Ada apa di balik turunnya minat ilmu
keislaman, khususnya di kalangan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI)?
Apa arti dari merosotnya peminat jurusan ilmu keislaman dalam beberapa
waktu terakhir? Apakah semua ini berhubungan dengan kondisi diskursus
keislaman yang belakangan semakin lenyap dari ruang publik?
Inilah pertanyaan-pertanyaan yang
harus dijawab secara bersamsa-sama. Sebelum menjawab pertanyaan di atas,
ada baiknya kita memperhatikan beberapa fenomena mutakhir yang
berkembang di masyarakat, baik fenomena yang bersifat keagamaan, sosial,
politik, dan yang lainnya.
Dari segi keagamaan, gairah
keagamaan masyarakat justru tampak tak pernah padam. Setidaknya bila hal
ini dilihat dari maraknya buku-buku keislaman “praktis” yang memenuhi
sejumlah toko buku di kota-kota besar, khususnya pada momentum menjelang
bulan Ramadhan seperti sekarang. Begitu juga dengan acara keagamaan di
sejumlah media yang menampilan “aneka macam” ustaz. Bahkan di sejumlah
perguruan tinggi umum, minat keislaman juga kerap mengalami peningkatan
yang ditandai dengan menjamurnya pelbagai macam gerakan keislaman.
Sementara di ranah sosial, fenomena
aksi kekerasan semakin latin terjadi. Baik kekerasan yang bersifat
sosial murni, kekerasan yang bernuansa keagamaan hingga kekerasan
teroristik. Senada dengan ini, ada kecenderungan pengelompokan atau
pengorganisasian masyarakat sebagai basis kekuatan yang tidak jarang
justru dijadikan kendaraan untuk melakukan aksi kekerasan. Semua ini
semakin meminggirkan nilai-nilai kebersamaan, gotong royong dan
toleransi yang menjadi kebanggaan masyarakat Indonesia dalam jangka
waktu berabad-abad lamanya.
Hal yang jauh lebih memilukan justru
kerap ditemukan di pentas perpolitikan nasional. Para politisi yang
berada di bawah naungan partai masing-masing justru kerap tampak
mengedepankan kepentingan kelompoknya dibanding kepentingan masyarakat
luas. Bahkan dalam beberapa waktu terakhir, politisi semakin identik
dengan perbuatan tindak pidana korupsi yang belakangan sebagian dari
mereka diduga terlibat dalam persoalan korupsi Al-Quran.
Di sini kita bisa melakukan
pemaknaan yang lebih komprehensif terhadap fenomena menurunnya diskursus
keislaman mutakhir, tak hanya di perguruan tinggi tapi juga di ruang
publik yang lain seperti media. Salah satu makna dari fenomena ini
adalah menurunnya semangat untuk mengkaji ilmu keislaman secara
menyeluruh, sesuai dengan tangga-tangga akademik yang harus dilalui.
Kajian serius atas ilmu keislaman tentu sangat melelahkan karena
mengharuskan penguasaan sejumlah disiplin ilmu terkait. Sementara hasil
yang didapat dari kajian melelahkan ini kerap tidak berimbang, khususnya
bila dilihat dari segi materi.
Dalam konteks seperti ini, munculah fenomena “ustaz potong kompas”. Di satu sisi, mereka tidak mau ruwet
mempelajari dan menguasai sejumlah disiplin ilmu keislaman yang ada. Di
sisi lain, mereka mendambakan hasil yang melimpah, khususnya dari segi
materi.
Lebih ekstrem lagi, semua kondisi di
atas memunculkan keengganan yang akut di sebagian generasi muda Islam
untuk mengambil jurusan keislaman. Hingga dari tahun ke tahun, jurusan
ilmu keislaman semakin sepi peminat. Secara singkat dan vulgar dapat
dikatakan,
Ini adalah persoalan yang sangat
serius dan harus dihadapi secara bersama-sama, khususnya oleh pemerintah
dan pemangku kebijakan. Para sarjana jurusan ilmu keislaman harus
ditopang oleh program-program ekstra kampus yang mengarah pada
pemandirian ekonomi. Hal ini penting dilakukan karena apa pun, apalagi
dakwah, membutuhkan basis ekonomi yang kuat.
Dengan demikian, sarjana di bidang
ilmu keislaman bisa menjadi tokoh agama yang sejati dan tulus mengabdi
kepada umat dengan mengajarkan ajaran-ajaran Islam yang jauh dari aksi
kekerasan. Mereka tidak perlau was-was dengan kebutuhan ekonominya. Dan
itulah hakikat dakwah yang diteladankan oleh para Nabi, khususnya Nabi
Muhammad SAW.
Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk (Qs. Yasin: 21).
Sumber: Lazuardi Birru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar