Kemajuan suatu bangsa dan masyarakat
tidak bisa dilepaskan dari kemajuan dalam ilmu pengetahuan yang ada di
masyarakatnya. Ibarat antara isi dan wadah, ilmu pengetahuan merupakan
isi dari kemajuan, sementara bangsa dan masyarakat merupakan wadah
tempat bernaung ilmu tersebut. Sebagaimana kita tahu, Barat maju dalam
ilmu dan memberi banyak sumbangan kepada peradaban dunia karena ia
memiliki tradisi keilmuan yang agung. Demikian juga para ilmuwan Muslim
pada masa lalu telah terbukti secara historis meraih prestasi ilmiah
yang sangat gemilang dan memberikan sumbangan yang sangat signifikan
kepada peradaban dunia, karena mereka memiliki sebuah tradisi keilmuan
yang mapan. Pada akhirnya, bisa dikatakan bahwa tanpa dimilikinya sebuah
tradisi keilmuan, suatu bangsa tidak akan mencapai prestasi yang
gemilang dalam hal kemajuan.
Islam sendiri sejak awal sangat
mendorong kemajuan ilmu ini. Beberapa wahyu seperti Q.S. al-‘Alaq: 1-5
sangat penting perananya dalam mendorong keilmuan Islam. Karena itu,
tidak mengherankan jika tradisi keilmuan dalam Islam lantas begitu subur
dan semarak pada masa-masa berikutnya. Fondasi keilmuan Islam klasik
sebenarnya tidak terlepas dari upaya para intelektual Islam dalam
merespon persoalan-persoalan yang muncul dalam masyarakat atas dasar
pemahaman mereka terhadap al-Qur’an dan Sunnah. Pada perkembangan
berikutnya, jawaban dan respon ulama ini kemudian disusun dan
diklasifikasikan sesuai dengan bidang dan wilayah kajian dan objek
permasalahan yang dihadapi sehingga melahirkan klasifikasi ilmu-ilmu
keislaman.
Tidak dapat dipungkiri bahwa keilmuan
Islam pernah memimpin dunia. Ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh
dunia Islam tidak hanya berkisar pada ranah kedokteran, tetapi juga
termasuk matematika, astronomi dan ilmu bumi sebagaimana terbukti dari
banyaknya istilah-istilah modern (Barat) di bidang-bidang itu yang
berasal dari para ilmuan Muslim. Ini artinya bahwa prestasi yang pernah
diraih oleh dunia Muslim jauh lebih lama dari apa yang sudah diraih oleh
dunia Barat modern sekarang ini . Namun seiring rotasi sejarah,
perkembangan keilmuan ini beralih ke Barat. Menurut Muhammad Iqbal,
kemandekan yang terjadi di dunia Muslim tidak bisa dilepaskan dari sikap
memusuhi sains dan cara berpikir rasional dari umat Islam sendiri.
Secara epistemologis, wacana epistemologi keilmuan Islam klasik yang
bercorak tekstual-normatif belakangan lebih dominan daripada
epistemologi yang berusaha memaksimalkan akal dan menempatkannya sejajar
dengan teks suci dalam mendapatkan ilmu pengetahuan.
Nalar Pemikiran Islam
Menurut Abed al Jabiri dalam bukunya Arab-Islamic Philosopy: a Contemporary Critique,
untuk bisa memahami tradisi keilmuan Islam secara kritis, setidaknya
harus didasarkan pada dua persoalan utama. Persoalan pertama terkait
dengan pemahaman akan sistem pemikiran Islam secara utuh. Sementara
persoalan kedua terkait dengan keterkaitan antara ”kuasa” dan
“pengetahuan.” Maksudnya, tradisi keilmuan tidak muncul dengan
sendirinya, tapi selalu terkait dengan latar belakang sosial, politik
dan budaya suatu masyarakat. Dari situ diketahui bahwa pada dasarnya
aktifitas pemikir muslim dalam berbagai variasinya tetap berkutat pada
satu problematika umum yang sama, yaitu suatu usaha ”rekonsiliasi antara
nalar dan wahyu”. Sementara terkait dengan latar belakang
munculnya tradisi keilmuan bisa diketahui bahwa capaian dari pemikiran
filsafat Islam dalam memecahkan problematika antar wahyu dan nalar
tersebut sebenarnya memiliki keterkaitaan erat fungsi dan peranya
sebagai ideologi. Demikinlah, perkembangan kelimuan Islam terutama
filsafat tidak bisa dilepaskan peranya sebagai alat ideologis oleh
penguasa dan dijadikan sarana intelektual oleh para ulama untuk
menyerang musuh-musuh mereka.
Sebagaimana kita ketahui, keutuhan
negara dan solidaritas masyarakat yang sudah terwujud pada masa Nabi
Muhammad dan Khulafaurrasyidin mendapatkan masalah pada masa Dinasti
Umayyah. Untuk menghadapi lemahnya solidaritas dan kekuatan masyarakat
Islam itu, pemerintahan Umayyah lebih terfokus pada upaya
mempertahankan kelangsungan hidup dan berupaya membangun kemampuan untuk
menekan masyarakat, salah satunya dengan menggunakan ilmu.
Kecenderungan ini semakin jelas pada masa dinasti Abbasiyah yang menjadi
penerusnya. Untuk menghadapi berbagai kekuatan musuhnya yang datang
dari kelompok ahlu al-Bait (keluarga Nabi) yang menggunakan ideologi gnostisisme,
yakni keyakinan akan keberadaan sumber pengetahuan di luar akal dan
illuminasi, Dinasti Abbasiyah lebih menekankan al-Quran dan Hadits yang
dipadu dengan rasio.
Konflik antara dua tradisi yang mengambil bentuk antara pemikiran tektualis berhadapan dengan kaum ahli ma’rifat-mistis ini
bermula pada periode awal pemerintahan Abbasiyah dalam mencari
legitimasi politiknya dari khazanah Islam dengan pendekatan filsafat
Yunani melawan kebudayaan Persia yang dibawa para aristokrat yang gagal
melakukan perlawanan melalui medan real sosial-politik. Menyadari
kekuatan lawan yang menggunakan khazanah keilmuan Salaf dipadu dengan
logika Aristoteles sebagai kerangka pikirnya, maka kaum gnostik
dengan berpegang pada logika dan semangat tradisi Persia kuno
memperisai diri di balik pemikiran Syi`ah dengan inspirasinya pada
tradisi Islam sendiri. Karena itu tidak aneh jika pada masa berikutnya,
pola pemikiran Islam yang berkembang di Timur lebih banyak diwarnai
pertentangan antara epistemologi bayani (tektualis) yang lekat dengan Teologi Sunni dengan irfani yang
bersandar pada teologi Syi`ah (Tradisi iluminasi dan Gnostik) ini.
Konflik kognitif ini sebenarnya juga memiliki akarnya pada pertentangan
antara kekuasaan Abbasiyah yang berpusat di Baghdad yang menjadikan
Mu’tazilah sebagai doktrin utama dengan Dinasti Fatimiyyah di Mesir yang
beraliran Syi`ah. Jika nalar bayani ini lebih terpaku pada teks atau
pada dasar-dasar (dikenal dengan sebutan al-ushul al-arba’ah: Al-Qur’an,
sunnah, ijma’ dan qiyas) yang dipatok sebagai sesuatu yang baku dan
tidak berubah, maka nalar irfani (spiritual-intuitif) secara
epistemologis cenderung tidak rasional.
Dinamika pemikiran yang berkembang
di Islam Andalusia dan Maghribi dibawah kekuasaan dinasti Umayyah II
memiliki nuansa yang berbeda dengan Islam bagian Arab-Timur yang masih
dipegang oleh Dinasti Abbasiyah. Iklim keagamaan yang berkembang di
Maghribi adalah Islam yang masih murni, dengan model pemahaman kaum
Salafi dengan model fiqih hadits dan fatwa-fatwa sahabat dan paham Ahl
Sunnah. Perkembangan ini kemudian mendapat sokongan dari Mazhab Maliki
yang berwatak tektualis sebagai mazhab resmi negara menggantikan Mazhab
Awza’i sebagai tandingan dari Mazhab Hanafi sebagai mazhab resmi
Abbasiyah. Watak ortodoksi kalangan ulama Maliki yang melarang filsafat
ke-Tuhanan dan metafisika Aristoteles, Menurut Al Jabiri jutru malah
membawa perkembangan lingkungan ilmiah dan rasional di Andalusia atau
yang kemudian dalam ranah pemikiran Islam disebut dengan epistemologi
burhani. Dalam epistemologi burhani ini, penggunaan
rasionalitas tidak terhenti hanya sebatas rasio belaka, tetapi
melibatkan pendekatan empiris sebagai kunci utama untuk mendapatkan ilmu
pengetahuan, sebagaimana banyak dipraktekkan oleh para ilmuan Barat.
Apa yang berlaku dalam pemikiran orang-orang Andalusia ini bukan lagi
metode qiyas yang menjadikan teks dan masa lalu (salaf) sebagai otoritas
sebagaimana logika Bayani, tapi menggunakan logika Aristoteles dengan
metode deduksi (istintaj, qiyas jami’), induksi (istiqra’), konsep universalisme (al-kulli), universalitas-universalitas induktif, prinsip kausalitas dan historisitas, dan juga al-maqashid (tujuan syariah).
Meski demikian, corak dominan yang berkembang dalam kelimuan Islam adalah epistemologi Bayani sebagaimana diwakili oleh sosok Imam Al-Ghazali bukan epistemologi Burhani yang muncul belakangan. Sementara itu, pandangan Burhani yang
diwakili pemikiran Ibn Rusyd malah berkembang di Barat. Padahal
menurut, Al-Jabiri, model pemikiran yang bercorak bayani dan irfani
sangat sulit untuk dijadikan landasan pengembangan sains. Pasalnya,
padangan bayani lebih bercorak teologis, bukan antropologis maupun
kosmologis. Akibat dari pandangan ini menyebabkan pandangan dunia umat
menjadi lebih pasif bila dibenturkan dengan wacana pengembangan sains
yang lebih antroposentrik-kosmologik. Pandangan epistemologi keilmuan Bayani
ini cenderung menjadikan fenomena alam, moral dan sosial semuanya
“terserah” pada Tuhan Pandangan ini menjadi sangat teologik-normatif
bahkan cenderung mengarah pada mistisme, yang sudah barang tentu
bertolak belakang dengan prinsip social sciences maupun natural sciences.
Pada akhirnya bisa dikatakan fenomena
kemandekan epistemologi keilmuan Muslim ini sebenarnya bukan orisinal
ajaran Islam, tetapi hanya soal interpretasi pemahaman dari ajaran Islam
itu sendiri. Karena secara esensial dan substansial, potensi ajaran
Islam sangatlah mendorong adanya inovasi keilmuan. Karena itu, Agar
Islam dapat kembali pengembangan fenomena epistemologi keilmuan di dunia
Muslim, maka sebuah keniscayaan bagi ilmuan Muslim untuk melakukan shifting paradigm di bidang epistemologi keilmuan Islam yakni dari epistemologi keislaman normatif-tekstual-bayani
yang berakibat pada sulitnya mengadopsi dan mengelaborasi wawasan dan
temuan baru di bidang sains; ke epistemologi keilmuan Islam kontemporer
yang bercorak empiris-historis-burhani (secara epistemologis),
sehingga berdampak pada adanya temuan baru di bidang sains. Paling
tidak melalui beberapa tawaran diatas itulah peradaban sains dalam dunia
Islam kembali mengemuka.
Sumber: Lazuardi Birru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar