Pada awalnya, istilah “kiai kampung” mengacu kepada sosok alim (atau biasa dikenal dengan istilah ulama) yang berada di tengah-tengah masyarakat. Kiai kampung identik dengan kesederhanaan hidup, kedalaman/penguasaan ilmu keislaman yang nyaris sempurna dan senantiasa mengabdi kepada masyarakat, khususnya melalui lembaga pendidikan Islam yang biasa dikenal dengan istilah pesantren.
Padatnya jadwal mengajar di lingkungan pesantren membuat kiai kampung tidak mempunyai waktu untuk mengurus hal-hal di luar keilmuan, alih-alih hiruk-pikuk politik dan kekuasaan yang bersifat pragmatis. Bila ada waktu luang (di sela-sela mengajar di pesantren), pada ghalibnya kiai kampung justeru menggunakannya untuk mengisi pengajian umum yang diadakan oleh masyarakat sekitar.
Dilihat dari konsistensi dan perannya sebagaimana di atas, tak berlebihan bila kiai kampung mendapatkan julukan sebagai abdi umat (khadimul ummah), ilmuan sejati (al-‘alim-al’allamah) dan penjaga pesantren yang oleh pendiri NU (Hadratus Syeikh Hasyim Asy’ary) disebut sebagai pintu ilmu keislaman. Semua ini dapat dijadikan sebagai ciri khas dari sosok kiai kampung, di mana pun berada (termasuk yang berada di perkotaan).
Pada kisaran tahun 2008, istilah kiai kampung dipopulerkan oleh cucu pendiri NU yang menjadi Presiden Republik Indonesia ke-4. Beliau adalah KH Abdurrahman Wahid yang dikenal dengan julukan Gus Dur. Gus Dur mempopulerkan istilah ini sebagai kritik terhadap fenomena “kiai politik praktis” yang membuat para kiai justru lebih sibuk rapat di gedung-gedung partai, pemerintahan ataupun penginapan. Padahal sebagaimana disampaikan di atas, sebelum terbawa ke dalam fenomena “kiai politik ragtis”, para kiai lebih sibuk mengajar di pesantren dan pengajian yang diadakan oleh masyarakat sekitar.
Dalam beberapa waktu terakhir, kritikan yang dilakukan oleh Gus Dur dengan gerakan kiai kampung-nya sebagaimana di atas penting untuk dipertimbangkan kembali. Tidak semata-mata untuk mengingatkan para kiai agar tidak meninggalkan pesantresn seperti yang telah dilakukan oleh Gus Dur. Lebih daripada itu, gerakan kiai kampung saat ini sangat dibutuhkan untuk mengimbangi (kalau tidak boleh mengatakan melawan) fenomena “ustaz media” yang kerap menghiasi layar kaca ataupun media-media lain.
Hal ini penting dilakukan mengingat sebagian dari ustaz media kerap melenceng dari ciri khas atau jati diri seorang ilmuan atau ulama sejati (al-‘alim-‘allamah), khususnya aspek kedalaman ilmu dan kesederhanaan hidup sebagai sosok teladan. Hal yang kerap terjadi justeru sebaliknya, sebagian dari ustaz media justeru lebih menonjolkan “kemewahan hidup” (pakaian, rumah, mobil dll) dan lawakan sebagai daya tarik penampilannya. Sedangkan aspek kedalaman ilmu justeru tidak menonjol. Bahkan beberapa waktu lalu ada ustaz media yang mendapatkan tegoran langsung (dalam acara live) dari seorang kiai terkemuka akibat salah menyebut Hadis (padahal yang dikutip bukan Hadis).
Tentu saja hal ini tidak berlaku umum bagi semua ustaz atau ulama yang kerap menghiasi media. Mengingat di antara ustaz media terdapat beberapa ulama atau kiai yang mencerminkan sebagai ilmuan sejati dengan pelbagai macam ciri khasnya sebagaimana telah disebutkan di atas. Yaitu aspek kedalaman ilmunya, kesederhanaan hidup, pengabdiannya yang total terhadap masyarakat dan lain sebagainya.
Hal ini penting untuk diperhatikan oleh semua pihak, khususnya para awak media. Hingga mereka tidak hanya mengandalkan hal-hal yang bersifat penampilan untuk menunjang sukses acara yang ada, tapi juga harus mempertimbangkan aspek kedalaman ilmu dan keteladanan dari tokoh yang ditampilkan.
Untuk acara-acara umum di luar keagamaan, mengandalkan hal-hal yang bersifat penampilan demi suksesnya suatu acara, tentu masih bisa dipahami. Namun hal ini tidak bisa digunakan untuk acara-cara yang sifatnya keagamaan. Sekali lagi karena agama berkaitan dan keilmuan dan keteladanan.
Sejatinya media memberikan ruang selebar-lebarnya kepada para kiai kampung ataupun ulama yang mencerminkan kedalaman ilmu, pengabdian tulus kepada masyarakat dan kesederhanaan hidup. Hingga masyarakat mendapatkan keteladanan hidup dan wawasan keislaman secara lebih utuh yang jauh dari aksi-aksi kekerasan.
Sumber: Lazuardi Birru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar