Pada suatu malam seorang presiden bekerja di kantornya untuk urusan negara. Tiba-tiba, putranya datang untuk urusan keluarga. Sebelum pembicaraan berlangsung lama, sang presiden bertanya kepada anaknya, “Wahai anakku, apakah kamu hendak membicarakan urusan negara ataukah kamu ingin membicarakan urusan keluarga denganku?” Sang anak menjawab, “Saya akan membicarakan urusan keluarga, Ayah.” Maka seketika sang presiden memadamkan api dan mereka berbicara dalam kegelapan. Ketika ditanya mengapa lampu dipadamkan, ia menjawab bahwa pembicaraan mereka adalah urusan keluarga yang tidak ada sangkut pautnya dengan negara, sedang minyak yang dipakai untuk menerangi tempatnya bekerja itu adalah dibeli dengan uang negara.
Itulah sepenggal kisah kebaikan kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz. Kedudukannya sebagai pemimpin negara tidak menjadikannya buta dan serakah terhadap kenikmatan dunia. Posisinya yang sangat dekat dengan surga dunia sama sekali tidak menjadikannya merasa berkesempatan untuk memanfaatkan segala kemudahan yang diberikan kepadanya. Begitulah sosok pemimpin kharismatik dan dekat dengan rakyat, Umar bin Abdul Aziz.
Umar bin Abdul Aziz ialah khalifah ke-8 Dinasti Umayah yang berpusat di Damaskus. Ia memerintah selama 3 tahun (717-720 M). Ia dikenal bijaksana, adil dan jujur, sederhana, alim dan wara, serta tawadhu dan zahid. Ia disebut juga Umar II dan disejajarkan dengan bin Khattab, khalifah kedua Al-Khulafa Al-Rasyidun.
Nama lengkapnya adalah Abu Hafs Umar bin Abdul Aziz bin Marwan bin Hakam bin Ash bin Umayah bin Abd Syams. Ayahnya, Abdul Aziz, pernah menjadi gubernur di Mesir selama beberapa tahun. Ia adalah keturunan Umar bin Khattab melalui ibunya, Laila Ummu Ashim binti Ashim bin Umar bin Khattab. Pada waktu kecil, ia sering berkunjung ke rumah paman ibunya, Abdullah bin Umar bin Khattab. Tiap kembali dari sana, ia sering mengatakan kepada ibunya bahwa ia ingin hidup seperti kakeknya. Ibunya pun mengiyakan bahwa ia nanti akan hidup seperti kakeknya, seorang ulama yang wara.
Umar menghabiskan sebagian besar hidupnya di Madinah hingga ayahnya wafat pada 85 H/704 M. Kemudian pamannya, Khalifah Abdul Malik bin Marwan, membawanya ke Damaskus dan mengawinkan dengan putrinya, Fatimah. Umar mengenyam pendidikan di Madinah yang saat itu merupakan pusat ilmu pengetahuan dan gudang ulama hadis dan tafsir. Di sana ia mendapatkan pendidikan dan pengajaran serta bimbingan yang sehat. Pendidikan yang diperolehnya sangat mempengaruhi kehidupan pribadinya di kemudian hari dalam melaksanakan tugas yang diamanatkan padanya.
Pada usia 24 tahun, ia diangkat menjadi gubernur Hijaz dengan kedudukan di Madinah. Pemerintahan saat itu dipegang oleh Khalifah Al-Walid bin Abdul Malik atau Al-Walid I. Saat Al-Walid berencana merenovasi Masjid Nabawi, Umar dipercaya sebagai pengawas pelaksanaan pembangunan.
Penampilannya sebagai gubernur berbeda dari gubernur lainnya karena ia sangat adil dalam memerintah. Langkah pertamanya ketika tiba di Madinah adalah membentuk satu ‘dewan penasihat’ yang beranggotakan para ulama yang berpengaruh di kota itu. Dalam dewan itu, ia bersama ualama mendiskusikan berbagai masalah penting yang berkaitan dengan agama, urusan rakyat dan pemerintahan. Melalui dewan itu, ia berusaha mempersatukan pandangan antara umara (pemerintah) dan ulama dalam menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi rakyat dan pemerintah.
Catatan prestasinya membuat gubernur wilayah lain tidak menyenanginya. Atas aduan Hajjaj bin Yusuf Al-Saqafi dan para pendukungnya, khalifah memecat Umar dari jabatan gubernur. Beberapa tahun kemudian, ia kembali ke struktur pemerintahan pada masa kekhalifahan Sulaiman bin Abdul Malik bin Marwan, sebagai katib (sekretaris).
Meskipun menduduki jabatan penting dalam pemerintahan, Umar tidak pernah berambisi untuk menjadi khalifah. Menanggapi kondisi sakit yang diderita oleh Khalifah Sulaiman, Umar yang menyadari bahwa putra mahkota Ayyub sudah meninggal dunia dan orang yang paling memungkinkan diangkat menjadi khalifah ialah dirinya, ia berpesan kepada Wazir (Perdana Menteri) Raja` bin Haiwah:
“Dengan bersaksi kepada Tuhan, saya meminta kepadamu seandainya khalifah menyebut-nyebut namaku untuk jabatan itu, hendaklah engkau menghalanginya, dan kalau ia tidak menyebut-nyebut namaku, janganlah engkau mengingatkan kepadanya.”
Rupanya, sebelum didera sakit yang berkelanjutan Khalifah Sulaiman dan Wazir Raja` telah membuat keputusan bahwa Umar bin Abdul Aziz diangkat menjadi khalifah pengganti, sedangkan Yazid bin Abdul Malik ditunjuk menjadi calon khalifah sesudah Umar. Setelah Khalifah Sulaiman wafat (99 H/717 M), Umar dibaiat menjadi khalifah.
Umar bin Abdul Aziz hanya memerintah kurang lebih dua setengah tahun. Walaupun demikian, waktu yang relatif singkat itu dapat digunakan secara produktif untuk membuat kebijaksanaan dalam berbagai bidang. Dalam bidang agama, ia menghidupkan ajaran Alquran dan sunnah Nabi Muhammad SAW guna mengembalikan kemuliaan Islam dalam berbagai aspeknya. Selain itu, ia menjadikan dua warisan Nabi Muhammad SAW itu, Alquran dan sunnah Nabi, untuk mewarnai kehidupan bermasyarakat dan berbegara. Ia meminta para ulama besar pada masa itu seperti Al-Hasan Al-Basri (ahli hadis dan fikih) dan Sulaiman bin Umar untuk mendidik masyarakat agar mengenal dan menerapkan hukum syariat Islam sebaik-baiknya serta setia mengikuti perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya.
Jasa besarnya dalam bidang agama dan pengetahuan yang dirasakan kemanfaatannya oleh umat Islam hingga kini adalah inisiatifnya untuk mengkodifikasi (membukukan) hadis. Ia terdorong atas kekhawatiran bahwa hadis Nabi Muhammad SAW akan lenyap dengan wafatnya para ulama hadis, dan jika demikian maka besar potensinya hadis-hadis palsu bermunculan. Saat itu, hadis masih tersimpan dalam hafalan dan catatan pribadi para sahabat, tabi’in, dan ulama yang meriwayatkan hadis. Langkah taktis yang diambilnya untuk usaha kodifikasi hadis tersebut adalah dengan memerintahkan seluruh gubernur dan ulama hadis untuk mencatat hadis. Semua hadis yang diperoleh dari berbagai negeri ia percayakan kepada ulama besar Imam Muhammad bin Muslim bin Syihab Al-Zuhri untuk dihimpun dan ditulis. Umar juga turut mendiskusikan hadis-hadis yang telah terkumpul untuk diseleksi apakah palsu atau tidak bersama para alim ulama.
Di bidang sosial politik, Khalifah Umar menerapkan prinsip politik yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan lebih dari segalanya. Meskipun menjadi salah satu khalifah dari Bani Umayyah, ia bersikap berbeda dengan para pendahulunya. Ia tidak melakukan tindakan dan kebijakan politik yang represif kepada musuh politik Bani Umayyah atau kepada rakyat secara umum yang berasal dari bani atau suku lain. Sebaliknya, ia bersikap lemah lembut kepada seluruh rakyat dari suku mana pun. Yang ia hormati dan ia junjung tinggi adalah kejujuran dan kebenaran, bukan reputasi suku atau nama besar kelompok. Bagi Umar, Bani Umayyah tidak mempunyai keistimewaan dibandingkan dengan saudaranya sesama Muslim. Umar sangat menyadari bahwa:
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Ia memberi pengajaran kepadamu agar dapat kamu ambil sebagai pelajaran” (QS. Al-Nahl: 90).
Untuk menyelesaikan perselisihan, Umar sangat menekankan bahwa para hakim harus mendasarkan keputusannya pada Alquran, sunnah Nabi Muhammad SAW, ijma’ ulama, dan ijtihad. Umar sangat keras menentang praktik pengadilan yang diputuskan berdasarkan subjektivitas hakim atau kepentingan pihak-pihak tertentu. Ia selalu mengupayakan agar jalan kecurangan, percobaan suap menyuap, perilaku korupsi, dan berbagai tindak ketidakjujuran lainnya tidak menemukan celah sedikit pun selama ia menjadi khalifah.
Dalam bidang ekonomi, Umar membuat berbagai kebijakan yang melindungi kepentingan rakyat dan meningkatkan kemakmuran mereka. Ia membuat aturan yang lebih adil mengenai sistem takaran atau timbangan, melenyapkan cara kerja paksa, membangun sistem pertanian terpadu, menggali sumur-sumur, membuat saluran irigasi, membangun jalan, menyediakan penginapan bagi musafir, menyantuni fakir miskin, dan berbagai pembangunan dan kebijakan lainnya.
Demikian hebatnya kebijaksanaan dan kematangan jiwa kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz. Apa yang dipikirkannya adalah apa yang bisa ia berikan kepada negaranya, bukan apa yang bisa diberikan negara kepadanya. Kesalehannya membuatnya dekat dengan dan dicintai oleh rakyat, meskipun masa pemerintahannya hanya singkat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar