Sabtu, 29 Juni 2013

DAWUD, NABI

Nabi Dawud a.s. adalah anak bungsu dari tiga belas bersaudara. Ayahnya bernama Yisya. Ia berasal dari Bani Israil. Dalam bahasa  Ibrani, Bani artinya keturunan, dan Israil artinya hamba Allah. Israil adalah gelar kehormatan Nabi Ya’qub bin Ishaq bin Ibrahim. Nabi Dawud  adalah generasi ke-13 dari keturunan Nabi Ibrahim. Mereka bermukim di Betlehem, yang kemudian menjadi kota kelahiran Nabi Isa. Dawud dan dua orang kakaknya ikut berperang melawan Jalut (Goliath) dari Filistin yang menjajah Bani Israil. Menurut Al-Qur`an, dalam perang ini, Dawud berhasil membunuh Jalut. “Maka mereka mengalahkannya dengan izin Allah, dan Dawud membunuh Jalut. Kemudian Allah memberinya (Dawud) kerajaan, dan hikmah, dan mengajarinya apa yang Dia kehendaki”. (Q.S. al-Baqarah/2: 251).

Berkat keberhasilan ini, Raja Talut menikahkan Daud dengan putrinya, Mikya dan mengangkatnya menjadi panglima angkatan perang, kemudian menobatkannya menjadi Raja. Nabi Dawud dan putranya, Nabi Sulaiman adalah dua orang yang mendapat empat kehormatan yang anagrga, tidak ternilai harganya. Beliau mendapat mulkiyah, kerajaan; hikmah, pengetahuan yang luas; nubuwah, kenabian dan risalah, kerasulan. Beliau adalah Nabi, Rasul dan Raja. Orang Yahudi hanya mengakui Dawud sebagai raja (King David). Kaum Muslimin meyakini bahwa Nabi Dawud adalah seorang Nabi, Rasul dan Raja sebagaimana Al-Qur`an menjelaskannya.

Nabi Dawud a.s. dikaruniai suara yang sangat merdu. Ketika mendengar Nabi Dawud melagukan ayat-ayat Kitab Zabur, orang dan jin yang sakit menjadi sembuh, burung-burung terbang mendekat, angin menjadi tenang, gunung serta burung bertasbih kepada Allah. Inilah mu’jizat Nabi Dawud a.s.  Al-Qur`an  menyebutkan: “Dan sungguh, Telah Kami berikan kepada Dawud karunia dari Kami. (Kami berfirman), “Wahai gunung-gunung dan burung-burung! Bertasbihlah berulang-ulang bersama Dawud,” dan Kami telah melunakkan besi untuknya, (yaitu) buatlah baju besi yang besar-besar dan ukurlah anyamannya; dan kerjakanlah kebajikan. Sungguh, Aku Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (Q.S. Saba/34: 10-11).

Kerajaan Nabi Dawud a.s. dilanjutkan oleh putranya, Nabi Sulaiman a.s. yang berdoa:  “Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh siapa pun setelahku. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Pemberi.” (Q.S. Shad/38: 35). Setelah Nabi Sulaiman wafat Kerajaan Bani Israil mengalami krisis, terpeah belah dan akhirnya hancur.

Sumber: Lazuardi Birru

Jumat, 28 Juni 2013

Menghidupkan Satu Jiwa Menghidupkan Seluruh Jiwa

 




مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ كَتَبْنَا عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنَّهُ مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا وَلَقَدْ جَاءَتْهُمْ رُسُلُنَا بِالْبَيِّنَاتِ ثُمَّ إِنَّ كَثِيرًا مِنْهُمْ بَعْدَ ذَلِكَ فِي الْأَرْضِ لَمُسْرِفُونَ (المائدة: 32).
“Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak di antara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi (QS. Al-Maidah: 32).
Inilah salah satu ayat dalam Alquran yang sangat tegas melarang pelbagai macam bentuk aksi kekerasan, khsususnya aksi kekerasan dalam bentuk aksi terorisme yang kerap memakan korban dari orang-orang yang tidak bersalah. Bahkan tak sedikit umat Islam yang juga menjadi korban aksi berdarah tersebut.
Dalam kitab tafsir Mafatihul Ghayib, Imam Ar-Razi memberikan penafsiran menarik terhadap ayat di atas. Menurut beliau, orang yang melakukan pembunuhan sesungguhnya telah dikuasai oleh hawa nafsu dan amarah hingga potensi kesalahan atau ketaatan yang ada dalam dirinya raib dan digantikan oleh hawa nafsu.
Oleh karenanya, masih menurut Ar-Razi, orang yang membunuh satu orang sesungguhnya ia juga mempunyai potensi untuk membunuh semua orang. Pun demikian sebaliknya, orang yang bisa menjaga kehidupan satu orang juga mempunyai kemampuan untuk menjaga kehidupan semua orang. Hal ini tak lain karena seluruh manusia secara esensi hakikatnya adalah satu dan sama.
Sebagaimana disampaikan, ajaran yang terkandung dalam ayat Alquran di atas telah diturunkan kepada Bani Israil melalui Nabi utusan Allah kepada mereka, yaitu Nabi Musa AS. Ajaran tersebut juga harus dilakukan oleh umat Islam. Karena sesuai dengan kaidah ushul fikih yang disepakati oleh ulama, syariatu man qablana syar’un lana (sebagian dari syariat umat terdahulu menjadi syariat bagi kita).
***
Hari ini, 12 Oktober 2012, genap 10 tahun dari serangan teroris paling akbar yang terjadi di Indonesia, yaitu Bom Bali I yang memakan korban jiwa sebanyak 202 dan korban luka 209, termasuk di antara korbannya adalah umat Islam sendiri. Aparat keamanan dan pihak-pihak terkait lain dapat dikatakan cukup berhasil dalam upaya pemberantasan jaringan terorime. Hal ini mengacu kepada keberhasilan dalam meringkus, menangkap dan membawa para teroris di Indonesia ke meja pengadilan—termasuk para pelaku Bom Bali I—. Bahkan tokoh-tokoh utama kelompok teroris di Indonesia, seperti Azhari, Noordin M Top dan Dulmatin, pun berhasil dilumpuhkan.
Apakah ini berarti Indonesia aman dari ancaman terorisme? Tentu saja jawabannya tidak. Terorisme masih jauh dari kata selesai, baik dalam konteks nasional maupun dalam konteks global. Penangkapan sejumlah orang di Solo dan sekitarnya menjadi salah bukti terkini sengitnya perang melawan terorisme. Bahkan terorisme mulai melibatkan anak-anak muda yang masih berusia belasan tahun. (Kompas, 25/09).
Kini terorisme justru menjadi ancaman yang lebih serius bagi bangsa Indonesia. Aksi terorisme mengalami perubahan yang sangat fundamental. Khususnya pascameninggalnya tokoh-tokoh utama terorisme. Terorisme bergerak seperti sel, dalam suatu jaringan tanpa adanya ikatan rantai komando yang tegas.
***
Di sinilah pentingnya kembali kepada khazanah keislaman dalam upaya melawan kejahatan jaringan terorisme. Islam anti terhadap terorisme dalam bentuk apapun karena Islam sangat memerhatikan perdamaian, bukan menganjurkan pada kekerasan seperti yang dilakukan para teroris.
Secara kebahasaan, Islam mengandung makna as-salamatu wa as-salam yang bermakna keselamatan dan perdamaian. Hal ini bisa dijadikan sebagai dilalah (petunjuk) bahwa keselamatan dan perdamaian merupakan salah satu visi utama dari ajaran Islam di muka bumi.
Allah berfirman dalam Alquran,
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ (الأنبياء: 107).
Dan tidak Aku utus engkau (wahai Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi alam semesta.
Para ulama menjadikan ayat di atas sebagai landasan untuk mengukuhkan pesan universal yang dibawa oleh Islam mengingat ayat di atas menggunakan istilah lil ‘alamin (alam semesta), bukan lil muslimin (orang-orang Islam) atau lil mu`minin (orang-orang beriman). Dengan demikian, kerahmatan Islam ditujukan kepada seluruh makhluk di dunia, mulai dari manusia yang berakal budi hingga benda-benda mati sekalipun. Karena semua makhluk yang ada merupakan bagian dari alam semesta ini.
Pun demikian, Islam juga mengajarkan pentingnya menjaga kehidupan, bukan mengakhiri kehidupan—seperti dilakukan oleh mereka yang melakukan bom bunuh diri. Dalam pandangan Islam, kehidupan adalah anugerah Allah SWT yang diberikan kepada semua makhluk yang bernyawa di mana anugerah ini tak dapat ditiru atau diakhiri oleh siapa pun selain Allah. Itu sebabnya Islam melarang keras perbuatan bunuh diri atas nama apapun karena melakukan bunuh diri sama dengan menyia-nyiakan anugerah kehidupan dari Allah.
Begitu juga, Islam sangat menekankan akan pentingnya kepatuhan kepada Allah, Rasul dan negara (athi’ullah, wa athi’urasula wa ulil amri minkum, QS. An-Nisa’: 59), bukan justru memusuhi negara seperti yang dilakukan oleh para teroris. Dan inilah yang diteladankan oleh Nabi Muhammad SAW dalam komunitas Madinah dengan membentuk perjanjian bersama seluruh penduduk kota. Di kalangan para ahli, perjanjian ini dikenal dengan istilah Piagam Madinah (Miytsaqul Madinah) yang menjadi rujukan Nabi dan penduduk Madinah dalam kehidupan bernegara, sebagaimana Alquran menjadi rujukan umat Islam dalam kehidupan keagamaan.
Sejumlah ajaran yang dibawa oleh Islam tak dapat dilepaskan dari nilai-nilai sebagaimana telah disebutkan di atas, baik ajaran yang bersifat ibadah-ritual seperti shalat dan puasa, akhlak-sosial seperti mengabdi kepada orang tua, guru dan negara atau bahkan hal-hal yang bersifat keimanan seperti beriman kepada Allah, para Nabi, dan kitab-kitab suci Allah. Ajaran-ajaran tersebut dimaksudkan agar dilakukan oleh umat Islam selama hidupnya, dalam kehidupan bernegara yang aman, damai dan tenteram.
Inilah kurang lebih substansi dari Doa Sapu Jagad yang diabadikan dalam Alquran, rabbana atina fid dunya hasanah, wa fil akhirati hasanah (Tuhan, berikan kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat). Doa ini menekankan secara eksplisit akan pentingnya keseimbangan antara kehidupan di dunia dan di akhirat, bukan justru mengorbankan salah satu dari keduanya; mengabaikan kehidupan dunia demi akhirat atau sebaliknya, mengabaikan kehidupan akhirat demi kehidupan dunia.
Para teroris bagaikan telah membunuh seluruh umat mansia. Mengingat mereka telah membunuh orang-orang yang tidak bersalah sebagai akibat dari aksi teror yang mereka lakukan. Apalagi para teroris juga telah menciptakan kerusakan di muka bumi (fasadan fil ardh) melalui rakitan bom (apalagi bom bunuh diri) yang menghancurkan segala yang ada di dekatnya.
Oleh karenanya, semua kita, khususnya umat Islam berkewajiban untuk menghindari kejahatan seperti yang dilakukan oleh para teroris dan dikecam oleh ayat Alquran di atas (QS. Al-Maidah: 32). Sebaliknya, kita semua harus mengamalkan apa yang ditekankan oleh bagian terakhir dari ayat di atas, yaitu menjaga kehidupan ini, karena menjaga kehidupan satu manusia atau satu jiwa sama dengan menghidupkan seluruh manusia atau seluruh jiwa.

Sumber: Lazuardi Birru

Rabu, 26 Juni 2013

Hijrah: Tonggak Peradaban Islam



Bulan Dzulhijjah, bulan Haji, bulan Idul Adha, bulan terakhir dalam kalender penanggalan Islam sebentar lagi berlalu. Tahun baru Islam atau yang dikenal dengan tahun baru Hijriyah pun menjelang. Umat Muslim di seluruh dunia dalam hitungan hari akan meninggalkan tahun 1433 H sekaligus menapaki tahun yang baru, 1434 H. Masa satu tahun yang telah berlalu tentu menjadi bahan refleksi bagi setiap Muslim untuk berevaluasi diri terhadap kehidupannya. Amalan setahun silam telah menjadi milik sang waktu. Setiap Muslim kini sibuk mempersiapkan diri untuk ber-hijrah ke tahun yang baru, 1434 H.

Dalam sejarahnya, kalender tahun hijriyah ditetapkan sebagai sistem penanggalan Islam pada masa kekhalifahan Umar Bin Khattab. Khalifah Umar terdorong untuk membuat kalender hijriyah karena di masa kekhalifahannya banyak ditemukan kasus ketiadaan tanggal pada surat-surat, seperti surat yang beliau terima dari Abu Musa Al-Asy’ari, yang bunyinya “Surat-surat dari Anda datang kepada kami tanpa tanggal”.  Di samping itu, Umar juga pernah didatangi sahabat yang mendesak agar beliau membuat kalender tersendiri seperti halnya bangsa lain yang memiliki sistem penanggalan. Dua alasan tersebut menjadi landasan kuat Khalifah Umar untuk menjalankan proyek pembuatan kalender yang berlaku bagi umat Muslim.

Khalifah Umar membentuk tim pakar untuk memulai proyek dengan mendiskusikan dasar permulaan perhitungan tahun. Ada yang mengusulkan seperti perhitungan Romawi yang dimulai dari peristiwa perjalanan Zulqarnain menaklukkan dunia, ada juga yang mengusulkan penanggalan model Persia. Keduanya tidak disepakati dengan alasan bahwa masing-masing peristiwa tidak menampakkan sisi Islam. Para sahabat saat itu cenderung mengarahkan pada peristiwa sejarah dari Rasulullah sendiri. Para sahabat ada yang mengusulkan agar perhitungan kalender dimulai dari peristiwa diutusnya Rasulullah Muhammad SAW sebagai nabi. Namun, setelah melalui musyawarah yang matang, tim perumus kalender Islam menyepakati peristiwa hijrah Nabi dari Makkah ke Madinah sebagai permulaan tahun kalender Islam dan perhitungan bulan dan harinya berdasarkan siklus peredaran bulan. Khalifah Umar menyetujuinya karena mengangap peristiwa hijrah Rasulullah SAW beserta umat Muslim dari Makkah menuju Madinah sebagai tonggak awal sejarah Islam.
Setelah penentuan dasar permulaan sistem kalender disepakati, persoalan lain muncul. Bagaimana urutan bulan dalam satu tahunnya? Bulan apa yang layak ditetapkan sebagai bulan pertama dalam sistem kalender Islam? Sebagian umat Muslim kala itu mengusulkan Ramadan menjadi bulan pertama karena dinilai bulan yang suci. Tetapi, akhirnya para sahabat dan umat Muslim bersepakat memulai sistem penanggalan Islam dengan bulan Muharram. Bulan ini dipilih karena ibadah haji yang seakan-akan menjadi kewajiban pamungkas setiap Muslim terjadi pada Dzulhijjah, bulan sebelum Muharram. Oleh karena itu, bulan yang mengikutinya tepat untuk dikatakan sebagai bulan yang mengawali tahun yang baru. Alasan lainnya adalah meskipun Muharram bukanlah bulan saat peristiwa hijrah berlangsung, namun para sahabat meyakini bahwa pada bulan itulah niat hijrah dari Rasulullah SAW dan umat Muslim muncul. Sejak itulah diputuskan Muharram sebagai awal bulan sistem penanggalan Islam atau sistem kalender hijriyah. Penetapan awal kalender hijriyah tanggal 1 Muharam tahun 1 Hijriah bertepatan dengan tanggal 16 Juli 622 Masehi.

Di Balik Peristiwa Hijrah
Hijrah dapat diartikan pindah dari suatu tempat ke tempat baru. Sedangkan orang-orang yang berhijrah dalam konteks Islam pada masa Nabi dikenal dengan sebutan muhajirin. Peristiwa hijrahnya Nabi dari Makkah ke Madinah memang sangat monumental dalam sejarah Islam. Masifnya tindak kejahatan kaum musyrik di Makkah terhadap Rasulullah SAW dan perjuangan dakwahnya serta harapan besar penduduk Madinah akan kedatangan Rasulullah bersatu padu menjadi latar belakang utama di balik hijrah. Di Madinah sendiri, pada tahun ke-13 kenabian, sudah ada 73 orang penduduk Madinah yang mengikuti seruan Islam yang dibawa Rasulullah melalui dakwah para sahabat yang diutus ke Madinah. Saat berkunjung ke Makkah, umat Muslim Madinah yang telah mengetahui kekejaman kaum musyrik Makkah menemui Rasulullah dan bermaksud mengundang beliau beserta umat Muslim untuk berhijrah ke Madinah dengan jaminan perlindungan dan keselamatan penuh. Atas dasar wahyu Allah SWT dan tawaran warga Madinah itulah Rasulullah SAW memerintahkan umat Muslim di Makkah untuk berhijrah ke Madinah.
Dua bulan setelah kedatangan warga Madinah kepada Rasulullah, sekitar 150 kaum Muslimin berhijrah ke Madinah meskipun harus melewati tantangan berat. Ditulis oleh Ibnu Hisyam dalam karya monumentalnya, Tarikh Ibnu Hisyam, seorang sahabat bernama Suhaib ketika hendak berhijrah dihalang-halangi oleh orang-orang musyrik Suku Quraisy. Mereka berkata, “Dulu kamu datang kemari sangat miskin dan tidak dipandang sebelah mata. Kini kamu kaya raya. Kami tidak akan merelakan kamu pergi membawa kekayaanmu.” Suhaib menjawab, “Jika kuberikan semua kekayaanku kepada kalian, akankah kalian relakan aku pergi?” Kaum musyrikin Makkah pun menyetujui penawaran Suhaib. Para muhajirin lainnya juga mendapati tantangan serupa, yang sarat dengan berbagai macam intimidasi. Namun, kaum muhajirin kokoh pendirian dalam berislam, sebagaimana tujuan hijrah sendiri yaitu untuk mempertahankan tauhid dengan meninggalkan segala bentuk kemusyrikan.
Banyaknya warga Muslim Makkah yang berhijrah memantik kemarahan orang-orang musyrik. Puncaknya adalah usaha pencekalan Nabi yang diselidiki hendak berhijrah ke Madinah. Pembesar Quraisy menempatkan  beberapa pasukan untuk mengepung rumah Nabi. Mendapati hal ini, Nabi mencoba mengelabui pasukan Quraisy dengan meminta Ali Bin Abi Thalib untuk berbaring di kamarnya, sehingga ketika pasukan Quraisy mengintip, mereka akan mengira bahwa Nabi masih di rumahnya. Usaha tersebut berhasil. Nabi lolos dari usaha pencekalan dan menuju ke persembunyian di Gua Tsur didampingi sahabat Abu Bakar. Di gua itu, Nabi dan Abu Bakar bersembunyi  selama 3 hari untuk menghindari pengejaran.
Di Gua Tsur, mukjizat Allah turun untuk menyelamatkan Nabi dan Abu Bakar dari kejaran kaum Quraisy. Sarang laba-laba yang menutupi liang Gua Tsur yang sebelumnya robek karena Nabi dan Abu Bakar memasuki gua, telah kembali tertutup rapi seakan tidak ada yang memasuki gua. Orang-orang yang mengejar Nabi berpikir bahwa tidak mungkin beliau serta Abu Bakar berada di dalam gua karena sarang laba-laba yang menutupi pintu gua tidak rusak. Mereka juga melihat dua burung dara di dalam gua, yang jika ada orang pastilah terusik. Selain itu juga ada cabang pohon yang terkulai di mulut gua, sehingga mereka berfikir tidak ada jalan masuk tanpa menghalau atau menebang dahan-dahan tersebut. Para pengejar pun turun mengurungkan niat menggeledah Gua Tsur. Kisah mukjizat di Gua Tsur ini diabadikan dalam firman Allah, “Ingatlah tatkala orang-orang kafir (Quraisy) itu berkomplot membuat rencana terhadap kamu, hendak menangkap kamu, atau membunuh kamu, atau mengusir kamu. Mereka membuat rencana dan Allah membuat rencana pula dan Allah-lah Perencana terbaik” (QS. Al-Anfal: 30).
Perjalanan hijrah Rasulullah SAW ke Yatsrib, nama kota Madinah sebelumnya, dimulai ketika beliau dan Abu Bakar keluar dari tempat persembunyiannya di Gua Tsur pada tanggal 2 Rabi’ul Awwal (20 September 622 M) dan bertemu dengan rombongan umat Muslim lainnya yang juga berhijrah. Perjalanan tersebut menempuh jarak sekitar 500 km, dengan memakan waktu sekitar 10 hari. Untuk menghindari pengejaran, dibimbing oleh sahabat Abdullah bin ‘Uraiqith, Rasulullah SAW beserta rombongan mengambil jalan menuju Madinah yang tidak umum dilalui orang, yaitu menuju arah selatan kemudian menuju Tihama di dekat pantai Laut Merah.
Saat Rasulullah SAW dalam perjalanan menuju Yatsrib, penguasa Quraisy mengadakan sayembara untuk menangkap beliau dengan imbalan onta. Namun, usaha tersebut gagal karena para pengejar Nabi takluk di hadapan beliau. Salah satunya ialah seorang kepala suku bernama Buraidah Aslami, yang tunduk hatinya ketika bertatap muka dengan Nabi dan kemudian memeluk Islam saat itu juga, padahal sebelumnya ia diliputi kemarahan dan nafsu yang menggebu untuk menangkap beliau demi mendapatkan imbalan. Ia akhirnya pulang, dengan mengibarkan surban. Belakangan, seluruh anggota sukunya juga memeluk Islam.
Dalam perjalanan hijrah Nabi ke Madinah, banyak cerita yang menarik. Salah satunya adalah ketika Nabi dan rombongan mampir ke kemah Ummu Ma’bad yang berada di padang pasir. Ummu Ma’bad terkenal dermawan, gemar memberi makanan dan minuman kepada musafir. Namun, kala itu Ummu Ma’bad mengatakan tidak memiliki apa-apa kecuali kambing yang kurus, dan jika diperas pun tidak mengeluarkan susu. Nabi meminta izin untuk mencoba memeras susu kambing. Atas izin Allah, dari kambing kurus tersebut mengalir air susu yang melimpah. Tidak hanya untuk Ummu Ma’bad dan rombongan umat Muslim yang berhijrah, stok susu kambing masih berlimpah untuk suami Ummu Ma’bad yang saat itu sedang menggembala ternak.
Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh, sampailah Nabi di perkampungan Bani ‘Auf, yaitu sebuah desa bernama Quba, yang sudah dekat jaraknya dengan Yatsrib. Penduduk Quba seperti halnya penduduk Yatsrib telah menanti-nantikan kehadiran Nabi, sehingga ketika beliau memasuki desa, warga Quba bergegas keluar rumah menyambut beliau. Nabi menginap di Quba selama 4 hari. Di sana, beliau membangun masjid untuk pertama kalinya. Di desa ini pula, Ali bin Abi Thalib bergabung dengan rombongan setelah menyelesaiakan berbagai urusan yang diperintahkan Nabi di Makkah.
Dari Quba, rombongan muhajirin bergerak menuju Yatsrib. Masyarakat Yatsrib sudah menantikan kedatangan Rasulullah SAW. Ketika beliau memasuki Yatsrib, penduduk menyambut dengan meriah. Demi menjaga perasaan para warga agar tidak saling iri hati, Rasulullah membiarkan onta yang beliau tunggangi untuk memilih tempat perisitirahatan yang sekaligus menjadi bakal lokasi pembangunan Masjid Nabawi. Onta beliau yang bernama Quswa berjalan sekeliling dan selalu kembali ke tempat pertama kali menderum, yaitu di sebuah lahan kosong dekat rumah Abu Ayyub. Lahan tersebut adalah milik dua anak yatim yang bernama Sahl dan Suhail. Rasulullah membeli tanah tersebut untuk didirikan masjid di atasnya. Umat Muslim, baik yang berasal dari Makkah yang berhijrah atau disebut Muhajirin maupun umat Muslim Madinah yang menolong saudara sesama Muslim mereka atau yang disebut Ansar, bahu membahu membangun masjid.
Cakupan hijrah tentu akan terasa sempit jika hanya menilik kisah perjalanan Rasulullah dan umat Islam dari Makkah ke Yatsrib saja. Hijrah bermakna luas, diantaranya adalah bertujuan membangun tata kehidupan sosial masyarakat bahkan tata kenegaraan bangsa dengan merujuk pada nilai-nilai Islam. Salah satu langkah penting yang dilakukan Rasulullah SAW adalah mengganti nama Yatsrib menjadi Madinah, yang bisa diartikan sebagai kota peradaban. Untuk mewujudkan misi tersebut, terlebih dahulu Rasulullah mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dan Ansar. Strategi muakhat atau mempersaudarakan yang diputuskan Rasulullah tersebut telah menjadi tonggak penting kemajuan peradaban dan perekonomian Madinah pada masa berikutnya.
Langkah yang juga cukup revolusioner dari Rasulullah SAW adalah ketika beliau menginisiasi deklarasi kemanusiaan untuk hidup berdampingan secara damai sesama penghuni kota Madinah, yang dikenal dengan Piagam Madinah. Piagam tersebut adalah manifestasi sekaligus strategi politik dan budaya untuk mengakomodir pluralitas agama dan etnis yang ada pada masyarakat Madinah. Islam bukanlah satu-satunya agama di Madinah, sebab ada pula umat Yahudi, Kristen, serta orang-orang Arab penganut agama nenek moyang yang telah lama mendiami Madinah. Dengan disepakatinya Piagam Madinah oleh para warga, setiap penduduk Madinah dijamin kemerdekaan beragamanya, serta hak-hak sosial politiknya. Konsekuensi bersama lain atas adanya Piagam Madinah adalah kesadaran untuk saling bekerjasama mempertahankan wilayah dari serangan luar. Piagam Madinah inilah yang selanjutnya menjadi pondasi penting terbentuknya civil society, masyarakat yang berperadaban serta negara bangsa yang berlandaskan semangat memuliakan kemanusiaan.
Peristiwa hijrah diabadikan dalam Alquran, di antaranya dalam Surat An-Nisa’ ayat ke-100: “Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. An-Nisa’: 100).
Atas dasar peristiwa hijrah Nabi dan umat Muslim itulah maka sungguh sangat tepat langkah tim perumus sistem kalender Islam di bawah Khalifah Umar bin Khattab yang menjadikannya sebagai titik awal penanggalan Islam, karena hijrah merupakan simbol tonggak sejarah peradaban Islam.

Sumber: Lazuardi Birru

Senin, 24 Juni 2013

Sakaratulmaut Intelektulisme


 

“Aku berfikir, maka aku ada”. Demikian ujar filsuf terkemuka Perancis pada abad ke-17 bernama Rene Descartes. Aku dimaksud tak hanya sekadar aku sebagai ego. Tapi aku sebagai entitas (manusia) dengan semua potensi dan kapasitas mahadahsyat yang mampu menaklukkan sang jagad.
Berfikir dimaksud tak hanya yang bersifat pragmatis, apalagi materialistik. Tapi berfikir dalam arti filosofis dan intelektual yang salah satu tandanya mengedepankan kepentingan umum (daripada kepentingan golongan dan individu), keilmuan (daripada ketidaksengajaan), ke-akal-an (daripada akal-akalan apalagi otot-ototan), kebangkitan (daripada keterpanaan), kemajuan (daripada kemunduran) dan tema-tema besar lainnya. Dan ada dimaksud tak hanya sekadar ada (wujud). Sebab ada bisa sama dengan tiada, seperti kata pepatah Arab (wujuduhu ka‘adamihi). Tapi ada yang sederajat dengan semua potensi dan kapasitas mahadahsyat yang dimiliki manusia.

Inilah tradisi intelektualisme yang senantiasa hidup dari masa ke masa, khususnya di lingkungan perguruan tinggi dan kota-kota besar, termasuk di Indonesia. Sesuai dengan bidang masing-masing, para mahasiswa ataupun para aktivis intelektual penuh semangat membahas dan memperbincangkan tentang pemikiran-pemikiran besar. Bahkan tak jarang peliknya pembahasan yang ada sampai mencuat ke ruang publik melalui “pojok-pojok” yang disediakan oleh media, khususnya media cetak.
Dalam beberapa waktu terakhir, pembahasan tentang pemikiran dan diskursus besar sebagaimana di atas tampak mulai sepi. Termasuk di lingkungan perguruan tinggi yang belakangan mulai tampil dengan bagunan megahnya. Kota-kota besar seperti Jakarta pun lebih dipenuhi dengan mobil-mobil mewah dan gedung pencakar langit, tapi miskin dan sepi dari pemikiran-pemikiran besar.

Hal yang jamak terjadi adalah fenomena pragmatisme yang mengedepankan kepentingan golongan atau bahkan individu. Sangat ironis karena pada tahap tertentu fenomena ini juga melanda dunia pendidikan yang ditandai dengan merosotnya geliat intelektualisme secara drastis.
Oleh karenanya, jangan heran bila status tinggi pendidikan seseorang tidak secara otomatis mencerminkan besar dan agungnya perbuatan orang yang bersangkutan. Faktanya, korupsi di republik ini justru dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai gelar pendidikan menjulang tinggi. Bahkan juga oleh sebagian pihak yang sangat memahami arti buruk dan keharaman korupsi.

Sejatinya tradisi intelektualisme tetap dipertahankan dan dikembangkan, khususnya di dunia pendidikan. Tidak hanya secara wacana, melainkan juga dalam bentuk perbuatan yang menjadi teladan bagi masyarakat luas. Hingga kehidupan berbangsa dan berngera tidak semakin dalam terjerumus ke jurang pragmatisme dan materialisme.

Semua pihak sejatinya mendukung penuh tegaknya bangunan intelektualisme, sesuai dengan kapasitas masing-masing pihak. Seorang guru atau dosen, contohnya, bisa menegakkan bangunan intelektualisme dengan menjadi teladan intelektual sejati bagi anak dididknya. Pun demikian dengan anak didik. Mereka bisa menegakkan bangunan intelektualisme dengan terus mengkaji pemikiran-pemikiran besar demi tegaknnya peradaban kemanusiaan yang lebih besar ke depan. Begitu juga media dengan memberikan ruang bagi pengembangan intelektualisme.

Hal ini sangat penting untuk dilakukan secara bersama-sama. Bila tidak, bukan tidak mungkin menurunnya semangat intelektualisme seperti sekarang akan menjadi sakarataulmaut intelektualisme yang akan menguburkan nilai-nilai keadaban, keilmuan, keluhuran, kemanusiaan dan nilai-nilai agung lainnya.

Sumber: Lazuardi Birru

Minggu, 23 Juni 2013

Strategi Belajar di Perguruan Tinggi


 

Belajar di perguruan tinggi berbeda dengan belajar di sekolah menengah atas. Ketika kita belajar di perguruan tinggi, kita dituntut untuk menjadi dewasa. Artinya, mahasiswa perlu mandiri dan disiplin pribadi dalam belajar. Hal ini tidak seperti saat duduk di bangku sekolah yakni belajar sangat bergantung pada kehadiran seorang guru.

Di bangku kuliah, mahasiswa dituntut untuk belajar sendiri dan mandiri, meski dosen tidak masuk memberikan perkuliahan namun mahasiswa harus tetap belajar dan membaca. Sebab kedatangan mahasiswa ke kampus bukan sekedar untuk mencatat materi kuliah dari dosen, melainkan dituntut untuk berlatih dan berdiskusi. Mahasiswa juga harus lebih aktif mencari ilmu pengetahuan daripada dosen, karena fungsi dosen hanya sebagai fasilitator pembelajaran.
Untuk meraih kesuksesan studi di perguruan tinggi, mahasiswa perlu memiliki strategi pembelajaran. Ada beberapa tips jitu yang perlu dicoba bagi kalian yang ingin meraih sukses studi di dunia kampus yaitu:

Tetapkan tujuan
Kita perlu menetapkan tujuan jangka pendek, menengah dan panjang yang realistik. Setelah menentukan tujuan, kita harus memiliki strategi dan taktik untuk meraih tujuan tersebut secara cepat dan tepat.

Jadwalkan kegiatan secara cermat
Setiap mahasiswa perlu menyusun jadwal kegiatan setiap hari. Ketika kita memiliki jadwal kegiatan maka waktu, pikiran dan energi akan difokuskan pada kegiatan belajar dan aktifitas pribadi. Bila tidak memiliki jadwal maka kegiatan dan aktifitas kita tidak akan teratur.

Kembangkan kebiasaan belajar efektif
Selama duduk di bangku kuliah, mahasiswa harus memiliki kebiasaan belajar yang efektif. Hal ini penting agar semua matakuliah bisa dipelajari dengan baik. Gunakan sejumlah waktu secara efesien dan tetapkan prioritas untuk meraih tujuan.

Kerjakan semua proses kuliah
Hadir setiap proses perkuliahan dan mengerjakan seluruh tugas kuliah sangat penting untuk meraih kesuksesan akademik. Sepadat apapun aktifitas, mahasiswa harus mengusahakan untuk menghadiri proses perkuliahan. Sebab kehadiran tatap muka perkuliahan berpengaruh terhadap penilaian hasil belajar.

Pahami para dosen
Mengenali karakter para dosen penting untuk menjalin komunikasi yang lancar dengan mereka. Ajukan pertanyaan-pertanyaan yang relevan dengan matakuliah yang diberikan dan sesuaikan cara belajar Anda dengan gaya mengajar mereka.

Taati kebijakan dan peraturan kuliah
Setiap perguruan tinggi memiliki peraturan akademik masing-masing yangg harus diperhatikan agar proses studi mahasiswa menjadi lancar. Anda harus memahami peraturan akademik, kurikulum, mata kuliah, dan prasyarat tertentu di tempat kuliah. Jangan melanggar kebijakan dan aturan yang sudah ditentukan oleh pihak kampus.

Manfaatkan sarana dan prasarana kampus
Setiap kampus memiliki sarana untuk menunjang proses perkuliahan dan aktifitas mahasiswanya. Anda harus bisa memanfaatkan fasilitas yang tersedia di kampus secara maksimal misalnya perpustakaan, gelanggang olahraga, pusat bahasa dan fasilitas lainnya. Pemanfaatan sarana dan prasarana secara efektif dan efesien bisa menunjang proses pembelajaran berjalan dengan baik.

Aktif di kegiatan non-akademik
Selain Anda harus fokus di prestasi akademik, mahasiswa juga perlu fokus di bidang non-akademik. Tetapi perlu juga kamu mencari pengalaman dalam bidang non-akademik yang sesuai dengan bakat dan minat Anda. Belajar adalah awal dari kehidupan kerja Anda. Nikmati prosesnya dan Anda bisa bergabung dengan klub musik, klub informatika, klup sains dan lainnya. Anda sendirilah yang akan menentukan masa depan Anda. [Sumber: Putri Chaerunisa]

Sumber: Lazuardi Birru

Sabtu, 22 Juni 2013

DARUS SULUH

Dâr al-shulhi (baca: Darus suluh) dalam gramatikal Arab dinamaakan idhâfah, terdiri dari dua kata, Dâr dan al-shulhi. Menurut al-Ishfahani, dâr artinya rumah atau tempat tinggal, kemudian mengalami perluasan makna sehingga berarti al-baldah atau negara. Dalam literatatur fikih politik (al-fiqh al-siyâsi) dikenal  konsep tentang dâr al-shulhi,  negara yang menyatakan damai kepada kaum Muslimin, yang juga dinamakan  dâr al-salâm, negara yang damai; atau dâr al-amn, negara yang aman.
Negara,  dalam istilah Al-Qur`an disebut al-balad, al-qaryah atau al-dâr, menurut Al-Ishfahani, adalah tempat atau teritorial yang ditetapkan batas-batasnya secara jelas, yang dikenal karena domisili penduduknya yang menetap di wilayahb tersebut. Negara juga nama bagi tempat atau wilayah yang di dalamnya berkumpul manusia. Pendapat al-Isfahani ini sejalan dengan  Hukum Tata Negara modern yang menyebutkan bahwa komponen pokok sebuah negera sekurang-kurangnya harus memenuhi empat hal sebagai berikut: a) adanya wilayah dengan batas-batas yang jelas; b) penduduk yang menetap di wilayah tersebut; c) pemerintahan yang efektif; dan d) pengakuan internasional.

Munculnya konsep dâr al-shulhi, Negara yang damai,  secara historis berkenaan dengan  wilayah kekuasaan Islam di Spanyol, Sisilia, dan Eropa Timur. Penduduk yang menetap di kawasan tersebut tidak seluruhnya beragama Islam, tetapi multi agama. Para Khalifah Turki Usmani yang menguasai wilayah Balkan dan Eropa Timur mengembangkan dua  strategi dalam menciptakan stabilitas politik dan keamanan kawasan. Pertama, mengajak seluruh warga Negara, termasuk yang bukan Muslim, untuk bersama-sama memelihara perdamaian dengan menciptakan kerukunan hidup antara Muslim dan bukan Muslim. Wilayah yang penduduknya mayoritas bukan Muslim dalam keseluruhan wilayah kekuasaan Turki Usmani dinamakan dâr al-shulhi, kawasan yang terikat perjanjian damai dengan para pejabaat Negara yang Muslim.

Kedua, mengajak Negara-negara tetangga yang potensial untuk mengganggu stabilitas politik dan keamanan kawasan, potensial mengancam keamanan  dalam negeri, dan potensial melakukan invasi ke dalam negeri dengan menyerang secara mendadak; untuk menda-tangani fakta perdamaian. Negara tetangga yang terikat fakta perdamaian dinamakan dâr al-shulhi, yang berarti kawasan yang terikat perjanjian damai dengan para Khalifah dan Sultan. Kaum Muslimin wajib menghormati fakta perdamaian yang disepakati dan mentaatinya dengan konsekuen.

Sumber: Lazuardi Birru

Jumat, 21 Juni 2013

Korupsi: Pengkhianatan Akbar Atas Amanah Rakyat




Akhir-akir ini media massa ramai memberitakan kasus korupsi dari tingkat pusat sampai daerah. Nampaknya berita tentang kasus ini tak pernah sepi dari pemberitaan, dari kasus BLBI, skandal Bank Century, Hambalang, hingga yang terkini dugaan kasus suap Bupati Buol. Terjadinya korupsi merupakan suatu penyalahgunaan wewenang ketika otoritas ada pada pemegang wewenang itu. Dalam hal ini, jika dikaitkan dengan ajaran Islam, korupsi merupakan bentuk pengkhianatan terhadap amanah yang diberikan.

Kita bisa melihat bahwa banyak motif yang menyebabkan orang nekat melakukan korupsi. Korupsi dapat terjadi oleh sebab kepentingan politik, ekonomi ataupun budaya. Namun, naluri memperkaya diri dengan menghalalkan segala cara yang mendorong seseorang untuk korupsi selalu tidak terlepas dari adanya mental atau budaya “mencuri” yang mengalir dalam darahnya serta dikombinasikan dengan kesempatan untuk melakukan hal tersebut.

Jika kita menyimak dari berita yang tersiar di media massa, amat menyedihkan ketika mengetahui fakta bahwa sebagian terdakwa kasus korupsi adalah Muslim. Beberapa dari mereka bahkan mengenakan simbol-simbol Islam saat menjalani sidang di pengadilan.
Korupsi merupakan penyelewengan amanah yang sangat kejam. Perbuatan ini dapat menjamur tidak hanya di kalangan elit, pada tingkat rendah pun korupsi bisa saja terjadi. Seseorang yang nekat melakukan tindakan korupsi dapat dinilai terkategorikan lupa bahwa ada Allah yang mengawasinya dalam segala hal. Allah SWT berfirman:

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (QS. An-Nisa: 58).
Ayat ini menyatakan dengan jelas bahwa amanah harus diletakkan pada tempatnya atau disampaikan kepada yang berhak menerimanya. Amanah yang dimaksud dalam ayat tersebut bermakna umum yakni amanah dalam segala hal. Para sahabat Nabi Muhammad SAW seperti Barra’ bin ‘Azib, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, dan Ubai bin Ka’ab, sepakat bahwa amanah itu terdapat dalam segala hal baik urusan peribadatan maupun keduniawian. Amanah benar-benar mencakup segalanya. Dalam setiap aktivitas seperti dalam berwudhu, shalat, zakat, ukuran, timbangan, barang titipan, dan pekerjaan, amanah selalu melekat. Demikian pula seorang ulama tafsir, Al-Qurtubi, berpendapat bahwa amanah itu harus diserahkan atau disampaikan kepada orang yang berhak menerimanya baik orang yang berlaku baik maupun tidak. Dalam hal ini, segala tugas yang diberikan kepada seseorang merupakan amanah yang harus dijalankan dan disampaikan kepada yang berhak menerimanya, sedangkan pemegang amanah itu tak mempunyai hak untuk mengambilnya.

Korupsi dalam Pandangan Islam
Beragam istilah dalam Islam dapat dikaitkan dengan kejahatan korupsi. Korupsi dapat dikatakan suatu perbuatan curang untuk memperoleh sesuatu dan segala kecurangan erat kaitannya dengan kezaliman dan kebatilan. Bentuk perbuatan korupsi tidak terbatas pada penggelapan uang. Aksi suap-menyuap termasuk bagian dari tindakan korupsi, karena suap dilakukan demi melegalkan sesuatu yang tidak legal sehingga terjadilah upaya tutup mulut agar tidak mengungkapkan kebenaran sesungguhnya.
Penyuapan dalam Islam dikenal dengan istilah risywah. Kata risywah menurut kamus Alfadz Al-Islam yang ditulis oleh Deeb Al-Khudrawi, diartikan sebagai bribery (penyuapan). Dalam kamus tersebut juga disebutkan bahwa it’s forbidden in Islam. Kata-kata dalam kamus tersebut bukan isapan jempol semata. Perbuatan suap-menyuap memang sungguh terlarang dalam syariat Islam, bahkan dilaknat oleh Rasulullah SAW sebagaimana dijelaskan dalam hadis yang diriwayatkan dari sahabat Abdullah bin ‘Amr,
Rasulullah SAW melaknat penyuap dan yang menerima suap” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).
Dalam kitab Subulus Salam, ulama Al-Kahlani menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan laknat pada hadis tersebut adalah rahmat Allah akan dijauhkan dari pelaku suap dan penerimanya. Sedangkan maksud daripada suap adalah membelanjakan harta agar dapat memperoleh sesuatu dengan cara yang batil atau tidak sah (Subulus Salam: 3/43).

Selain perbuatan suap menyuap, kejahatan korupsi dapat pula berupa penggelapan harta yang dalam istilah ilmu fiqh disebut ghulul. Menurut Syeikh Al-‘Allamah Abdullah Al-Bassam dalam kitabnya Taudihul Ahkam, ghulul adalah pengkhianatan amanah atau penyelewengan dalam urusan harta rampasan perang atau selain daripada itu. Dalam hal ini, penggelapan harta yang status hak miliknya atas nama bersama merupakan pengkhianatan atas kepercayaan segenap pihak yang terlibat. Tentu saja di dalam Islam, hukum ghulul adalah haram dan merupakan perbuatan dosa besar. Dalil yang menerangkan ghulul adalah sebagai berikut.

Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap jiwa akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal”  (QS. Ali Imran: 161).
Ada beberapa hadis yang menjelaskan tentang perkara ghulul, salah satunya adalah yang berasal dari riwayat sahabat Abu Hurairah RA. Dalam hadis tersebut dijelaskan bahwa ia berkata, “Kami pergi bersama Rasulullah menuju Khaibar, Allah telah memberikan kami kemenangan dalam perang itu dan kami tidak mendapatkan harta rampasan perang dalam bentuk emas dan uang, kami mendapatkan rampasan perang berupa perabotan, makanan dan pakaian. Kemudian kami beranjak menuju suatu lembah bersama Rasulullah SAW yang ketika itu beliau bersama seorang budak laki-laki yang dihadiahkan dari seorang laki-laki  penderita penyakit kusta, laki-laki itu bernama Rafa’ah bin Yazid dari Bani Dhubayyib, ketika kami menuruni lembah, berdirilah budak Rasulullah itu dan menempati jalan yang ditempuh oleh Rasulullah SAW, lantas ia pun terkena panah sehingga ia mati dalam lembah itu, maka kami pun berkata, ‘Selamat! Baginya kesyahidan ya Rasulullah’, maka Rasulullah pun bersabda, ‘Sekali-kali tidak, demi jiwa Muhammad yang berada di tangan-Nya, sesungguhnya jubah yang ada padanya itu akan menjadi api yang membakarnya, jubah itu diperoleh dari harta rampasan perang ketika perang Khaibar sebelum ditetapkan bagiannya.’ Maka terkejutlah orang-orang lantas datang seorang laki-laki dengan membawa satu atau dua tali sandal seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah, kudapati ini dari perang Khaibar, maka Rasulullah SAW bersabda, satu tali sandal itu dari api atau dua tali sandal itu dari api” (HR. Bukhari dan Muslim).

Muhammad Asy-Syaukani dalam kitabnya, Nail Al-Authar, menjelaskan bahwa budak yang bersama Rasulullah itu adalah Mid’am. Adapun jubah yang dikenakannya adalah sesuatu yang menyebabkan ia terjerumus ke dalam neraka demikian pula dengan tali sandal yang diambil dari rampasan perang (ghanimah) sebelum ditetapkan pembagiannya (Nail Al-Authar: 7/316).
Hadis yang telah disebutkan di atas merupakan dalil akan haramnya penggelapan harta yang bukan haknya. Apapun harta yang diselewengkan, berapa pun nilainya semua itu akan dimintai pertanggungjawabannya. Apa yang dimiliki secara tidak sah dapat menjerumuskan pelakunya ke dalam kemurkaan Allah. Sebagaimana yang telah dikemukakan pada hadis Bukhari dan Muslim di atas bahwa tali sandal yang nilai jualnya rendah dan seolah tidak berarti kelak dapat menjerumuskan pemiliknya ke neraka jika diperoleh dengan cara yang tidak sah.

Selain risywah dan ghulul, kejahatan korupsi dalam Islam dapat juga berwujud ikhtilas. Definisi ikhtilas adalah menyaring harta yang ada dalam anggaran negara dengan niat memiliki atau memanfaatkan sebagian harta tersebut baik secara terang-terangan maupun tersembunyi untuk kepentingan pribadi. Pengambilan harta yang bukan haknya merupakan perbuatan tercela, perbuatan semacam ini pun haram dilakukan karena termasuk memperoleh harta secara batil. Perbuatan ikhtilas tergolong perbuatan kriminal karena sama halnya dengan menipu dan menggelapkan hak kepentingan umum.

Penutup
Korupsi berkembang hingga membudaya di masyarakat ketika ketidakadilan semakin merajalela serta kondisi ekonomi negara melemah. Kemiskinan, ketidakadilan, mental curang, dan budaya hidup yang hedonis serta didukung dengan adanya kesempatan merupakan keniscayaan yang memancing siapa pun untuk melakukan korupsi baik dalam bentuk suap-menyuap atau penggelapan harta.
Pencegahan korupsi tidaklah cukup dengan mempidanakan para koruptor. Korupsi akan benar-benar terberangus dari masyarakat ketika kondisi-kondisi yang mengkondusifkan terjadinya perilaku korupsi, seperti ketidakadilan sosial dan ekonomi, dihilangkan dari masyarakat. Hal ini membutuhkan perjuangan seluruh elemen bangsa untuk turut andil mencerabut korupsi hingga ke akar-akarnya.

Para orangtua, guru, tokoh masyarakat, dan para pemimpin menduduki posisi penting dalam membina masyarakat berikut generasi penerus bangsa agar tertananamkan nilai-nilai kejujuran dan anti-korupsi dalam jiwa anak bangsa. Nilai kejujuran, keadilan, anti-korupsi, dan nilai kebaikan lainnya tidak lain dan tidak bukan didapatkan dalam agama. Tanpa agama, moral anak bangsa tidak bisa tegak dan berjalan lurus.

Apapun perbuatan yang dapat merugikan banyak pihak adalah suatu keburukan, termasuk korupsi, yang sangat berbahaya dan mengancam tatanan atau keteraturan kehidupan sosial masyarakat. Ketimpangan sosial meskipun akan selalu ada dalam masyarakat, harus selalu diupayakan agar tidak semakin melebar. Namun, jika korupsi menjamur menjangkiti para warga dalam suatu negara, kecemburuan sosial akan semakin ekstrem. Kalau sudah demikian, tidak hanya pihak tertentu yang dirugikan namun semua elemen bangsa ikut dirugikan. Hal ini merupakan penyakit yang sedini mungkin harus dicegah dan diberantas sampai pada tingkat akar rumput. Memegang prinsip amar maruf nahi munkar, korupsi adalah sebentuk kemungkaran yang harus dicegah oleh setiap umat. Semoga Allah melindungi kita dari segala kemungkaran.

Sumber: Lazuardi Birru

Rabu, 19 Juni 2013

Antara Wartawan dan Pers


Mungkin sudah taka sing ketika kita mendengar kata wartawan dalam benak kita. Dan kita tahu pula bahwa wartawanlah yang selalu meliput berita-berita sehingga kita mengetahui hal apa yang terjadi.  Semua kerjaannya dapat membantu kita sehingga kita mengetahui apa sih yang terjadi hari ini. Namun bagaimana seandainya jikalau kita adalah bagian staf humas atau public relations wartawan  adalah orang yang kita undang untuk meliput suatu acara yang kita selenggarakan atau pemberitaan yang berkenaan dengan lembaga kita.

Kita berkarir di dunia manajemen citra suatu lembaga amat membutuhkan  keberadaan wartawan. Namun sering kali  public relation yang tak mengerti  posisi wartawan, seperti halnya ketika sedang meliput wartawan tak dibolehkan untuk mengambil foto. Jadi untuk apa wartawan dipanggil jika tidak dibebaskan  untuk meliput hal-hal yang sedang terjadi. Semua ini hanya akan mempersulit wartawan untuk menyebarkan ke media massa.

Buku ini karangan Devie Rahmawati menghadirkan apa yang penting bagi public relation ketika wartawan datang. Dalam buku ini terdapat trik yang telah di pelajarinya melalui pengalaman. Semua itu terpaparkan sangat rapi.  Penulis pun menggunkan bahasa yang sangat mudah di baca. Penulis pun mengawali bukunya dengan hal-hal yang sering terjadi pada wartawan jadi membuat seorang pembaca mengerti bagaimana perasaan seorang wartawan ketika meliput jika dalam kondisi yang sering kali di larang meliput dengan bebas. Seperti halnya yang terdapat dari penggalan judul buku ini. “ Hah,,kita tidak boleh meliput” kalau tidak boleh ngeliput ngepain di suruh datang.

Suara keluh kesah di atas sudah tidak asing lagi di telinga seorang public humas. Terkadang lucu mendengarnya namun secara tidak langsung menyindir sedikit. Nah, dengan membaca buku ini kita bisa mendapatkan solusi mengahadapi wartawan. Wartawan juga kan manusia jadi perlu kita jalin hubungann baik dengan mereka.

Buku sangat berbeda dengan dengan buku lain. Karena buku ini diambil langsung dari pengalaman pribadi sehingga membuat pembaca yakin bahwa trik ini sangat manjur jika digunakan. Contoh-contoh di buku ini juga dapat mempererat hubungan wartawan dan Media.  Tanpa ada media wartawan tak bisa apa-apa, begitu pula media tanpa wartawan tak ada yang mempromosikan media mereka.

Sumber: Lazuardi Birru

Khath: Seni Kaligrafi Islam dari Masa ke Masa




Mendengar kata “kaligrafi”, tentu orang langsung merujuk pada tulisan indah dari ayat-ayat Alquran. Benar saja, kaligrafi merupakan salah satu bentuk keindahan seni Islam dalam menulis indah ayat Alquran. Seni kaligrafi lahir dari tangan seniman Islam sejak kedatangan Islam di Arab, sehingga bisa dibilang sejarah kaligrafi adalah sejarah Islam itu sendiri. Dibandingkan dengan bentuk kesenian Islam lainnya, kaligrafi menempati kedudukan khusus, bahkan dapat diaktakan yang paling populer, sebagai bentuk ekspresi ruh Islam yang sangat khas dan unik. Oleh karenanya, tidak berlebihan jika mengatakan kaligrafi sebagai “seninya seni Islam” (the art of Islamic art).

Meskipun lahir di tanah Arab, asal kata kaligrafi berasal dari bahasa Inggris calligraphy yang berarti tulisan tangan yang sangat elok, tulisan indah. Dalam  bahasa Latin, kaligrafi berasal dari kata colios yang berarti indah dan graph yang berarti tulisan, sehingga kaligrafi bermakna tulisan yang indah. Sedangkan dalam bahasa Arab, padanan kata yang tepat untuk mewakili kaligrafi adalah kata khath yang berarti seni menulis huruf Arab, dan orang atau seniman kaligrafinya disebut dengan khattath atau al-khattath.

Dilihat dari sisi historisnya, akar kaligrafi Arab sebenarnya adalah tulisan hierogliph bangsa Mesir. Menurut al-Maqrizi (1364-1442), seorang pakar sejarah Mesir, tulisan kaligrafi Arab pertama kali dikembangkan oleh masyarakat Himyar, yaitu suku yang mendiami Semenanjung Arab bagian barat daya yang hidup pada rentang tahun 115-525 S.M. Musnad sebagai salah satu jenisnya merupakan kaligrafi Arab kuno yang mula-mula berkembang dari sekian banyak jenis khath yang dipakai oleh masyarakat Himyar. Dari tulisan tua Musnad yang berkembang di Yaman, lahirlah sebuah  khath gaya Kufi. Beberapa sumber menyebutkan bahwa khath Kufi ini terus berkembang dan mencapai puncak kesempurnaannya pada pertengahan abad ke-7 M, di mana penulisan Alquran banyak menggunakan gaya Kufi.

Adalah Umar bin Khattab yang menginisiasi pembukuan wahyu Ilahi (Alquran) oleh sebab kekhawatiran akan banyaknya penghafal Alquran (huffadz) yang syahid dalam peperangan pada tahun 633 M, setahun setelah meningalnya Nabi Muhammad. Ketika Rasulullah Muhammad SAW masih hidup, Alquran sebagai pedoman hidup umat manusia, disyiarkan secara langsung oleh beliau kepada para sahabat serta kaumnya. Setelah Rasulullah wafat, wahyu tidak turun lagi. Penyebaran ajaran dan nilai yang terkandung dalam Alquran dari seorang Muslim ke Muslim lainnya dilakukan oleh para sahabat, secara khusus para sahabat yang huffadz, yang mengumpulkan Alquran dalam hafalannya. Sebagian para huffadz mencatat Alquran dalam lembaran daun-daun, tulang serta kulit binatang. Kumpulan ayat-ayat tersebut menjadi harta yang tak ternilai harganya bagi para huffadz. Namun, terbununhnya banyak huffadz dalam serangkaian perang sepeninggal Nabi membuat gusar Umar bin Khattab. Ia mendesak khalifah saat itu, Abu Bakar As-Siddiq untuk menyelematkan Alquran dengan cara menuliskannya secara resmi. Khalifah Abu Bakar merespon dengan baik dengan memerintahkan seorang sahabat yang cakap dalam ilmu menulis Bahasa Arab, yaitu Zayd bin Sabit untuk mengumpulkan file ayat-ayat Alquran yang dimiliki oleh para huffadz, baik dalam bentuk dokumen naskah maupun hafalan yang terjaga, sehingga menjadi berbentuk kitab.

Pada masa perkembangan berikutnya, Alquran yang ditulis tersebut ditetapkan dan disempurnakan pada periode khalifah ketiga dari Al-Khulafa Al-Rasyidin, yaitu masa Usman bin Affan pada tahun 651 M. Oleh Khalifah Usman, naskah Alquran disalin ke dalam empat atau lima edisi dan disebarkan ke wilayah-wilayah Islam yang strategis bagi perkembangan Islam. Naskah Alquran tersebut kemudian dikenal dengan Mushaf Usmani yang menjadi naskah baku Alquran hingga kini. Penulisan ayat Alquran pada mushaf tersebut dilakukan dengan seni khath yang indah dan menarik yang kemudian menginspirasi umat Muslim untuk mengembangkan seni penulisan Alquran yang indah.

Keahlian menulis, seiring dengan berkembangnya pengetahuan dalam Islam memang tumbuh pesat pada abad 7 Masehi. Pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab (634-644), muncul inisiasi membangun sistem administrasi yang menyertakan catatan dan dokumen. Reformasi sistem administrasi pemerintahan tersebut menuntut dibentuknya lembaga atau unit tata usaha. Awalnya, hal tersebut ditujukan untuk pembuatan laporan para gubernur di propinsi yang jauh dari ibukota kekhalifahan, seperti Irak, Syria dan Mesir. Sejalan dengan berlakunya reformasi administrasi tersebut, dan dari kondisi itulah, seni penulisan Bahasa Arab mulai berkembang dan menempati kedudukan penting dalam kebudayaan Islam, terutama kontribusinya dalam pengembangan seni penulisan Mushaf Alquran.

Selain Zayd bin Sabit, usaha penulisan Alquran juga dilakukan tanpa lelah oleh para sahabat Nabi yang lain, seperti  Muadz bin Jabal, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Zubair, Said bin ‘Ash, dan Abdurrahman bin Haris. Seni, gaya, serta karakteristik masing-masing penulis tersebut yang kemudian menjadi cikal bakal awal mulanya perkembangan seni kaligrafi Arab atau khath. Semakin luas cakupan syiar Islam, semakin berkembang seni kaligrafi Arab. Bahkan, jika diilustrasikan, seolah-olah para khattath berlomba-lomba untuk menjadi penulis terbaik dan utama pada masanya, dengan mengembangkan berbagai tipografi yang tergambar dalam kehidupan masyarakat di sekitar jazirah Arabia waktu itu. Para seniman kaligrafi awal Islam tersebut tidak hanya menulis, namun juga melakukan riset lapangan untuk mengembangkan jenis, gaya, atau bentuk tulisan dalam kaligrafi.

Ragam Gaya Kaligrafi
Dalam seni kaligrafi Islam, terdapat beberapa jenis gaya tulisan. Salah satunya adalah gaya Kufi. Bentuk tulisan pada seni kaligrafi yang menggunakan gaya ini disebut khath Kufi. Gaya kaligrafi ini banyak digunakan untuk penyalinan Alquran periode awal, sehingga bisa dikatakan menjadi model penulisan paling tua di antara gaya kaligrafi. Ragam penulisan kaligrafi dengan gaya Kufi ini muncul dan berkembang di kota Kufah, Irak, yang merupakan salah satu kota terpenting dalam sejarah peradaban Islam sejak abad ke-7 M. Gaya Kufi  ini diperkenalkan oleh Ibnu Muqlah, seniman kaligrafi Arab yang merupakan seorang menteri (wazir) pada masa kekhalifahan Dinasti Abbasiyah. Karakteristik gaya tulisan Kufi berupa garis lurus pada huruf-hurufnya, baik garis lurus secara vertikal, horisontal maupun diagonal, dengan sedikit lengkungan dan terlihat sangat kaku, bahkan terkesan sangat formal. Dalam perkembangannya, gaya ini kemudian berkembang menjadi lebih ornamental dan sering dipadukan dengan ornamen atau hiasan floral. Jenis gaya ini selain untuk penulisan mushaf Alquran juga banyak dimanfaatkan untuk penulisan judul buku, dekorasi, atau lukisan.

Ragam gaya penulisan dalam seni kaligrafi berikutnya adalah gaya Tsulutsi. Kaligrafi yang memakai gaya ini disebut khath Tsulutsi. Bentuk hurufnya tampak anggun dan berwibawa, serta memiliki kesan keluwesan tersendiri yang membedakannya dengan gaya lain. Selain kuat dalam ornamental, gaya kaligrafi ini banyak diwarnai dengan hiasan tambahan serta sangat fleksibel atau mudah dibentuk dalam komposisi tertentu untuk memenuhi ruang tulisan yang tersedia. Karakteristik gaya Tsulutsi sangat terlihat pada bentuk tulisannya yang berbentuk kurva, dengan kepala meruncing dan terkadang ditulis dengan gaya sambung serta interseksi yang kuat. Gaya Tsulutsi ini banyak digunakan sebagai ornamen arsitektur masjid, sampul buku, dan dekorasi interior.

Di samping Kufi dan Tsulutsi, dalam seni kaligrafi Islam juga berkembang gaya Naskhi. Ragam gaya jenis ini merupakan yang paling sering digunakan oleh umat Islam dalam menulis atau melukis kaligrafi, baik untuk menulis naskah keagamaan maupun tulisan keseharian. Berbagai sumber menyebut bahwa gaya Naskhi termasuk dalam jajaran gaya penulisan kaligrafi tertua. Ibnu Muqlah mensistematiskan kaidah penulisan gaya ini pada abad ke-10, sehingga atas jasanya tersebut gaya kaligrafi ini menjadi populer dan banyak digunakan untuk menulis mushaf Alquran hingga masa sekarang. Karakter huruf dalam gaya Naskhi cukup sederhana, nyaris tanpa hiasan tambahan, sehingga mudah ditulis dan dibaca oleh penikmat khath.

Pada masa pemerintahan Dinasti Usmaniyah, dikenal para seniman kaligrafi yang mengembangkan berbagai gaya penulisan pada seni kaligrafi, seperti gaya Riq’ah atau Riq’i, dan gaya Ijazah  atau Rihani atau Raihani. Keduanya merupakan hasil pengembangan kaligrafi gaya Naskhi dan Tsulutsi. Gaya riq’i,  hurufnya sangat sederhana, tanpa harakat, sehingga memungkinkan untuk ditulis secara cepat. Sedangkan karakter huruf dalam Raihani seperti halnya Tsulutsi, namun lebih sederhana, sedikit hiasan tambahan, dan tidak lazim ditulis secara bertumpuk. Gaya ini umum digunakan untuk penulisan ijazah dari seorang guru kaligrafi kepada muridnya.

Jenis gaya penulisan dalam seni kaligrafi Islam selanjutnya adalah Diwani. Gaya ini sangat lembut dengan garis-garis melengkung dan meliuk-liuk, tidak berharakat, dan tampak lugas dan jelas. Gaya kaligrafi ini mulanya dikembangkan oleh Ibrahim Munif, yang kemudian disempurnakan oleh Syaikh Hamdullah  sekitar abad ke-15 dan awal abad ke-16. Gaya ini digunakan untuk menulis kepala atau kop surat resmi kerajaan. Keindahan tulisan kaligrafi Diwani banyak dimanfaatkan untuk ornamen arsitektur dan sampul buku, dan sering pula untuk surat-surat resmi. Gaya ini mengalami pengembangan di tangan Hafiz Usman, dari Daulah Usmaniyah di Turki, yang kemudian dikenal dengan Diwani Jali. Jika Diwani tanpa harakat, justru Diwani Jali mempunyai harakat yang melimpah, sehingga sulit dibaca secara selintas. Biasanya, model ini digunakan untuk aplikasi yang tidak fungsional, seperti dekorasi interior masjid atau benda hias.

Berikutnya, ada seni penulisan kaligrafi dengan ragam gaya Farisi. Sesuai namanya, gaya ini dikembangkan oleh seniman Persia dan hal itu menjadikannya sebagai huruf resmi bangsa ini sejak pemerintahan Dinasti Safawi hingga sekarang. Gaya ini mengutamakan unsur garis sebagai cirinya, yang  ditulis tanpa harakat. Kepiawaian seorang seniman dalam menuliskannya sangat ditentukan oleh kelincahannya mempermainkan tebal-tipis huruf dalam “takaran” yang tepat. Penggunaan gaya ini lebih banyak untuk dekorasi eksterior masjid di Iran, yang dipadu dengan warna-warni arabes.

Di samping gaya-gaya yang telah disebutkan, ragam gaya penulisan dalam seni kaligrafi Islam yang juga berkembang adalah gaya Tawqi dan Muhaqqaq. Gaya Tawqi muncul pada periode kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Gaya ini khusus digunakan untuk keperluan tulis-menulis resmi. Gaya Muhaqqaq salah satu jenis penulisan yang cukup sederhana. Ujung-ujung huruf pada gaya Muhaqqaq memanjang, sementara kurva berada pada ujung bawah baris atau dapat dikatakan menggarisbawahi teks. Di antara jenis kaligrafi yang ternama, ada gaya Moalla atau Mu’allaq. Gaya ini memang kurang begitu populer, jarang dipakai dan tidak menjadi standard buku panduan kaligrafi yang umum beredar. Gaya kaligrafi ini diperkenalkan oleh Hamid Ajami, seorang kaligrafer kelahiran Teheran, Iran, dan hanya berkembang di Iran.

Fungsi Kaligrafi
Sebagai salah satu wujud karya seni yang dibangun dengan landasan pertimbangan-pertimbangan estetis dan keagamaan, seni kaligrafi mempunyai beberapa fungsi yang sangat penting. Pertama, secara ideal kaligrafi dapat dipakai sebagai media komunikasi untuk menyampaikan “misi dakwah” kepada penikmat agar mendapatkan sentuhan nilai atau rasa keagamaan. Lukisan kaligrafi yang bersifat religius yang menampilkan ayat-ayat suci Alquran sarat dengan nilai estetis relijius, sesuai dengan sifat Allah yang Maha Indah, “innnallaaha jamiilun yuhibbul jamaal (sesungguhnya Allah Maha Indah, Dia menyukai keindahan).

Seni lukis kaligrafi bisa menjadi semangat pelecut keimanan. Manakala manusia menyadari bahwa pena merupakan senjata pemusnah keingkaran dan keinginan, maka dengan kitab suci sebagai pemandu akal dan hasrat keinginan, seni kaligrafi menjadi media komunikasi manusia dengan Tuhannya, yakni melalui wahyu-wahyu yang mewujud dalam ayat-ayat Alquran. Dengan kata lain, ajaran-ajaran suci Alquran akan bisa tersampaikan dan terwujudkan melalui karya seni menulis indah itu.

Kedua, secara fisik kaligrafi dimanfaatkan sebagai dekorasi atau hiasan. Ismail R. Faruqi, dalam bukunya Cultural Atlas of Islam mengatakan bahwa kaligrafi Arab, merupakan media ungkap nilai-nilai spiritual yang dipengaruhi oleh kesucian wahyu Alquran yang dilakukan para seniman Muslim di seluruh dunia. Dalam perkembangannya, kaligrafi dengan aneka ragam aliran merasuk dalam berbagai bidang kehidupan kaum Muslim untuk kemanfaatan keindahan dan spiritual. Oleh karenanya sangat wajar jika kaligrafi Arab ini memenuhi ruangan hidup kaum Muslim, seperti ruang masjid, buku-buku ilmiah, kitab suci Alquran, kitab-kitab hadis, makam, arsitektur gedung perkantoran, hiasan dinding, tughra, stempel, senjata perang, busana dan sebagainya.

Bukti semangat tersebut dapat kita lihat pada berbagai hiasan kaligrafi dan Arabeska di beberapa bangunan Islam terkenal di dunia, seperti Masjid Cordoba di Spanyol, Masjid Al-Hambra di Granada, Masjid Istambul Turki, Masjid Isfahan, Masjid Ibnu Toulon, dan Istana Taj Mahal. Roger R, Garaudy, mengatakan bahwa budaya Qurani yang dikembangkan para seniman kaligrafi Muslim, telah berpengaruh di dada perupa Barat, seperti Kandinsky, Mondrian, Monet, Gauguin, dan Matisse yang juga mengembangkan nilai-nilai keilahian pada karya-karya mereka.

Kaligrafi sendiri tentu saja syarat makna, dimana dalam tulisan atau naskahnya terkandung filosofi dan pesan dakwah agar umat Islam senantisa selalu membaca ayat-ayat suci Alquran dan ingat kepada Allah SWT. Maka banyak yang beranggapan bahwa menghias ruangan atau bangunan dengan memajang kaligrafi lebih baik daripada memajang patung atau gambar makluk hidup seperti manusia atau hewan. Pasalnya, dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad SAW bersabda bahwa malaikat tidak akan memasuki rumah yang di dalamnya terdapat patung atau gambar yang berbentuk makhluk hidup, lantaran setan atau jin kafir bakal mendiami pajangan atau gambar tersebut. Hadis tersebut memperkuat pandangan umat Islam untuk menempatkan Kaligrafi selain sebagai hiasan rumah juga mempunyai makna relijius tersendiri.

Saat ini, seni kaligrafi juga sudah sangat variatif, mengingat dalam perkembangannya kaligrafi memiliki trennya sendiri yang selalu mengalami perubahan dan perkembangan. Tidak hanya sebatas seni lukis yang menggunakan media kanvas atau kertas saja, kini kaligrafi telah banyak dituangkan dalam media logam, kuningan, kaca, kolase ataupun ukiran kayu, sehingga seni Islam ini mampu berkompetisi di tengah perkembangan seni, terutama seni rupa modern.

Seni kaligrafi Islam sebagai salah satu nafas kebudayaan Islam tidak semata-mata hanya mengandalkan kemahiran serta penguasaan teknik dan ketangkasan menangkap objek estetika. Namun, yang lebih utama adalah sebagai karya seni, kaligrafi sebagai spirit Islam juga ditentukan oleh wawasan intelektual dan pecapaian spiritualitas seseorang serta kearifannya dalam menyerap hakikat keindahan dan kenyataan yang selaras dengan pandangan Islam.

Sumber: Lazuardi Birru

Selasa, 18 Juni 2013

Kapankah malam Lailatul Qadar turun/terjadi?



Dalam banyak riwayat hadis disebutkan bahwa Nabi Muhammad menganjurkan umatnya untuk mencari malam lailatul qadar  pada sepuluh malam Ramadhan yang terakhir.

Nabi Muhammad SAW bersabda, “Rasulullah beri’tikaf pada sepuluh malam Ramadhan terakhir, dan beliau bersabda: carilah lailatul qadar pada sepuluh malam yang terakhir” (HR. Muttafaqun ‘alaih – disepakati kesahihannya oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim).

Nabi Muhammad SAW bersabda, “Carilah lailatul qadar pada sepuluh malam Ramadhan terakhir, sebab sesungguhnya malam lailatul qadar jatuh pada malam yang ganjil, malam dua puluh satu, dua puluh tiga, dua puluh lima, dua puluh tujuh, dua puluh sembilan, atau pada malam akhir bulan Ramadhan. Barangsiapa yang mengisi malam tersebut dengan beribadah disertai dengan keimanan dan bertujuan mencari ridha Allah, maka diampuni dosanya yang telah diperbuat dan dosa yang akan datang” (HR. Thabrani).

Senin, 17 Juni 2013

Kiai Kampung


 

Pada awalnya, istilah “kiai kampung” mengacu kepada sosok alim (atau biasa dikenal dengan istilah ulama) yang berada di tengah-tengah masyarakat. Kiai kampung identik dengan kesederhanaan hidup, kedalaman/penguasaan ilmu keislaman yang nyaris sempurna dan senantiasa mengabdi kepada masyarakat, khususnya melalui lembaga pendidikan Islam yang biasa dikenal dengan istilah pesantren.
Padatnya jadwal mengajar di lingkungan pesantren membuat kiai kampung tidak mempunyai waktu untuk mengurus hal-hal di luar keilmuan, alih-alih hiruk-pikuk politik dan kekuasaan yang bersifat pragmatis. Bila ada waktu luang (di sela-sela mengajar di pesantren), pada ghalibnya kiai kampung justeru menggunakannya untuk mengisi pengajian umum yang diadakan oleh masyarakat sekitar.
Dilihat dari konsistensi dan perannya sebagaimana di atas, tak berlebihan bila kiai kampung mendapatkan julukan sebagai abdi umat (khadimul ummah), ilmuan sejati (al-‘alim-al’allamah) dan penjaga pesantren yang oleh pendiri NU (Hadratus Syeikh Hasyim Asy’ary) disebut sebagai pintu ilmu keislaman. Semua ini dapat dijadikan sebagai ciri khas dari sosok kiai kampung, di mana pun berada (termasuk yang berada di perkotaan).

Pada kisaran tahun 2008, istilah kiai kampung dipopulerkan oleh cucu pendiri NU yang menjadi Presiden Republik Indonesia ke-4. Beliau adalah KH Abdurrahman Wahid yang dikenal dengan julukan Gus Dur. Gus Dur mempopulerkan istilah ini sebagai kritik terhadap fenomena “kiai politik praktis” yang membuat para kiai justru lebih sibuk rapat di gedung-gedung partai, pemerintahan ataupun penginapan. Padahal sebagaimana disampaikan di atas, sebelum terbawa ke dalam fenomena “kiai politik ragtis”, para kiai lebih sibuk mengajar di pesantren dan pengajian yang diadakan oleh masyarakat sekitar.

Dalam beberapa waktu terakhir, kritikan yang dilakukan oleh Gus Dur dengan gerakan kiai kampung-nya sebagaimana di atas penting untuk dipertimbangkan kembali. Tidak semata-mata untuk mengingatkan para kiai agar tidak meninggalkan pesantresn seperti yang telah dilakukan oleh Gus Dur. Lebih daripada itu, gerakan kiai kampung saat ini sangat dibutuhkan untuk mengimbangi (kalau tidak boleh mengatakan melawan) fenomena “ustaz media” yang kerap menghiasi layar kaca ataupun media-media lain.

Hal ini penting dilakukan mengingat sebagian dari ustaz media kerap melenceng dari ciri khas atau jati diri seorang ilmuan atau ulama sejati (al-‘alim-‘allamah), khususnya aspek kedalaman ilmu dan kesederhanaan hidup sebagai sosok teladan. Hal yang kerap terjadi justeru sebaliknya, sebagian dari ustaz media justeru lebih menonjolkan “kemewahan hidup” (pakaian, rumah, mobil dll) dan lawakan sebagai daya tarik penampilannya. Sedangkan aspek kedalaman ilmu justeru tidak menonjol. Bahkan beberapa waktu lalu ada ustaz media yang mendapatkan tegoran langsung (dalam acara live) dari seorang kiai terkemuka akibat salah menyebut Hadis (padahal yang dikutip bukan Hadis).

Tentu saja hal ini tidak berlaku umum bagi semua ustaz atau ulama yang kerap menghiasi media. Mengingat di antara ustaz media terdapat beberapa ulama atau kiai yang mencerminkan sebagai ilmuan sejati dengan pelbagai macam ciri khasnya sebagaimana telah disebutkan di atas. Yaitu aspek kedalaman ilmunya, kesederhanaan hidup, pengabdiannya yang total terhadap masyarakat dan lain sebagainya.
Hal ini penting untuk diperhatikan oleh semua pihak, khususnya para awak media. Hingga mereka tidak hanya mengandalkan hal-hal yang bersifat penampilan untuk menunjang sukses acara yang ada, tapi juga harus mempertimbangkan aspek kedalaman ilmu dan keteladanan dari tokoh yang ditampilkan.
Untuk acara-acara umum di luar keagamaan, mengandalkan hal-hal yang bersifat penampilan demi suksesnya suatu acara, tentu masih bisa dipahami. Namun hal ini tidak bisa digunakan untuk acara-cara yang sifatnya keagamaan. Sekali lagi karena agama berkaitan dan keilmuan dan keteladanan.

Sejatinya media memberikan ruang selebar-lebarnya kepada para kiai kampung ataupun ulama yang mencerminkan kedalaman ilmu, pengabdian tulus kepada masyarakat dan kesederhanaan hidup. Hingga masyarakat mendapatkan keteladanan hidup dan wawasan keislaman secara lebih utuh yang jauh dari aksi-aksi kekerasan.

Sumber: Lazuardi Birru