Senin, 30 September 2013

Tolong kasih saran biar saya bisa ibadah dengan benar!

 Ustadz Menjawab

Belajar adalah kunci dalam melaksanakan ibadah yang benar sesuai dengan apa yang dituntunkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Lalu, berkumpullah dengan orang-orang yang telah lebih dahulu belajar mengenai ibadah dalam artian yang luas, baik itu berupa tuntunan ibadah mahdhoh (seperti; shalat, puasa, dll) maupun ghairu mahdhoh (pergaulan dalam masyarakat, jual beli, dsbnya). Lebih sempurna dan lebih baik lagi, ada baiknya sobat Ricky banyak mengkonsumsi bacaan terkait ibadah-ibadah dalam Islam. InsyaAllah dengan cara seperti ini akan membawa kita pada ibadah yang benar. Selamat berjuang….

Sumber: Lazuardi Birru

Jumat, 27 September 2013

PEDOMAN DAKWAH TOLERAN


Sebagaimana sudah kita pahami, secara harfiyah, dakwah berasal dari kata da’a, yad’u, da’watan yang artinya panggilan, seruan atau ajakan. Maksudnya adalah mengajak dan menyeru manusia agar mengakui Allah SWT sebagai Tuhan yang benar lalu menjalani kehidupan sesuai dengan ketentuan-ketentuan-Nya yang tertuang dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Dengan demikian, target dakwah adalah mewujudkan sumber daya manusia yang bertaqwa kepada Allah SWT dalam arti yang seluas-luasnya.

             Untuk mewujudkan masyarakat yang rukun, damai dan toleran, para da’I memiliki peran yang sangat penting. Karena itu ada pedoman dakwah yang bisa dijadikan sebagai rujukan.

 1.      Menanamkan Prinsip Perbedaan Agama Tanpa Permusuhan.
Menanamkan prinsip bahwa agama itu berbedaan antara satu dengan lainnya merupakan hal yang sangat penting, sehingga jangan sampai hanya dengan maksud menciptakan perdamaian dan toleransi antarumat beragama kita menganggap apalagi sampai meyakini dan mengkampanyekan bahwa “semua agama sama, sama-sama baik”, ini merupakan hal yang  sama sekali tidak bisa dibenarkan. Dakwah harus menanamkan kepada manusia bahwa Islam merupakan satu-satunya agama yang benar. Karena itu, tertolak dihadapan Allah SWT bila seseorang memilih agama selain Islam, ini merupakan keyakinan yang tidak bisa ditawar-tawar, Allah SWT berfirman: Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima  (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi (QS Ali Imran [3]:85)

 2.      Tidak Mencela Tuhan dan Konsep Agama Lain.
Dalam dakwah kita tidak dibenarkan menghina sesembahan selain Allah dan konsep agama yang dilakukan oleh orang yang didakwahi, hal ini hanya akan menyebabkan orang menjadi tersinggung perasaannya, meskipun ia tahu bahwa apa yang disembahnya merupakan sesuatu yang salah, Allah SWT berfirman: Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan. (QS. Al An’am [6]:108).

3.      Tidak Memaksa Pemeluk Agama Lain Untuk Masuk Islam.
Bila manusia telah memilih atau menganut suatu agama berdasarkan keyakinannya, maka meskipun kita sangat ingin agar ia masuk Islam, tetap saja kita tidak dibenarkan untuk memaksanya untuk masuk Islam, Allah SWT berfirman: Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari pada jalan yang sesat (QS Al Baqarah [2]:256).
Manakala seseorang sudah masuk Islam, untuk melaksanakan ajaran Islam sebenarnya bukan dipaksa, tapi harus disiplin dalam berislam dan untuk bias disiplin itu kadangkala terasa ada unsure pemaksaan, pada hal itu hanyalah konsekuensi dan itu berlaku dalam segala hal.

4.      Memberikan Hak Beribadah Kepada Penganut Agama Lain.
Masyarakat yang plural bukanlah masyarakat yang bingung tanpa keyakinan yang jelas, karena itu dalam perkara ubudiyah atau peribadatan tidak bias dicampur-campur, masing-masing penganut agama harus menjalankan peribadatan menurut keyakinannya masing-masing. Rasulullah saw juga pernah diajak untuk menjalankan peribadatan bersama dengan orang-orang kafir, namun dengan tegas diarahkan oleh Allah SWT untuk tidak dipenuhi keinginan atau ajakan itu sebagaimana firman-Nya: Katakanlah: “Hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu, dan untukku lahagamaku” (QS Al Kafirun [109]:1-6).

5.      Menekankan Kembali Pada Al-Qur’an dan Sunnah Pada Umat Islam.
Pluralitas pada internal umat Islam juga terjadi, mulai dari adat istiadat yang melatarbelakanginya sampai pada perbedaan mazhab dan pemikiran. Selama keragaman itu didasari oleh dasar hukum dan nilai di dalam ajaran Islam, maka perbedaan pendapat itu bisa diterima. Oleh karena itu, setiap kali ada perbedaan pendapat, seharusnya kaum muslimin mau mengembalikan atau merujuknya kepada Al-Qur’an dan Hadis sambil melepaskan nilai-nilai traidisi yang selama ini dipegang erat atau pendapat yang tidak benar namun sudah terlanjur dianut, Allah SWT berfirman : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul serta ulul amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (QS An Nisa [4]:59).

6.      Menegakkan Prinsip Keadilan
Dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, hubungan antarumat beragama dengan sukunya yang beragam harus berlangsung sebaik mungkin, karena itu amat ditekankan untuk menegakkan keadilan sehingga para da’i harus menekankan kepada jamaah agar ketidaksukaan kita kepada penganut agama atau suku lain sampai membuat kita tidak berlaku adil, Allah SWT berfirman: Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS Al Maidah [5]:8).

Dalam suatu kasus, seorang yang mengaku mukmin pada masa Nabi padahal hakikatnya adalah munafik bersengketa dengan orang Yahudi. Si mukmin ini mengusulkan agar dicari penengah dan ketika si munafik itu mengusulkan Rasulullah yang jadi penengah ia setuju saja. Tapi setelah diputuskan oleh Rasul bahwa ia yang salah, si munafik itu tidak menerima keputusan, ia pun bersengketa lagi lalu mengusulkan Umar bin Khattab  yang jadi penengah, si Yahudi menerimanya. Setelah mendengar penjelasan dan mengetahui apa keputusan Rasul, maka si munafik itu kemudian dibunuh oleh Umar karena ia terbukti telah mengkhianati Rasul. Di situlah nampak betapa Rasul berlaku adil, meskipun terhadap orang Yahudi.
Dari pokok-pokok pikiran di atas, nampak sekali betapa penting peran para da’i atau muballigh dalam upaya membangun kehidupan yang toleran antar umat yang beragam tanpa harus mengabaikan identitas keislaman.

Sumber: Lazuardi Birru

Kamis, 26 September 2013

Tak Ada Perbedaan Semua Manusia Bersaudara



Pada hakikatnya kita semua ini bersaudara. Tak ada perbedaan di antara kita. Yang membedakan hanya ras, suku, bangsa, agama dan lain sebagainya. Namun pada hakikatnya kita sama, kita semua membutuhkan satu sama lainnya. Karena tak ada seorang manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Manusia bukan hidup karena penghancuran. Rasa cita diri mendorong untuk mementingkan orang lain. Bangsa-bangsa hidup rukun karena terdapat rasa saling mengindahkan kalangan warga nya. Seluruh umat manusia merupakan kesatuan manunggal, mengingat bahwa kita sama-sama tunduk kepada hukum susila. Setiap manusia adalah sama dalam pandangan Tuhan. Tentu saja terdapat perbedaan suku dan bangsa serta perbedaan derajat dan martabat, namun kian tinggi martabat seseorang, kian bertambah berat pula tanggung jawabnya.

Apakah yang membuat kekacauan di zaman sekarang? Sebabnya tidak lain adalah penindasan, dan saya tidak menyatakan penindasan bangsa yang lemah oleh bangsa yang kuat, melainkan oleh suatu bangsa terhadap yang lain dan kekerabatan saya yang pokok terhadap mesin didasarkan pada kenyataan bahwa alat mein itulah yang memungkinkan  bangsa yang satu menindas bangsa yang lain. Kurang nya rasa kesadaran yang di miliki orang-orang sekitar membuat rasa acuh tak acuh menjadi pegangan mereka. Apakah tak ada kesadaran mereka bahwa untuk memajukan bangsa ini dibutuhkan suatu kekompakan untuk menjalin kerukunan antar sesama.

Seperti hal nya dalam buku “Semua Manusia Bersaudara” terdapat kutipan yang berupa, “seorang demokrasi sejati adalah dia yang mempertahankan kemerdekaan dengan menerapkan kemerdekaan  bangsa dan akhirnya pula kemerdekaan seluruh umat manusia”. Buku ini menceritakan bagaimana sikap yang harus kita lakukan untuk meraih sebuah kerukunan antar umat bangsa. Buku yang membuat sang pembaca menjadi berfikir untuk merubah rasa egoisme yang ada pada diri masing-masing.

Buku yang jarang kita temui karena rasa kepedulian nya terhadap bangsa yang sangat tinggi. Kita bayangkan saja bagaimana jadi nya  jika,  semua bangsa saling mementingkan dirinya masing-masing. Buku ini pun memaparkan tentang kehidupan manusia secara menyeluruh. Banyak hal yang di utarakan oleh Mahatma Gandhi antara lain tentang agama dan kebenaran, cara dan tujuan, bagaimana mengendalikan diri, apa itu perdamaian dunia, beda dengan manusia mesin, bahwa kemiskinan ada di tengah-tengah kelimpahan, demokrasi dan rakyat, pendidikan, kaum wanita serta serba-serbi pandangan Mahatma Gandhi lainnya. Semua ini dipaparkan secara lengkap agar sang pembaca memahami arti persaudaraan di antara manusia.

Sumber: Lazuardi Birru

Rabu, 25 September 2013

Maulid dan Risalah Kenabian Muhammad SAW


Seiring berakhirnya bulan Safar, kaum Muslimin sudah bersiap menyambut bulan Rabiul Awal atau lebih dikenal dengan bulan Maulud yang merupakan bulan kelahiran baginda Nabi Muhammad SAW. Para sejarawan dan ulama sepakat bahwa Muhammad putra dari pasangan Abdullah bin Abdul Muthallib dan Siti Aminah lahir pada hari Senin tanggal 12 Rabi’ul Awwal pada tahun Gajah (570 M) atau bertepatan dengan 20 April 570. Penyebutan tahun Gajah yang menjadi tanda kelahiran Muhammad berkaitan dengan peristiwa besar waktu itu di mana kota Mekah diserang Abrahah beserta tentaranya yang berpusat di Yaman untuk menghancur-leburkan Ka’bah beserta peradaban kota Mekah. Tujuannya untuk mengalihkan pemusatan ibadah dan perziarahan bangsa Arab di Mekah, dengan menggantinya di Yaman. Namun, Allah punya kehendak lain. Bala tentara Abrahah yang gagah perkasa mengendarai gajah-gajah dibuat kocar-kacir oleh burung Ababil dengan lontaran batu-batu kecil yang panas.

Sebelum Muhammad lahir, ayahnya, Abdullah telah wafat, sehingga beliau diasuh oleh kakeknya, Abdul Muthalib. Sedangkan yang menyusui beliau ialah seorang perempuan bernama Halimatus Sa’diyah. Sepeninggal kakeknya, pengasuhan atas Muhamad beralih ke tangan pamannya, Abu Thalib.
Kelahiran sosok Muhammad sangat kuat diidentikkan dengan kebangkitan agama Ibrahimi atau samawi, atau lebih tepatnya sebagai detik kebangkitan ajaran keselamatan untuk seluruh umat manusia. Tidak berlebihan jika umat Muslim sangat mengagungkan sosok Nabi Muhammad yang telah diamanatkan untuk menjadi seorang pembawa risalah langit. Allah sendiri mengabadikan kehadiran beliau sebagai rahmat dan berkah, sehingga memerintahkan para malaikat-Nya memberikan shalawat kepada beliau. Hal tersebut sebagaimana tertuang dalam Alquran, “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya berselawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, berselawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya” (QS. Al-Ahzab: 56).

Oleh karenanya, umat Muslim sering memeringati tanggal kelahiran Nabi tersebut dengan memperbanyak shalawat sembari mengharap syafa’at-nya kelak di hari akhir. Tidak berhenti pada itu saja, umat Muslim memeringati kelahiran Nabi juga untuk mengambil hikmah atau pelajaran baik atas kehadiran Nabi sebagai manusia ataupun sebagai rasul untuk diteladani amal baiknya serta ditaati segala risalah kenabian yang dibawanya.

Risalah Kenabian Muhammad
Sebelum kenabian Muhammad, negeri Arab bukanlah sebuah wilayah dengan peradaban tinggi sebagaimana negeri lain seperti Romawi, Mesir, Persia, Yunani, China atau India. Tetapi, mengapa risalah kenabian terakhir tidak diturunkan di negeri-negeri yang berperadaban agung tersebut. Allah memilih jazirah Arab sebagai tempat risalah terakhir kenabian tentunya bukan tanpa alasan. Jazirah Arab merupakan negeri yang tandus dengan hamparan gurun pasir panas yang sulit ditaklukkan oleh imperium-imperium besar di sekitarnya, seperti Imperium Romawi yang beragama Kristen dan juga Imperium Persia yang beragama Majusi. Alasan kedua, masyarakat Arab secara sosial merupakan masyarakat kesukuan yang gemar berperang untuk memperebutkan kekuasaan wilayah. Ketiga, masyarakat Arab menganut beragam agama nenek moyang. Di antara mereka ada yang menyembah berhala, ada juga kelompok yang menyembah bintang, atau benda langit lainnya. Sebagian lagi memilih agama Abrahamic seperti Yahudi dan Kristen karena mempunyai anggapan bahwa agama nenek moyang mereka sesat.
Kenabian Muhammad, sebagaimana para nabi atau rasul sebelumnya, adalah sebagai penyempurna terhadap risalah kenabian sebelumnya. Namun, yang sangat spesial, kenabian Muhammad selain menjadi penyempurna juga sebagai penutup risalah kenabian. Disebutkan sebagai penyempurna risalah kenabian karena nabi-nabi terdahulu sejak Adam AS, sama-sama membawa risalah tauhid, yaitu ajaran mengesakan Allah SWT. Para nabi dan rasul diutus untuk umat tertentu dengan membenarkan risalah kenabian sebelumnya serta memberikan kabar akan kehadiran nabi sesudahnya. Hal tersebut berlangsung dari masa ke masa, hingga sampilah pada risalah terakhir, risalah paling sempurna yang diemban oleh Rasulullah Muhammad SAW. Hal tersebut ditegaskan Allah dalam firmannya dalam Alquran, “Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang diwasiatkan-Nya kepada Nuh, dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu tegakkan agama, dan janganlah kamu berpecah-belah tentangnya” (QS. Al-Syura: 13).
Di antara prinsip-prinsip utama dalam risalah yang dibawa Nabi Muhammad adalah ajaran persamaan manusia di hadapan Allah. Hal ini sebagaimana yang tertuang dalam QS. Al-Hujurat: 13, bahwa manusia diciptakan dengan segala macam perbedaan. Meskipun berbeda dalam jenis kelamin, suku, bangsa dan segala macam perbedaan, manusia berposisi sama di hadapan Sang Khaliq. Satu-satunya hal yang membedakan manusia di hadapan Allah adalah tingkat ketakwaannya. Ajaran persamaan derajat manusia juga diperkuat dengan hadis Rasulullah yang berbunyi, “Sesungguhnya Tuhan kalian adalah satu dan bapak kalian juga satu. Tidak ada kelebihan orang Arab atas orang non-Arab, tidak juga orang non-Arab atas orang Arab, tidak juga orang berkulit merah atas orang berkulit hitam, tidak juga orang berkulit hitam atas orang berkulit merah, kecuali dengan ketakwaan” (HR. Ahmad). Risalah equality ini mendobrak tatanan masyarakat Arab yang saat itu memlihara sistem perbudakan. Dalam perjalanan dan perkembangannya, Islam sangat menentang sistem perbudakaan dan mempromosikan sikap memerdekakan budak.
Seruan Nabi Muhammad untuk memerdekakan budak sebagai bentuk penegakan nilai persamaan dan kebebasan manusia dilandaskan atas perintah Allah dalam Alquran, “Maka hendaklah kalian mengadakan mukâtabah (seorang hamba yang meminta dimerdekakan oleh tuannya dengan cara menebus dirinya) dengan mereka jika engkau mengetahui bahwa di sana ada kebaikan..” (QS. An-Nur: 33).
Risalah yang tidak kalah pentingnya dengan persamaan manusia dalam Islam adalah ajaran keadilan. Al-‘adalah merupakan salah satu risalah penting untuk perbaikan tatanan masyarakat Arab. Begitu pentingnya nilai keadilan ini sehingga tidak hanya berlaku bagi masyarakat Muslim saja namun juga seluruh umat manusia. Risalah ini termaktub dalam Alquran, yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Al-Maidah: 8).
Risalah keadilan pulalah yang mengantarkan Nabi Muhammad sukses membangun masyarakat Madinah yang plural hidup dalam kedamaian dan kesejahteraan. Sebagaimana diketahui saat Nabi hijrah ke Madinah tidaklah mudah membangun peradaban di sana. Madinah adalah wilayah yang penduduknya sangat plural baik dari segi suku maupun agama. Risalah keadilan dalam Islam yang diamanatkan kepada Nabi termanifestasikan dalam sebuah dokumen kesepakatan warga, Piagam Madinah. Pihak-pihak yang menyepakati tidak lain adalah penduduk Madinah yang plural itu. Mereka menyatu sebagai ummah wahidah, umat yang menyatu, yang terdiri atas muhajirun, penduduk Madinah yang sudah masuk Islam, dan suku-suku Arab yang mengikuti mereka, bergabung dengan mereka dan berjuang bersama mereka. Selain pengikut Muhammad dan Yahudi, suku-suku Arab yang politeis juga bergabung menyetujui Piagam Madinah. Konsekuensinya, semua yang bernaung dalam konvensi ini mendapatkan keadilan yang sama, hak-hak sosial ekonomi budayanya juga dijamin secara konstitusi. Tidak ada penomorsatuan dan kelompok yang termarginalkan. Hal itu menunjukkan betapa kuatnya prinsip keadilan yang dikandung Islam dalam membangun tatanan masyarakat sipil yang berkeadilan.
Sebagai pengemban risalah kenabian dan kerasulan, pribadi Nabi Muhammad memiliki berbagai dimensi yang merupakan perpaduan antara sisi kemanusiaan dan sisi ketuhanan. Nabi Muhammad ialah manusia biasa yang dalam kapasitasnya sebagai makhluk Allah terikat dengan hukum alamiahnya sebagai manusia, yaitu lahir, berkembang dan meninggal dunia. Namun, dalam kapasitasnya sebagai utusan Allah, beliau merupakan pembawa risalah langit, ajaran ilahiyah, yang diberikan kelebihan dibandingkan dengan manusia lainnya.
Tidak hanya dari segi ucapan yang halus dan santun, budi pekerti beliau juga mencerminkan kepribadian yang berakhlak mulia sehingga sangat pantas dijadikan teladan. Beliau dikenal memiliki empat sifat yang menjadikannya manusia sempurna di mata Allah. Sifat pertama adalah sidiq, yaitu jujur, benar. Sifat yang kedua adalah terpercaya atau amanah. Dari sifatnya ini, beliau diberi gelar al-amin, yaitu orang yang terpercaya atau yang mampu mengemban amanat. Beliau dipercaya menjadi pemimpin umat. Sifat ketiga yang melekat dalam diri Nabi adalah tabligh, yang berarti menyampaikan. Yang disampaikan tentu saja risalah Islam. Sifat keempatnya adalah fatonah atau cerdas. Nabi terekam dalam sejarah memiliki kecerdasan dalam berbagai hal baik dalam berdagang, berdiplomasi maupun berperang.
Oleh karena itu, sebagai umatnya kita harus bisa melihat dengan jernih kapan beliau berkapasitas sebagai Nabi dan kapan bersikap seperti manusia pada umumnya. Itu semuanya tidak lain dalam rangka mengambil suri tauladan untuk peningkatan kualitas keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah SWT.

Sumber: Lazuardi Birru

Jumat, 20 September 2013

SEJARAH NABI MEMBANGUN PEMERINTAHAN ADIL DI MADINAH


Di antara kebanggaan yang dimiliki umat Muslim adalah kemuliaan dua kota penting dalam sejarah Islam di Jazirah Arab, Makkah Al-Mukarramah dan Madinah Al-Munawwarah. Dua kota tersebut adalah tujuan ziarah dalam beberapa rangkaian ibadah haji dan umrah seluruh umat Muslim dari segala penjuru dunia. Kemuliaan terpancar dari kedua kota tersebut mengingat Allah SWT secara khusus melipat gandakan pahala ibadah salat di dua masjid yang ada di kedua kota tersebut, yaitu Masjid Al-Haram di Makkah dan Masjid Al-Nabawy di Madinah.

Rasulullah SAW lahir dan tumbuh dewasa di kota Makkah namun perjalanan dakwah dan perjuangannya membangun peradaban masyarakat sipil berkeadilan berawal dari Madinah. Secara eksklusif, dalam tulisan ini akan dibahas kemuliaan kota Madinah dari sisi sistem pemerintahannya.

Di Madinah, Rasulullah SAW memulai dakwahnya setelah sebelumnya beliau terusir dari tanah kelahirannya, Makkah. Kepindahan atau hijrah Nabi SAW itu disebabkan oleh karena kebencian, embargo dan perlakuan jahat Suku Quraisy, kelompok yang paling berpengaruh di Makkah saat itu, terhadap kaum Muslim atau para pengikut dakwah Nabi semakin lama semakin kejam dan biadab. Strategi hijrah tersebut membuahkan hasil, atas izin Allah. Di negeri Madinah, Rasulullah SAW memimpin masyarakat yang plural menuju peradaban yang maju dan berkeadilan. Persaudaraan terjadi di antara kaum Muslim yang berasal dari Makkah ataupun dari Madinah. Konsolidasi dan persatuan terbangun di antara warga Madinah, baik yang beragama Islam maupun non-Islam. Pembangunan dan penyebaran ilmu pengetahuan secara merata terjadi di sana. Semua itu berkat kepemimpinan dan pemerintahan adil Rasulullah SAW.

Kisah keadilan kepemimpinan Nabi Muhammad SAW terlihat dari perjuangan dakwah Islamnya. Dalam berdakwah, Rasulullah mengedepankan unsur kebijakan, kebijaksanaan, toleransi, kebaikan dan perbaikan masyarakat, serta kejujuran atas ajaran Islam yang diamanatkan oleh Allah SWT. Dalam Alquran disebutkan:
Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah [perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang haq dan yang batil] dan pelajaran yang baik! Dan bantahlah mereka dengan cara yang baik! Sesungguhnya Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya, dan Ia lebih mengetahui siapa yang mendapatkan petunjuk” (QS. Al-Nahl: 125).
Di samping itu, dakwah Rasulullah SAW juga terinspirasi oleh ayat Alquran lainnya:
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu, barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan terputus. Dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui” (QS. Al-Baqarah: 256).
Ayat tersebut mencerminkan metode dakwah Nabi yang pada perkembangannya dari model dakwah yang elegan tersebut, kemajuan peradaban kehidupan sosial masyarakat Madinah terwujud.
Masyarakat Madinah yang sebelumnya hidup dalam kecamuk konflik yang berkepanjangan, tumbuh menjadi masyarakat berperadaban maju dan terhindar dari ancaman buta hukum dan pengetahuan. Layaknya konflik masyarakat modern, konflik yang menggelayuti warga Madinah sebelum kehadiran Rasulullah SAW sebagai pemimpin resmi juga terjadi secara politis, meskipun sumber-sumber pemicunya bermacam-macam. Warga Madinah yang majemuk secara suku dan budaya sangat rapuh untuk terjadinya konflik komunal. Kondisi tersebut menempatkan penduduk Madinah pada posisi terlemah dalam radar intaian dan serangan pihak luar. Lemahnya keamanan wilayah Madinah menggiring warganya untuk menemukan sosok pemimpin adil yang mampu mengentaskan Madinah dari ancaman ledakan konflik komunal serta ancaman serangan dari luar. Dalam situasi mencekam itulah Rasulullah SAW hadir di hati rakyat Madinah dan beliau berhasil menerapkan sistem pemerintahan yang adil bagi seluruh warga.
Profil Rasulullah SAW sebagai pemimpin Madinah yang adil telah dilacak sejak lama oleh warga Madinah. Sejak beliau masih berjuang mengentaskan masyarakat Makkah dari jurang kebodohan dan kesesatan sosial serta spiritual, beberapa orang sebagai representatif warga Madinah telah menemui beliau guna menilai kecakapan Rasulullah dalam memimpin umat menuju kemajuan. Beberapa tahun sebelum Rasulullah hijrah, representatif resmi dari penduduk Madinah mengajukan proposal kepada Rasulullah agar beliau bersedia membimbing warga Madinah sekaligus berjalan bersama dengan mereka menciptakan keamanan dan keadilan di Madinah.
Tawaran warga Madinah ini selain bernilai strategis juga merupakan langkah penting untuk menguatkan pondasi dakwah Islam, mengingat jalan dakwah di Makkah semakin hari terasa semakin sulit. Dari pertemuan wakil penduduk Madinah dan Rasulullah SAW di kota Aqabah tersebut terjalin kesepakatan positif antara kedua belah pihak. Penduduk Madinah menjanjikan akan beriman kepada Allah SWT, tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun, tidak membunuh anak perempuan mereka, tidak berzina, tidak mencuri dan tidak melakukan tindak kejahatan sosial lainnya. Sementara itu, Rasulullah juga bersedia membantu mereka untuk mengajarkan norma-norma kemanusiaan yang harus ditegakkan sebagai syarat mencapai kemakmuran sosial.
Beberapa bulan berikutnya di kota yang sama, Aqabah, lebih banyak lagi penduduk Madinah yang menyatakan kesediaan untuk berjuang bersama-sama dengan Rasulullah SAW membangun peradaban sipil di Madinah. Lebih dari itu, dalam pertemuan kedua di Aqabah itu penduduk Madinah menyatakan pengangkatan Rasulullah SAW sebagai pemimpin. Pernyataan tersebut berimplikasi besar bagi perjalanan dakwah Islam serta pembangunan peradaban sipil masyarakat Madinah.
Berdasar pada keseriusan warga Madinah itu, beberapa waktu kemudian Rasulullah SAW beserta para sahabat berhijrah ke Madinah. Di sana, sebagai pemimpin beliau mengambil kebijakan taktis untuk menerapkan sistem kehidupan sosial bagi seluruh penduduk Madinah yang sangat multikultur, berdasarkan aturan hukum dan bimbingan Allah SWT.
Pada tahun kedua Hijrah, Rasulullah SAW menerbitkan peraturan tentang hubungan antarkomunitas di Madinah. Peraturan ini dikenal dengan Piagam Madinah. Dokumen yang disepakati oleh seluruh warga Madinah tersebut merupakan undang-undang untuk pengaturan sistem politik dan sosial masyarakat Madinah yang plural. Dokumen ini dinilai sebagai konstitusi negara tertulis pertama di dunia. Dari Piagam Madinah, Rasulullah SAW menegakkan keadilan, menghadirkan ketenteraman dan membangun peradaban maju di Madinah.
Demikianlah bentuk kepemimpinan adil yang ditampilkan Rasulullah SAW dalam panggung politik pada masanya. Tugas kita sebagai umat Muslim masa kini adalah meneruskan perjuangan menegakkan keadilan di mana pun tempat. Madinah adalah wujud setting masa lalu di mana Rasulullah SAW menegakkan pemerintahan yang adil. Pada masa kini, tempat kita masing-masing, rumah kita, masyarakat kita, kota kita, negara kita adalah medan perjuangan kita untuk menegakkan keadilan.

Sumber: Lazuardi Birru

Rabu, 18 September 2013

Menelisik Relasi Jawa dan Terorisme


Belakangan persepsi masyarakat terhadap orang Jawa mulai berubah. Karaktek orang Jawa seperti ramah, santun, religius, dan suka mengalah mulai redup lantaran aksi-aksi horor terorisme yang notabene adalah orang Jawa. Apakah simbol-simbol pewayangan yang ada dalam tokoh Pandawa Lima sudah terkubur dalam budaya Jawa? Pandawa Lima yang terdiri Puntodewo, Werkudoro, Arjuna, Nakula, dan Sadewo terkenal dengan tokoh yang berkarakter mulia, berani, pantang menyerah dan tidak ketinggalan lemah-lembut dan selalu mengalah. Belum lagi jika menilik sejarah peradaban Islam yang disebarkan Walisongo, tentu rasanya fenomena terorisme kontradiktif dengan kultur Jawa. Apa gerangan yang sedang terjadi di masyarakat Jawa dan apakah benar ada suatu relasi antara Jawa dan terorisme.

Pertanyaan-pertanyaan seperti yang terlontar di atas coba dipecahkan Bambang Pranowo dalam karyanya ini. Isu teroris di dunia mencuat pasca tragedi 11/9 di Amerika. Ideologi radikal ini kemudian menjamur di mana-mana, tak terkecuali di Indonesia. Mereka yang mengusung paham semacam ini membopong panji-panji Jihad untuk memerangi kaum kafir seperti orang Amerika, Eropa dan negara-negara non Muslim lainnya yang ada di manapun berada. Indonesia, khusunya Jawa adalah salah satu tempat dakwah ideologi radikal. Banyak generasi muda orang Jawa di ajak untuk berjihad. Dengan dalih, Jihad suci sesuai perintah Agama dan di jamin akan masuk surga. Akhirnya, banyak orang-orang muda jawa terperangkap yang kemudian menjadi teroris akibat di cekoki ideologi radikal. Seperti, Amrozi, Imam Samudera, Abu Dujana, dan Abu Bakar Baasyir dll.

Upaya negara bahkan dengan bekerjasama dengan pihak internasional memang bisa dikatakan cukup berhasil dalam memerangi terorisme. Namun tetap saja terorisme bisa saja sekoyong-koyong hadir seketika menebarkan kekhawatiran dan ketakutan. Di Jawa sendiri bisa dikatakan kaum yang berpaham radikal bisa dikatakan cukup mengkhawatirkan kuantitasnya. Bahkan bisa dikatakan Jawa adalah pusat untuk mengendalikan aksi-aksi terorisme di seluruh wilayah kepulauan Indonesia. Sekalipun, para gembong teroris tersebut kini sudah banyak yang sudah tertembak mati dan tertangkap hidup-hidup namun, masih saja bermunculan wajah-wajah baru pelaku teroris. Ibarat mati satu tumbuh seribu.
Bambang Pranowo berusaha mendedahkan mengapa banyak orang Jawa terjerembab dalam dunia terorisme. Padahal, orang Jawa sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi toleransi, dan religius tidak mudah di pengaruhi oleh paham-paham lain yang bertentangan. Sebagaimana, Islam dapat masuk ke Jawa melalui akulturasi budaya. Berbeda dengan gerakan Islam radikal yang ada di Jawa mereka berdakwah dengan cara-cara picik dan licik.  Sebagaimana diketahui bahwa “Abu Dujana, Abu Irsyad, Amrozi dll di gembleng secara fisik, psikologis, dan ideologis untuk melakukan perang dengan orang kafir yang harus di perangi”.

Daya pikat gerakan teroris semakin menggoda tatkala kondisi negara tidak stabil dalam berbagai bidang, terutama ekonomi dan politik. Kemiskinan yang merajalela, ketidakadilan yang dibiarkan berkuasa menjadi faktor utama yang mendorong banyak kalangan tergiur dengan aksi radikal.

Pertimbangan inilah yang membuat buku ini layak untuk dibaca. Ada sedikit kekurangan dari yang tentu saja tidak mengurangi positivitas buku ini, terutama pada format penulisan yang tidak utuh. Artinya buku ini meruopakan bunga rampai dari sekumpulan artikel yang tercecer di mana-mana. Sehingga sulit untuk menemukan benang merah yang menyatukan berbagai macam tulisan-tulisan yang tersaji. Namu bagi kalangan yang berkutat di persoalan terorisme, baik secara aktif maupun pasif, karya ini layak dibaca.

Sumber: Lazuardi Birru

Senin, 16 September 2013

Meneropong Tradisi Keilmuan Islam



Kemajuan suatu bangsa dan masyarakat tidak bisa dilepaskan dari kemajuan dalam ilmu pengetahuan yang ada di masyarakatnya. Ibarat antara isi dan wadah, ilmu pengetahuan merupakan isi dari kemajuan, sementara bangsa dan masyarakat merupakan wadah tempat bernaung ilmu tersebut.  Sebagaimana kita tahu, Barat maju dalam ilmu dan memberi banyak sumbangan kepada peradaban dunia karena ia memiliki tradisi keilmuan yang agung. Demikian juga para ilmuwan Muslim pada masa lalu telah terbukti secara historis meraih prestasi ilmiah yang sangat gemilang dan memberikan sumbangan yang sangat signifikan kepada peradaban dunia, karena mereka memiliki sebuah tradisi keilmuan yang mapan. Pada akhirnya, bisa dikatakan bahwa tanpa dimilikinya sebuah tradisi keilmuan, suatu bangsa tidak akan mencapai prestasi yang gemilang dalam hal kemajuan.

Islam sendiri sejak awal sangat mendorong kemajuan ilmu ini. Beberapa wahyu seperti Q.S. al-‘Alaq: 1-5 sangat penting perananya dalam mendorong keilmuan Islam. Karena itu, tidak mengherankan jika tradisi keilmuan dalam Islam lantas begitu subur dan semarak pada masa-masa berikutnya. Fondasi keilmuan Islam klasik sebenarnya tidak terlepas dari upaya para intelektual Islam dalam merespon persoalan-persoalan yang muncul dalam masyarakat atas dasar pemahaman mereka terhadap al-Qur’an dan Sunnah. Pada perkembangan berikutnya, jawaban dan respon ulama ini kemudian disusun dan diklasifikasikan sesuai dengan bidang dan wilayah kajian dan objek permasalahan yang dihadapi sehingga melahirkan klasifikasi ilmu-ilmu keislaman.

Tidak dapat dipungkiri bahwa keilmuan Islam pernah memimpin dunia. Ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh dunia Islam tidak hanya berkisar pada ranah kedokteran, tetapi juga termasuk matematika, astronomi dan ilmu bumi sebagaimana terbukti dari banyaknya istilah-istilah modern (Barat) di bidang-bidang itu yang berasal dari para ilmuan Muslim. Ini artinya bahwa prestasi yang pernah diraih oleh dunia Muslim jauh lebih lama dari apa yang sudah diraih oleh dunia Barat modern sekarang ini . Namun seiring rotasi sejarah,  perkembangan keilmuan ini beralih ke Barat.  Menurut Muhammad Iqbal, kemandekan yang terjadi di dunia Muslim tidak bisa dilepaskan dari sikap memusuhi sains dan cara berpikir rasional dari umat Islam sendiri. Secara epistemologis, wacana epistemologi keilmuan Islam klasik yang bercorak tekstual-normatif belakangan lebih dominan daripada epistemologi yang berusaha memaksimalkan akal dan menempatkannya sejajar dengan teks suci dalam mendapatkan ilmu pengetahuan.
Nalar Pemikiran Islam
Menurut Abed al Jabiri dalam bukunya Arab-Islamic Philosopy: a Contemporary Critique, untuk bisa memahami tradisi keilmuan Islam secara kritis, setidaknya harus didasarkan pada dua persoalan utama. Persoalan pertama terkait dengan  pemahaman akan sistem pemikiran Islam secara utuh. Sementara persoalan kedua terkait dengan keterkaitan antara ”kuasa” dan “pengetahuan.” Maksudnya, tradisi keilmuan tidak muncul dengan sendirinya, tapi selalu terkait dengan latar belakang sosial, politik dan budaya suatu masyarakat. Dari situ diketahui bahwa pada dasarnya aktifitas  pemikir muslim dalam berbagai variasinya tetap berkutat pada satu problematika umum yang sama, yaitu suatu usaha ”rekonsiliasi antara nalar dan wahyu”. Sementara terkait dengan latar belakang munculnya tradisi keilmuan bisa diketahui bahwa capaian dari pemikiran filsafat Islam dalam memecahkan problematika antar wahyu dan nalar tersebut sebenarnya memiliki keterkaitaan erat fungsi dan peranya sebagai ideologi.  Demikinlah, perkembangan kelimuan Islam terutama filsafat tidak bisa dilepaskan peranya sebagai alat ideologis oleh penguasa dan dijadikan sarana intelektual oleh para ulama untuk menyerang musuh-musuh mereka.
Sebagaimana kita ketahui, keutuhan negara dan solidaritas masyarakat yang sudah terwujud pada masa Nabi Muhammad dan Khulafaurrasyidin mendapatkan masalah pada masa Dinasti Umayyah. Untuk menghadapi lemahnya solidaritas dan kekuatan masyarakat Islam itu,  pemerintahan Umayyah lebih terfokus pada upaya mempertahankan kelangsungan hidup dan berupaya membangun kemampuan untuk menekan masyarakat, salah satunya dengan menggunakan ilmu. Kecenderungan ini semakin jelas pada masa dinasti Abbasiyah yang menjadi penerusnya.  Untuk menghadapi berbagai kekuatan musuhnya yang datang dari kelompok ahlu al-Bait (keluarga Nabi) yang  menggunakan ideologi gnostisisme, yakni keyakinan akan keberadaan sumber pengetahuan di luar akal dan illuminasi, Dinasti Abbasiyah lebih menekankan al-Quran dan Hadits yang dipadu dengan rasio.
Konflik antara dua tradisi yang mengambil bentuk antara pemikiran tektualis berhadapan dengan kaum ahli ma’rifat-mistis ini bermula pada periode awal pemerintahan Abbasiyah dalam mencari legitimasi politiknya dari khazanah Islam dengan pendekatan filsafat Yunani melawan kebudayaan Persia yang dibawa para aristokrat yang gagal melakukan perlawanan melalui medan real sosial-politik. Menyadari kekuatan lawan yang menggunakan khazanah keilmuan Salaf dipadu dengan logika Aristoteles sebagai kerangka pikirnya, maka kaum gnostik dengan berpegang pada logika dan semangat tradisi Persia kuno memperisai diri di balik pemikiran Syi`ah dengan inspirasinya pada tradisi Islam sendiri. Karena itu tidak aneh jika pada masa berikutnya, pola pemikiran Islam yang berkembang di Timur lebih banyak diwarnai pertentangan antara epistemologi bayani (tektualis) yang lekat dengan Teologi Sunni dengan irfani yang bersandar pada teologi Syi`ah (Tradisi iluminasi dan Gnostik) ini. Konflik kognitif ini sebenarnya juga memiliki akarnya pada pertentangan antara kekuasaan Abbasiyah yang berpusat di Baghdad yang menjadikan Mu’tazilah sebagai doktrin utama dengan Dinasti Fatimiyyah di Mesir yang beraliran Syi`ah.  Jika nalar bayani ini lebih terpaku pada teks atau pada dasar-dasar (dikenal dengan sebutan al-ushul al-arba’ah: Al-Qur’an, sunnah, ijma’ dan qiyas) yang dipatok sebagai sesuatu yang baku dan tidak berubah, maka nalar irfani (spiritual-intuitif) secara epistemologis cenderung tidak rasional.
Dinamika pemikiran yang berkembang di Islam Andalusia dan Maghribi dibawah kekuasaan dinasti Umayyah II memiliki nuansa yang berbeda dengan Islam bagian Arab-Timur yang masih dipegang oleh Dinasti Abbasiyah. Iklim keagamaan yang berkembang di Maghribi adalah Islam yang masih murni, dengan model pemahaman kaum Salafi dengan model fiqih hadits dan fatwa-fatwa sahabat dan paham Ahl Sunnah. Perkembangan ini kemudian mendapat sokongan dari Mazhab Maliki yang berwatak tektualis sebagai mazhab resmi negara menggantikan Mazhab Awza’i sebagai tandingan dari Mazhab Hanafi sebagai mazhab resmi Abbasiyah. Watak ortodoksi kalangan ulama Maliki yang melarang filsafat ke-Tuhanan dan metafisika Aristoteles, Menurut Al Jabiri jutru malah membawa perkembangan lingkungan ilmiah dan rasional di Andalusia atau yang kemudian dalam ranah pemikiran Islam disebut dengan epistemologi burhani. Dalam epistemologi burhani ini, penggunaan rasionalitas tidak terhenti hanya sebatas rasio belaka, tetapi melibatkan pendekatan empiris sebagai kunci utama untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, sebagaimana banyak dipraktekkan oleh para ilmuan Barat. Apa yang berlaku dalam pemikiran orang-orang Andalusia ini bukan lagi metode qiyas yang menjadikan teks dan masa lalu (salaf) sebagai otoritas sebagaimana logika Bayani, tapi menggunakan logika Aristoteles dengan metode deduksi (istintaj, qiyas jami’), induksi (istiqra’), konsep universalisme (al-kulli), universalitas-universalitas induktif, prinsip kausalitas dan historisitas, dan juga al-maqashid (tujuan syariah).
Meski demikian, corak dominan yang berkembang dalam kelimuan Islam adalah epistemologi Bayani sebagaimana diwakili oleh sosok Imam Al-Ghazali bukan epistemologi Burhani yang muncul belakangan. Sementara  itu, pandangan Burhani yang diwakili pemikiran Ibn Rusyd malah berkembang di Barat. Padahal menurut, Al-Jabiri, model pemikiran yang bercorak bayani dan irfani sangat sulit untuk dijadikan landasan pengembangan sains. Pasalnya, padangan bayani  lebih bercorak teologis, bukan antropologis maupun kosmologis. Akibat dari pandangan ini menyebabkan pandangan dunia umat menjadi lebih pasif bila dibenturkan dengan wacana pengembangan sains yang lebih antroposentrik-kosmologik. Pandangan epistemologi keilmuan Bayani ini cenderung menjadikan fenomena alam, moral dan sosial semuanya “terserah” pada Tuhan Pandangan ini menjadi sangat teologik-normatif bahkan cenderung mengarah pada mistisme, yang sudah barang tentu bertolak belakang dengan prinsip social sciences maupun natural sciences.

Pada akhirnya bisa dikatakan fenomena kemandekan epistemologi keilmuan Muslim ini sebenarnya bukan orisinal ajaran Islam, tetapi hanya soal interpretasi pemahaman dari ajaran Islam itu sendiri. Karena secara esensial dan substansial, potensi ajaran Islam sangatlah mendorong adanya inovasi keilmuan. Karena itu, Agar Islam dapat kembali pengembangan fenomena epistemologi keilmuan di dunia Muslim, maka sebuah keniscayaan bagi ilmuan Muslim untuk melakukan shifting paradigm di bidang epistemologi keilmuan Islam yakni dari epistemologi keislaman normatif-tekstual-bayani yang berakibat pada sulitnya mengadopsi dan mengelaborasi wawasan dan temuan baru di bidang sains; ke epistemologi keilmuan Islam kontemporer yang bercorak empiris-historis-burhani (secara epistemologis), sehingga berdampak pada adanya temuan baru di bidang sains.  Paling tidak melalui beberapa tawaran diatas itulah peradaban sains dalam dunia Islam kembali mengemuka.

Sumber: Lazuardi Birru

Jumat, 13 September 2013

MAKNA MEMBERI SALAM DAN BERSALAMAN



Islam sebagai agama rahmatan lil’alamin, jelas memiliki cakupan di segala bidang dan aspek kehidupan. Dalam bermasyarakat saja contohnya, bukti bahwa Islam menebarkan kasih sayang (rahmat) kepada sesama kita adalah dengan dianjurkannya mengucapkan salam. Bahkan, lebih jauh lagi salam dalam Islam memiliki kaidah-kaidah tersendiri dan tentunya semua itu jika diamalkan dengan baik dan benar akan menjadi nilai ibadah. Salam itu sendiri sangat banyak bentuk dan cara penyampaiannya. Seperti “selamat pagi”, “selamat bertemu kembali”, “selamat makan”, “good night”, dan lain-lain. Semua jenis salam ada di setiap budaya dalam masyarakat. Namun, Islam justru mengajarkan salam tersendiri dengan segala hikmah yang terkandung di dalamnya, jika kita mau menggunakan sunnah ini. Adapun salam yang diajarkan oleh Islam adalah dengan mengucapkan “assalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh”, atau kadang-kadang boleh disingkat menjadi “assalamu’alaikum wa rahmatullah” atau ”assalamu ‘alaikum” saja. Dari maknanya saja, salam dalam Islam merupakan doa yang ditujukan oleh si pemberi salam kepada orang lain. Kita dapat menerjemahkannya dengan “semoga keselamatan, rahmat, dan keberkahan dari Allah menyertaimu”. Dan yang memberikan salam tentunya mendapat doa juga karena jawaban salam “wa’alaiakumussalam”. Coba saja kita bandingkan antara mengucapkan “selamat pagi” dengan “assalamu’alaikum” . Betapa indahnya Islam untuk umatnya.
Selain dari segi makna positif yang terkandung dalam penyampaiannya, salam dalam Islam juga memiliki kaidah-kaidahnya, sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh baginda Rasulullah Saw. Ada pun adab-adab yang seharusnya kita jalani apabila ingin mengucapkan salam, di antaranya adalah: 1) orang yang berkendara hendaknya mengucapkan salam kepada orang yang sedang berjalan kaki; 2) sedangkan orang yang sedang berjalan kaki hendaknya memberi salam kepada orang yang sedang duduk; 3) lebih baik memulai dulu memberi salam; 4) mengucapkan salam dengan benar dan fasih; 5) mengucapkan salam kepada sesama muslim baik yang dikenal  maupun tidak; 6) disertai dengan berjabat tangan (bersalaman) jika orang tersebut berjenis kelamin sama atau lawan jenis yang mahram; 7) dan berusaha untuk menjawab salam dengan yang semisal atau lebih baik.
Terkait dengan berjabat tangan (bersalaman), Islam menganjurkan kita untuk melakukannya apabila lawan bicara kita tersebut berjenis kelamin sama atau lawan jenis yang mahram, dan hukumnya sunnah. Malah, lebih baik lagi apabila kita menciumi tangan orang tersebut jika mereka adalah orang tua kita, guru, atau seorang pemimpin yang adil. Hal ini jelas membuat tali persaudaraan dan emosional kita semakin erat karena tidak hanya salam dengan ucapan, tapi juga ada kontak anggota tubuh, tidak hanya verbal dan visual, tetapi juga kinestetik.
Adapun bersalaman dengan lawan jenis yang bukan mahram, adalah haram hukumnya. Sedangkan pada poin terakhir di atas, maksudnya adalah apabila seseorang mengucapkan salam kepada kita dengan ucapan “assalamu ‘alaikum”, maka hendaklah kita menjawabnya dengan ucapan yang semisal yaitu ”wa’alaikumussalam” atau dengan ucapan yang lebih baik, yaitu ”wa alaikumussalam wa rahmatullah”. Hal ini dijelaskan di dalam Al-Quran Surat An-Nisa ayat 86.“Dan apabila kamu diberi penghormatan (salam) dengan sesuatu penghormatan, Maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu.”(Q.S.An-Nisa: 86)
Adapun berkaitan dengan hukum salam, sudah sangat awam diketahui bahwa memberi salam hukumnya adalah sunnah. Akan tetapi, bagi orang yang diberikan salam, wajib hukumnya menjawab salam. Ya, hikmah dari diwajibkannya menjawab salam adalah kita memang seharusnya membalas kebaikan orang lain yang telah mau mendoakan keselamatan kepada kita, terutama karena dia adalah saudara kita sesama muslim. Namun bagaimana pula dengan hukum memberi salam kepada orang yang bukan muslim, dan hukum menjawab salam dari mereka. Berdasarkan hadis, dikatakan bahwa kita seharusnya tidak memberi salam dahulu kepada orang-orang yang bukan muslim. Maksud salam dalam pengertian ini tentu saja adalah salamnya orang Islam, yaitu “assalamu ‘alaikum”. Sedangkan salam dalam pengertian seperti “selamat siang”, “salam sejahtera”, atau lainnya, tentu saja boleh diucapkan kepada mereka. Artinya, apabila kita hendak mengucapkan salam kepada orang-orang yang bukan muslim, silahkan ucapkan dengan ucapan-ucapan salam selain “assalamu ‘alaikum”.
Bagaimana pula dengan hukumnya menjawab salam apabila mereka yang merupakan nonmuslim mengucapkan salam kepada kita. Apabila mereka mengucapkan kata-kata seperti “selamat pagi”, “salam sejahtera”, atau yang semisalnya, silahkan saja kita boleh menjawab dengan nada dan kalimat yang sama. Namun, seandainya mereka mengucapkan salam kepada kita dengan menggunakan ucapan salam Islam, yaitu “assalamu ‘alaikum”, kita dilarang menjawabnya dengan “wa’alaikumussalam”. Hal ini pernah dicontohkan baginda Nabi Muhammad Saw ketika seorang Yahudi mengucapkan salam kepada beliau, dan Nabi Muhammad Saw menjawabnya hanya dengan mengucapkan kata ”’alaikum” saja. Begitulah bagaimana Islam yang dibawa oleh Rasulullah Saw mengajarkan kita tata cara memberi dan menjawab salam. Mulai dari kaidah-kaidah atau pun aturan-aturannya, hukumnya, sampai dengan aturan tentang salam dari atau kepada orang-orang yang bukan muslim.
Kita dapat melihat dan merasakan bahwa memberi dan menjawab salam, kejadiannya sangat intens terjadi dalam kehidupan kita setiap hari. Setiap saat kita bertemu dan berpapasan dengan sangat banyak orang baik yang kita kenali maupun tidak. Dengan salam, kita bisa tetap menjalin hubungan, silaturahmi, tali persaudaraan, dan membendung jurang pemisah antara kita dengan individu-individu lainnya. Rasa-rasanya tidak terbayangkan apabila setiap hari kita bertemu muka dan berpapasan dengan orang lain, kita tidak menegur, menyapa, dan memberi salam kepada mereka. Karena itu, Islam datang ke alam semesta ini untuk menjadi rahmat penebar kasih sayang bagi seluruh makhluk-Nya. Bahkan hal-hal sepele dan sekecil salam, telah diatur demi pesan-pesan perdamaian dari Islam tersebut. Dengan begitu pun, hamba-hamba-Nya mendapatkan pula kasih sayang dari Allah SWT, Rabb alam semesta.
Walaupun terkesan seperti hal yang sepele, tetapi salam dan bersalaman bisa menjanjikan sesuatu yang lebih besar, yaitu persatuan umat. Logikanya, apabila setiap di antara kita saling memberi dan menjawab salam dengan ikhlas, maka lama-kelamaan akan terbentuk ikatan emosional di antara kita sesama umat Islam. Kita merasakan bahwa orang lain begitu perhatian kepada kita dan mau mendoakan kita agar diberi keselamatan, rahmat, dan keberkahan Allah. Begitu pula sebaliknya, yang dipikirkan oleh orang yang kita jawab salamnya. Kita mendapatkan pesan kasih sayang dari orang lain, dan begitu pun orang lain turut merasakan dan mendapatkan pesan kasih sayang dari kita melalui saling memberi dan menjawab salam, dilengkapi dengan bersalaman.

Sumber: Lazuardi Birru

Selasa, 10 September 2013

Meneropong Tradisi Keilmuan Islam


Kemajuan suatu bangsa dan masyarakat tidak bisa dilepaskan dari kemajuan dalam ilmu pengetahuan yang ada di masyarakatnya. Ibarat antara isi dan wadah, ilmu pengetahuan merupakan isi dari kemajuan, sementara bangsa dan masyarakat merupakan wadah tempat bernaung ilmu tersebut.  Sebagaimana kita tahu, Barat maju dalam ilmu dan memberi banyak sumbangan kepada peradaban dunia karena ia memiliki tradisi keilmuan yang agung. Demikian juga para ilmuwan Muslim pada masa lalu telah terbukti secara historis meraih prestasi ilmiah yang sangat gemilang dan memberikan sumbangan yang sangat signifikan kepada peradaban dunia, karena mereka memiliki sebuah tradisi keilmuan yang mapan. Pada akhirnya, bisa dikatakan bahwa tanpa dimilikinya sebuah tradisi keilmuan, suatu bangsa tidak akan mencapai prestasi yang gemilang dalam hal kemajuan.

Islam sendiri sejak awal sangat mendorong kemajuan ilmu ini. Beberapa wahyu seperti Q.S. al-‘Alaq: 1-5 sangat penting perananya dalam mendorong keilmuan Islam. Karena itu, tidak mengherankan jika tradisi keilmuan dalam Islam lantas begitu subur dan semarak pada masa-masa berikutnya. Fondasi keilmuan Islam klasik sebenarnya tidak terlepas dari upaya para intelektual Islam dalam merespon persoalan-persoalan yang muncul dalam masyarakat atas dasar pemahaman mereka terhadap al-Qur’an dan Sunnah. Pada perkembangan berikutnya, jawaban dan respon ulama ini kemudian disusun dan diklasifikasikan sesuai dengan bidang dan wilayah kajian dan objek permasalahan yang dihadapi sehingga melahirkan klasifikasi ilmu-ilmu keislaman.
Tidak dapat dipungkiri bahwa keilmuan Islam pernah memimpin dunia. Ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh dunia Islam tidak hanya berkisar pada ranah kedokteran, tetapi juga termasuk matematika, astronomi dan ilmu bumi sebagaimana terbukti dari banyaknya istilah-istilah modern (Barat) di bidang-bidang itu yang berasal dari para ilmuan Muslim. Ini artinya bahwa prestasi yang pernah diraih oleh dunia Muslim jauh lebih lama dari apa yang sudah diraih oleh dunia Barat modern sekarang ini . Namun seiring rotasi sejarah,  perkembangan keilmuan ini beralih ke Barat.  Menurut Muhammad Iqbal, kemandekan yang terjadi di dunia Muslim tidak bisa dilepaskan dari sikap memusuhi sains dan cara berpikir rasional dari umat Islam sendiri. Secara epistemologis, wacana epistemologi keilmuan Islam klasik yang bercorak tekstual-normatif belakangan lebih dominan daripada epistemologi yang berusaha memaksimalkan akal dan menempatkannya sejajar dengan teks suci dalam mendapatkan ilmu pengetahuan.
Nalar Pemikiran Islam
Menurut Abed al Jabiri dalam bukunya Arab-Islamic Philosopy: a Contemporary Critique, untuk bisa memahami tradisi keilmuan Islam secara kritis, setidaknya harus didasarkan pada dua persoalan utama. Persoalan pertama terkait dengan  pemahaman akan sistem pemikiran Islam secara utuh. Sementara persoalan kedua terkait dengan keterkaitan antara ”kuasa” dan “pengetahuan.” Maksudnya, tradisi keilmuan tidak muncul dengan sendirinya, tapi selalu terkait dengan latar belakang sosial, politik dan budaya suatu masyarakat. Dari situ diketahui bahwa pada dasarnya aktifitas  pemikir muslim dalam berbagai variasinya tetap berkutat pada satu problematika umum yang sama, yaitu suatu usaha ”rekonsiliasi antara nalar dan wahyu”. Sementara terkait dengan latar belakang munculnya tradisi keilmuan bisa diketahui bahwa capaian dari pemikiran filsafat Islam dalam memecahkan problematika antar wahyu dan nalar tersebut sebenarnya memiliki keterkaitaan erat fungsi dan peranya sebagai ideologi.  Demikinlah, perkembangan kelimuan Islam terutama filsafat tidak bisa dilepaskan peranya sebagai alat ideologis oleh penguasa dan dijadikan sarana intelektual oleh para ulama untuk menyerang musuh-musuh mereka.
Sebagaimana kita ketahui, keutuhan negara dan solidaritas masyarakat yang sudah terwujud pada masa Nabi Muhammad dan Khulafaurrasyidin mendapatkan masalah pada masa Dinasti Umayyah. Untuk menghadapi lemahnya solidaritas dan kekuatan masyarakat Islam itu,  pemerintahan Umayyah lebih terfokus pada upaya mempertahankan kelangsungan hidup dan berupaya membangun kemampuan untuk menekan masyarakat, salah satunya dengan menggunakan ilmu. Kecenderungan ini semakin jelas pada masa dinasti Abbasiyah yang menjadi penerusnya.  Untuk menghadapi berbagai kekuatan musuhnya yang datang dari kelompok ahlu al-Bait (keluarga Nabi) yang  menggunakan ideologi gnostisisme, yakni keyakinan akan keberadaan sumber pengetahuan di luar akal dan illuminasi, Dinasti Abbasiyah lebih menekankan al-Quran dan Hadits yang dipadu dengan rasio.
Konflik antara dua tradisi yang mengambil bentuk antara pemikiran tektualis berhadapan dengan kaum ahli ma’rifat-mistis ini bermula pada periode awal pemerintahan Abbasiyah dalam mencari legitimasi politiknya dari khazanah Islam dengan pendekatan filsafat Yunani melawan kebudayaan Persia yang dibawa para aristokrat yang gagal melakukan perlawanan melalui medan real sosial-politik. Menyadari kekuatan lawan yang menggunakan khazanah keilmuan Salaf dipadu dengan logika Aristoteles sebagai kerangka pikirnya, maka kaum gnostik dengan berpegang pada logika dan semangat tradisi Persia kuno memperisai diri di balik pemikiran Syi`ah dengan inspirasinya pada tradisi Islam sendiri. Karena itu tidak aneh jika pada masa berikutnya, pola pemikiran Islam yang berkembang di Timur lebih banyak diwarnai pertentangan antara epistemologi bayani (tektualis) yang lekat dengan Teologi Sunni dengan irfani yang bersandar pada teologi Syi`ah (Tradisi iluminasi dan Gnostik) ini. Konflik kognitif ini sebenarnya juga memiliki akarnya pada pertentangan antara kekuasaan Abbasiyah yang berpusat di Baghdad yang menjadikan Mu’tazilah sebagai doktrin utama dengan Dinasti Fatimiyyah di Mesir yang beraliran Syi`ah.  Jika nalar bayani ini lebih terpaku pada teks atau pada dasar-dasar (dikenal dengan sebutan al-ushul al-arba’ah: Al-Qur’an, sunnah, ijma’ dan qiyas) yang dipatok sebagai sesuatu yang baku dan tidak berubah, maka nalar irfani (spiritual-intuitif) secara epistemologis cenderung tidak rasional.
Dinamika pemikiran yang berkembang di Islam Andalusia dan Maghribi dibawah kekuasaan dinasti Umayyah II memiliki nuansa yang berbeda dengan Islam bagian Arab-Timur yang masih dipegang oleh Dinasti Abbasiyah. Iklim keagamaan yang berkembang di Maghribi adalah Islam yang masih murni, dengan model pemahaman kaum Salafi dengan model fiqih hadits dan fatwa-fatwa sahabat dan paham Ahl Sunnah. Perkembangan ini kemudian mendapat sokongan dari Mazhab Maliki yang berwatak tektualis sebagai mazhab resmi negara menggantikan Mazhab Awza’i sebagai tandingan dari Mazhab Hanafi sebagai mazhab resmi Abbasiyah. Watak ortodoksi kalangan ulama Maliki yang melarang filsafat ke-Tuhanan dan metafisika Aristoteles, Menurut Al Jabiri jutru malah membawa perkembangan lingkungan ilmiah dan rasional di Andalusia atau yang kemudian dalam ranah pemikiran Islam disebut dengan epistemologi burhani. Dalam epistemologi burhani ini, penggunaan rasionalitas tidak terhenti hanya sebatas rasio belaka, tetapi melibatkan pendekatan empiris sebagai kunci utama untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, sebagaimana banyak dipraktekkan oleh para ilmuan Barat. Apa yang berlaku dalam pemikiran orang-orang Andalusia ini bukan lagi metode qiyas yang menjadikan teks dan masa lalu (salaf) sebagai otoritas sebagaimana logika Bayani, tapi menggunakan logika Aristoteles dengan metode deduksi (istintaj, qiyas jami’), induksi (istiqra’), konsep universalisme (al-kulli), universalitas-universalitas induktif, prinsip kausalitas dan historisitas, dan juga al-maqashid (tujuan syariah).
Meski demikian, corak dominan yang berkembang dalam kelimuan Islam adalah epistemologi Bayani sebagaimana diwakili oleh sosok Imam Al-Ghazali bukan epistemologi Burhani yang muncul belakangan. Sementara  itu, pandangan Burhani yang diwakili pemikiran Ibn Rusyd malah berkembang di Barat. Padahal menurut, Al-Jabiri, model pemikiran yang bercorak bayani dan irfani sangat sulit untuk dijadikan landasan pengembangan sains. Pasalnya, padangan bayani  lebih bercorak teologis, bukan antropologis maupun kosmologis. Akibat dari pandangan ini menyebabkan pandangan dunia umat menjadi lebih pasif bila dibenturkan dengan wacana pengembangan sains yang lebih antroposentrik-kosmologik. Pandangan epistemologi keilmuan Bayani ini cenderung menjadikan fenomena alam, moral dan sosial semuanya “terserah” pada Tuhan Pandangan ini menjadi sangat teologik-normatif bahkan cenderung mengarah pada mistisme, yang sudah barang tentu bertolak belakang dengan prinsip social sciences maupun natural sciences.

Pada akhirnya bisa dikatakan fenomena kemandekan epistemologi keilmuan Muslim ini sebenarnya bukan orisinal ajaran Islam, tetapi hanya soal interpretasi pemahaman dari ajaran Islam itu sendiri. Karena secara esensial dan substansial, potensi ajaran Islam sangatlah mendorong adanya inovasi keilmuan. Karena itu, Agar Islam dapat kembali pengembangan fenomena epistemologi keilmuan di dunia Muslim, maka sebuah keniscayaan bagi ilmuan Muslim untuk melakukan shifting paradigm di bidang epistemologi keilmuan Islam yakni dari epistemologi keislaman normatif-tekstual-bayani yang berakibat pada sulitnya mengadopsi dan mengelaborasi wawasan dan temuan baru di bidang sains; ke epistemologi keilmuan Islam kontemporer yang bercorak empiris-historis-burhani (secara epistemologis), sehingga berdampak pada adanya temuan baru di bidang sains.  Paling tidak melalui beberapa tawaran diatas itulah peradaban sains dalam dunia Islam kembali mengemuka.

Sumber: Lazuardi Birru

Apa yang dimaksud dengan azab dalam Islam?

Ustadz Menjawab

Yang dimaksud dengan azab adalah siksa Allah yang diturunkan kepada mereka (manusia) yang enggan untuk beriman kepada Allah serta mengkufuri segala nikmat yang telah diberikan oleh Allah SWT kepada mereka.

Allah berfirman, “Dan sesungguhnya Kami telah membinasakan (memberikan azab) umat-umat sebelum kamu, ketika mereka berbuat kezaliman, padahal rasul-rasul mereka telah datang kepada mereka dengan membawa keterangan-keterangan yang nyata, tetapi mereka sekali-kali tidak hendak beriman. Demikianlah Kami memberi pembalasan kepada orang-orang yang berbuat dosa. Kemudian Kami jadikan kamu pengganti-pengganti (mereka) di muka bumi sesudah mereka, supaya Kami memperhatikan bagaimana kamu berbuat” (QS. Yunus: 13-14).

Adapun contoh-contoh azab yang telah Allah turunkan misalnya azab Allah terhadap Kaum Tsamud karena menentang ajaran Nabi Shalih AS. Allah mengazab mereka dengan gempa dan petir yang akhirnya menghancurkan peradaban mereka. Allah berfirman, “Karena itu mereka ditimpa gempa, maka jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di tempat tinggal mereka” (QS. Al-A’raf: 78).

Pada ayat yang lain, Allah berfirman, “Dan adapun Kaum Tsamud, mereka telah Kami beri petunjuk tetapi mereka lebih menyukai kebutaan (kesesatan) daripada petunjuk itu, maka mereka disambar petir azab yang menghinakan disebabkan apa yang telah mereka kerjakan” (QS. Fushilat: 17).


Sumber: Lazuardi Birru

Kamis, 05 September 2013

Semua Tentang Cinta



Ketika membaca judul Semua Tentang Cinta, mungkin banyak yang berfikiran bahwa isi dari buku ini adalah tentang cinta. Di  mana cinta itu menurut orang indah. Namun berbeda dengan isi buku Tentang Cinta karya R.Valentina. Cinta menurut orang membutuhkan pengakuan. Pengakuan adalah harapan, pengakuan adalah kemestian yang secara bersamaan dipahami sebagai penghormatan dan perlindungan bagi rakyat (laki-laki dan perempuan) sebagai umat manusia yang berdaulat. Kemudian kejujuran, yang paling sulit dari hidup adalah memiliki kejujuran.Kejujuran menjadi barang langka di era kini. Kejujuran pun terbukti tidak serta merta dimiliki mereka yang telah menmepuh pendidikan formal sampai setinggi langit.

Menurut orang, cinta dapat mengubah segalanya. Karena cinta, dunia jadi  berubah berwarna-warni. Namun cinta seperti apakah itu? Cinta yang dapat membuat negri kita damai dan terbebas dari kekerasan. Banyak saat ini terjadi kekerasan dikalangan wanita, anak-anak dan orang lenah yang tak tau apa salah mereka.  Namun jika kita didasari cinta kasih yang saling menyayangi satu sama lain, insyaAllah negri ini akan damai sentosa.

Seperti dalam buku ini telah dikatakan,” Kalaupun berniat merayakan Hari Kasih Sayang, harusnya kita menyadari bahwa bangsa ini sesungguhnya sedang butuh lebih banyak kasih sayang , cinta. Dengan penuh cinta para pejabat menolak korupsi, dengan penuh cinta para politikus dan provokator berhenti mengangkangi kepentingan rakyat, dengan penuh cinta para abdi Negara membenahi fasilitas public bagi rakyat; dengan penuh cinta para suami tidak melakukan kekerasan terhadap istrinya. Semua tentang cinta.
Buku ini sangat menarik daan unik untuk dibaca karena bahasanya yang mudah untuk dipahami.

Kata-katanya yang tak asing untuk kita dengar. Siapa sih yang tak pernah dengar kata –kata cinta. Buku ini bukan menceritakan kisah cintah seorang pemuda dengan seorang gadis, namun buku ini menjelaskan cinta kasih dalam negri ini. Dimana kita harus selalu melindungi anak-anak dan perempuan dengan cinta kasih. Buku ini juga dapat membuat sang pembaca berada dalam posisinya. Mereka dapat merasa menjadi orang yang lebih sederhana dan menjadi seorang yang luar biasa.

Buku ini menceritakan hsl-hsl ysng telah dialami oleh negri kita. Semuanya seperti hal yang nyata dan memang terjadi. Buku ini pun memuat sebagian kecil perjalanan dunia kepenulisan penulis. Sebuah upaya kecil kami untuk sekedar berbagi pada dunia sedikit saja tentang kesederhanaan seorang perempuan yang bernama R.Valentina.

Sumber: Lazuardi Birru

Selasa, 03 September 2013

Apa yang dimaksud dengan azab dalam Islam?

Ustadz Menjawab




Yang dimaksud dengan azab adalah siksa Allah yang diturunkan kepada mereka (manusia) yang enggan untuk beriman kepada Allah serta mengkufuri segala nikmat yang telah diberikan oleh Allah SWT kepada mereka.

Allah berfirman, “Dan sesungguhnya Kami telah membinasakan (memberikan azab) umat-umat sebelum kamu, ketika mereka berbuat kezaliman, padahal rasul-rasul mereka telah datang kepada mereka dengan membawa keterangan-keterangan yang nyata, tetapi mereka sekali-kali tidak hendak beriman. Demikianlah Kami memberi pembalasan kepada orang-orang yang berbuat dosa. Kemudian Kami jadikan kamu pengganti-pengganti (mereka) di muka bumi sesudah mereka, supaya Kami memperhatikan bagaimana kamu berbuat” (QS. Yunus: 13-14).

Adapun contoh-contoh azab yang telah Allah turunkan misalnya azab Allah terhadap Kaum Tsamud karena menentang ajaran Nabi Shalih AS. Allah mengazab mereka dengan gempa dan petir yang akhirnya menghancurkan peradaban mereka. Allah berfirman, “Karena itu mereka ditimpa gempa, maka jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di tempat tinggal mereka” (QS. Al-A’raf: 78).

Pada ayat yang lain, Allah berfirman, “Dan adapun Kaum Tsamud, mereka telah Kami beri petunjuk tetapi mereka lebih menyukai kebutaan (kesesatan) daripada petunjuk itu, maka mereka disambar petir azab yang menghinakan disebabkan apa yang telah mereka kerjakan” (QS. Fushilat: 17).

Sumber: Lazuardi Birru

Senin, 02 September 2013

Prahara Negara Hukum



Hukum. Satu kata kunci yang penuh dengan substansi dan fungsi. Di dalam hukum terdapat sejumlah aturan yang mengikat bagi masyarakat dan ada kepastian yang bisa menciptakan keteraturan, sesuai dengan hak dan kewajiban masing-masing. Tujuannya adalah menegakkan keadilan dalam kehidupan masyarakat.

Indonesia kerap disebut sebagai negara hukum. Hal ini tak lain karena Indonesia sudah mempunyai sejumlah produk perundang-rundangan yang berlaku sebagai hukum bagi semua warga masyarakat secara setara dan tanpa membedaka-bedakan, agama, ras, budaya, kelas sosial, pangkat dan seterusnya. Semua produk perundang-undangan yang ada mengacu kepada konstitusi negara sebagai nilai puncak dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sebagai negara hukum, Indonesia sejatinya mempunyai kepastian aturan main yang harus ditaati dan diberlakukan secara setara kepada semua pihak. Dengan adanya kepastian aturan main, sejatinya kehidupan berbangsa dan bernegara bisa berjalan secara lebih teratur: siapa mendapatkan apa gara-gara berbuat apa. Dan semua itu memuncak pada tegaknya pilar-pilar keadilan dalam hamparan luas kehidupan masyarakat, mulai dari perkotaan hingga pelosok desa di pedalaman.

Sebagai negara hukum, para elite dan pemimpin bangsa sejatinya menjadi teladan bagi masyarakat luas dalam menjalani kehidupan yang berkesadaran hukum, sesuai dengan aturan hukum yang ada. Sebagai negara hukum, para penegak hukum sejatinya menjadi “abdi hukum” yang sepenuhnya mengikuti semua ketentuan dari hukum sebagai “bos besarnya”. Sebagai negara hukum, para ahli hukum (para pengacara, dosen hingga para pengamat) sejatinya dapat mempermudah penerapan hukum sesuai dengan semangat keadilan, bukan justru mempersulit sebagai akibat dari benturan kepentingan masing-masing yang berbeda.

Indonesia adalah negara hukum, tapi ini adalah negara hukum yang paling aneh. Karena para pemimpin dan elite bangsa yang sejatinya menjadi teladan penegakan hukum justru kerap terlibat dalam pelbagai macam pelanggaran hukum seperti korupsi. Bahkan di antara lembaga-lembaga penegak hukum kerap kali terjadi benturan dan gesekan atas nama hukum. Lebih aneh lagi, para pakar hukum yang sejatinya memberikan penjelasan yang cukup tentang hukum justru kerap terjebak dalam debat kusir dengan semangat “kepakaran yang sempurna”.

Tak heran bila penegakan hukum di Indonesia masih sangat jauh dari nilai-nilai keadilan yang tak lain adalah gusti norma hukum. Dalam bahasa sederhana, hukum di Indonesia kerap hanya tajam ke bawah menusuk orang-orang lemah-dilemahkan dan miskin-dimiskinkan. Ada pun ke atas hukum yang ada kerap tumpul terganjal jabatan, jaringan kuasa bahkan materi yang bertumpuk-tumpuk.

Tak heran pula bila penegakan hukum di Indonesia bukan justru memberikan kepastian hukum bagi semua pihak; siapa melakukan apa dan akan dapat hukuman apa. Tapi penegakan hukum di Indonesia justru kerap memberikan ketidakpastian; siapa melakukan apa dan belum tentu mendapatkan hukuman tertentu.

Sejatinya penegakan hukum dibarengi dengan upaya menumbuhkan kesadaran berhukum. Hingga tidak terjadi lagi prahara hukum atas nama hukum. Karena walau bagaimanapun, hukum hanyalah sejumlah ketentuan norma yang mati di atas kertas. Sedangkan kesadaran berhukum merupakan ketentuan norma tak tertulis yang senantiasa hidup di dalam sanubari. Hanya dengan bersama kesadaran berhukum, ketentuan hukum yang ada akan bergerak menuju puncak keadilan. Bukan justru mengabaikannya.


Sumber: Lazuardi Birru