Rabu, 24 Juli 2013

Islam di Negeri Tirai Bambu (1): Sejarah Masuknya Islam ke China












Islam masuk ke China pada awal pertengahan abab ke-7. Perkembangan dan penyebaran Islam terjadi pada periode Dinasti Tang, Song, Yuan, Ming dan Qing, serta pemerintahan Republik (618-1949 M) selama 1300 tahun. Jumlah pemeluk Islam terus mengalami perkembangan hingga mencapai 20 juta orang sampai saat itu. Sampai-sampai Islam memiliki sebutan pada tiap-tiap periodesasi sejarah pemerintahan di sana. Pada era Dinasti Tang (618-907 M) misalnya, Islam dikenal dengan Dashi Jiao, agama Dashi, panggilan yang biasa disematkan untuk orang Arab Dashi. Sementara di era Dinasti Ming (1368-1644 M), Islam lebih populer dengan sebutan Tiangfang Jiao (agama bangsa Arab), atau Hui Hui Jiao (agama bangsa Hui Hui). Karena itu, orang Muslim dengan latar belakang etnik yang bervariasi umumnya dikenal sebagai orang Hui Hui.

Begitu juga pada era Dinasti Ming dan Qing (1616-1911 M), komunitas Muslim mempunyai panggilan yang khas dengan sebutan Qingzhen Jiao, yang berarti agama yang benar dan murni. Terakhir, pada era Republik (1912-1949 M), Islam disebut Hui Jiao atau agama bangsa Hui, yakni sebuah kelompok etnik Muslim di China.

Setelah pemerintahan China Baru didirikan pada 1949, Dewan Negara mengeluarkan kebijakan supaya mencatat nama-nama Islam di tahun 1956. Kebijakan itu menghasilkan keputusan bahwa Islam adalah agama yang mendunia, dan terminologi Islam merupakan nama universal yang digunakan masyarakat secara internasional. Jadi, tidak boleh lagi ada penyebutan Hui Jiao untuk Islam mulai saat itu, cukup dengan penyebutan Islam.

Sejak itu, terma Islam secara umum digunakan di daratan China, meski Islam di Hongkong, Macau, dan Taiwan masih disebut Hui Jiao. Di antara 56 kelompok etnik China, terdapat 10 etnik yang menjadikan Islam sebagai kepercayaan nasional mereka. Di antara etni-etnik tersebut terdapat etnik Hui, Uighur, Kazak, Dongxiang, Khalkha, Sala, Tajik, Uzbek, Bao’an dan Tatar. Di samping itu ada juga etnik yang sebagian kecil warganya memeluk Islam seperti yang terjadi pada etnik Mongol.
Perkembangan Islam di China memunculkan pertanyaan terbuka ketika Islam pertama kali dikenalkan di negeri tirai bambu ini. Banyak peneliti dan cendekiawan yang meneliti hal ini tetapi kerap berujung pada kesimpulan yang berbeda-beda. Yang ternilai paling valid adalah penemuan sejarawan China kontemporer, Chen Yuan. Dia mengatakan bahwa Islam mulai masuk pada tahun kedua Cefu Yonghui dari Dinasti Tang.

Yuan menemukan dokumen-dokumen aktual mengenai sejarah Dinasti Tang dan Yuangui. Hasil penelitiannya menjadi rujukan utama pengetahuan sejarah Islam China. Yuan menyimpulkan, Islam masuk ke China pada tahun kedua Yonghui kekaisaran Gaozong Dinasi Tang. Saat itu, Khalifah Arab Othman ketiga (644-656 M) mengirim utusan diplomatik ke ibukota Tang, yaitu Chang’an dalam rangka memenuhi undangan Kaisar Gaozong. Kaisar ingin dikenalkan tentang kekhalifahan dan adat budaya Islam. Banyak sejarawan yang menyebut tahun ini sebagai awal mula masuknya Islam ke China.

Islam masuk ke China melalui dua rute, laut dan darat. Komunikasi dan transportasi antara China dengan negara-negara Bagian Barat (baca saat ini: Xinjiang dan Asia Tengah) mulai terjalin sejak Zhangqian (?-114 M) dikirim oleh Kaisar Hanhe sebagai utusan ke Bagian Barat di masa Dinasti Han pada tahun ke-9 Yongyuan. Dia diutus ke Semenanjung Arab dalam misi diplomatik ke Bagian Barat. Saat itu, transportasi dan komunikasi jalur laut antara China dan negara-negara di Bagian Barat sudah jauh berkembang.

Jalan darat yang terbentang dari Asia Barat Daya melewati Persia, Afghanistan, Asia Tengah, Pegunungan Tianshan dan Jalur Hexi hingga Chang’an merupakan jalur lintasan penting yang menghubungkan China dan Barat. Banyak saudagar Muslim melakukan perjalanan panjang dan berliku ke China untuk berbisnis. Dalam buku bertajuk “Zhi Zhi Tong Jian/Sejarah sebagai Sebuah Cermin” tercatat ada lebih dari 4.000 pebisnis asing yang masuk ke Cang’an pada era Dinasti Tang. Mayoritas pedagang berasal dari Arab dan Persia.

Pedagang-pedagang China dan Arab mendominasi jalur bisnis laut mulai dari teluk Persia dan laut Arab, berlanjut ke teluk Bangladesh, selat-selat Malaka dan laut China Selatan, hingga pelabuhan-pelabuhan di China seperti Guangzhou, Quanzhou dan Yangzhou. Pedagang Arab dan Persia datang ke tempat-tempat ini untuk melakukan bisnis, dan di antara mereka ada yang menetap di sana. Tidak salah jika dikatakan Islam menyapa China melalui bisnis laut.

Hubungan China dengan negara-negara Islam juga terjalin di bidang militer. Dinasti Tang kerap menjalin hubungan militer dengan kerajaan Arab Islam. Selain itu, komunikasi China dengan Islam tetap terjaga lebih dari 148 tahun, dari tahun kedua Yonghui Kekaisaran Gaozong (651 M) sampai tahun ke-14 Zhengyuan Kekaisaran Dezong (798 M). Kunjungan para utusan Arab ke China tercatat mencapai 37 kali.

Sayangnya, di masa kekuasaan Tang, pemerintahan pusat dilemahkan persoalan sosial dan politik internal seperti korupsi dan otoritarianisme pusat terhadap kendali propinsi-propinsi kecil. Karena penekanan itu, sejumlah penguasa lokal seperti gubernur An Lushan melakukan pemberontakan di Fanyang (sekarang Beijing) pada 755 M. Pemberontakan ini dibantu dengan jenderal Shi Shiming yang menguasai provinsi Hebei. Mutlak, pemberontakan itu kian melemahkan Dinasti Tang.
Dinasti Tang meminta bantuan militer dari kerajaan Arab untuk meredam pemberontakan An dan Shi. Hubungan baik dengan kerajaan Arab dipertahankan tetap langgeng. Setelah perang usai, Kaisar Zongyun mengizinkan tentara-tentara Arab untuk tetap tinggal di China. Dari hal itu, Islam semakin eksis di China.

Dinasti Tang dan Song (618-1279 M) merupakan periode pertama Islam di China. Saat itu, pada dasarnya Muslim di China terdiri dari para pedagang, tentara, dan utusan-utusan diplomatik kerajaan Arab dan Persia. Mereka menetap dalam komunitas-komunitas yang berkoloni. Mereka teguh menjaga agama dan cara hidup mereka. Kehadiran mereka ke China lebih bertujuan pada upaya bisnis, bukan sebagai misionaris. Karena alasan ini, kehadiran mereka tidak ditentang para penguasa China. Keberadaan mereka malah dihargai dengan dibolehkannya menetap dan menikah dengan penduduk setempat di sana.

Orang-orang Islam yang menetap di China dipanggil Zhu Tang, penduduk asing yang tinggal di China. Muslim Zhu Tang menikahi perempuan China lokal dan beranak pinak. Keturunan mereka menjadi pribumi asli yang terlahir sebagai Fan Ke, yang berarti orang asing atau Muslim asing. Meski demikian, jumlah orang Islam si China saat itu masih sedikit sekali. Keberadaan mereka rata-rata terkosentrasi di kota-kota besar dan pelabuhan-pelabuhan di sepanjang jalur pusat komunikasi pemerintahan.
Perkawinan silang antara Muslim asing yang menetap di China dengan penduduk asli China menjadi sebuah fenomena umum. Di antara generasi pertama Muslim asing di China, sebagian besar datang secara individual. Mereka hidup dalam kemakmuran dan menikmati status sosial yang tinggi, sebagai saudagar. Karena itu, pernikahan silang bukanlah sesuatu yang sulit bagi mereka. Mereka menikahi perempuan pribumi, pejabat, bahkan keluarga darah biru.

Kebutuhan melaksanakan ritual keagamaan mendesak mereka untuk membangun beberapa masjid. Mereka menjadikan masjid sebagai pusat komunikasi antar-Muslim di sana seperti masjid Huaisheng di Guangzhou, Qingjing di Quanzhou, Xianhe di Yangzhou dan Fenghuang di Hangzhou.  Keempat masjid ini dibangun pada dinasti yang berbeda-beda dan disebut sebagai empat masjid kuno China.
Seperti disebutkan di awal, selama Dinasti Tang dan Song, perdagangan asing berkembang, sehingga banyak pedagang Arab dan Persia yang menetap di China. Pada tahun ke-4 Zhenghe Dinasti Song, mulai muncul generasi ke-5 penduduk lokal Fan Ke. Pemerintahan Song secara khusus mengeluarkan kebijakan hukum waris bagi generasi ke-5 penduduk lokal Fan Ke. Kebijakan ini betujuan untuk menyepakati problem kewarisan mereka yang sebelumnya menjadi persoalan.

Sementara itu, masih pada era Song, kalangan Muslim pribumi mulai menerima dengan positif pendidikan budaya China. Di Guangzhou dan Quanzhou, di mana masyarakat Muslim terkosentrasi, muncul sekolah-sekolah khusus yang dijalankan umat Muslim sendiri. Sekolah-sekolah itu lebih dikenal dengan sebutan Fan Xue –sekolah bagi orang asing–, yang hanya atau sebagian besar merekrut anak-anak dari orang Muslim pribumi.

Pembangunan Fan Xue bertujuan untuk mendidik anak-anak Muslim dengan budaya tradisional masyarakat China dan membantu mereka supaya lebih cepat menyesuaikan diri dengan kebudayaan China. Target akhir Fan Xue adalah ujian kekaisaran yang diselenggarakan pengadilan setempat. Ujian tersebut merupakan jalur terpenting bagi umat Muslim China untuk berpartisipasi dalam bidang politik. Dinasti Song mengikuti sistem Tang yang membolehkan orang-orang asing dan keturunan mereka yang tinggal di China untuk mengikuti ujian kekaisaran dengan subjek sama seperti yang diujikan kepada masyarakat asli China. Meski sistem ujian kekaisaran itu belum utuh, kuota tahunan memungkinkan orang asing langsung terlibat di bidang politik.

Selain pernikahan silang dan pembangunan basis pendidikan, peningkatan populasi Muslim di China pada era Dinasti Song juga terjadi melalui “perbudakan”. Pada era Song, ada kewajiban sosial yang menuntut lahan milik pribumi diakui sebagai milik pemerintah. Karena alasan ini, sebagian petani lokal atau pemilik lahan meminta perlindungan pejabat atau keluarga-keluarga kaya untuk merubah identitas atau status sosial mereka agar bisa lari dari kewajiban sosial itu. Dari itu, ada di antara mereka yang berkeinginan menjadi budak keluarga Muslim agar lahan mereka tidak dicaplok pemerintah.

Fakta ini menjadi fenomena umum, sejumlah petani penyewa meminta perlindungan kepada keluarga-keluarga Muslim, yang kemudian mereka memeluk Islam di waktu yang bersamaan. Bagi umat Islam, memelihara budak merupakan sesuatu yang biasa, sebab menurut tradisi-tradisi Islam, budak seperti ini termasuk dalam bagian yang turut mewarisi, bahkan dimasukkan ke dalam kualifikasi orang yang mendapatkan warisan, bahkan seluruh lahan dari sang penguasa tanah. Jadi, masyarakat Muslim di masa Dinasti Song terlibat dalam semua aktivitas sosial kehidupan seperti menjalankan sekolah, melakukan ujian kekaisaran, pernikahan silang dan melindungi budak. Hasilnya, populasi masyarakat Muslim mengalami peningkatan dan pada akhirnya terbentuk etnik baru bernama etnik Muslim Hui sebagai komunitas Muslim terbesar di China. (bersambung…)

Sumber: Lazuardi Birru

Tidak ada komentar:

Posting Komentar