rasul, Rasulullah saw berkhalwat di Gua Hira dengan dua tujuan utama. Pertama, berzikir dan berdoa guna mendekatkan diri kepada Allah dengan. Kedua, menarik diri dari kehidupan sosial di Mekkah yang sedang mengalami krisis moral, namun tetap dengan mengamati keadaan kota Mekkah dari atas Gua Hira. Dengan berdiri di atas Gua Hira, Rasulullah saw bisa mengamati orang-orang yang sedang tawaf di sekeliling Ka’bah. Sebab secara geografis, posisi Gua Hira dengan  Ka’bah itu berada pada garis lurus. Kedua tujuan ini mencerminkan terpadunya dimensi spiritual dan sosial pada diri Rasulullah saw. Dengan berkhalwat di Gua Hira, Rasulullah  saw sedang mempersiapkan mental untuk mengemban tugas kerasulan; sedangkan dengan mengamati kehidupan di sekitar Ka’bah, mencerminkan bahwa Rasulullah saw tidak boleh  kehilangan kepekaan  dan tanggung jawab sosial terhadap kehidupan masyarakat Makkah yang sedang sakit. Gua Hira, dengan demikian, menjadi simbol terpadunya masalah spiritual dan tanggung jawab sosial  dalam kehidupan Rasulullah saw.

Jejak Kisah Cinta dalam Peradaban Islam


Salah satu kata yang akan abadi diperbincangkan adalah cinta. Bertambahnya waktu tidak membuat kata ini pudar pesonanya. Bahkan ada yang mengatakan bahwa kehidupan alam semesta saat kini dimungkinkan oleh cinta. Setiap orang berapapun umurnya dan apapun warna kulitnya tak pernah bungkam membicarakan cinta. Lantas apa itu cinta?

Sudah banyak karya maestro-maestro dunia yang mencoba mendedahkan makna cinta. Namun tampaknya dari sekian banyak konseptualisasi cinta, mayoritas sepakat bahwa pembicaraan tentang cinta dapat dibagi dua; cerita cinta semu dan kisah cinta sejati. Cinta semu hanya menonjolkan aspek biologis semata. Sehingga tidak mengherankan jika perbincangan tentang cinta dalam kategori ini akan cepat berhenti dan akan terus berulang lantaran dalam hal ini cinta mengalami penyempitan makna. Berbeda ketika orang membicarakan cinta sejati yakni cinta yang membangun, menginspirasi, sehingga menggairahkan orang untuk terus berbuat kebaikan dan meraih prestasi. Cinta seperti inilah yang dicoba penulis muda Salim A Fillah tawarkan dalam karyanya yang berjudul Jalan Cinta Para Pejuang.

Buku ini berisi kisah-kisah cinta yang terabadikan dalam peradaban Islam. Salah satu di antaranya adalah cerita romansa yang dijalani Layla dan Majnun. Di antara para pejuang cinta kisah klasik sangatlah masyhur. Kecintaan pada pasangannya yang begitu lengket membuat mereka terjebak dalam kegilaan bahkan ada yang menyebutkan keduanya menjelma menjadi seorang yang majnun (gila). Jalan cinta semacam ini kerap terduplikasi oleh generasi-generasi di era kapanpun. Sekarang misalnya kita tidak asing lagi dengan berita orang nekad menenggak racun karena cintanya tertolak.

Ada juga kisah cinta lain yang mengambil dari  sirah nabawiyyah (cerita nabi) dan para sahabat atau orang-orang yang sezaman dan hidup bersama nabi Muhammad. Di antara kisah yang disuguhkan dalam karya Salim A Fillah dalam kategori ini adalah kisah Hamzah yang rela menunda kesenangan di malam pertama dengan istrinya hanya demi mengutamakan perang di jalan Allah. Kisah-kisah dari para khulafa al Rasyidin dan para syuhada lainnya menjadi fokus utama lantaran dimensi insiratifnya. Jadi sembari membaca buku tentang kisah dan cerita cinta, wawasan sejarah peradaban Islam pembaca juga akan bertambah.

Gaya bahasa yang tersusun mengalir dan apik adalah kekuatan karya yang berjudul Jalan Cinta Para Pejuang. Kisah-kisah yang disuguhkan pun jauh dari nuansa bertele-tele. Artinya format cerita pendek menjadi model dalam penulisan cerita. Tentu saja pembaca akan semakin dimanjakan lantaran format cerpen akan membuat pembaca tidak “lelah” dalam menemukan inti cerita di setiap penggalan kisah yang disampaikan.

Tampaknya pesan penting yang ingin di sampaikan oleh Salim A Fillah ada dalam penggalan kata-kata berikut “Jika kita menghijrahkan cinta; dari kata benda menjadi kata kerja maka tersusunlah sebuah kalimat peradaban dalam paragraph sejarah. Jika kita menghijrahkan cinta; dari jatuh cinta menuju bangun cinta maka cinta menjadi sebuah istana, tinggi menggapai surga”. 

Sumber:Lazuardi Birru

Kamis, 02 Mei 2013

IKHTILAFUL ULAMA ADALAH RAHMAT

 

Dalam Islam, kedudukan ilmu pengetahuan dalam kehidupan manusia sangatlah mulia. Alquran menyebutkan segala hal yang berkaitan dengan ilmu dalam 80 ayat. Allah SWT menjadikan ilmu sebagai bekal utama dan paling penting bagi manusia dalam menjalankan fungsi khilafahnya di dunia. Para ulama mengeluarkan kaidah mengenai keutamaan ilmu, yakni al-‘ilmu qoblal qauli wal ‘amal (ilmu dahulu sebelum berkata dan berbuat). Karena tingginya kedudukan ilmu dan orang yang berilmu, Allah jadikan ilmu sebagai indikator tinggi rendahnya derajat seorang hamba. Allah SWT berfirman:
 “Hai orang-orang beriman, apabila dikatakan kepada kalian: ‘Berlapang-lapanglah dalam majlis!’ maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: ‘Berdirilah kalian!’ maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan” (QS. Al-Mujadilah: 11).

Setiap Muslim dituntut untuk mempelajari ilmu dan tidak melakukan sesuatu tanpa ilmu. Allah membenci pengabaian ilmu serta menjadikan ilmu sebagai bentuk pertanggungjawaban manusia di akhirat kelak.
Mereka yang berilmu dalam Islam dikenal sebagai ulama. Di tangan mereka, warisan-warisan kenabian disampaikan kepada umat manusia melalui lisan, perbuatan, dan teladan. Dari mereka pula kaum Muslimin mendapatkan pencerahan untuk mengenal dan mendalami Islam. Ulama ialah pewaris para nabi. Warisan para nabi bukanlah berbentuk dinar, dirham, atau harta benda fisik lainnya melainkan ilmu. Sungguh merupakan musibah dan kerugian besar apabila kematian ulama satu demi satu terjadi. Jika digambarkan, ibarat sedikit demi sedikit ilmu Allah terangkat dan hilang dari kehidupan kaum Muslimin.

Dengan ilmu, seorang Muslim mendapatkan cucuran rahmat yang luar biasa. Alangkah benar apa yang disabdakan oleh Rasulullah SAW terkait kedudukan ilmu yang menjadi rahmat bagi semesta.
“Permisalan petunjuk dan ilmu yang Allah mengutusku dengannya adalah bagai ghaits (hujan yang bermanfaat) yang mengenai tanah sehingga ada tanah yang baik, yang bisa menyerap air sehingga menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dan rerumputan yang banyak, dan juga ada tanah yang ajadib (tanah yang bisa menampung air, namun tidak bisa menyerap ke dalamnya). Dengan serapan/genangan air tersebut Allah memberi manfaat untuk banyak orang, sehingga manusia dapat mengambil air minum dari tanah ini. Lalu, manusia dapat memberi minum untuk hewan ternaknya, dan manusia dapat mengairi tanah pertaniannya. Jenis tanah ketiga adalah tanah qi’an (tanah yang tidak bisa menampung dan tidak bisa menyerap air). Inilah permisalan orang yang memahami agama Allah, bermanfaat baginya ajaran yang Allah mengutusku untuk membawanya. Dia mengetahui ajaran Allah dan dia mengajarkan kepada orang lain. Dan demikianlah orang yang tidak mengangkat kepalanya terhadap wahyu, dia tidak mau menerima petunjuk yang Allah mengutusku untuk membawanya” (HR. Bukhari dan Muslim).

Begitu mulianya ilmu hingga Rasulullah SAW menjelaskan diperbolehkannya hasad (iri hati) pada dua hal. Dari ‘Abdullah bin Mas’ud RA, ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,
“Tidak boleh hasad (ghibtoh) kecuali pada dua orang, yaitu orang yang Allah anugerahkan padanya harta lalu ia infakkan pada jalan kebaikan dan orang yang Allah beri karunia ilmu (Alquran dan Sunnah), ia menunaikan dan mengajarkannya” (HR. Bukhari).

Akan tetapi, dalam kehidupan era global saat ini, umat Muslim mendapati banyak terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ahli ilmu. Sebagai umat yang cerdas, sungguh sangat bijak jika umat Muslim berpikir jernih mengenai perdebatan di antara ulama. Jika diselidiki mendalam, sesungguhnya perbedaan pendapat dalam ilmu merupakan kewajaran. Terlebih lagi jika perbedaan pendapat terjadi dalam perkara yang menuntut adanya ijtihad atau memutuskan suatu perkara yang secara eksplisit tidak dijelaskan dalam sumber ilmu dalam Islam, yakni Alquran dan Sunnah, dengan rasionalisasi atas kesungguhan yang telah jelas tertera pada Alquran atau pernah diteladankan oleh Rasulullah SAW.

Perbedaan pendapat di kalangan ulama adalah rahmat bagi umat Islam. Perdebatan terjadi untuk memperkaya khazanah ilmu Islam yang luas. Perbedaan pendapat para ulama tidak lantas memunculkan perselisihan terlebih lagi perpecahan. Sebab, perbedaan pendapat ulama mengenai ilmu-ilmu Islam terjadi secara natural atas dasar perbedaan wilayah, kondisi geografis dan fakta budaya masyarakat Muslim. Kekayaan atau keluasan wawasan keislaman tersebut ditujukan untuk menyediakan kemudahan bagi umat Islam, serta mendorong mereka untuk senantiasa belajar dan mempelajari ilmu, baik ilmu-ilmu Islam maupun ilmu pengetahuan umum.

Perbedaan pendapat atau dalam Islam dikenal dengan ikhtilaf, terbagi menjadi beberapa bagian. Pertama, ikhtilaf tanawwu’ -dua argumen atau dua amalan yang diperselisihkan adalah benar dan disyariatkan kedua-duanya. Berikutnya adalah ikhtilaf tadhadiy, yakni dua pendapat yang saling bertentangan (kontradikitif), baik itu dalam masalah ushul (prinsip/pokok) atau dalam masalah furu’ (cabang). Perbedaan tersebut kita temukan pada hal yang terkait dengan masalah ‘ibadah dan mu’amalah, seperti hukum-hukum terkait shaum (puasa), salat, zakat, adab bertetangga, adab menuntut ilmu dan perkara-perkara lainnya. Adapun untuk permasalahan ‘aqidah (prinsip tauhid/monotheisme), ulama tidak ber-ikhtilaf. Semua meyakini bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan Rasulullah Muhammad SAW ialah utusan Allah. Hal ini semata-mata karena persoalan ‘aqidah adalah hal yang bersifat tauqifiyyah alias sudah ditetapkan oleh Allah Ta’ala dan dijelaskan secara terang oleh Rasulullah SAW.

Perbedaan pendapat adalah fitrah manusia sebagai makhluk yang berpikir (ulul albab), bahkan hal demikian sudah terjadi di zaman Rasulullah SAW dan di zaman para sahabat. Pada masa itu, para sahabat yang mendapat perintah untuk tidak melakukan shalat ashar sebelum sampai di pemukiman Suku Quraidhah, sebagian sahabat memahami perintah tersebut bahwa Rasulullah menghendaki para sahabat agar bersemangat, bergerak cepat dan bersegera menuju desa Suku Quraidhah, dan sebagian lain memahaminya berdasarkan bunyi perintah yang tegas menghendaki mereka untuk menegakkan salat hanya di desa Suku Quraidhah. Setelah kejadian tersebut dilaporkan kepada Rasulullah SAW, beliau membenarkan kedua pendapat, tanpa menyalahkan satu pihak atau menyesalkan terjadinya perbedaan pendapat. Dari fakta sejarah tersebut, semestinya umat Muslim masa kini menyadari bahwa Rasulullah SAW pun sangat memahami betapa lumrah atau wajarnya perbedaan pendapat di kalangan manusia, atau di antara ulama.

Mengenai hal ini, Umar bin Abdul Aziz memiliki pandangan brilian, “Tidaklah membahagiakanku kalau para sahabat Rasulullah SAW tidak berbeda pendapat, karena jika mereka tidak berbeda, maka bagi kita tidak ada rukhsah (keringanan/kemudahan)” (Dr. Umar bin Abdullah Kamil, Mauqi’ Al Islam, hal. 38. Al Maktabah Asy Syamilah).

Adu Domba

Adu Domba
 

Adu domba atau sering disebut dengan namimah yaitu sering digunakan untuk menceritakan orang lain kepada yang sedang diajak bicara dengan tujuan untuk mengadu domba. Mengadu domba tak hanya pada perkataan saja tetapi membuka suatu yang tidak disukai apabila terbuka, baik disukai maupun yang tidak disukai. Sering kali orang lain melakukan adu domba yang tak memikirkan akibatnya. Adu domba hanya akan merugikan diri sendiri dan orang lain.

Biasanya rasa iri lah yang membuat seseorang untuk melakukan adu domba. Banyak orang melakukan adu domba hanya untuk kepentingan diri sendiri. Padahal kemudharatan bagi pengadu domba sangat lah besar. Misalnya saja, orang yang mengadu domba itu tidak akan masuk surga karena perbuatannya itu dapat merusak persaudaraan, persahabatan, ketentraman dan kedamaian. Setelah itu mengadu domba itu adalah perbuatan yang sangat dibenci oleh Allah.

Pengadu domba juga termasuk orang yang paling buruk perangainya karena ia berjalan ke sana kemari hanya untuk merusak hubungan di antara manusia atau selalu mencari aib orang lain untuk disebar ke sana ke mari. Pengadu domba pun dapat menghalangi datangnya rahmat. Keberadaan orang-orang yang mengadu domba mengahalangi rahmat yaitu turunnya hujan kepada masyarakat setempat. Ini merupakan bukti bahwa pengadu domba sangat dibenci oleh Allah.

Untuk menghindari dari sifat mengadu domba obatnya yaitu diam. Dan memperbanyak melakukan dzikir agar selalu mengingat kepada Allah Swt. Diam itu adalah ibadah. Dengan diam kita dapat selamat dari lunaknya lidah yang selalu berkata salah namun tanpa kita sadari. Lidah yang tak bertulang sangat mudah mengucapkan hal-hal yang mungkin bisa membuat orang lain terluka. Di dalam buku karangan  Fuad Kauma, dalam judul buku Adu Domba terdapat hal-hal apa saja yang harus dilakukan untuk menghindari adu domba terjadi. Buku ini sangat bagus untuk menghindari kita dari sifat namimah atau sering kita sebut sebagai adu domba.

Buku yang bisa di bawa-bawa kemana. Sangat bagus untuk dibaca oleh semua kalangan. Karena buku ini dapat membantu kita untuk menjauhi sifat yang paling tidka disukai oleh Allah yaitu adu domba.

 Sumber:Lazuardi Birru