Jumat, 06 Desember 2013

Sufisme Perkotaan (Urban Sufisme)



“Tuhan menaburkan cahaya-Nya kepada segenap manusia. Bahagialah mereka yang telah menadahkan kain untuk menerimanya. Mereka yang beruntung tak akan melihat apa pun selain Tuhan. Tanpa kain cinta, kita kehilangan bagian kita. Karena cinta pahit berubah menjadi manis, karena cinta tembaga berubah menjadi emas. Karena cinta ampas berubah jadi sari murni, karena cinta pedih menjadi obat. Karena cinta kematian berubah jadi kehidupan, karena cinta raja berubah menjadi hamba”. Demikianlah kutipan yang penulis suguhkan untuk memulai sebuah ulasan ini, rangkaian kalimat penuh makna tersebut adalah ungkapan kata seorang tokoh sufistik kelahiran Persia yaitu Jalaluddin Rumi. Di dalam kehidupan kita ini tentunya ada banyak hal yang menjadi pelajaran, banyak hal yang sudah menyejarah, dan banyak hal yang sudah membuktikan kecintaannya terhadap sang Khalik yaitu Allah SWT. mereka tentunya tidak hanya sebatas merangkai makna untuk di anggap sebagai seorang yang penuh hikmah, di jadikan sebagai guru spiritual atau di anggap layak sebagai seorang pintar, maupun sebaliknya tidak ada tendensius bagi mereka yang mengina dan menyudukannya. Namun ada sesuatu hal yang murni jauh di balik jubahnya, mereka bergerak tanpa kepentingan untuk memulai sesuatu hal yang membuat mereka merasa damai, membuat diri merasa bahagia, dan menjadikan penghambaan mereka sesuatu hal yang tidak pernah sia-sia, kehidupan yang senantiasa di hujani keikhlasan dan butir-butir kesyukuran yang sangat teramat dalam.
Menjadi penting tasawuf itu karena tidak ada satupun manusia yang bisa lepas dari penyakit hati seperti riya, dengki, lalai dan lain-lain. Dalam pandangan Al Ghazali maka tasawuf lah yang bisa mengobati penyakit hati itu. Karena dalam ilmu tasawuf berkonsentrasi untuk selalu mengamalkan tiga hal dimana ketiga-tiganya sangat dianjurkan oleh al-Quran al-Karim. Pertama, selalu melakukan kontrol diri, muraqabah dan muhasabah. Kedua, selalu berdzikir dan mengingat Allah SWT, dan ketiga, menanamkan sifat zuhud, cinta damai, jujur, sabar, syukur, tawakal, dermawan dan ikhlas. Mungkin kita perlu mempertanyakan model tokoh sufistik ideal, maka jawabannya adalah Nabi Muhammad Saw. Akhlak nabi Saw merupakan acuan akhlak yang tidak ada bandingannya. Begitupun dengan ibadah, kepada Allah dan jiwa sosialnya yang sangat tinggi. Akhlak nabi Saw bukan hanya dipuji oleh manusia, tetapi juga oleh Allah SWT. Hal ini dapat dilihat dalam firman Allah SWT yang artinya: “Dan sesungguhnya kami (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung”.(QS.Al Qalam:4) Tingkah laku nabi tercermin dalam kandungan al-Quran sepenuhnya. Dalam diri nabi Saw terkumpul sifat-sifat utama, yaitu rendah hati, lemah lembut, jujur, tidak suka mencari-cari cacat orang lain, sabar, tidak angkuh, santun dan tidak mabuk pujian. Nabi Saw selalu berusaha melupakan hal-hal yang tidak berkenan di hatinya, tidak pernah berputus asa dalam berusaha, dan yang paling penting adalah merasakan kehadiran TuhanNya selalu menyertainya . Oleh karena itu, Nabi Saw merupakan tife ideal bagi seluruh kaum muslimin, termasuk pula para sufi. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Al-Ahzab ayat 21 yang artinya:”Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut nama Allah”.
Sampai disini penulis tidak ingin terjebak kepada pemahaman yang mungkin orang menganggap bahwa seorang sufi itu adalah orang yang sangat miskin, orang yang tidak memiliki tempat tinggal, orang yang malas, dan orang yang kumal penampilan atau cara berpakainnya, jika kita menganggap bahwa sufi itu adalah sesuatu hal yang kontroversial maka perlu kita luruskan karena memang pada dasarnya seperti penulis kemukakan di atas bahwa inti dari sufi itu adalah merasakan kehadiran Allah dekat dengannya, tidak berbuat serampangan, dan produktif pola kehidupannya. Seorang ahli sufi tahu serta menyadari betul bahwa kehidupannya tidaklah abadi, akan di minta pertanggung jawabannya, di tanya tentang sejauh mana ia bermanfaat ketika di dunia, maka sudah pasti orang yang mengamalkan kajian sufi orang yang senantiasa mengharap ridha Allah baik secara duniawi maupun ukhrawi. Tidak menjadikan dunia sebagai permainan dan senda gurau, akan tetapi dunia ia jadikan sebagai tempat menanam benih menuju tempat yang kekal abadi.
Mengingat kehidupan modern yang serba instan, kemajuan teknologi, komunikasi dan transportasi yang tidak bisa di bendung, maka sejauh itu juga tidak terlepas keberagaman pola kejahatan yang tercipta, mestinya orang baik yang berjiwa sufistik tidak harus tinggal di gunung, bertafakkur, hanya asyik beribadah sendiri, menjauhkan diri dari orang banyak serta tidak bertanggung jawab atas kekhalifahannya untuk mengelola bumi atau mengambil peran untuk mensosialisasikan kebenaran, meluruskan penyimpangan, tentu dalam hal ini harusnya menjadi percontohan karena ibadahnya yang takut, pengharapan, dan khusyuknya kepada Allah SWT. saat ini model sufi tidak mesti memakai jubah, serban, dan terompah, tapi sesuai dengan zaman yang mengitarinya tokoh sufi tentunya bisa saja memakai dasi, dan masuk ke ruang publik. model seperti ini tentunya bisa di terapkan dalam kehidupan modern, dan ini adalah solusi yang paling solutif di tengah hiruk pikuk perkotaan yang sudah mulai luntur jiwa sosial, keberagamaan, takut serta penghambaannya terhadap Allah SWT.  Sufisme perkotaan atau yang biasa disebut urban Sufism harus mampu menggambarkan nilai keberagamaan di berbagai dimensi termasuk sistem birokrasi, dunia bisnis, dunia kesehatan dan dunia pendidikan, jika hati kita sudah kering akan ketakutan, dan fenomena riya atau penyakit hati merajalela maka tidak akan ada lagi bisa kita temukan kebaikan-kebaikan yang sistemik, segala sesuatu itu menjadi kering, setiap manusia itu bertemu hanya karena urusan pribadi, manusia tercipta seolah sebagai robot, mesin pencetak yang tidak bisa membaca nurani, semuanya hanya sandiwara. Mungkin sepintas kita pernah berpikir, bagaimana mungkin orang-orang terdahulu (ulama) bisa mengarang ratusan buku, artikel, penemuan dan berbagai lintas disiflin ilmu, padahal bisa di pastikan kecanggihan teknologi ketika itu jauh dari pada era kekinian, maka jawabannya adalah seperti yang di sampaikan oleh Wakil Menteri Agama “Kitab Kuning merupakan hasil dari goresan hati, bukan buatan pikiran semata. Dalam kitab kuning ada tendensi kepasrahan dan keberkahan, bukan sekedar transformasi pengetahuan,” kata Nasaruddin Umar ketika membuka acara Temu Tokoh Agama (Ulama) Pendidikan Agama dan Keagamaan di Surabaya, Minggu (1/12/2013). Arti dari pemahaman ini adalah bahwa keikut sertaan Allah memudahkan segala cara, dan membuka pikiran serta hati kita untuk manfaat yang lebih besar.  
Ketahuilah bahwa kita hidup ini tidak sendiri, ada yang menciptakan dan ada yang diciptakan, ada hukum dan ada yang di hukum, begitu juga ada berbagai macam aturan dan bentuk untuk menciptakan manusia yang sempurna (al kamil), jika kita beriman dan bertakwa kepada Alalh maka Allah akan bukakan keberkahan dari pintu langit dan penjuru bumi. Jangan engkau mengharap sesuatu yang bukan milikmu, Allah akan memberikan kepadamu tanpa sepengetahuanmu baik cepat ataupun lambat. Jika engkau memaksa untuk mendapatkannya padahal itu bukan waktunya atau bahkan bukan milikmu, berarti kamu berbuat tidak sopan dan memaksa takdir-Nya.

Sumber: Lazuardi Birru

Kamis, 05 Desember 2013

Teologi Islam Untuk Bangsa


A. Pendahuluan
Problematika kehidupan manusia selalu berkembang dan tidak pernah surut. Seiring dengan perkembangan kehidupan manusia, hukum dan teologi Islam juga berkembang terus untuk memecahkan problema tersebut. Sementara junjungan kita Nabi Muhammad Saw yang menjadi panutan sekaligus penentu (pemutus). kebijakan (hukum) telah tiada. Lebih-lebih jika merujuk pada teks ketentuan-ketentuan tekstualnya sangat terbatas. Hal ini selaras dengan pernyataan para ulama yang mengatakan bahwa: (peristiwa-peristiwa tidak terbatas, sedangkan nas bersifat terbatas). Oleh karena itu, kegiatan untuk mencari dan memecahkan masalah – sesuai dengan fitrah manusia tidak bisa dibendung. Dengan kata lain, kegiatan dan proses melakukan ijtihad atau ziarah intelektual dan proses memahami teks sebagai sumber hukum dan teologi yang humanis tidak bisa dihalangi. Proses dan kegiatan ini dilakukan sebagai upaya untuk memecahkan masalah kehidupan manusia yang selalu berkembang secara dinamis. Dalam konteks ini lebih tegas lagi dinyatakan oleh ulama dengan statement fiqh yang justeru memberi justifikasi dan legitimasi terjadinya perubahan hukum atau teologi sebagai sandaran (kerangka filosofis ) khalifatullah didasarkan pada ruang dan waktu.
Tentunya penulis tidak kemudian ingin membicarakan hukum Islam secara universal dari beberapa hal yang menjadi perdebatan dikalangan pemeluknya namun yang jauh lebih penting dari itu adalah secara tegas penulis ingin mengemukakan bahwa pemahaman teologis masih menyisakan doktrin kaku yang cukup sulit untuk harmoni dalam perbedaan demi menemukan kesejahteraan sebagai happy ending dari sebuah wujud teologis yang humanistik transformatif, dan yang lebih disayangkan truth claim telah mengkotak-kotakkan kesempatan dan harapan umat manusia hingga kehilangan jati dirinya sebagai pengelola bumi yang memang menjadi tugas utama dilahirkannya makhluk yang bernama manusia ini. Salah satu ciri mendasar teologi inklusif adalah memberikan formulasi bahwa Islam itu merupakan agama terbuka (open religion). Keterbukaan bahkan merupakan sikap yang harus dianut umat Islam. Sikap ini harus lebih ditonjolkan, mengingat kondisi umat Islam dan masyarakat dunia yang pluralis. Dalam masyarakat yang demikian umat Islam seharusnya bisa memberikan teladan sebagai mediator atau penengah (wasith) antara berbagai kelompok umat manusia dan diharapkan untuk menjadi saksi yang adil dan fair dalam hubungan antar kelompok itu. Pada tataran tersebut diatas ketika merumuskan konsep-konsep Islam yang universal berarti kita harus cerdas dalam mendemontrasikan bahasa-bahasa Al-Quran yang bersifat metafisis dan intuitif menjadi bahasa-bahasa yang empiris objektif dan sistematis. Yang paling penting adalah tidak menutup mata atas realitas yang ada.
Alangkah lebih arifnya kita memetakan perkembangan dinamika teologis ini agar menjadi sesuatu yang membumi di era modern reformasi dan melahirkan kesejahteraan yang juga pastinya rukun dalam perbedaan.
1. Perjumpaan Teologi Islam Pra Modern (Klasik)
Sejarah telah membuktikan bahwa kehidupan kanjeng Nabi Muhammad SAW adalah era dimana teologi disampaikan oleh sang utusan Tuhan sendiri, mengungkap sisi-sisi kebenaran dari teologi adalah sesuatu hal yang tidak asing bagi orang yang hidup di zaman ini, karena memang pada dasarnya Muhammad sebagai seorang panglima spiritual telah mengejawantahkan kehidupan teologi dalam alam empiris hingga berjumpa dengan Tuhan yang empirik, tidak hanya sekedar Tuhan konsepsi, apalagi Tuhan persepsi, Tuhan Empirik yang kelak membentuk pribadi manusia yang kuat, mandiri, kreatif, dan penuh harapan. Tuhan Empirik membuat manusia sehat secara spritual. Pengalaman perjumpaan dengan Tuhan adalah pengalaman yang bermakna peradaban yang memacu kreatifitas manusia untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik, lebih sejahtera dan lebih manusiawi, penuh harmoni dan tidak merusak lingkungan. Tuhan Empirik itu, ia bersemayam dalam ruh manusia dan menjadi inti spiritualitas, mungkin tidak berlebihan jika saya mengutip sebuah pernyataan sufistik “Aku di dalam Dia dan Dia di dalam Aku”, yang dimaksud, bahwa Tuhan itu masuk dan inheren dalam diri manusia dan menjadi komponen paling utama dari tindakan baik manusia.
2. Teologi Islam era Modern
Salah satu alasan mengapa agama tampak tidak relevan pada masa sekarang ini adalah karena banyak diantara kita tidak lagi memiliki rasa bahwa kita dikelilingi oleh yang gaib. (Karen Amstrong)
Mengapa kita harus membicarakan tentang Tuhan, bukankah Tuhan itu adala sesuatu yang sudah given, yang sudah harus kita terima begitu saja. Kita percaya bahwa Dia ada, dan kepercayaan ini sudah lebih dari cukup, pertanyaan ini adalah pernyataan sebagaimana dipegang oleh pendukung argumen ontologis bahwa Tuhan itu ada secara apriori. Kita tidak perlu bukti dan membuktikan bahwa Tuhan itu ada, namun perkembangan ilmu pengetahuan dan sesuai arus kritis manusia modern mengatakan pertanyaan dan pernyataan ini tidak sepenuhnya salah. Persoalannya, setiap pembicaraan spiritualitas harus mendapat kejelasan eksistensi Tuhan dalam hal ini. Karena jika tidak jelas, maka spiritualitas ini tak akan berbeda jauh dengan spiritualitas dalam bayang-bayang psikologi humanistik.
Kalau kita mengklaisifikasikan era agama dalam perkembangan pemikiran manusia maka tidak heran kenapa hidup di saat sekarang ini membutuhkan pemahaman yang lebih utuh dan holistik dari berbagai disiflin ilmu untuk menemukan spiritualitas karena tanpa dorongan ilmu yang lain dalam hal ini ilmu umum, Amin Abdullah dalam sebuah wawancara yang dilakukan oleh salah satu media Nasional yaitu Republika menyatakan bahwa awalnya agama hanya dipahamai sebatas tekstualis dengan penghayatan konteks dizaman ayat itu diturunkan, kemudian bermuara kepada sikap kritis dan mencoba menggeluti secara lebih serius arti pentingnya sebuah ajaran atau dogma dengan penalaran yang lebih filosofi dengan pendekatan humanistik, salah satu satu konsep KeTuhanan atau spiritualitas dalam menelaah Tuhan itu sendiri adalah berperspektif kedokteran dengan memilih neurosains sebagai pendekatan ilmu yang lebih ilmiah dan modern.
3. Teologi Islam Postmodern
Islam itu untuk maslahat manusia, bukan untuk Tuhan. Islam itu ada janjinya kepada manusia, rahmatan lil ‘alamin, namun karena Islam atau agama itu sesungguhnya adalah untuk manusia bukan manusia untuk agama maka yang menjadi subjek dalam kehidupan beragama ini adalah tentunya manusia, untuk menciptakan progresifitas agama (Islam) itu, maka kita harus menghadirkan gerakan sosial, kemanusiaan dan science dalam ruang teologi hingga teologi dapat membaca realitas kehidupan yang penuh gejolak, dinamika dan pertentangan yang tidak manusiawi. Sehingga dapat dipastikan out put dari gerakan teologis dapat berinteraksi dengan kehidupan manusia.
B. Teologi Islam dan Harmonisasi Bangsa
Doktrin agama Yahudi, Nasrani, dan Islam telah mengajarkan prinsip-prinsip tingkah laku tentang kewajiban orang-orang berada atas orang-orang yang membutuhkan bantuan tanpa pertimbangan kepentingan pribadi dan politik. Pemberian bantuan kepada orang lain sebaiknya dilakukan tanpa banyak pertimbangan dan harus segera dilakukan. Tentunya implikasi sosial dari teologi yang universal ini akan mampu menjawab kebutuhan manusia yang hidup di era kegelisahan dan kesenjangan antara pemimpin dengan masyarakat yang hidup dipinggiran. Mengutip pendapat seorang filsuf Perancis, Andre Malraux, yang meramalkan bahwa abad ke-21 akan merupakan abad agama. pendapat Malraux ini sejalan dengan pendapat A. Mukti Ali yang menyatakan bahwa “Jika kita boleh memperhatikan keadaan agama di Indonesia khususnya, dan di dunia umumnya, pada masa depan, katakanlah satu dekade pertama abad ke-21, maka kita akan mengatakan bahwa akan dirasakan oleh umat manusia sebagai suatu hal yang makin penting. Dihari-hari yang akan datang, umat manusia akan merasakan bahwa agama adalah sesuatu yang sangat mereka perlukan”. Hal ini lebih disebabkan, bahwa tidak sedikit umat manusia yang merasa gelisah menghadapi pemerintahan yang dzalim, ekonomi dan kesempatan kerja yang semakin sulit, dan kerusakan ekologi yang menjadikan kehidupan kurang sehat. Dalam keadaan seperti itulah, pesan-pesan agama, baik perorangan maupun kelompok muncul kembali dan menjadi penting. Di era kegelisahan Indonesia modern ini banyak ketimpangan telah terjadi dimana-mana, problemantika kebangsaan kita tidak cukup memperhatinkan baik dari perspektif hukum, pendidikan, kemiskinan, kesehatan adalah penghias media setiap harinya.
Teologi modern harus peka terhadap permasalahan yang ada, karena teologi tidak lagi hanya sebatas Tuhan, Nabi dan Wahyu, tetapi ia harus memasuki ruang simulasi yang lebih kompleks, memanusiakan manusia, menghormati kebudayaan, patuh tunduk terhadap hukum, dan semangat science ataupun pendidikan merupakan pengembangan teologi yang harus dibumikan, ketika seseorang mengaku beragama, terlepas dari pada agama apapun dan aliran apapun, harus menyadari bahwa tujuan universal dari agama dan aliran adalah sebuah peradaban, kebahagiaan dan kesejahteraan. Mengingkari hal ini sama halnya mengingkari perjanjian primordial dengan Tuhan sang pencipta.
C. Penutup
Fenomena keTuhanan tampaknya merupakan fakta universal. Hal ini tidak saja dapat ditemukan pada masyarakat modern, tetapi juga masyarakat yang paling primitif sekalipun. Bahkan lebih dari itu, ide tentang keTuhanan dalam diri manusia oleh beberapa kalangan sudah dikategorikan bersifat naluriah (instinctive). Bagi sebagian kelompok yang lain, ide tentang keTuhanan merupakan tuntutan akal (the voice of reason). Mencintai Tuhan adalah mencintai segala ciptaan-Nya yang ada. Bukan cinta yang egoistik yang hanya untuk memenuhi hasrat romantisme berTuhan belaka. Pemahaman tentang teologi yang sebatas keTuhanan hanya mempersempit arti dan sisi Kebesaran dan titah Tuhan yang lain di bumi persada karena mungkin disatu sisi manusia beranggapan teologi kepada Tuhan cukuplah mempertanggungjawabkan perilakunya hanya kepada Tuhan dan bisa bertaubat, namun hubungan teologi yang berkaitan dengan manusia dan alam dengan tegas mempunyai konsekwensi pertanggung jawaban kepada makhluk lain selain manusia, dan dalam hal ini tentunya teologi universal dan penuh kedamaian ini akan melahirkan kesalehan social dan implikasi hidup yang lebih layak.

Sumber: Lazuardi Birru

Rabu, 04 Desember 2013

Cahaya Langit (Hidup Tak Selamanya Hitam)


Langit mendung di wilayah Ciputat ke Manggarai sore itu membuat penulis harus berpikir tentang isu atau tema central yang harus di angkat dan kiranya bisanya menjadi tanding topic, menarik, dan tidak kehilangan moment untuk tetap bisa di manfaatkan bagi orang yang membacanya, dengan memilih bahasa yang lebih provokatif dan lebih mudah di mengerti akhirnya penulis harus membolak balik beberapa buku di perpustakaan itu, hingga menemukan sebuah buku dengan judul tersebut dalam tulisan tersebut di atas karangan Bobby Herwibowo, penulis ingin mencoba membedah dan merefleksikan sebuah kehidupan yang tidak lain tentunya menjadi pelajaran berharga bagi kita semua, bagi orang yang lalai, bagi orang yang lupa, dan bagi mereka yang tidak sadar akan perjalanan hidup yang fatamorgana ini. Ada lima point penting dalam buku berjudul “Cahaya Langit (hidup tak selamanya hitam)” itu, di antara point itu adalah : pertama, sedekah dan anak yatim, kedua, kejujuran, Keikhlasan, dan kesabaran, ketiga  keajaiban doa dan syukur, keempat, dahsyatnya kekuatan iman dan menjaga ibadah, dan kelima adalah indahnya akhlak. Sebenarnya lima point tersebut di atas adalah suatu hal yang terkait satu sama lain, dimana ketika kita merusak satu saja tatanan nilai di antara kelima hal tersebut bisa merusak ibadah yang telah kita lakukan, seperti contoh misalnya ketika kita berbagai kepada anak yatim, namun kita tidak ikhlas atau tidak memberikan haknya para yatim sesuai dengan porsinya sebagai seorang mustahik (atau yang berhak di berikan zakat), kemudian kembali kita tidak mensyukuri nikmat yang sudah ada, selalu berpikiran kurang, hingga enggan untuk mengulanginya lagi jika di berikan kemampuan atau rizki dari Allah, nilai keimanan tidak dibuktikan secara konkrit dengan berbuat baik kepada orang lain, maka hilanglah nilai kebaikan kita bagaikan kayu bakar yang habis di makan api. Perlu penulis kutip apa yang di sampaikan dalam buku tersebut bahwa “Tidak ada yang sia-sia saat kita melakukan kebaikan. Energi kebaikan itu akan kembali kepada pemiliknya. Bahkan, ia bisa kembali menjadi lebih besar hingga menggunung dan mengejutkan pemilik kebaikan itu. Apalagi kebaikan itu di tunaikan dengan tulus, tanpa ada nilai dan kepentingan yang akan di ambil di belakangnya”., misalnya salah satu contoh adalah tidak ingin kebaikan yang kita lakukan selalu tampil dalam media, headlines, maupun pembicaraan yang membuat kita berbangga ria di buatnya. Menjadi persoalan hari ini ketika kebaikan seseorang hanya muncul ketika menjelang pemilu saja, ketika kampanye legislatif maupun pemilihan raya yang lebih besar semisal presiden saja. Sekali lagi penulis tegaskan bahwa kebaikan itu adalah jembatan penghubung yang membuat diri kita merasa akan tenang, lebih tenang dan sangat tenang tidak bisa di lukiskan, ketika kita bisa membantu dan berbagi maka itulah jalan seolah kita bermanfaat lebih buat orang lain, dan Allah pun memberikan penilaian terhadap hambaNya, dalam al Quran (surat Muhammad [47]:7) “Wahai orang-orang yang beriman jika kamu menolong (agama) Allah niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu”. Maksud menolong agama Allah tentunya tidak sebatas ibadah ritual an sich di masjid atau model ceramah tapi bagaimana kita memberikan yang terbaik buat kehidupan ini.
Cahaya langit, tak selamanya hitam, mungkin kita pernah mendengar ada orang jahat, sekelas preman, atau mafia sekelas koruptor, pembunuh berdarah dingin dan banyak lagi yang membuat kerusakan di tengah masayarakat kita. satu sisi kita pasti akan merasa resah akan prilaku dan tingkahnya, namun perlu kita garis bawahi, bahwa dalam kehidupan nabi dan rasul itu di utus oleh Allah ke muka bumi ini justeru menyempurnakan Akhlak manusia, bahkan Allah akan menegur para nabi maupun rasulnya jika tersalah sampai melalaikan dan tidak memberikan peringatan kepada umatnya, sebagai orang yang terlahir sesudah nabi tentunya tugas dan tanggung jawab kita hari ini adalah memberikan penyadaran kepada orang yang hari ini ada di depan mata kita, mungkin tidak langsung akan ada perubahan tapi mulailah dengan ketulusan, perhatian, serta doa, bukankah Nabi Muhammad Saw juga melakukan hal yang sama, ia bahkan berdoa untuk umatnya karena rasul mengatakan sungguh umatku karena belum mengetahuinya, hingga Umar bin Khattab juga yang konon dalam sejarahnya mempunyai jiwa yang kejam, dan labil namun ketika Allah berkehendak tidak ada yang mustahil untuk mendapatkan hidayahNya. Begitupun dengan seorang pezina yang hanya memberikan minum seekor anjing maka Allah dengan jalan tersebut bisa saja mengampuni dan memasukkanya ke dalam sorga. Karena hati selalu berubah dan tidak menutup kemungkinan hingga mencapai puncak hidayahNya Allah SWT, maka alangkah lebih bijaknya jika kita mencoba untuk memberikan solusi di tengah kehidupan seseorang berlumur dosa, bukan justeru mencaci apalagi menghakimi tanpa solusi, yang berarti justeru akan membuat orang phobia alias kekhawatiran yang bersangatan sebelum bertemu dengan pendakwah agama.
Hal yang penulis ingin sampaikan adalah bahwa ada sesuatu hal yang fithrah dari diri manusia sebagai potensi kebaikan dan nilai Ilahiyah yang mungkin di antara kita masih tertutup, namun Islam tidak memberi contoh untuk membenci dan menjauhkan, kehidupan berIslam ini adalah kehidupan yang mengajarkan kita tentang arti dan nilai kebaikan yang sangat tinggi nilainya di hadapan Allah SWT. Marilah kita peduli dan memperhatikan hal-hal kecil untuk tidak tabu berbagi buat orang lain bahkan yang berbeda nasib dan keyakinan dengan kita, karena memang Islam itu lahir untuk alam semesta, bukan untuk satu kelompok, bukan untuk kaum Arab, dan bukan untuk kaum yang mengaku-ngaku paling beragama. Terakhir penulis utarakan bahwa mendung tidak selamanya akan hujan, dan pikiran tidak selanya akan liar. Marilah kita berlomba dan berbagi untuk kesejahteraan umat manusia.
 
Sumber : Lazuardi Birru

Senin, 02 Desember 2013

Cara Membangun Konsentrasi Belajar


Proses belajar membutuhkan konsentrasi belajar para pelakuknya. Tanpa konsentrasi belajar, maka peristiwa belajar sesungguhnya tidak ada. Namun, tidak sedikit orang yang mengalami masalah atau kesulitan konsentrasi ketika belajar. Tanpa konsentrasi belajar, maka hasil belajar pun tentu sangat rendah atau tidak optimal. Untuk mengembangkan kemampuan konsentrasi belajar, maka dibutuhkan langkah-langkah berikut:
Kesiapan belajar
Sebelum melakukan aktivitas belajar kita harus benar-benar dalam kondisi fresh (segar) untuk belajar.  Untuk siap melakukan aktivitas belajar ada dua hal yan perlu diperhatikan, yaitu kondisi fisik dan pasikis. Kondisi fisik harus bebas dari gangguan penyakit, kurang gizi dan rasa lapar. Sedangkan kondisi psikis harus steril dari gangguan konflik kejiwaan, tekanan masalah atau ketegangan emosional seperti gelisah, takut, cemas, kecewa, marah dan lainnya. Masalah konflik kejiwaan atau perasaan negatif harus diselesaikan terlebih dahulu. Pikiran harus benar-benar jernih, jika hendak melakukan kegiatan belajar.
Lingkungan belajar harus kondusif
Belajar membutuhkan lingkungan yang kondusif untuk memperoleh hasil belajar secara optimal. Harus diupayakan tempat dan ruangan yang apik, teratur, dan bersih. Suasana pun harus nyaman untuk belajar.
Menanamkan minat dan motivasi belajar dengan cara mengembangkan imajinasi berpikir dan aktif bertanya
Untuk membangkitkan minat dan motivasi belajar, maka perlu mengetahui, apa yang dipelajari? Untuk apa mempelajari materi pelajaran yang hendak dipelajari? Apa hubungan materi pelajaran tersebut dengan kehidupan sehari-hari? Bagaimana cara mempelajarinya? Kemudian kembangkan hasrat ingin tahu lebih lanjut dengan cara aktif bertanya baik secara langsung maupun tidak langsung.
Cara belajar yang baik
Untuk memudahkan konsentrasi belajar dibutuhkan panduan untuk pengaktifan cara berpikir, penyeleksian focus masalah dan pengarahan rasa ingin tahu. Cara belajar yang baik tentu harus memuat tujuan yang hendak dicapai dan cara-cara menghidupkan dan mengembangkan rasa ingin tahu, hingga tuntas terhadap apa yang hendak dipelajari. Tugas kita untuk menemukan cara belajar atau metode belajar yang tepat sesuai dengan karakter kita.
Belajar aktif
Jika kita sulit berkonsentrasi belajar di sekolah atau sulit mengerti apa yang dijelaskan guru, maka kita harus dapat mengembangkan pola belajar aktif. Kita harus aktif belajar dan berani mengungkapkan ketidaktahuan pada guru atau teman. Kita harus membuang rasa sungkan, takut, malu pada guru. Sebab guru tidak akan memberi hukuman pada kita yang proaktif dalam belajar.
Perlu disediakan waktu untuk menyegarkan pikiran saat menghadapi kejemuan belajar
Saat kita menghadapi kesulitan mempelajari materi pelajaran, kadang kala menimbulkan rasa jemu dan bosan untuk berpikir. Jika hal ini terjadi, maka jangan paksakan diri kita untuk terus melanjutkan belajar. Jika dipaksakan akan menimbulkan kepenatan dan kelelahan sehingga menimbulkan antipati untuk belajar. Untuk itu, kita harus menyediakan waktu 5-10 menit untuk beristirahat sejenak dengan mengalihkan perhatian pada hal lain yang bersifat menyenangkan dan menyegarkan atau melakukan relaksasi.
Dengan memperhatikan langkah-langkah tersebut, kita akan terpandu menyusun kerangka berpikir, terarah pada objek yang akan dipelajari secara taktis, metodis dan member keluluasaan mengembangkan pola nalar yang objektif sehingga kesulitan konsentrasi belajar dapat diatasi.[]

Sumber: Lazuardi Birru