Selasa, 30 Juli 2013

Maaf numpang tanya! Hukum orang yang bertato itu apa? Sah apa nggak low sholat?

Sobat Birru Jom yang hebat….
Bertato dalam Islam termasuk bagian perbuatan yang diharamkan. Baik yang meminta ditato maupun bagi orang yang membuat tato, semuanya dilaknat oleh Allah. Hal ini sesuai dengan hadis dalam beberapa riwayat yang pernah disabdakan oleh Rasulullah SAW:
  1. Dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhuma, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda “Allah melaknat perempuan yang menyambung rambut dan minta disambungkan rambutnya, perempuan yang membuat tato dan yang meminta dibuat tato.” (HR. Bukhari)
  2. Rasulullah SAW melaknat perempuan yang mentato dan minta ditato, dan yang mengikir gigi dan yang minta dikikir giginya.” (HR. Al-Thabrani)
Apalagi, jika tinta tato yang ditanam atau dilukiskan di kulit menghambat penyerapan air wudhu sehingga yang bertato selalu terhalang untuk bersuci dan melakukan kewajiban shalat dan kewajiban lainnya. Dengan argumen ini, secara garis besar bertato sangat merugikan bagi umat Muslim dan oleh karena itu diharamkan dalam hukum Islam.

Rabu, 24 Juli 2013

Islam di Negeri Tirai Bambu (1): Sejarah Masuknya Islam ke China












Islam masuk ke China pada awal pertengahan abab ke-7. Perkembangan dan penyebaran Islam terjadi pada periode Dinasti Tang, Song, Yuan, Ming dan Qing, serta pemerintahan Republik (618-1949 M) selama 1300 tahun. Jumlah pemeluk Islam terus mengalami perkembangan hingga mencapai 20 juta orang sampai saat itu. Sampai-sampai Islam memiliki sebutan pada tiap-tiap periodesasi sejarah pemerintahan di sana. Pada era Dinasti Tang (618-907 M) misalnya, Islam dikenal dengan Dashi Jiao, agama Dashi, panggilan yang biasa disematkan untuk orang Arab Dashi. Sementara di era Dinasti Ming (1368-1644 M), Islam lebih populer dengan sebutan Tiangfang Jiao (agama bangsa Arab), atau Hui Hui Jiao (agama bangsa Hui Hui). Karena itu, orang Muslim dengan latar belakang etnik yang bervariasi umumnya dikenal sebagai orang Hui Hui.

Begitu juga pada era Dinasti Ming dan Qing (1616-1911 M), komunitas Muslim mempunyai panggilan yang khas dengan sebutan Qingzhen Jiao, yang berarti agama yang benar dan murni. Terakhir, pada era Republik (1912-1949 M), Islam disebut Hui Jiao atau agama bangsa Hui, yakni sebuah kelompok etnik Muslim di China.

Setelah pemerintahan China Baru didirikan pada 1949, Dewan Negara mengeluarkan kebijakan supaya mencatat nama-nama Islam di tahun 1956. Kebijakan itu menghasilkan keputusan bahwa Islam adalah agama yang mendunia, dan terminologi Islam merupakan nama universal yang digunakan masyarakat secara internasional. Jadi, tidak boleh lagi ada penyebutan Hui Jiao untuk Islam mulai saat itu, cukup dengan penyebutan Islam.

Sejak itu, terma Islam secara umum digunakan di daratan China, meski Islam di Hongkong, Macau, dan Taiwan masih disebut Hui Jiao. Di antara 56 kelompok etnik China, terdapat 10 etnik yang menjadikan Islam sebagai kepercayaan nasional mereka. Di antara etni-etnik tersebut terdapat etnik Hui, Uighur, Kazak, Dongxiang, Khalkha, Sala, Tajik, Uzbek, Bao’an dan Tatar. Di samping itu ada juga etnik yang sebagian kecil warganya memeluk Islam seperti yang terjadi pada etnik Mongol.
Perkembangan Islam di China memunculkan pertanyaan terbuka ketika Islam pertama kali dikenalkan di negeri tirai bambu ini. Banyak peneliti dan cendekiawan yang meneliti hal ini tetapi kerap berujung pada kesimpulan yang berbeda-beda. Yang ternilai paling valid adalah penemuan sejarawan China kontemporer, Chen Yuan. Dia mengatakan bahwa Islam mulai masuk pada tahun kedua Cefu Yonghui dari Dinasti Tang.

Yuan menemukan dokumen-dokumen aktual mengenai sejarah Dinasti Tang dan Yuangui. Hasil penelitiannya menjadi rujukan utama pengetahuan sejarah Islam China. Yuan menyimpulkan, Islam masuk ke China pada tahun kedua Yonghui kekaisaran Gaozong Dinasi Tang. Saat itu, Khalifah Arab Othman ketiga (644-656 M) mengirim utusan diplomatik ke ibukota Tang, yaitu Chang’an dalam rangka memenuhi undangan Kaisar Gaozong. Kaisar ingin dikenalkan tentang kekhalifahan dan adat budaya Islam. Banyak sejarawan yang menyebut tahun ini sebagai awal mula masuknya Islam ke China.

Islam masuk ke China melalui dua rute, laut dan darat. Komunikasi dan transportasi antara China dengan negara-negara Bagian Barat (baca saat ini: Xinjiang dan Asia Tengah) mulai terjalin sejak Zhangqian (?-114 M) dikirim oleh Kaisar Hanhe sebagai utusan ke Bagian Barat di masa Dinasti Han pada tahun ke-9 Yongyuan. Dia diutus ke Semenanjung Arab dalam misi diplomatik ke Bagian Barat. Saat itu, transportasi dan komunikasi jalur laut antara China dan negara-negara di Bagian Barat sudah jauh berkembang.

Jalan darat yang terbentang dari Asia Barat Daya melewati Persia, Afghanistan, Asia Tengah, Pegunungan Tianshan dan Jalur Hexi hingga Chang’an merupakan jalur lintasan penting yang menghubungkan China dan Barat. Banyak saudagar Muslim melakukan perjalanan panjang dan berliku ke China untuk berbisnis. Dalam buku bertajuk “Zhi Zhi Tong Jian/Sejarah sebagai Sebuah Cermin” tercatat ada lebih dari 4.000 pebisnis asing yang masuk ke Cang’an pada era Dinasti Tang. Mayoritas pedagang berasal dari Arab dan Persia.

Pedagang-pedagang China dan Arab mendominasi jalur bisnis laut mulai dari teluk Persia dan laut Arab, berlanjut ke teluk Bangladesh, selat-selat Malaka dan laut China Selatan, hingga pelabuhan-pelabuhan di China seperti Guangzhou, Quanzhou dan Yangzhou. Pedagang Arab dan Persia datang ke tempat-tempat ini untuk melakukan bisnis, dan di antara mereka ada yang menetap di sana. Tidak salah jika dikatakan Islam menyapa China melalui bisnis laut.

Hubungan China dengan negara-negara Islam juga terjalin di bidang militer. Dinasti Tang kerap menjalin hubungan militer dengan kerajaan Arab Islam. Selain itu, komunikasi China dengan Islam tetap terjaga lebih dari 148 tahun, dari tahun kedua Yonghui Kekaisaran Gaozong (651 M) sampai tahun ke-14 Zhengyuan Kekaisaran Dezong (798 M). Kunjungan para utusan Arab ke China tercatat mencapai 37 kali.

Sayangnya, di masa kekuasaan Tang, pemerintahan pusat dilemahkan persoalan sosial dan politik internal seperti korupsi dan otoritarianisme pusat terhadap kendali propinsi-propinsi kecil. Karena penekanan itu, sejumlah penguasa lokal seperti gubernur An Lushan melakukan pemberontakan di Fanyang (sekarang Beijing) pada 755 M. Pemberontakan ini dibantu dengan jenderal Shi Shiming yang menguasai provinsi Hebei. Mutlak, pemberontakan itu kian melemahkan Dinasti Tang.
Dinasti Tang meminta bantuan militer dari kerajaan Arab untuk meredam pemberontakan An dan Shi. Hubungan baik dengan kerajaan Arab dipertahankan tetap langgeng. Setelah perang usai, Kaisar Zongyun mengizinkan tentara-tentara Arab untuk tetap tinggal di China. Dari hal itu, Islam semakin eksis di China.

Dinasti Tang dan Song (618-1279 M) merupakan periode pertama Islam di China. Saat itu, pada dasarnya Muslim di China terdiri dari para pedagang, tentara, dan utusan-utusan diplomatik kerajaan Arab dan Persia. Mereka menetap dalam komunitas-komunitas yang berkoloni. Mereka teguh menjaga agama dan cara hidup mereka. Kehadiran mereka ke China lebih bertujuan pada upaya bisnis, bukan sebagai misionaris. Karena alasan ini, kehadiran mereka tidak ditentang para penguasa China. Keberadaan mereka malah dihargai dengan dibolehkannya menetap dan menikah dengan penduduk setempat di sana.

Orang-orang Islam yang menetap di China dipanggil Zhu Tang, penduduk asing yang tinggal di China. Muslim Zhu Tang menikahi perempuan China lokal dan beranak pinak. Keturunan mereka menjadi pribumi asli yang terlahir sebagai Fan Ke, yang berarti orang asing atau Muslim asing. Meski demikian, jumlah orang Islam si China saat itu masih sedikit sekali. Keberadaan mereka rata-rata terkosentrasi di kota-kota besar dan pelabuhan-pelabuhan di sepanjang jalur pusat komunikasi pemerintahan.
Perkawinan silang antara Muslim asing yang menetap di China dengan penduduk asli China menjadi sebuah fenomena umum. Di antara generasi pertama Muslim asing di China, sebagian besar datang secara individual. Mereka hidup dalam kemakmuran dan menikmati status sosial yang tinggi, sebagai saudagar. Karena itu, pernikahan silang bukanlah sesuatu yang sulit bagi mereka. Mereka menikahi perempuan pribumi, pejabat, bahkan keluarga darah biru.

Kebutuhan melaksanakan ritual keagamaan mendesak mereka untuk membangun beberapa masjid. Mereka menjadikan masjid sebagai pusat komunikasi antar-Muslim di sana seperti masjid Huaisheng di Guangzhou, Qingjing di Quanzhou, Xianhe di Yangzhou dan Fenghuang di Hangzhou.  Keempat masjid ini dibangun pada dinasti yang berbeda-beda dan disebut sebagai empat masjid kuno China.
Seperti disebutkan di awal, selama Dinasti Tang dan Song, perdagangan asing berkembang, sehingga banyak pedagang Arab dan Persia yang menetap di China. Pada tahun ke-4 Zhenghe Dinasti Song, mulai muncul generasi ke-5 penduduk lokal Fan Ke. Pemerintahan Song secara khusus mengeluarkan kebijakan hukum waris bagi generasi ke-5 penduduk lokal Fan Ke. Kebijakan ini betujuan untuk menyepakati problem kewarisan mereka yang sebelumnya menjadi persoalan.

Sementara itu, masih pada era Song, kalangan Muslim pribumi mulai menerima dengan positif pendidikan budaya China. Di Guangzhou dan Quanzhou, di mana masyarakat Muslim terkosentrasi, muncul sekolah-sekolah khusus yang dijalankan umat Muslim sendiri. Sekolah-sekolah itu lebih dikenal dengan sebutan Fan Xue –sekolah bagi orang asing–, yang hanya atau sebagian besar merekrut anak-anak dari orang Muslim pribumi.

Pembangunan Fan Xue bertujuan untuk mendidik anak-anak Muslim dengan budaya tradisional masyarakat China dan membantu mereka supaya lebih cepat menyesuaikan diri dengan kebudayaan China. Target akhir Fan Xue adalah ujian kekaisaran yang diselenggarakan pengadilan setempat. Ujian tersebut merupakan jalur terpenting bagi umat Muslim China untuk berpartisipasi dalam bidang politik. Dinasti Song mengikuti sistem Tang yang membolehkan orang-orang asing dan keturunan mereka yang tinggal di China untuk mengikuti ujian kekaisaran dengan subjek sama seperti yang diujikan kepada masyarakat asli China. Meski sistem ujian kekaisaran itu belum utuh, kuota tahunan memungkinkan orang asing langsung terlibat di bidang politik.

Selain pernikahan silang dan pembangunan basis pendidikan, peningkatan populasi Muslim di China pada era Dinasti Song juga terjadi melalui “perbudakan”. Pada era Song, ada kewajiban sosial yang menuntut lahan milik pribumi diakui sebagai milik pemerintah. Karena alasan ini, sebagian petani lokal atau pemilik lahan meminta perlindungan pejabat atau keluarga-keluarga kaya untuk merubah identitas atau status sosial mereka agar bisa lari dari kewajiban sosial itu. Dari itu, ada di antara mereka yang berkeinginan menjadi budak keluarga Muslim agar lahan mereka tidak dicaplok pemerintah.

Fakta ini menjadi fenomena umum, sejumlah petani penyewa meminta perlindungan kepada keluarga-keluarga Muslim, yang kemudian mereka memeluk Islam di waktu yang bersamaan. Bagi umat Islam, memelihara budak merupakan sesuatu yang biasa, sebab menurut tradisi-tradisi Islam, budak seperti ini termasuk dalam bagian yang turut mewarisi, bahkan dimasukkan ke dalam kualifikasi orang yang mendapatkan warisan, bahkan seluruh lahan dari sang penguasa tanah. Jadi, masyarakat Muslim di masa Dinasti Song terlibat dalam semua aktivitas sosial kehidupan seperti menjalankan sekolah, melakukan ujian kekaisaran, pernikahan silang dan melindungi budak. Hasilnya, populasi masyarakat Muslim mengalami peningkatan dan pada akhirnya terbentuk etnik baru bernama etnik Muslim Hui sebagai komunitas Muslim terbesar di China. (bersambung…)

Sumber: Lazuardi Birru

Membaca Dengan Cara Quantum Reader



Zaman sekarang budaya membaca sangatlah kurang bagi kalangan remaja dan anak-anak. Banyak dari mereka sangat malas membaca. Padahal kalau kita banyak membaca maka kita dapat menjelajahi dunia walau hanya dengan membaca.  Karena dengan membaca ilmu dan wawasan kita menjadi bertambah. Seringkali orang mengeluh ketika harus membaca, apalagi ketika melihat bacaan itu tebal sekali. Pendapat mereka yang sering terdengar adalah baca buku yang tipis saja kadang tidak aham apalagi membaca buku yang sangat tebal.

Bayangan seperti itu yang sering kali terjadi di kalangan kita. Sebenarnya kita tak perlu risau ketika ditugaskan untuk membaca buku yang sangat tebal. Hal yang pertama harus kita lakukan adalah kita harus memahami benar taktik membaca itu bagaimana.  Tidak mau kan kalau kita sudah cape-cape membaca buku yang tebal tapi tidak mengerti isi buku. Nah di dalam buku Quantum Reader ini kita dapat dengan mudah untuk membaca dan memahami isi buku dengan cepat. Buku ini juga memberi kita metode bagaimana kita harus membaca, bagaimana kita memaksimalkan kemampuan kedua belahan otak kita, membiarkan pikiran yang membaca, membaca lebih cepat dan memahami lebih baik.

Penulis sangat cerdas memberikan metode membaca. Sehingga sang pembaca mudah sekali memahami apa yang seharusnya di lakukan agar menghasilkan yang optimal. Kemudian pula sang penulis pintar sekali memberikan contoh untuk pembaca membuat pembaca kagum akan contoh itu. Bagaimana tidak kagum, sang penulis menyontohkan Albert Einsten yang dahulunya terkena penyakit disleksia namun kini menjadi di kagumi di kalangan pelajar dan masyakat. Siapa yang menyangka penyakit disleksia itu bisa membuat Albert Einsten menjadi cerdas seperti itu.

Selain Contoh dan  metode-metode. Penulis pun memberikan buku ini gambar-gambar yang unik pada isi buku. Buku Quantum Reader ini ukuran nya pun tidak terlalu besar sehingga sangat mudah untuk dibawa kemana-mana.  Jadi mulai saat ini kita tak usah resah lagi jika mendapatkan tugas membaca. Karena dengan quantum reader permasalahan dapat kita atasi dengan baik.  Kita bisa belajar lebih banyak, lebih bisa bersenang-senang dan punya waktu lebih banyak untuk melakukan hal-hal yang menarik.

Dengan menggunakan tip dan trik Quantum Reader kita bagaikan elang besar yang dapat terbang tinggi melayang, berputar , menukik dan menyambar mangsanya.

Sumber: Klik

Selasa, 23 Juli 2013

Bagaimana cara menghajikan orang tua yang sudah meninggal?

Cara menghajikan orang tua yang sudah meninggal adalah dengan mengerjakannya dengan niat secara khusus ditujukan kepada orangtua yang telah meninggal.

Dari Ibnu Abbas RA, ia berkata: “Ada seorang wanita dari suku Juhainah menemui Nabi Muhammad SAW, lalu ia berkata, ‘Sesungguhnya ibuku pernah bernazar untuk menunaikan haji, dan ia belum sempat berhaji hingga wafatnya, apakah aku harus melakukan haji atas namanya?’ Beliau bersabda, ‘Ya, berhajilah atas namanya. Bagaimana pendapatmu jika ibumu mempunyai tanggungan hutang, bukankah kamu harus membayarnya. Bayarlah tanggungan Allah, karena tanggungan Allah itu lebih berhak dipenuhi” (HR. Bukhori).

Sumber: Lazuardi Birru

Rabu, 17 Juli 2013

Menjadi Remaja Bebas Stres ’N Selalu Happy

Setiap orang pasti pernah merasakan rasa tertekan, takut dan bersedih. Apalagi jika masalah yang terus beruntun datang serasa penderitaan hidup tak ada hentinya. Ketika menghadapi keaadaan seperti ini, Allah berpesan kepada kita semua La Takhaf Wa La Tahzan (jangan takut dan jangan bersedih.
Di dalam buku ini mengajak kita semua untuk memahami, menghayati kesedihan, kemudian memberikan jalan kebahagiaan.

Kenapa sih kita tidak boleh bersedih?Bukankah bersedih itu manusiawi?
Terlarut dalam kesedihan itu sangat bahaya karena dapat membuat kita lupa akan segalanya. Sikap sedih akan memadamkan bara harapan, mematikan ruh cita-cita dan membekukan semangat jiwa. Kesedihan pula tak ubahnya seperti demam yang melumpuhkan kehidupan umat Islam.
Sebagai seorang muslim diperintahkan untuk mengusir kesedihan, tidak boleh menyerah,serta harus membuang jauh – jauh rasa kesedihan. Situasi tanpa kesedihan adalah gambaran surga. Kelak ketika di surga kita akan berkata,Segala puji bagi Allah yang telah mengusir kami dari kesedihan dari diri kami. (QS.Fathir: 34)

Percayalah Allah selalu bersama kita jadi janganlah kamu semua membuang waktumu untuk kesedihan. Karena disetiap kesusahan pasti ada kebahagiaan, setelah kefakiran ada kekayaan,setiap sakit ada kesembuhan setelah cobaan ada pertolongan, setelah sempit ada lapang dan setelah sedih ada kebahagiaan. Janganlah bersedih karena hidup ini sudah ada pasang- pasangannya.
Semua akan ada waktunya. Bertindaklah perlahan seperti matahari yang tak pernah lebih cepat terbit atau tenggelam.  Dan ketahuilah  bahwa sesudah lapar ada kenyang, sesudah dahaga ada segar,sesudah melek pasti ada tidur dan yakinlah penderitaan akan segera berakhir.

Apakah yang paling jauh didunia ini?
Yang paling jauh di dunia ini adalah masa lalu kita tak akan bisa mendatanginya karena terlalu sulit untuk kembali ke masa lalu. Dan masa lalu hanya akan mengulang rasa sedih yang ada di hati kita. Janganlah pernah menyesali kesenangan yang luput dari tangan kita dan jangan disesali susu yang sudah tumpah di tanah.

Terimalah masa lalu sebagai masa lalu tanpa mengingkarinya atau melupakannya. Kenanglah ia, tapi jangan hidup di dalamnya. Belajarlah dari masa lalu tapi jangan menyalahkan diri karena masa lalu.
Kunci dari semuanya hanyalah iman. Karena iman adalah segalanya. Kesedihan hanyalah menentang qodha,memusuhi kepastian.Tiada yang dapat membahagiakan, menyucikan,membersihkan,dan membuat senang jiwa ini;dan tiada yang dapat menghilangkan kesusahan, kesedihan, kegelisahan,selain iman kepada Allah. Tiada berasa sama sekali hidupnya kecuali dengan iman.

Sumber: Lazuardi Birru

Senin, 15 Juli 2013

MODEL KAUM HEDONISME DALAM MENYIKAPI KEHIDUPAN DUNIA

Kaum hedonisme adalah manusia yang memandang bahwa perbuatan apa saja yang mendatangkan kepuasan, kelezatan dan kenikmatan seksual dalam hidup ini adalah baik dan perlu dilakukan. Manusia jenis ini mengukur kesuksesan hidup, kelayakan, kepantasan, baik, indah, perlu, penting dalam hidup semata-mata dengan materi. Mereka menjadi budak materi. Manusia serupa ini hidup dengan tidak mendengarkan pertimbangan akal sehat, pemikiran yang jernih, suara nurani, dan jeritan batin. Semuanya tertutup oleh kepentingan perut dan kepentingan di bawah perut. Lebih jauh Al-Qur`an menegaskan:

“Dan sesungguhnya Kami (Allah)  telah mempersiapkan banyak calon penghuni neraka jahannam dari kalangan jin dan manusia. Mereka adalah orang-orang yang mempunyai akal budi tetapi tidak digunakan untuk memahami dan menghayati agama; mereka mempunyai mata tetapi tidak digunakan untuk melihat tanda-tanda kekuasaan Allah; dan mereka pun mempunyai telinga tetapi tidak digunakan untuk mendengar peringatan Allah. Mereka seperti binatang, bahkan lebih sesat dari binatang. Mereka adalah orang-orang yang lalai” (Al-A’raf: 179).

Mereka menganut faham materialisme-sekularistik, hanya memikirkan soal materi, tidak percaya kepada kehidupan akhirat. Mereka pun menjadikan materi sebagai satu-satunya standar penilaian untuk mengukur kesuksesan dan kegagalan dalam  menjalani kehidupan ini. Manusia serupa ini kehilangan keseimbangan dalam hidupnya antara kepentingan dunia dan akhirat. Keadaan ini akan mencelakakan dirinya di dunia maupun di akhirat.

Dalam memasuki lembaran pertama milenium baru, yang dinyatakan sebagai abad penuh persaingan, ketegangan, goncangan, gejolak, dan ketidak-pastian; Al-Qur`an memberikan bimbingan kepada setiap insan yang beriman. Pertama, hendaklah setiap pribadi kita berani mengevaluasi keadaan dirinya masing-masing dengan jujur. Mengakui kesalahan, kekeliruan, kelalaian, kemalasan, pelanggaran, dosa, dan perbuatan maksiat yang mungkin pernah kita lakukan, baik secara sengaja atau tidak, dengan kesadaran atau pun keterpaksaan di hadapan keagungan dan kemurahan Allah, sambil memohon ampunan dan kasih sayangnya. Seraya menyatakan kebulatan tekad untuk menanggalkan dan meninggalkan kebiasaan lama yang buruk, dan menukarnya dengan cara pandang yang baru yang diridhoi Allah. Kedua, menyusun perencanaan untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas hidup, sambil menatap zaman baru dengan sikap optimis atas karunia Allah. Al-Qur`an menyatakan:

 “Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah tiap-tiap pribadi memperhatikan apa yang dipersiapkan untuk hari esok (masa depan), dan (sekali lagi) bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang melupakan Allah, maka Allah pun menjadikan mereka lupa pada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik” (Q.S. al-Hasyr: 18-19).

Manusia yang melupakan Tuhan akan dilupakan Tuhan. Manusia yang dilupakan Tuhan akan mengalami dehumanisasi (tercabut dari akar-akar kemanusiaannya). Manusia yang melupakan Tuhan adalah manusia yang berani hidup tanpa kedalaman iman, ketajaman berpikir, kepekaan intuisi, kekohohan keyakinan, keluasaan wawasan, dan keteguhan sikap. Manusia serupa ini akan mengalami goncangan batin yang dahsyat, mudah terombang-ambing, terbawa arus, dan menjadi bangsa yang rapuh. Tidak dapat menghormati manusia sebagai manusia, tidak dapat dipercaya, tidak dapat menegakkan hukum dan keadilan, tidak ada kejujuran di dalam hidupnya.

Melalui pelatihan mental dan fisik pada bulan suci Ramadhan, kaum Muslimin dikader sedemikian rupa agar dapat meningkatkan kualitas dirinya kepada tingkatan muttaqin, yang senantiasa menjaga dirinya dari mental dan watak kebinatangan. Beberapa watak kebinatang masih tetap ada pada diri manusia, tetapi hal itu difungsikan sebagai sarana untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah.

Adapun fithr dalam arti kesucian tiada lain, bahwa ‘Idul Fitri mengandung pernyataan dan keinginan kita untuk kembali kepada kesucian. Suci, menurut sementara pakar adalah gabungan dari tiga hal, indah baik, benar. Mencari keindahan menghasilkan hidup yang menghargai seni. Alam adalah karya seniman agung yang tiada tertandingi. Allah menciptakan manusia, langit, bumi, lautan dan daratan, serta flora dan fauna, dalam suatu simponi agung yang begitu serasi, indah penuh pesona. Merasakan keindahan yang hakiki, adalah ketika kita tadabbur alam, merawat, melestarikan, dan mencintai alam, seraya merasakan keagungan Allah dengan keheningan fikiran dan kepekaan intuisi; dengan fikir dan dzikir yang menembus kedalam sukma insani dan terpaut dengan Khâliq al-’Ø¢lam, Allah SWT.

Sementara itu, mencari kebaikan menghasilkan hidup dengan kesadaran menjunjung tinggi akhlak dan etika. Kesucian hanya dapat diwujudkan dengan hidup yang berakhlak, dan hidup yang berakhlak hanya dapat diraih dengan kesucian hati. Kita sewaktu lahir terbebaskan dari segala dosa dan noda, kita ingin kembali kepada kehidupan tanpa noda dan dosa. Kita bertobat, memohon ampunan kepada Yang Maha Suci, Maha Indah, lagi Maha Benar. Mencari kebenaran menghasilkan hidup dengan kesadaran mencari ilmu dan menjadikan ilmu landasan untuk beramal sehingga membuahkan komiten moral yang terukir dalam diri kita: ilmu amaliah amal ilmiah. Ilmu untuk menopang kualitas amal dan beramal dengan berdasarkan ilmu.

Mengamalkan agama secara kaffah, yakni secara lengkap dan sempurna dalam bentuk kesalehan individu dan kesalehan sosial merupakan pesan pokok Al-Qur`an untuk melindungi kita dari kemungkinan terjerumus ke dalam model kehidupan kaum hedonisme. Dengan keyakinan tauhid yang lurus, amal ibadah dan amal sosial yang ikhlas, serta ditopang dengan pengembangan wawasan keilmuan yang luas dan mendalam kita dapat mengembangkan kualitas ketaqwaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Kita pun akan menjadi manusia yang senantiasa dekat dengan Allah dan jauh  dari watak-watak kebinatangan. Ketika kita mengumandangkan takbir, tahmid, dan tahlil memuji Allah dalam melakukan shalat lima waktu maupun ketika menunaikan ibadah haji dan umrah; kemudian menyempurnakan ucapan takbir, tahmid dan tahlil dalam ibadah mahdhah itu dengan berbagai amal sosial dan kemanusiaan, maka sesungguhnya kita sedang menyatakan deklarasi kebulatan tekad untuk kembali kepada agama yang benar, agama tauhid yang lurus kepada Allah dan agama yang bertanggung jawab atas persoalan manusia dan kemanusiaan sehingga kita dapat meningkatkan kualitas diri kita, dekat dengan Allah serta peduli dan berbuat untuk sesama umat manusia. Wa Allah  a’lam bi al-shawwab.

Sumber: Lazuardi Birru

Menaati Negara dalam Berpuasa




Sudah menjadi kebiasaan yang mengganggu kebersamaan, penetapan hari awal dan akhir bulan puasa senantiasa berbeda-berbeda di kalangan ormas Islam. Sebagian menentukan dan merayakan pada hari tertentu. Sedangkan sebagian yang lain menentukan dan merayakan pada hari yang berbeda.

Sangat ironis, karena segenap perbedaan ini terjadi di saat negara (melalui pemerintah) mengeluarkan keputusan terkait dengan awal dan akhir bulan puasa. Tak heran bila perbedaan yang ada terkesan bernuansa pembangkangan terhadap keputusan negara. Walaupun kesan tersebut senantiasa ditolak oleh mereka yang mengeluarkan keputusan berbeda dengan ketetapan negara.

Alasan utama yang dijadikan pegangan oleh masing-masing pihak adalah perbedaan ijtihad, terutama dalam hal metodologi penetapan hilal (tanggal) yang selama ini dikenal dengan motode rukyah (melihat) dan hisab (hitungan).

Secara normatif, penentuan awal dan akhir bulan puasa merupakan otoritas negara. Hal ini sesuai dengan salah satu ayat Al-Quran yang mengharuskan umat Islam patuh kepada ketetapan ulil amri atau negara (athi’u allaha wa ar-rasul wa ulil amri minkum).

Hal ini diperkuat oleh Hadis Nabi Muhammad SAW terkait dengan awal dan akhir puasa. Hadis dimaksud berbunyi, berpuasalah kalian semua dengan melihat hilal dan berbukalah kalian semua dengan melihat hilal (shumu li ru`yatihi wafthuru lirau`yatihi).

Harus diperhatikan, secara redaksional Hadis di atas ditujukan kepada seluruh umat Islam (kalian semua). Artinya, berdasarkan Hadis tersebut masing-masing umat Islam berkewajiban melihat hilal secara langsung untuk memulai dan mengakhiri puasa di bulan Ramadhan.
Namun karena keterbatasan yang dimiliki, masing-masing umat Islam hampir mustahil bisa melihat bulan secara langsung dan secara personal. Kalaupun dilakukan, hal ini dipastikan akan menimbulkan kekacauan akibat perbedaan-perbedaan yang terjadi.

Di sinilah dibutuhkan adanya otoritas/lembaga yang secara mufakat mewakili dan bertindak atas nama masyarakat (termasuk di dalamnya umat Islam). Lembaga/otoritas tersebut tak lain adalah negara. Karena negaralah yang scara fungsional menjalankan apa yang tak mampu dilakukan oleh masyarakat secara personal.

Dengan demikian, otoritas dalam menentukan awal dan akhir bulan puasa sesunggunya berada di tangan negara, bukan di tangan lembaga lain di luar negara. Karena hanya negara yang secara mufakat mewakili dan bertindak atas nama masyarakat.

Semua pihak sejatinya tunduk dan mengikuti ketentuan negara. Hingga tidak ada perbedaan dalam penentuan awal dan akhir bulan puasa. Apalagi perbedaan yang ada terjadi antara negara dengan lembaga-lembaga yang berada di bawah naungannya sendiri. Hingga tak ada lagi hiruk-pikuk terkait dengan penetapan awal dan akhir bulan puasa.

Sumber: Lazuardi Birru

Rabu, 10 Juli 2013

Menapak Abad Baru Misi Pendidikan Muhammadiyah

 
Tahun 2012 terasa istimewa bagi warga Muhammadiyah. Pasalnya, sejak didirikan pada 1912 oleh KH. Ahmad Dahlan, organisasi ini terhitung genap berusia satu abad. Memang kemeriahan satu abad Muhammadiyah dalam hitungan Masehi ini tidak melebihi pelaksanaan Muktamar Muhammadiyah ke-46, yang sekaligus menyambut satu abad Muhammadiyah dalam hitungan kalender Hijriah, yang telah dilaksanakan dua tahun lalu di tanah kelahirannya, Yogyakarta. Meskipun demikian, usia seratus tahun berkarya untuk Indonesia tahun ini tetap sarat makna dan sangat berkesan bagi warga Muhammadiyah.
Sebagai komponen bangsa, berjalan 100 tahun membangun peradaban masyarakat Indonesia merupakan rekor tersendiri bagi Muhammadiyah. Baik pada periode sebelum kemerdekaan maupun pada era merdeka, organisasi Islam yang moderat ini telah berjuang melahirkan kemaslahatan sosial bagi Indonesia. Tercatat paling tidak bidang pendidikan, kesehatan, filantropi, dan kesejahteraan sosial telah disasar badan atau amal usaha milik Muhammadiyah. Pengamat Muhammadiyah, Mitsuo Nakamura, menyebutkan bahwa kontribusi Muhammadiyah tidak terbatas hanya untuk umat Muslim, tetapi juga masyarakat non-Muslim, dengan adanya sekolah dan rumah sakit Muhammadiyah di Papua dan Nusa Tenggara Timur yang mayoritas penduduknya non-Muslim.
Khusus dalam bidang pendidikan, setelah satu abad berkarya, partisipasi Muhammadiyah dalam dunia pendidikan Indonesia sungguh patut diapresiasi. Hingga kini, Mahammadiyah telah menyelenggarakan program pendidikan dengan menyediakan 1132 SD; 169 Madrasah Ibtidaiyah (MI); 1184 SMP; 534 Madrasah Tsanawiyah (MTs); 511 SMA; 263 SMK; 172 Madrasah Aliyah (MA); 67 Pondok Pesantren; 55 Akademi; 4 Politeknik; 70 Sekolah Tinggi dan 36 Universitas yang tersebar di seluruh Indonesia (Suara Muhammadiyah 05/95 1-15 Maret 2010).
Capaian yang luar biasa! Begitulah adanya, publik dan bangsa Indonesia secara fakta telah tercerahkan oleh organisasi Muhammadiyah melalui amal-amal usahanya di bidang pendidikan. Pendiri persyarikatan ini, KH. Ahmad Dahlan, seolah-olah telah meramalkan bahwa pendidikan adalah sarana yang efektif untuk menyebarkan perubahan dan pembaharuan.

Pendidikan Integral
Pada era kolonialisme, pola pendidikan yang dualistis masih terjadi di Indonesia, yaitu adanya sistem pendidikan kolonial dan sistem pendidikan Islam (pesantren). Pendidikan kolonial sangat berbeda dari pendidikan Islam yang saat itu terkesan “tradisional”. Perbedaannya tidak hanya dari segi metode, tetapi juga dari segi isi dan tujuan pendidikan.
Sesuai dengan landasan politik yang dijalankan pemerintah Belanda, tujuan sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah Belanda juga mencerminkan arah politiknya, yakni sekedar untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja yang cukup terdidik. Pendidikan yang dikelola oleh pemerintah kolonial, berorientasikan pada pengetahuan dan keterampilan duniawi. Corak pendidikan tersebut sesuai dengan strategi politik pemerintah kolonial Belanda yang ingin netral terhadap agama.
Sementara itu, pola pendidikan pondok pesantren yang dikelola oleh umat Islam cenderung hanya mengajarkan pendidikan agama, dan seolah mengabaikan ilmu-ilmu umum, sehingga santri sukar menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman.  Di samping itu, secara umum pendidikan di pondok pesantren tidak mengenal kelas dan lama belajar sehingga murid terkesan terlalu lama menuntut ilmu sedang kontribusi pengamalan ilmunya untuk masyarakat kurang.
Dua model pendidikan yang saling bertolak belakang itu menandakan adanya krisis dalam dunia pendidikan. Pemisahan antara ilmu agama dan ilmu umum membawa dampak negatif pada keduanya. Pendidikan agama yang menjadi domain pendidikan pesantren dan ilmu umum yang dikembangkan di bawah kekuasaan politik pemerintah kolonial selain berakibat pada krisis relevansi juga mengakibatkan kebuntuan paradigmatis pada keduanya.
Di satu sisi, ilmu agama ketika dilepaskan dari ilmu umum akan kehilangan kontektualitasnya dalam kehidupan. Sedangkan ilmu sekuler jika dilepaskan dari ilmu agama akan kehilangan pegangan nilai dan spritiulitas. Dengan kata lain, agama tanpa diresapi oleh ilmu akan kehilangan fungsi dan perannya dalam kehidupan, dan ia hanya bermakna secara simbolis-ritualisme belaka. Sementara bagi ilmu umum, dikotomi dari agama hanya akan menjadikan status seorang ilmuan tidak jauh berbeda dengan robot, yang asing dari pertimbangan nilai dan moralitas terhadap apa yang ia kerjakan dan dampaknya bagi kehidupan manusia. Tanpa pegangan nilai, ilmu yang pada awalnya adalah ciptaan manusia berbalik memperbudak manusia.
Berangkat dari keprihatinan untuk menjadikan Islam semakin kontekstual dan menjadikan ilmu beretika, KH. Ahmad Dahlan menyelenggarakan pendidikan dengan menggabungkan kurikulum pondok pesantren dengan kurikulum sekolah Belanda (modern), dengan porsi pendidikan agama yang cukup. Cita-cita pendidikan yang digagas KH. Ahmad Dahlan adalah lahirnya generasi bangsa yang mampu tampil sebagai “ulama-intelek” atau “intelek-ulama”, yaitu seorang Muslim yang memiliki keteguhan iman dan ilmu yang luas, kuat jasmani dan rohani.
Dalam rangka mengintegrasikan kedua sistem pendidikan tersebut, KH. Ahmad Dahlan melakukan dua tindakan sekaligus. Beliau memberi pelajaran agama di sekolah-sekolah Belanda yang sekuler, dan mendirikan sekolah-sekolah sendiri di mana agama dan pengetahuan umum bersama-sama diajarkan. Metode pembelajaran yang dikembangkan KH. Ahmad Dahlan bercorak kontekstual melalui proses penyadaran. Contoh klasiknya adalah ketika KH. Ahmad Dahlan menjelaskan Surat Al-Ma’un kepada santri-santrinya secara berulang-ulang sampai para santri menyadari bahwa aksi nyata menyelesaikan persoalan sosial sangat dipentingkan dalam agama. Mendalami ilmu agama tanpa mampu memecahkan masalah yang membelit masyarakat sama saja berarti mengkhianati agama.
Dasar filosofis yang dikembangkan oleh KH. Ahmad Dahlan ini pada masa berikutnya mewujud menjadi latar belakang berdirinya sekolah semi pondok pesantren; Madrasah Muallimin Muhammadiyah dan Madrasah Muallimat Muhammadiyah di Yogyakarta. Saat itu KH. Ahmad Dahlan melakukan pembaruan yang masih dipandang aneh bagi kalangan umat Islam, yaitu sekolah menggunakan bangku dan kursi, murid-muridnya diperbolehkan latihan drumband dan menggunakan celana panjang serta dasi. Setelah Indonesia bergerak menjadi negara berkembang, SD, SMP, SMA dan perguruan tinggi Muhammadiyah mulai bermunculan. Lembaga pendidikan Muhammadiyah dari berbagai tingkat satuan pendidikan tersebut sangat membantu pemerintah mencerdaskan kehidupan bangsa.
Dari perjuangan KH. Ahmad Dahlan, yang patut diteladani oleh generasi penerus bangsa masa kini adalah semangat untuk melakukan perombakan atau etos pembaruan atas kemandegan pemikiran. Yang harus ditiru adalah perjuangannya melakukan perubahan bukan bentuk atau hasil ijtihadnya.
Semangat pendidikan yang dipakai Muhammadiyah sejak pertama kali didirikan pada 1912 adalah pembaruan. Semangat pembaruan ini didengungkan KH. Ahmad Dahlan ketika merintis sekolah untuk “menandingi” sekolah Belanda yang mengarahkan siswanya untuk menjadi mandor atau tukang. Sekolah yang dirintis Dahlan bukan sekedar memberi tambahan mata pelajaran agama Islam, melainkan lebih jauh dari itu, menanamkan nilai-nilai kebangsaan dan kejuangan, serta mengangkat martabat manusia Indonesia.[1]
Semangat pembaruan sesungguhnya juga yang menjadi folosofi dasar keberadaaan Muhammadiyah. Tafsir pendidikan KH. Ahmad Dahlan telah menjadikan Muhammadiyah tampil sebagai lembaga pendidikan Islam yang melakukan perubahan sosial dan memberi kemanfaatan kepada masyarakat dengan semangat pembaruan.
Dengan spirit pembaruan, apa yang dilakukan KH. Ahmad Dahlan dalam bidang pendidikan itu adalah upaya untuk memadukan atau mengintegrasikan dua keilmuan, ilmu agama dan ilmu umum. Model pendidikan integral yang mampu menggabungkan aspek keagamaan dan keduniaan itu diharapkan melahirkan generasi Muslim yang ulama dan sekaligus intelek.
Integrasi dua ranah keilmuan tersebut sangat penting karena agama tanpa ilmu menjadikannya semakin termitoskan, dan ilmu tanpa panduan agama menjerumuskan kehidupan manusia ke jurang kehancuran.
Tantangan Pendidikan di Abad Kedua
Setelah satu generasi berdiri, partisipasi Muhammadiyah dalam dunia pendidikan akan dihadapkan pada dua hal. Di satu sisi, perasaan bangga menyelimuti para warganya mengingat persyarikatan ini telah mendirikan dan mengelola banyak lembaga pendidikan, menciptakan ribuan guru dan dosen, dan mencerdaskan jutaan anak didik. Tetapi di sisi lain, anggota Muhammadiyah juga patut prihatin ketika melihat tren kualitas pendidikan Muhammadiyah cenderung mengalami disorientasi. Sekolah-sekolah Muhammadiyah masih banyak yang “kurang terurus”, terutama di daerah. Kualitas pendidikan di sekolah atau kampus Muhammadiyah juga banyak dicibir masyarakat sebagai pendidikan level dua yang tidak mampu bersaing dengan sekolah negeri dan sekolah favorit lainnya. Hal ini menjadi tantangan sekaligus tugas pimpinan dan seluruh warga Muhammadiyah untuk memperbaiki kualitas pendidikan Muhammadiyah.
Menurut hemat penulis, sumbangan penting dari pendidikan Muhammadiyah, yakni integrasi ranah agama dan keilmuan harus dilestarikan dan dikembangkan dalam menapaki abad kedua Muhammadiyah. Pada akhirnya, yang lebih penting dari perayaan satu abad adalah menemukan kembali dan reformulasi terhadap identitas Muhammadiyah sebagai gerakan pembaruan pendidikan untuk abad kedua. Semangat tafsir Al-Ma’un yang menjadi ruh reformasi keagamaan di tubuh Muhammadiyah perlu mendapat reformulasi pada dimensi epistemologi dan praktik pendidikan yang konkret. Cita-cita mewujudkan “masyarakat Islam yang sebenar-benarnya” dan meraih ”peradaban unggul” juga perlu dioperasionalkan dengan ukuran empiris, terutama melalui pendidikan. Inilah tantangan nyata bagi pendidikan Muhammadiyah dalam memasuki abad kedua, yakni sejuah mana Muhammadiyah mampu menjadi pemecah problem pendidikan di Indonesia dengan semangat pembaruan dan semangat menyelaraskan ilmu dengan Alquran dan sunnah.

Sumber: Lazuardi Birru

Selasa, 09 Juli 2013

Kapankah malam Lailatul Qadar turun/terjadi?


Ustadz Menjawab







Dalam banyak riwayat hadis disebutkan bahwa Nabi Muhammad menganjurkan umatnya untuk mencari malam lailatul qadar  pada sepuluh malam Ramadhan yang terakhir.

Nabi Muhammad SAW bersabda, “Rasulullah beri’tikaf pada sepuluh malam Ramadhan terakhir, dan beliau bersabda: carilah lailatul qadar pada sepuluh malam yang terakhir” (HR. Muttafaqun ‘alaih – disepakati kesahihannya oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim).

Nabi Muhammad SAW bersabda, “Carilah lailatul qadar pada sepuluh malam Ramadhan terakhir, sebab sesungguhnya malam lailatul qadar jatuh pada malam yang ganjil, malam dua puluh satu, dua puluh tiga, dua puluh lima, dua puluh tujuh, dua puluh sembilan, atau pada malam akhir bulan Ramadhan. Barangsiapa yang mengisi malam tersebut dengan beribadah disertai dengan keimanan dan bertujuan mencari ridha Allah, maka diampuni dosanya yang telah diperbuat dan dosa yang akan datang” (HR. Thabrani).

Sumber:Lazuardi Birru

Senin, 08 Juli 2013

Memaknai Sepinya Diskursus Keislaman

Ada apa di balik turunnya minat ilmu keislaman, khususnya di kalangan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI)? Apa arti dari merosotnya peminat jurusan ilmu keislaman dalam beberapa waktu terakhir? Apakah semua ini berhubungan dengan kondisi diskursus keislaman yang belakangan semakin lenyap dari ruang publik?

Inilah pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab secara bersamsa-sama. Sebelum menjawab pertanyaan di atas, ada baiknya kita memperhatikan beberapa fenomena mutakhir yang berkembang di masyarakat, baik fenomena yang bersifat keagamaan, sosial, politik, dan yang lainnya.
Dari segi keagamaan, gairah keagamaan masyarakat justru tampak tak pernah padam. Setidaknya bila hal ini dilihat dari maraknya buku-buku keislaman “praktis” yang memenuhi sejumlah toko buku di kota-kota besar, khususnya pada momentum menjelang bulan Ramadhan seperti sekarang. Begitu juga dengan acara keagamaan di sejumlah media yang menampilan “aneka macam” ustaz. Bahkan di sejumlah perguruan tinggi umum, minat keislaman juga kerap mengalami peningkatan yang ditandai dengan menjamurnya pelbagai macam gerakan keislaman.

Sementara di ranah sosial, fenomena aksi kekerasan semakin latin terjadi. Baik kekerasan yang bersifat sosial murni, kekerasan yang bernuansa keagamaan hingga kekerasan teroristik. Senada dengan ini, ada kecenderungan pengelompokan atau pengorganisasian masyarakat sebagai basis kekuatan yang tidak jarang justru dijadikan kendaraan untuk melakukan aksi kekerasan. Semua ini semakin meminggirkan nilai-nilai kebersamaan, gotong royong dan toleransi yang menjadi kebanggaan masyarakat Indonesia dalam jangka waktu berabad-abad lamanya.

Hal yang jauh lebih memilukan justru kerap ditemukan di pentas perpolitikan nasional. Para politisi yang berada di bawah naungan partai masing-masing justru kerap tampak mengedepankan kepentingan kelompoknya dibanding kepentingan masyarakat luas. Bahkan dalam beberapa waktu terakhir, politisi semakin identik dengan perbuatan tindak pidana korupsi yang belakangan sebagian dari mereka diduga terlibat dalam persoalan korupsi Al-Quran.

Di sini kita bisa melakukan pemaknaan yang lebih komprehensif terhadap fenomena menurunnya diskursus keislaman mutakhir, tak hanya di perguruan tinggi tapi juga di ruang publik yang lain seperti media. Salah satu makna dari fenomena ini adalah menurunnya semangat untuk mengkaji ilmu keislaman secara menyeluruh, sesuai dengan tangga-tangga akademik yang harus dilalui. Kajian serius atas ilmu keislaman tentu sangat melelahkan karena mengharuskan penguasaan sejumlah disiplin ilmu terkait. Sementara hasil yang didapat dari kajian melelahkan ini kerap tidak berimbang, khususnya bila dilihat dari segi materi.

Dalam konteks seperti ini, munculah fenomena “ustaz potong kompas”. Di satu sisi, mereka tidak mau ruwet mempelajari dan menguasai sejumlah disiplin ilmu keislaman yang ada. Di sisi lain, mereka mendambakan hasil yang melimpah, khususnya dari segi materi.
Lebih ekstrem lagi, semua kondisi di atas memunculkan keengganan yang akut di sebagian generasi muda Islam untuk mengambil jurusan keislaman. Hingga dari tahun ke tahun, jurusan ilmu keislaman semakin sepi peminat. Secara singkat dan vulgar dapat dikatakan, 
Ini adalah persoalan yang sangat serius dan harus dihadapi secara bersama-sama, khususnya oleh pemerintah dan pemangku kebijakan. Para sarjana jurusan ilmu keislaman harus ditopang oleh program-program ekstra kampus yang mengarah pada pemandirian ekonomi. Hal ini penting dilakukan karena apa pun, apalagi dakwah, membutuhkan basis ekonomi yang kuat.

Dengan demikian, sarjana di bidang ilmu keislaman bisa menjadi tokoh agama yang sejati dan tulus mengabdi kepada umat dengan mengajarkan ajaran-ajaran Islam yang jauh dari aksi kekerasan. Mereka tidak perlau was-was dengan kebutuhan ekonominya. Dan itulah hakikat dakwah yang diteladankan oleh para Nabi, khususnya Nabi Muhammad SAW.

Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk (Qs. Yasin: 21).

Sumber: Lazuardi Birru

Minggu, 07 Juli 2013

Motif Sosial Sufisme


 

Jadilah engkau semua umat yang menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemunkaran, maka merekalah golongan yang beruntung. (Qs. Ali Imron: 104)
 Sejarah sufisme (tasawuf) adalah sejarah buramnya moralitas spiritual manusia. Ungkapan ini untuk melukiskan peran sufisme dalam pusaran sejarah kehidupan keberagamaan umat muslim. Secara historis, gerakan sufisme awal muncul dari refleksi ulama beberapa abad silam sebagai sikap atas tingkah polah keagamaan komunitas masyarakatnya.
Dalam catatan Fazlurrahman (1984: xxiv), bermula dari keunggulan kaum sunni atas Mu’taziliyyin dalam pertarungan ideologis pada era imperium Abbasiyah, kalangan sunni yang semasa Khalifah Al-Makmun hingga Al-Watsiq selalu tertekan oleh mazhab rasionalis Mu’tazilah yang akrab dengan penguasa, pascalengsernya Al-Watsiq dari tampuk kekuasaannya, secara perlahan mampu menguasai pos-pos strategis kekuasaan formal. Dan mencapai puncaknya kala hukum Islam mampu dilegalformalkan–tentunya yang menjadi rujukan hukum adalah mazhab keagamaan mereka.
Konsekuensi logis dari kemenangan ini, Islam kian terseret masuk ke percaturan politik kekuasaan. Sufisme lahir sebagai reaksi internal atas fakta sosial politik yang mengemuka, dan sebagai metode eskatis untuk mewujudkan cita spiritualitas Islam. Semenjak era tersebut, sufisme berkembang turun temurun antargenerasi dan melengkapi “diri” dengan konsep yang dicetuskan tokoh-tokohnya.
Dari sekilas sejarah tersebut, terdapat benang merah antara kondisi sosial politik yang melatarbelakangi kehadiran sufisme dengan situasi sosial politik sekarang. Memang kurang tepat komparasi seperti ini. Namun melalui cara demikian kita bisa melihat semangat di balik kemunculan sufisme; motif penyucian diri dari ambisi duniawi menuju spiritualitas Islam yang kokoh dan utuh.
Barangkali kala itu banyak politisi muslim yang menggunakan Islam sebagai tameng politiknya dan sebagai instrumen meraih ambisinya. Ajaran-ajaran Islam bukan sebagai sarana penghambaan manusia kepada Sang Khaliq, namun terpolitisasi sedemikian rupa. Kalangan ulama yang enggan terlibat dalam kancah politik praktis merasagerah akan hal tersebut dan menyingkir untuk melakukan proses eskapisme (menyepi).
Menilik spirit yang melatarbelakangi kemunculannya, sebenarnya ada motivasi yang lebih mendasar dari sekadar penepian diri dari hiruk pikuknya medan politik. Lebihnya ialah cita perbaikan moralitas umat (Islam), moralitas lahir ataupun batin –yang kedua lebih menonjol.
Bila kita amati sejenak fakta sosial politik kini, masyarakat muslim bangsa kita bisa dikatakan sedang berada pada titik nadir moralitas (masifnya korupsi yang bahkan dilakukan oleh elit Parpol yang mengusung simbol-simbol Islam, pembakaran hutan oleh pengusaha-pengusaha, dan sebagainya)dan bergerak menjauhi nilai-nilai keagamaannya sebagai implikasi dari modernisasi alat komunikasi yang berlari tunggang langgang (pornografi dan pornoaksi [meruyaknya film porno amatir sebagai konsekusensi kemudahan yang tersedia dari fasilitas elektronik] semisal).
Yang tak kalah mengkhawatirkan, arus politisasi agama kian tampak kencang menggelinding. Kerapkali bagi aktor pelaku, pergulatan yang dijalaninya menjadi semacam bumerang. Konflik batin yang tak kunjung reda, rasa teralienasi dari nilai-nilai keagamaan, jauh dari Tuhan dan berbagai gejala psikis lain sering mendera mereka.
Kiranya ini bisa menjadi momen sufisme untuk ditumbuhkan kembali dan diinternalisasikan kepada mereka sebagai solusi atas kegersangan spiritual yang menggejala. Jiwa mereka yang terkoyak oleh pesatnya perubahan gaya hidup, perlu dicerahkan dengan siraman yang mampu menyembuhkan krisis itu. Barangkali majelis-majelis ta’lim dan zikir yang kini amat marak bertumbuh di Jakarta adalah bagian dari upaya untuk mengangkat kembali semangat sufisme tersebut, meski terkadang dengan cara kegiatan yang kurang tepat seperti menutup jalan raya.
Moralitas dan manajemen kalbu, dalam pengamatan saya, menjadi tema utama dalam pengajian-pengajian yang digelar oleh majelis-mejelis tersebut. Kedua unsur tersebut merupakan esensi ajaran sufisme klasik. Ketika disampaikan kepada khalayak awam, khususnya yang mengalami problem spiritual mutakhir seperti masyarakat-masyarakat di kota besar, seolah menjadi ”barang” baru yang mampu menyejukkan kegersangan spiritualitas mereka. Hal ini menunjukkan bahwa sufisme sekarang cukup dibutuhkan bahkan bisa dijadikan sebagai salah satu solusi alternatif atas sebagian problem masyarakat kita.
Namun seiring arus perubahan situasi dan kondisi kehidupan manusia, semua ajaran dan hasil ijtihad mesti mampu beradaptasi dengan situasi mutakhir. Konsep-konsep sufisme yang merupakan hasil ijtihad tokoh-tokoh masa lampau harus mampu bersejalan dengan situasi kekinian. Maka menjadi sebuah keharusan untuk mempelajari dan menelaah tasawuf secara kritis dan inovatif.
Bermacam kritik dari intelektual-intelektual muslim yang dialamatkan kepada sufisme sangat bisa dimaklumi, bila sufisme dipahami sebagai sebuah konsep beku yang antipenelaahan ulang. Dalam asumsi para pengkritik, kemunduran peradaban Islam dan kejumudan berpikir umat Islam, salah satunya disebabkan oleh ajaran sufisme.
Hassan hanafi (1993:114), sarjana muslim Mesir, dalam salah satu risalahnya pernah menulis sebuah kritik tajam terhadap pemaknaan beberapa konsep tasawuf: “Kita menderita karena nilai-nilai negatif yang kita kembangkan seperti faqr, khauf, dan ju’u. Maka kita semua benar-benar miskin, takut, dan lapar yang semuanya membuat kita mengalami krisis. Tapi tidak ada di antara kita yang mencoba untuk melepaskan diri dari krisis itu. Shabr telah membuat kita diam terhadap semua hal. Ridho’ menjadikan kita membiarkan segala sesuatu. Tawakkal membuat kita mengabaikan antisipasi masa depan. Sedangkan ittihad dan fana’ telah membuat kita tenggelam dalam ilusi. Kita memahami kehidupan dari mimpi-mimpi. Kita merasa sebagai ‘khoiro ummatin ukhrijat lil al-nasi’, bahwa kita memiliki peradaban yang tinggi yang pernah lahir dalam sejarah; bahwa kita bangsa yang unggul; padahal kenyataannya sangat berbeda sekali.”
Kiranya wajar statemen tersebut jika sebagian kalangan sering memahami beberapa konsep sufisme secara individualistis sehingga ajaran-ajarannya terkesan utopis dan egoistis. Padahal kalau mau mencermati, semestinya konsep-konsep tersebut harus dipahami dengan semangat zamannya agar menghasilkan pemahaman yang lebih fleksibel, relevan, dan aplicable.       
Zuhud misalnya sering dipahami dengan membenci harta benda dan segala kenikmatan duniawi. Hidup miskin dan nriman dengan dalih tidak menyukai kehidupan duniawi. Jika demikian maka kapan umat Islam memiliki peradaban yang maju sekaligus mampu membuktikan slogan bahwa “al islamu ya’lu wa la yu’la alaihi”? Alih-alih ingin membuktikan slogan tersebut, untuk memenuhi kebutuhan primer sekunder individual umatnya saja sudah sulit. Dalam hal ini saya sangat sepakat dengan perkataan Zainuddin al-Malibary dalam kifayat al-atqiya’nya bahwa “Zuhud bukan berarti hidup tanpa harta benda, melainkan hilangnya perasaan ketergantungan hati terhadapnya.” Dan dalam hemat saya, inilah etos zuhud.
Sedangkan uzlah (eskapisme) dalam realitas kekinian kerap dijadikan sebagai jalan keluar dari krisis psikologis, sebagai pelarian diri dari semua konflik dan problem individual. Sebenarnya hal ini menunjukkan kegagalan seseorang dalam mengaplikasikan konsep dzikrullah sebagai fondasi dasar sufisme. Di mana dengan zikir (mengingat Tuhan) dengan ketuhanannya setiap saat, termasuk saat manusia termasgulkan oleh ritual duniawi, maka seseorang akan selalu merasakan damai dan ketenteraman hati seperti janji Allah. Namun ketika gagal, penyakit psikologis akan bermuara pada eskapisme; melarikan diri demi menjauhi kehidupan duniawi, bersemedi di keheningan dalam rentang waktu yang panjang demi mendekatkan diri) kepada Tuhan.
Lantas yang menjadi pertanyaan, tepatkah praktik seperti itu ketika problematika sosial seperti kemiskinan, dekadensi moral, dan lain sebagainya terus mengungkungi masyarakat kita? Dan bagaimana pula dengan ayat-ayat al-Quran yang memerintahkan kita untuk beramar ma’ruf nahi munkar (Qs. Ali Imron 104 dan 110)?
Bertautan dengan ‘uzlah, dalam pandangan saya, orang yang jujur, bertanggungjawab, dan tidak melakukan manipulasi di tengah bergelimangnya uang dan harta benda publik, jauh lebih baik dan mulia daripada orang yang beri’tikaf di masjid ataupun dalam keheningan lain walaupun terlihat khusyu’-tawadhu’. Karena berzikir dalam kesunyian adalah hal lazim. Tetapi berzikir –dengan mengingat dan melaksanakan nilai-nilai ketuhanan– di tengah keriuhan dan sesuatu yang menggiurkan adalah perilaku luar biasa. 

Sumber: Lazuardi Birru

Sabtu, 06 Juli 2013

DRAJAT, SUNAN

Sunan Drajat nama dirinya adalah Raden Qasim. Ia putra Sunan Ampel buah perkawinannya dengan Nyi Ageng Manila. Sunan Ampel memiliki lima orang putri-putri. Siti Muntosiyah, yang menjadi isteri Sunan Giri; Raden Qasim, Sunan Bonang, seorang putri yang menjadi isteri Sunan Kalijaga, dan Nyi Ageng Maloka yang menjadi isteri Raden Fatah. Sunan Ampel atau Raden Rahmat adalah putra Maulana Malik Ibraim.

Sunan Drajat mendapat perintah dari ayahnya, Raden Fatah, untuk berda’wah di sebelah Barat Gresik.  Beliau berangkat menuju desa yang dituju, tepatnya di Dusun Drajat, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Di tempat ini beliau membuka hutan, kemudian mendirikan pesantren yang berfungsi sebagai lembaga pendidikan, lembaga da’wah dan lembaga pengembangan masyarakat desa.
Metode da’wah Sunan Drajat sebagaimana yang dilakukan oleh Sunan Muria, Sunan Kalijaga, dan Sunan Bonang, yakni da’wah dengan menggunakan media utamanya lagu-lagu Jawa. Metode da’wah dengan tembang-tembang Jawa ini sangat efektif, karena penduduk setempat menyenangi tembang yang lembut dan menyentuh kalbu. Sunan Drajat menampilkan wajah Islam yang lembut dan bernuansa kebudayaan Jawa. Inilah salah satu kunci sukses da’wah Islam para wali di tanah Jawa.

Filosofi da’wah Islam Sunan Drajat berdiri di atas empat pilar. (1) Berilah tongkat kepada orang yang buta; (2) Berilah makan kepada orang yang lapar; (3) Berilah pakaian kepada orang yang telanjang; dan (4) Berilah tempat berteduh kepada orang yang kehujanan. Dengan empat pilar ini, Sunan Drajat memadukan da’wah bil lisan dengan da’wah bil hal. Beliau, bahkan lebih menekankan da’wah bil hal dengan menggerakkan pemberdayaan masyarakat. Sunan Drajat pun menjadi anggota Dewan Wali yang dipimpin oleh Sunan Bonang. Beliau ikutu menggagas pendirian Masjid Agung Demak yang monumental. Sunan Drajat dimakamkan di Desa Drajat, Kecamatan Pancirann, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Kini, makam Sunan Drajat menjadi salah satu pusat ziarah Walisongo yang terus dikunjungi kaum Muslimin untuk memanjatkan doa, sekaligus mengambil pelajaran dari metode da’wahnya yang bernuansa budaya dan berbasis pemberdayaan masyarakat.

Sumber: Lazuardi Birru

Jumat, 05 Juli 2013

Pesan Perdamaian Alquran Bagi Kemanusiaan Universal

 
Alquran, sumber utama ajaran Islam, adalah kitab suci yang membawa pesan perdamaian bagi kemanusiaan universal. Misi kerasulan Nabi Muhammad SAW menurut Alquran, adalah untuk menebar pesona perdamaian dan menjadi rahmat bagi seluruh alam (QS. Al-Anbiya`: 107). Oleh sebab itu, predikat Islam agama perdamaian adalah hal yang tidak diragukan lagi, kecuali oleh orang-orang yang sangat skeptis atau tidak memahami pesan perdamaian yang menjadi misi Alquran. Nabi Muhammad SAW ialah Alquran hidup. Beliau telah mewujudkan pesan perdamaian Alquran dalam realitas kehidupan masyarakat Madinah yang majemuk, dengan adil, terbuka dan demokratis. Masyarakat Madinah yang dipimpin oleh Nabi Muhammad SAW adalah masyarakat majemuk dari segi agama dan etnis, dengan komposisi kaum Muslimin yang terdiri atas Muhajirin dan Anshar, kaum Yahudi yang bersuku-suku dan saling bertentangan, serta kaum paganisme (al-musyrikun), yang semuanya dipersatukan oleh sebuah ikatan yang terkenal sebagai Perjanjian atau Piagam Madinah. Di dalam Piagam Madinah ini disebutkan dasar-dasar hidup bersama masyarakat majemuk dengan ciri utama kewajiban seluruh warga Madinah yang majemuk itu untuk menjaga dan membela pertahanan-keamanan bersama, serta menghormati kebebasan beragama. Dalam kaitannya dengan masyarakat Yahudi, Piagam Madinah menjelaskan: “Dan orang-orang Yahudi mengeluarkan biaya bersama orang-orang beriman (Muslim) selama mereka diperangi (oleh musuh dari luar). Orang-orang Yahudi Banu ‘Awf adalah satu umat bersama orang-orang beriman. Orang-orang Yahudi itu berhak atas agama mereka, dan orang-orang beriman berhak atas agama mereka pula. Semua suku Yahudi lain di Madinah sama kedudukannya dengan suku Yahudi Banu ‘Awf” (Muhammad Hamidullah, Majmu’at al-Watsa`iq al-Siyasiyyah (Kumpulan Dokumentasi Politik), (Beirut: Dar al-Irsyad, 1389 H/1969 M), h. 44-45).

Menurut, Nurcholish Madjid, Piagam Madinah mengandung makna selain pengukuhan solidaritas sesama orang beriman, juga pengukuhan jalinan solidaritas dan saling mencintai antara kaum beriman dengan orang-orang Yahudi, serta pengukuhan tentang kedudukan Madinah sebagai negeri  yang damai, aman dan bebas untuk kedua golongan itu. Maka berdasarkan Piagam Madinah, dalam menghadapi Perang Uhud, Nabi Muhammad SAW mengajak orang-orang Yahudi untuk meyertai kaum Muslimin berperang menghadapi musuh bersama, tetapi mereka tidak bersedia dengan alasan bahwa perang itu jatuh pada hari Sabtu, hari suci mereka. Nabi Muhammad SAW pun tidak memaksa mereka, namun, ada seorang Yahudi bernama Mukhayriq yang tetap berpartisipasi dalam membela pertahanan-keamanan Madinah, bahkan kemudian ia tewas dalam pertempuran itu. Nabi Muhammad SAW sangat terharu, dan memujinya dengan kata-kata yang terkenal: “Mukhayriq ialah sebaik-baiknya orang Yahudi”. (Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan, cet. Ke-1, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992), h. 122.).
Kebinekaan seperti tergambar dalam masyarakat majemuk pimpinan Nabi Muhammad SAW di Madinah sesungguhnya adalah sebuah aturan Allah (Sunnatullah) yang tidak akan berubah, sehingga juga tidak mungkin dilawan atau diingkari. Islam, sebagaimana dilaksanakan oleh Rasulullah SAW di Madinah adalah agama yang kitab sucinya dengan tegas mengakui hak agama-agama lain, kecuali yang berdasarkan paganisme atau syirik, untuk hidup dan menjalankan ajaran masing-masing dengan penuh kesungguhan. Kemudian, pengakuan akan hak agama-agama lain itu dengan sendirinya merupakan dasar faham kemajemukan sosial budaya dan agama, sebagai ketetapan Allah yang tidak berubah-ubah yang tercermin pada QS. Al-Maidah: 44-49.
Pesan perdamaian Alquran yang mengakui hak penganut agama-agama lain, khususnya Yahudi dan Nasrani untuk menjalankan ajaran agamanya, sebagaimana tercermin di dalam Piagam Madinah, telah mengilhami Khalifah Umar bin Khattab untuk menciptakan perdamaian di antara umat Yahudi, Nasrani, dan Muslim di Yerusalem yang dipersatukan di bawah ikatan perjanjian damai yang terkenal dengan Piagam Aliyya.  Berkenaan dengan perjanjian damai yang melahirkan kerukunan hidup antara umat Yahudi, Nasrani dan Muslim di Yerusalem ini, Karen Armstrong menulis: “Sebelum tentara Salib tiba di Yerusalem pada Juli 1099 dan membantai 40.000 orang Yahudi dan Islam secara biadab, para pemeluk ketiga agama itu telah hidup bersama dalam susana yang relatif damai di bawah naungan hukum Islam selama 460 tahun –hampir separuh millennium. Perang Salib telah membuat kebencian pada kaum Yahudi menjadi sebuah penyakit yang tak tersembuhkan di seluruh Eropa, dan Islam kemudian dipandang sebagai musuh peradaban Barat yang tak terdamaikan. Prasangka-prasangka kalangan Barat semacam ini jelas telah memberi andil dalam situasi konflik masa kini, dan telah mempengaruhi pandangan orang Barat terhadap Timur Tengah saat ini dalam cara yang betul-betul rumit” (Karen Armstrong, “Holy War: The Crusades and Their Impact on Today’s World”, dalam Hikmat Darmawan (penterj.), cet. Iv, Perang Suci Dari Perang Salib Hingga Perang Teluk, (Jakarta:  PT. Serambi Ilmu Semesta, 2006), h. 11-12.).
 Pesan perdamaian Alquran yang diwujudkan oleh Rasulullah SAW di Madinah yang kemudian diteruskan oleh Umar bin Khattab di Yerusalem tertimbun di balik reruntuhan Perang Salib. Sementara itu, pesan perdamaian Alquran di dunia kontemporer tenggelam di balik gencarnya arus publikasi media massa Barat yang menuduh Islam sebagai agama anti-perdamaian dan agama yang melindungi terorisme. Akibatnya, sebagaimana digambarkan oleh Stephen S. Schwartz, “kebanyakan orang Barat menganggap Islam sebagai sebuah kultus yang mengerikan, yang haus darah, tidak toleran dan agresif, dan Nabi Muhammad SAW sendiri digambarkan secara luas sebagai tokoh sesat, brutal, dan jahat. Orang Yahudi yang kejam telah mengembangkan gambaran-gambaran keji mengenai umat Islam. Orang Kristen yang bersikap bias juga menolak bahwa Tuhan yang disembah oleh Muhammad dan para pengikutnya adalah sama seperti Tuhan yang disembah oleh umat Yahudi dan Kristen”. Hegemoni dunia Barat, menurut Ziauddin Sardar, menjadikan mereka tidak mempunyai kemampuan untuk memahami otherness dunia Islam sehingga Islamfobia (kebencian terhadap Islam) merajalela di dalam alam pikiran Barat.

Islamfobia telah mendasari pandangan para orientalis tentang Nabi Muhammad SAW dan Alquran. Washington Irving (1783-1859), sarjana hukum dan diplomat Amerika Serikat di Spanyol, menyatakan pandangan penuh keraguan tentang Nabi Muhammad SAW. “Soalnya kini apakah dia (Muhammad) itu seorang penipu yang tiada berprinsip? Apakah  seluruh ra’yu dan wahyu dari pihaknya itu suatu kepalsuan yang sengaja diatur? Apakah seluruh sistemnya itu rangkaian kelicikan belaka? Mempertimbangkan soal tersebut kita mestilah senantiasa ingat bahwa dia (Muhammad) itu tidak dapat dikaitkan kepada sekian banyak keluarbiasaan yang selama ini dikaitkan kepada namanya”.
Sementara itu, W. Montgomery Watt, guru besar Universitas Edinburgh, dalam buku Muhammad, Prophet and Statesman sebagaimana dikutip Joesoef Sou’yb menyatakan: “Mengatakan Muhammad itu seorang jujur janganlah ditarik kesimpulan bahwa dia itu teliti dalam berbagai hal. Kepercayaan Muhammad bahwa wahyu itu datang dari Allah tidaklah mencegahnya untuk menyusun sendiri bahannya dan selanjutnya memperbaikinya dengan jalan penghapusan dan penambahan wahyu”. Islamfobia bahkan tercermin pula pada sikap Paus Benediktus XVI, pemimpin Katolik tertinggi, dalam pidatonya di Universitas Regensburg, Bavaria, Jerman 12 September 2006 dengan mengutip pandangan Kaisar Byzantium Manuel II Palaelogos: “Tunjukkanlah padaku apa hal baru yang dibawa Muhammad, dan di sana Anda hanya akan menemukan hal-hal buruk dan tak manusiawi, seperti perintahnya menyebarkan dengan pedang keimanan yang diserukannya.

Dengan perkataan lain, Alquran pun dinilainya sebagai kitab suci yang membenarkan umat Muslim untuk melakukan kekerasan  dalam penyiaran dakwah Islam. Selain itu, akhir-akhir ini muncul pula usulan untuk mengubah kurikulum pesantren, tempat para santri mendalami Alquran, dengan asumsi bahwa pesantren telah menjadi tempat persemaian kelompok radikal yang mendukung terorisme.

Sumber: Lazuardi Birru

Senin, 01 Juli 2013

Apa yang dimaksud dengan kefakiran?

 
Secara bahasa, kata kefakiran berasal dari kata fakir. Dalam kamus Bahasa Indonesia, fakir berarti orang yang dengan sengaja membuat dirinya berada dalam kekurangan dengan tujuan untuk memperoleh kesempurnaan hidup. Selain definisi di atas, dalam Bahasa Indonesia juga dijelaskan bahwa fakir adalah orang yang hidup dalam keadaan sangat miskin dan kekurangan.

Jadi, kefakiran adalah sebuah keadaan serba kekurangan dalam segala aspek ekonomi. Islam dengan tegas mencela kefakiran dan menganjurkan setiap Muslim untuk giat bekerja agar mampu hidup dalam keadaan yang layak. Kefakiran akan mendorong terjadinya kekufuran. Dalam perspektif Al-Quran setan selalu menjanjikan kefakiran, sedangkan Allah senantiasa menjanjikan anugerah dan ampunan.

“Kefakiran sangat dekat (sangat berpotensi untuk mendatangkan) kekufuran”. Ungkapan tersebut sangat populer dalam Islam. Hal itu, sangatlah wajar, mengingat kondisi kefakiran atau kemiskinan yang menimpa seseorang menjadi ujian yang sangat berat baginya yang cepat atau lambat menggiringnya ke dalam jurang kekufuran. Nabi senantiasa berdoa, “Ya Allah, aku berlindung kepadaMu dari kekufuran dan kefakiran” (HR. Abu Daud).

Allah SWT berfirman, “Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kepada kalian dengan kefakiran dan menyuruh kalian untuk berbuat kejelekan, sedangkan Allah menjanjikan untukmu ampunan dan karunia dari-Nya” (QS. Al-Baqarah: 268).

Sumber: Lazuardi Birru