Rabu, 19 Juni 2013

Khath: Seni Kaligrafi Islam dari Masa ke Masa




Mendengar kata “kaligrafi”, tentu orang langsung merujuk pada tulisan indah dari ayat-ayat Alquran. Benar saja, kaligrafi merupakan salah satu bentuk keindahan seni Islam dalam menulis indah ayat Alquran. Seni kaligrafi lahir dari tangan seniman Islam sejak kedatangan Islam di Arab, sehingga bisa dibilang sejarah kaligrafi adalah sejarah Islam itu sendiri. Dibandingkan dengan bentuk kesenian Islam lainnya, kaligrafi menempati kedudukan khusus, bahkan dapat diaktakan yang paling populer, sebagai bentuk ekspresi ruh Islam yang sangat khas dan unik. Oleh karenanya, tidak berlebihan jika mengatakan kaligrafi sebagai “seninya seni Islam” (the art of Islamic art).

Meskipun lahir di tanah Arab, asal kata kaligrafi berasal dari bahasa Inggris calligraphy yang berarti tulisan tangan yang sangat elok, tulisan indah. Dalam  bahasa Latin, kaligrafi berasal dari kata colios yang berarti indah dan graph yang berarti tulisan, sehingga kaligrafi bermakna tulisan yang indah. Sedangkan dalam bahasa Arab, padanan kata yang tepat untuk mewakili kaligrafi adalah kata khath yang berarti seni menulis huruf Arab, dan orang atau seniman kaligrafinya disebut dengan khattath atau al-khattath.

Dilihat dari sisi historisnya, akar kaligrafi Arab sebenarnya adalah tulisan hierogliph bangsa Mesir. Menurut al-Maqrizi (1364-1442), seorang pakar sejarah Mesir, tulisan kaligrafi Arab pertama kali dikembangkan oleh masyarakat Himyar, yaitu suku yang mendiami Semenanjung Arab bagian barat daya yang hidup pada rentang tahun 115-525 S.M. Musnad sebagai salah satu jenisnya merupakan kaligrafi Arab kuno yang mula-mula berkembang dari sekian banyak jenis khath yang dipakai oleh masyarakat Himyar. Dari tulisan tua Musnad yang berkembang di Yaman, lahirlah sebuah  khath gaya Kufi. Beberapa sumber menyebutkan bahwa khath Kufi ini terus berkembang dan mencapai puncak kesempurnaannya pada pertengahan abad ke-7 M, di mana penulisan Alquran banyak menggunakan gaya Kufi.

Adalah Umar bin Khattab yang menginisiasi pembukuan wahyu Ilahi (Alquran) oleh sebab kekhawatiran akan banyaknya penghafal Alquran (huffadz) yang syahid dalam peperangan pada tahun 633 M, setahun setelah meningalnya Nabi Muhammad. Ketika Rasulullah Muhammad SAW masih hidup, Alquran sebagai pedoman hidup umat manusia, disyiarkan secara langsung oleh beliau kepada para sahabat serta kaumnya. Setelah Rasulullah wafat, wahyu tidak turun lagi. Penyebaran ajaran dan nilai yang terkandung dalam Alquran dari seorang Muslim ke Muslim lainnya dilakukan oleh para sahabat, secara khusus para sahabat yang huffadz, yang mengumpulkan Alquran dalam hafalannya. Sebagian para huffadz mencatat Alquran dalam lembaran daun-daun, tulang serta kulit binatang. Kumpulan ayat-ayat tersebut menjadi harta yang tak ternilai harganya bagi para huffadz. Namun, terbununhnya banyak huffadz dalam serangkaian perang sepeninggal Nabi membuat gusar Umar bin Khattab. Ia mendesak khalifah saat itu, Abu Bakar As-Siddiq untuk menyelematkan Alquran dengan cara menuliskannya secara resmi. Khalifah Abu Bakar merespon dengan baik dengan memerintahkan seorang sahabat yang cakap dalam ilmu menulis Bahasa Arab, yaitu Zayd bin Sabit untuk mengumpulkan file ayat-ayat Alquran yang dimiliki oleh para huffadz, baik dalam bentuk dokumen naskah maupun hafalan yang terjaga, sehingga menjadi berbentuk kitab.

Pada masa perkembangan berikutnya, Alquran yang ditulis tersebut ditetapkan dan disempurnakan pada periode khalifah ketiga dari Al-Khulafa Al-Rasyidin, yaitu masa Usman bin Affan pada tahun 651 M. Oleh Khalifah Usman, naskah Alquran disalin ke dalam empat atau lima edisi dan disebarkan ke wilayah-wilayah Islam yang strategis bagi perkembangan Islam. Naskah Alquran tersebut kemudian dikenal dengan Mushaf Usmani yang menjadi naskah baku Alquran hingga kini. Penulisan ayat Alquran pada mushaf tersebut dilakukan dengan seni khath yang indah dan menarik yang kemudian menginspirasi umat Muslim untuk mengembangkan seni penulisan Alquran yang indah.

Keahlian menulis, seiring dengan berkembangnya pengetahuan dalam Islam memang tumbuh pesat pada abad 7 Masehi. Pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab (634-644), muncul inisiasi membangun sistem administrasi yang menyertakan catatan dan dokumen. Reformasi sistem administrasi pemerintahan tersebut menuntut dibentuknya lembaga atau unit tata usaha. Awalnya, hal tersebut ditujukan untuk pembuatan laporan para gubernur di propinsi yang jauh dari ibukota kekhalifahan, seperti Irak, Syria dan Mesir. Sejalan dengan berlakunya reformasi administrasi tersebut, dan dari kondisi itulah, seni penulisan Bahasa Arab mulai berkembang dan menempati kedudukan penting dalam kebudayaan Islam, terutama kontribusinya dalam pengembangan seni penulisan Mushaf Alquran.

Selain Zayd bin Sabit, usaha penulisan Alquran juga dilakukan tanpa lelah oleh para sahabat Nabi yang lain, seperti  Muadz bin Jabal, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Zubair, Said bin ‘Ash, dan Abdurrahman bin Haris. Seni, gaya, serta karakteristik masing-masing penulis tersebut yang kemudian menjadi cikal bakal awal mulanya perkembangan seni kaligrafi Arab atau khath. Semakin luas cakupan syiar Islam, semakin berkembang seni kaligrafi Arab. Bahkan, jika diilustrasikan, seolah-olah para khattath berlomba-lomba untuk menjadi penulis terbaik dan utama pada masanya, dengan mengembangkan berbagai tipografi yang tergambar dalam kehidupan masyarakat di sekitar jazirah Arabia waktu itu. Para seniman kaligrafi awal Islam tersebut tidak hanya menulis, namun juga melakukan riset lapangan untuk mengembangkan jenis, gaya, atau bentuk tulisan dalam kaligrafi.

Ragam Gaya Kaligrafi
Dalam seni kaligrafi Islam, terdapat beberapa jenis gaya tulisan. Salah satunya adalah gaya Kufi. Bentuk tulisan pada seni kaligrafi yang menggunakan gaya ini disebut khath Kufi. Gaya kaligrafi ini banyak digunakan untuk penyalinan Alquran periode awal, sehingga bisa dikatakan menjadi model penulisan paling tua di antara gaya kaligrafi. Ragam penulisan kaligrafi dengan gaya Kufi ini muncul dan berkembang di kota Kufah, Irak, yang merupakan salah satu kota terpenting dalam sejarah peradaban Islam sejak abad ke-7 M. Gaya Kufi  ini diperkenalkan oleh Ibnu Muqlah, seniman kaligrafi Arab yang merupakan seorang menteri (wazir) pada masa kekhalifahan Dinasti Abbasiyah. Karakteristik gaya tulisan Kufi berupa garis lurus pada huruf-hurufnya, baik garis lurus secara vertikal, horisontal maupun diagonal, dengan sedikit lengkungan dan terlihat sangat kaku, bahkan terkesan sangat formal. Dalam perkembangannya, gaya ini kemudian berkembang menjadi lebih ornamental dan sering dipadukan dengan ornamen atau hiasan floral. Jenis gaya ini selain untuk penulisan mushaf Alquran juga banyak dimanfaatkan untuk penulisan judul buku, dekorasi, atau lukisan.

Ragam gaya penulisan dalam seni kaligrafi berikutnya adalah gaya Tsulutsi. Kaligrafi yang memakai gaya ini disebut khath Tsulutsi. Bentuk hurufnya tampak anggun dan berwibawa, serta memiliki kesan keluwesan tersendiri yang membedakannya dengan gaya lain. Selain kuat dalam ornamental, gaya kaligrafi ini banyak diwarnai dengan hiasan tambahan serta sangat fleksibel atau mudah dibentuk dalam komposisi tertentu untuk memenuhi ruang tulisan yang tersedia. Karakteristik gaya Tsulutsi sangat terlihat pada bentuk tulisannya yang berbentuk kurva, dengan kepala meruncing dan terkadang ditulis dengan gaya sambung serta interseksi yang kuat. Gaya Tsulutsi ini banyak digunakan sebagai ornamen arsitektur masjid, sampul buku, dan dekorasi interior.

Di samping Kufi dan Tsulutsi, dalam seni kaligrafi Islam juga berkembang gaya Naskhi. Ragam gaya jenis ini merupakan yang paling sering digunakan oleh umat Islam dalam menulis atau melukis kaligrafi, baik untuk menulis naskah keagamaan maupun tulisan keseharian. Berbagai sumber menyebut bahwa gaya Naskhi termasuk dalam jajaran gaya penulisan kaligrafi tertua. Ibnu Muqlah mensistematiskan kaidah penulisan gaya ini pada abad ke-10, sehingga atas jasanya tersebut gaya kaligrafi ini menjadi populer dan banyak digunakan untuk menulis mushaf Alquran hingga masa sekarang. Karakter huruf dalam gaya Naskhi cukup sederhana, nyaris tanpa hiasan tambahan, sehingga mudah ditulis dan dibaca oleh penikmat khath.

Pada masa pemerintahan Dinasti Usmaniyah, dikenal para seniman kaligrafi yang mengembangkan berbagai gaya penulisan pada seni kaligrafi, seperti gaya Riq’ah atau Riq’i, dan gaya Ijazah  atau Rihani atau Raihani. Keduanya merupakan hasil pengembangan kaligrafi gaya Naskhi dan Tsulutsi. Gaya riq’i,  hurufnya sangat sederhana, tanpa harakat, sehingga memungkinkan untuk ditulis secara cepat. Sedangkan karakter huruf dalam Raihani seperti halnya Tsulutsi, namun lebih sederhana, sedikit hiasan tambahan, dan tidak lazim ditulis secara bertumpuk. Gaya ini umum digunakan untuk penulisan ijazah dari seorang guru kaligrafi kepada muridnya.

Jenis gaya penulisan dalam seni kaligrafi Islam selanjutnya adalah Diwani. Gaya ini sangat lembut dengan garis-garis melengkung dan meliuk-liuk, tidak berharakat, dan tampak lugas dan jelas. Gaya kaligrafi ini mulanya dikembangkan oleh Ibrahim Munif, yang kemudian disempurnakan oleh Syaikh Hamdullah  sekitar abad ke-15 dan awal abad ke-16. Gaya ini digunakan untuk menulis kepala atau kop surat resmi kerajaan. Keindahan tulisan kaligrafi Diwani banyak dimanfaatkan untuk ornamen arsitektur dan sampul buku, dan sering pula untuk surat-surat resmi. Gaya ini mengalami pengembangan di tangan Hafiz Usman, dari Daulah Usmaniyah di Turki, yang kemudian dikenal dengan Diwani Jali. Jika Diwani tanpa harakat, justru Diwani Jali mempunyai harakat yang melimpah, sehingga sulit dibaca secara selintas. Biasanya, model ini digunakan untuk aplikasi yang tidak fungsional, seperti dekorasi interior masjid atau benda hias.

Berikutnya, ada seni penulisan kaligrafi dengan ragam gaya Farisi. Sesuai namanya, gaya ini dikembangkan oleh seniman Persia dan hal itu menjadikannya sebagai huruf resmi bangsa ini sejak pemerintahan Dinasti Safawi hingga sekarang. Gaya ini mengutamakan unsur garis sebagai cirinya, yang  ditulis tanpa harakat. Kepiawaian seorang seniman dalam menuliskannya sangat ditentukan oleh kelincahannya mempermainkan tebal-tipis huruf dalam “takaran” yang tepat. Penggunaan gaya ini lebih banyak untuk dekorasi eksterior masjid di Iran, yang dipadu dengan warna-warni arabes.

Di samping gaya-gaya yang telah disebutkan, ragam gaya penulisan dalam seni kaligrafi Islam yang juga berkembang adalah gaya Tawqi dan Muhaqqaq. Gaya Tawqi muncul pada periode kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Gaya ini khusus digunakan untuk keperluan tulis-menulis resmi. Gaya Muhaqqaq salah satu jenis penulisan yang cukup sederhana. Ujung-ujung huruf pada gaya Muhaqqaq memanjang, sementara kurva berada pada ujung bawah baris atau dapat dikatakan menggarisbawahi teks. Di antara jenis kaligrafi yang ternama, ada gaya Moalla atau Mu’allaq. Gaya ini memang kurang begitu populer, jarang dipakai dan tidak menjadi standard buku panduan kaligrafi yang umum beredar. Gaya kaligrafi ini diperkenalkan oleh Hamid Ajami, seorang kaligrafer kelahiran Teheran, Iran, dan hanya berkembang di Iran.

Fungsi Kaligrafi
Sebagai salah satu wujud karya seni yang dibangun dengan landasan pertimbangan-pertimbangan estetis dan keagamaan, seni kaligrafi mempunyai beberapa fungsi yang sangat penting. Pertama, secara ideal kaligrafi dapat dipakai sebagai media komunikasi untuk menyampaikan “misi dakwah” kepada penikmat agar mendapatkan sentuhan nilai atau rasa keagamaan. Lukisan kaligrafi yang bersifat religius yang menampilkan ayat-ayat suci Alquran sarat dengan nilai estetis relijius, sesuai dengan sifat Allah yang Maha Indah, “innnallaaha jamiilun yuhibbul jamaal (sesungguhnya Allah Maha Indah, Dia menyukai keindahan).

Seni lukis kaligrafi bisa menjadi semangat pelecut keimanan. Manakala manusia menyadari bahwa pena merupakan senjata pemusnah keingkaran dan keinginan, maka dengan kitab suci sebagai pemandu akal dan hasrat keinginan, seni kaligrafi menjadi media komunikasi manusia dengan Tuhannya, yakni melalui wahyu-wahyu yang mewujud dalam ayat-ayat Alquran. Dengan kata lain, ajaran-ajaran suci Alquran akan bisa tersampaikan dan terwujudkan melalui karya seni menulis indah itu.

Kedua, secara fisik kaligrafi dimanfaatkan sebagai dekorasi atau hiasan. Ismail R. Faruqi, dalam bukunya Cultural Atlas of Islam mengatakan bahwa kaligrafi Arab, merupakan media ungkap nilai-nilai spiritual yang dipengaruhi oleh kesucian wahyu Alquran yang dilakukan para seniman Muslim di seluruh dunia. Dalam perkembangannya, kaligrafi dengan aneka ragam aliran merasuk dalam berbagai bidang kehidupan kaum Muslim untuk kemanfaatan keindahan dan spiritual. Oleh karenanya sangat wajar jika kaligrafi Arab ini memenuhi ruangan hidup kaum Muslim, seperti ruang masjid, buku-buku ilmiah, kitab suci Alquran, kitab-kitab hadis, makam, arsitektur gedung perkantoran, hiasan dinding, tughra, stempel, senjata perang, busana dan sebagainya.

Bukti semangat tersebut dapat kita lihat pada berbagai hiasan kaligrafi dan Arabeska di beberapa bangunan Islam terkenal di dunia, seperti Masjid Cordoba di Spanyol, Masjid Al-Hambra di Granada, Masjid Istambul Turki, Masjid Isfahan, Masjid Ibnu Toulon, dan Istana Taj Mahal. Roger R, Garaudy, mengatakan bahwa budaya Qurani yang dikembangkan para seniman kaligrafi Muslim, telah berpengaruh di dada perupa Barat, seperti Kandinsky, Mondrian, Monet, Gauguin, dan Matisse yang juga mengembangkan nilai-nilai keilahian pada karya-karya mereka.

Kaligrafi sendiri tentu saja syarat makna, dimana dalam tulisan atau naskahnya terkandung filosofi dan pesan dakwah agar umat Islam senantisa selalu membaca ayat-ayat suci Alquran dan ingat kepada Allah SWT. Maka banyak yang beranggapan bahwa menghias ruangan atau bangunan dengan memajang kaligrafi lebih baik daripada memajang patung atau gambar makluk hidup seperti manusia atau hewan. Pasalnya, dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad SAW bersabda bahwa malaikat tidak akan memasuki rumah yang di dalamnya terdapat patung atau gambar yang berbentuk makhluk hidup, lantaran setan atau jin kafir bakal mendiami pajangan atau gambar tersebut. Hadis tersebut memperkuat pandangan umat Islam untuk menempatkan Kaligrafi selain sebagai hiasan rumah juga mempunyai makna relijius tersendiri.

Saat ini, seni kaligrafi juga sudah sangat variatif, mengingat dalam perkembangannya kaligrafi memiliki trennya sendiri yang selalu mengalami perubahan dan perkembangan. Tidak hanya sebatas seni lukis yang menggunakan media kanvas atau kertas saja, kini kaligrafi telah banyak dituangkan dalam media logam, kuningan, kaca, kolase ataupun ukiran kayu, sehingga seni Islam ini mampu berkompetisi di tengah perkembangan seni, terutama seni rupa modern.

Seni kaligrafi Islam sebagai salah satu nafas kebudayaan Islam tidak semata-mata hanya mengandalkan kemahiran serta penguasaan teknik dan ketangkasan menangkap objek estetika. Namun, yang lebih utama adalah sebagai karya seni, kaligrafi sebagai spirit Islam juga ditentukan oleh wawasan intelektual dan pecapaian spiritualitas seseorang serta kearifannya dalam menyerap hakikat keindahan dan kenyataan yang selaras dengan pandangan Islam.

Sumber: Lazuardi Birru

2 komentar:

  1. artikelnya sangat bermanfaat, izin share y!

    BalasHapus
  2. terima kasih sudah share ini! sangat berguna untuk saya

    BalasHapus