Menjadi seorang Muslim berarti menjadi pribadi yang memiliki multiple power, kekuatan hebat dari berbagai sisi. Pribadi Muslim yang sejati ialah individu yang memiliki kekuatan hati, yang dinilai dari akhlak mulianya, dan kekuatan jasmani yang dilihat dari usahanya memberikan yang terbaik bagi kehidupannya serta hidup orang-orang yang berada di sekitarnya.
Seorang Muslim sudah selayaknya berkarakter baik, berjiwa damai dan berkepribadian unggul. Ia menjadi panutan kebaikan dalam berbagai keadaan. Kepribadiannya menjadi pencerah kehidupan sosial dan membawa masyarakat menuju kesalehan sosial. Kedudukannya dihormati dan dirinya pun senantiasa menghargai orang lain.
Ada tiga hal yang menjadi dasar seseorang menjadi pribadi unggul, sebagaimana yang telah Allah firmankan terkait kisah-kisah para Nabi dan orang-orang saleh terdahulu. Allah jelaskan kehidupan mereka lengkap dengan sifat dan karakteristiknya secara sempurna agar dapat menjadi pelajaran bagi umat manusia di generasi berikutnya. Allah SWT menyebutkan karakteristik pribadi-pribadi unggul tersebut dalam beberapa firman-Nya, di antaranya sebagai berikut.
Karakter unggul pribadi Muslim dalam Alquran yang pertama terkait Nabi Musa AS yang dengan kekuatannya ia memberi pertolongan kepada orang lain. Beliau membantu putri-putri Nabi Syu’aib menggiring gembala mengambil air di tengah para penggembala lain yang kebanyakan laki-laki yang enggan membagi sumber air kepada mereka. Kebaikan pribadi Musa AS menumbuhkan kepercayaan Syuaib selaku orangtua gadis-gadis penggembala itu. Atas keberanian dan kekuatannya, Musa mendapatkan kepercayaan Syuaib, salah satu orang terpandang pada masanya.
Allah berfirman:
“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: “Wahai, Ayah, ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik diambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” (QS. Al-Qashash: 26)
Karakter unggul kedua adalah apa yang dimiliki atau terjadi pada Nabi Yusuf AS yang diangkat menjadi orang kepercayaan raja pada masanya untuk menjadi bendahara negara berdasarkan kemampuannya menjaga amanah dan memiliki pengetahuan atau keluasan ilmu akan pekerjaan yang diamanahkan kepada dirinya. Berikut adalah firman Allah Ta’ala:
“Berkata Yusuf: “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); Sesungguhnya aku pandai menjaga, lagi berpengetahuan.“ (QS. Yusuf: 55)
Selanjutnya, karakter hamba Allah yang memiliki keunggulan adalah apa yang Allah kisahkan mengenai seorang raja bernama Thalut pada zaman Nabi Daud AS. Bani Israil meminta diberikan pemimpin perang untuk mengalahkan Djalut, seorang penguasa yang zalim. Mereka memiliki paradigma bahwa seorang pemimpin haruslah seorang yang kaya. Namun, paradigma itu terbantahkan. Dalam firman-Nya, Allah Ta’ala menyebutkan:
“Nabi mereka mengatakan kepada mereka: “Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu.” mereka menjawab: “Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?” Nabi (mereka) berkata: “Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa.” Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 247)
Terakhir, pandangan Islam soal keunggulan pribadi Muslim adalah kesabaran dan sifat kasih sayang. Apalah arti segala sifat kebaikan tanpa memiliki kesabaran. Sifat sabar, penuh kasih sayang dan pengorbanan Allah sampaikan dalam kaitannya dengan kekasihnya, Rasulullah Muhammad SAW dalam firmannya:
“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi Penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. At-Taubah: 128).
Lantas bagaimana cara seorang Muslim untuk mendapatkan keunggulan-keunggulan tersebut? Setidaknya, jika kita merenungkannya secara mendalam, akan kita dapati bagaimana kiat meraih sifat-sifat unggul bagi pribadi Muslim.
Di antaranya, pertama, hendaknya seorang Muslim mempelajari Islam secara utuh dan dengan cara sebaik-baiknya. Sebab, kebaikan yang Allah inginkan atas seseorang adalah kebaikan di atas landasan keimanan. Tidaklah ada keimanan melainkan ia meyakini dan menjalankan ajaran agama yang telah diwasiatkan oleh Allah SWT melalui Rasul-Nya SAW. Dengan tegas, Rasulullah SAW sampaikan dalam sabdanya,
“Barangsiapa yang Allah kehendaki padanya kebaikan, maka Allah akan fahamkan dia dalam (masalah) agama. Aku adalah Al-Qasim (yang membagi) sedang Allah Azza wa Jalla adalah yang Maha Memberi. Umat ini akan senantiasa tegak di atas perkara Allah, tidak akan memadharatkan kepada mereka, orang-orang yang menyelisihi mereka sampai datang putusan Allah.” (HR. Al-Bukhari)
Kedua, hendaklah seorang Muslim senantiasa menguatkan ketakwaan kepada Allah SWT seoptimal mungkin. Dengannya, Allah jadikan baginya kemudahan untuk senantiasa berada di atas kebaikan. Taqwa pula yang akan menjaga seseorang untuk selalu ber-istiqamah dan senantiasa mengingat bahwa Allah dekat dengan dirinya dan selalu menjaga dirinya dari sesuatu yang dilarang. Taqwa adalah unsur terpenting untuk membentuk karakter pribadi Muslim yang unggul. Allah berfirman:
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Taghabun: 16)
Ketiga, hendaknya seorang Muslim senantiasa menjaga hubungan baik dengan lingkungan sekitarnya. Hubungan sosial yang baik akan menumbuhkan rasa kepercayaan serta menjadikan seseorang memiliki sifat untuk senantiasa berbagi. Sebagiamana pesan Rasulullah SAW kepada sahabat Abu Dzar Al-Ghifari RA:
“Kekasihku, yakni Nabi SAW, memerintahkan tujuh perkara padaku, (di antaranya): (1) Beliau memerintahkanku agar mencintai orang miskin dan dekat dengan mereka, (2) beliau memerintahkanku agar melihat orang yang berada di bawahku (dalam masalah harta dan dunia), juga supaya aku tidak memperhatikan orang yang berada di atasku…..”(HR. Ahmad, 5: 159. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadis ini shahih)
* Penulis ialah alumnus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Sumber:Lazuardi Birru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar