Akhir-akir ini media massa ramai memberitakan kasus korupsi dari tingkat pusat sampai daerah. Nampaknya berita tentang kasus ini tak pernah sepi dari pemberitaan, dari kasus BLBI, skandal Bank Century, Hambalang, hingga yang terkini dugaan kasus suap Bupati Buol. Terjadinya korupsi merupakan suatu penyalahgunaan wewenang ketika otoritas ada pada pemegang wewenang itu. Dalam hal ini, jika dikaitkan dengan ajaran Islam, korupsi merupakan bentuk pengkhianatan terhadap amanah yang diberikan.
Kita bisa melihat bahwa banyak motif
yang menyebabkan orang nekat melakukan korupsi. Korupsi dapat terjadi
oleh sebab kepentingan politik, ekonomi ataupun budaya. Namun, naluri
memperkaya diri dengan menghalalkan segala cara yang mendorong seseorang
untuk korupsi selalu tidak terlepas dari adanya mental atau budaya
“mencuri” yang mengalir dalam darahnya serta dikombinasikan dengan
kesempatan untuk melakukan hal tersebut.
Jika kita menyimak dari berita yang
tersiar di media massa, amat menyedihkan ketika mengetahui fakta bahwa
sebagian terdakwa kasus korupsi adalah Muslim. Beberapa dari mereka
bahkan mengenakan simbol-simbol Islam saat menjalani sidang di
pengadilan.
Korupsi merupakan penyelewengan amanah
yang sangat kejam. Perbuatan ini dapat menjamur tidak hanya di kalangan
elit, pada tingkat rendah pun korupsi bisa saja terjadi. Seseorang yang
nekat melakukan tindakan korupsi dapat dinilai terkategorikan lupa bahwa
ada Allah yang mengawasinya dalam segala hal. Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu
menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu)
apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan
adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya
kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (QS. An-Nisa: 58).
Ayat ini menyatakan dengan jelas bahwa
amanah harus diletakkan pada tempatnya atau disampaikan kepada yang
berhak menerimanya. Amanah yang dimaksud dalam ayat tersebut bermakna
umum yakni amanah dalam segala hal. Para sahabat Nabi Muhammad SAW
seperti Barra’ bin ‘Azib, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, dan Ubai bin Ka’ab,
sepakat bahwa amanah itu terdapat dalam segala hal baik urusan
peribadatan maupun keduniawian. Amanah benar-benar mencakup segalanya.
Dalam setiap aktivitas seperti dalam berwudhu, shalat, zakat, ukuran,
timbangan, barang titipan, dan pekerjaan, amanah selalu melekat.
Demikian pula seorang ulama tafsir, Al-Qurtubi, berpendapat bahwa amanah
itu harus diserahkan atau disampaikan kepada orang yang berhak
menerimanya baik orang yang berlaku baik maupun tidak. Dalam hal ini,
segala tugas yang diberikan kepada seseorang merupakan amanah yang harus
dijalankan dan disampaikan kepada yang berhak menerimanya, sedangkan
pemegang amanah itu tak mempunyai hak untuk mengambilnya.
Korupsi dalam Pandangan Islam
Beragam istilah dalam
Islam dapat dikaitkan dengan kejahatan korupsi. Korupsi dapat dikatakan
suatu perbuatan curang untuk memperoleh sesuatu dan segala kecurangan
erat kaitannya dengan kezaliman dan kebatilan. Bentuk perbuatan korupsi
tidak terbatas pada penggelapan uang. Aksi suap-menyuap termasuk bagian
dari tindakan korupsi, karena suap dilakukan demi melegalkan sesuatu
yang tidak legal sehingga terjadilah upaya tutup mulut agar tidak
mengungkapkan kebenaran sesungguhnya.
Penyuapan dalam Islam dikenal dengan istilah risywah. Kata risywah menurut kamus Alfadz Al-Islam yang ditulis oleh Deeb Al-Khudrawi, diartikan sebagai bribery (penyuapan). Dalam kamus tersebut juga disebutkan bahwa it’s forbidden in Islam.
Kata-kata dalam kamus tersebut bukan isapan jempol semata. Perbuatan
suap-menyuap memang sungguh terlarang dalam syariat Islam, bahkan
dilaknat oleh Rasulullah SAW sebagaimana dijelaskan dalam hadis yang
diriwayatkan dari sahabat Abdullah bin ‘Amr,
“Rasulullah SAW melaknat penyuap dan yang menerima suap” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).
Dalam kitab Subulus Salam, ulama
Al-Kahlani menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan laknat pada hadis
tersebut adalah rahmat Allah akan dijauhkan dari pelaku suap dan
penerimanya. Sedangkan maksud daripada suap adalah membelanjakan harta
agar dapat memperoleh sesuatu dengan cara yang batil atau tidak sah (Subulus Salam: 3/43).
Selain perbuatan suap menyuap, kejahatan korupsi dapat pula berupa penggelapan harta yang dalam istilah ilmu fiqh disebut ghulul. Menurut Syeikh Al-‘Allamah Abdullah Al-Bassam dalam kitabnya Taudihul Ahkam, ghulul adalah
pengkhianatan amanah atau penyelewengan dalam urusan harta rampasan
perang atau selain daripada itu. Dalam hal ini, penggelapan harta yang
status hak miliknya atas nama bersama merupakan pengkhianatan atas
kepercayaan segenap pihak yang terlibat. Tentu saja di dalam Islam,
hukum ghulul adalah haram dan merupakan perbuatan dosa besar. Dalil yang menerangkan ghulul adalah sebagai berikut.
“Tidak mungkin seorang nabi
berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa yang
berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia
akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap
jiwa akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan
(pembalasan) setimpal” (QS. Ali Imran: 161).
Ada beberapa hadis yang menjelaskan tentang perkara ghulul, salah satunya adalah yang berasal dari riwayat sahabat Abu Hurairah RA. Dalam hadis tersebut dijelaskan bahwa ia berkata, “Kami
pergi bersama Rasulullah menuju Khaibar, Allah telah memberikan kami
kemenangan dalam perang itu dan kami tidak mendapatkan harta rampasan
perang dalam bentuk emas dan uang, kami mendapatkan rampasan
perang berupa perabotan, makanan dan pakaian. Kemudian kami beranjak
menuju suatu lembah bersama Rasulullah SAW yang ketika itu beliau
bersama seorang budak laki-laki yang dihadiahkan dari seorang laki-laki
penderita penyakit kusta, laki-laki itu bernama Rafa’ah bin Yazid dari
Bani Dhubayyib, ketika kami menuruni lembah, berdirilah budak Rasulullah
itu dan menempati jalan yang ditempuh oleh Rasulullah SAW, lantas ia
pun terkena panah sehingga ia mati dalam lembah itu, maka kami pun
berkata, ‘Selamat! Baginya kesyahidan ya Rasulullah’, maka Rasulullah
pun bersabda, ‘Sekali-kali tidak, demi jiwa Muhammad yang berada di
tangan-Nya, sesungguhnya jubah yang ada padanya itu akan menjadi api
yang membakarnya, jubah itu diperoleh dari harta rampasan perang ketika
perang Khaibar sebelum ditetapkan bagiannya.’ Maka terkejutlah
orang-orang lantas datang seorang laki-laki dengan membawa satu atau dua
tali sandal seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah, kudapati ini dari perang
Khaibar, maka Rasulullah SAW bersabda, satu tali sandal itu dari api
atau dua tali sandal itu dari api” (HR. Bukhari dan Muslim).
Muhammad Asy-Syaukani dalam kitabnya, Nail Al-Authar, menjelaskan
bahwa budak yang bersama Rasulullah itu adalah Mid’am. Adapun jubah
yang dikenakannya adalah sesuatu yang menyebabkan ia terjerumus ke dalam
neraka demikian pula dengan tali sandal yang diambil dari rampasan
perang (ghanimah) sebelum ditetapkan pembagiannya (Nail Al-Authar: 7/316).
Hadis yang telah disebutkan di atas
merupakan dalil akan haramnya penggelapan harta yang bukan haknya.
Apapun harta yang diselewengkan, berapa pun nilainya semua itu akan
dimintai pertanggungjawabannya. Apa yang dimiliki secara tidak sah dapat
menjerumuskan pelakunya ke dalam kemurkaan Allah. Sebagaimana yang
telah dikemukakan pada hadis Bukhari dan Muslim di atas bahwa tali
sandal yang nilai jualnya rendah dan seolah tidak berarti kelak dapat
menjerumuskan pemiliknya ke neraka jika diperoleh dengan cara yang tidak
sah.
Selain risywah dan ghulul, kejahatan korupsi dalam Islam dapat juga berwujud ikhtilas. Definisi ikhtilas
adalah menyaring harta yang ada dalam anggaran negara dengan niat
memiliki atau memanfaatkan sebagian harta tersebut baik secara
terang-terangan maupun tersembunyi untuk kepentingan pribadi.
Pengambilan harta yang bukan haknya merupakan perbuatan tercela,
perbuatan semacam ini pun haram dilakukan karena termasuk memperoleh
harta secara batil. Perbuatan ikhtilas tergolong perbuatan kriminal karena sama halnya dengan menipu dan menggelapkan hak kepentingan umum.
Penutup
Korupsi berkembang hingga membudaya di
masyarakat ketika ketidakadilan semakin merajalela serta kondisi ekonomi
negara melemah. Kemiskinan, ketidakadilan, mental curang, dan budaya
hidup yang hedonis serta didukung dengan adanya kesempatan merupakan
keniscayaan yang memancing siapa pun untuk melakukan korupsi baik dalam
bentuk suap-menyuap atau penggelapan harta.
Pencegahan korupsi tidaklah cukup dengan
mempidanakan para koruptor. Korupsi akan benar-benar terberangus dari
masyarakat ketika kondisi-kondisi yang mengkondusifkan terjadinya
perilaku korupsi, seperti ketidakadilan sosial dan ekonomi, dihilangkan
dari masyarakat. Hal ini membutuhkan perjuangan seluruh elemen bangsa
untuk turut andil mencerabut korupsi hingga ke akar-akarnya.
Para orangtua, guru, tokoh masyarakat,
dan para pemimpin menduduki posisi penting dalam membina masyarakat
berikut generasi penerus bangsa agar tertananamkan nilai-nilai kejujuran
dan anti-korupsi dalam jiwa anak bangsa. Nilai kejujuran, keadilan,
anti-korupsi, dan nilai kebaikan lainnya tidak lain dan tidak bukan
didapatkan dalam agama. Tanpa agama, moral anak bangsa tidak bisa tegak
dan berjalan lurus.
Apapun perbuatan yang dapat merugikan
banyak pihak adalah suatu keburukan, termasuk korupsi, yang sangat
berbahaya dan mengancam tatanan atau keteraturan kehidupan sosial
masyarakat. Ketimpangan sosial meskipun akan selalu ada dalam
masyarakat, harus selalu diupayakan agar tidak semakin melebar. Namun,
jika korupsi menjamur menjangkiti para warga dalam suatu negara,
kecemburuan sosial akan semakin ekstrem. Kalau sudah demikian, tidak
hanya pihak tertentu yang dirugikan namun semua elemen bangsa ikut
dirugikan. Hal ini merupakan penyakit yang sedini mungkin harus dicegah
dan diberantas sampai pada tingkat akar rumput. Memegang prinsip amar ma’ruf nahi munkar, korupsi adalah sebentuk kemungkaran yang harus dicegah oleh setiap umat. Semoga Allah melindungi kita dari segala kemungkaran.
Sumber: Lazuardi Birru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar