Minggu, 07 Juli 2013

Motif Sosial Sufisme


 

Jadilah engkau semua umat yang menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemunkaran, maka merekalah golongan yang beruntung. (Qs. Ali Imron: 104)
 Sejarah sufisme (tasawuf) adalah sejarah buramnya moralitas spiritual manusia. Ungkapan ini untuk melukiskan peran sufisme dalam pusaran sejarah kehidupan keberagamaan umat muslim. Secara historis, gerakan sufisme awal muncul dari refleksi ulama beberapa abad silam sebagai sikap atas tingkah polah keagamaan komunitas masyarakatnya.
Dalam catatan Fazlurrahman (1984: xxiv), bermula dari keunggulan kaum sunni atas Mu’taziliyyin dalam pertarungan ideologis pada era imperium Abbasiyah, kalangan sunni yang semasa Khalifah Al-Makmun hingga Al-Watsiq selalu tertekan oleh mazhab rasionalis Mu’tazilah yang akrab dengan penguasa, pascalengsernya Al-Watsiq dari tampuk kekuasaannya, secara perlahan mampu menguasai pos-pos strategis kekuasaan formal. Dan mencapai puncaknya kala hukum Islam mampu dilegalformalkan–tentunya yang menjadi rujukan hukum adalah mazhab keagamaan mereka.
Konsekuensi logis dari kemenangan ini, Islam kian terseret masuk ke percaturan politik kekuasaan. Sufisme lahir sebagai reaksi internal atas fakta sosial politik yang mengemuka, dan sebagai metode eskatis untuk mewujudkan cita spiritualitas Islam. Semenjak era tersebut, sufisme berkembang turun temurun antargenerasi dan melengkapi “diri” dengan konsep yang dicetuskan tokoh-tokohnya.
Dari sekilas sejarah tersebut, terdapat benang merah antara kondisi sosial politik yang melatarbelakangi kehadiran sufisme dengan situasi sosial politik sekarang. Memang kurang tepat komparasi seperti ini. Namun melalui cara demikian kita bisa melihat semangat di balik kemunculan sufisme; motif penyucian diri dari ambisi duniawi menuju spiritualitas Islam yang kokoh dan utuh.
Barangkali kala itu banyak politisi muslim yang menggunakan Islam sebagai tameng politiknya dan sebagai instrumen meraih ambisinya. Ajaran-ajaran Islam bukan sebagai sarana penghambaan manusia kepada Sang Khaliq, namun terpolitisasi sedemikian rupa. Kalangan ulama yang enggan terlibat dalam kancah politik praktis merasagerah akan hal tersebut dan menyingkir untuk melakukan proses eskapisme (menyepi).
Menilik spirit yang melatarbelakangi kemunculannya, sebenarnya ada motivasi yang lebih mendasar dari sekadar penepian diri dari hiruk pikuknya medan politik. Lebihnya ialah cita perbaikan moralitas umat (Islam), moralitas lahir ataupun batin –yang kedua lebih menonjol.
Bila kita amati sejenak fakta sosial politik kini, masyarakat muslim bangsa kita bisa dikatakan sedang berada pada titik nadir moralitas (masifnya korupsi yang bahkan dilakukan oleh elit Parpol yang mengusung simbol-simbol Islam, pembakaran hutan oleh pengusaha-pengusaha, dan sebagainya)dan bergerak menjauhi nilai-nilai keagamaannya sebagai implikasi dari modernisasi alat komunikasi yang berlari tunggang langgang (pornografi dan pornoaksi [meruyaknya film porno amatir sebagai konsekusensi kemudahan yang tersedia dari fasilitas elektronik] semisal).
Yang tak kalah mengkhawatirkan, arus politisasi agama kian tampak kencang menggelinding. Kerapkali bagi aktor pelaku, pergulatan yang dijalaninya menjadi semacam bumerang. Konflik batin yang tak kunjung reda, rasa teralienasi dari nilai-nilai keagamaan, jauh dari Tuhan dan berbagai gejala psikis lain sering mendera mereka.
Kiranya ini bisa menjadi momen sufisme untuk ditumbuhkan kembali dan diinternalisasikan kepada mereka sebagai solusi atas kegersangan spiritual yang menggejala. Jiwa mereka yang terkoyak oleh pesatnya perubahan gaya hidup, perlu dicerahkan dengan siraman yang mampu menyembuhkan krisis itu. Barangkali majelis-majelis ta’lim dan zikir yang kini amat marak bertumbuh di Jakarta adalah bagian dari upaya untuk mengangkat kembali semangat sufisme tersebut, meski terkadang dengan cara kegiatan yang kurang tepat seperti menutup jalan raya.
Moralitas dan manajemen kalbu, dalam pengamatan saya, menjadi tema utama dalam pengajian-pengajian yang digelar oleh majelis-mejelis tersebut. Kedua unsur tersebut merupakan esensi ajaran sufisme klasik. Ketika disampaikan kepada khalayak awam, khususnya yang mengalami problem spiritual mutakhir seperti masyarakat-masyarakat di kota besar, seolah menjadi ”barang” baru yang mampu menyejukkan kegersangan spiritualitas mereka. Hal ini menunjukkan bahwa sufisme sekarang cukup dibutuhkan bahkan bisa dijadikan sebagai salah satu solusi alternatif atas sebagian problem masyarakat kita.
Namun seiring arus perubahan situasi dan kondisi kehidupan manusia, semua ajaran dan hasil ijtihad mesti mampu beradaptasi dengan situasi mutakhir. Konsep-konsep sufisme yang merupakan hasil ijtihad tokoh-tokoh masa lampau harus mampu bersejalan dengan situasi kekinian. Maka menjadi sebuah keharusan untuk mempelajari dan menelaah tasawuf secara kritis dan inovatif.
Bermacam kritik dari intelektual-intelektual muslim yang dialamatkan kepada sufisme sangat bisa dimaklumi, bila sufisme dipahami sebagai sebuah konsep beku yang antipenelaahan ulang. Dalam asumsi para pengkritik, kemunduran peradaban Islam dan kejumudan berpikir umat Islam, salah satunya disebabkan oleh ajaran sufisme.
Hassan hanafi (1993:114), sarjana muslim Mesir, dalam salah satu risalahnya pernah menulis sebuah kritik tajam terhadap pemaknaan beberapa konsep tasawuf: “Kita menderita karena nilai-nilai negatif yang kita kembangkan seperti faqr, khauf, dan ju’u. Maka kita semua benar-benar miskin, takut, dan lapar yang semuanya membuat kita mengalami krisis. Tapi tidak ada di antara kita yang mencoba untuk melepaskan diri dari krisis itu. Shabr telah membuat kita diam terhadap semua hal. Ridho’ menjadikan kita membiarkan segala sesuatu. Tawakkal membuat kita mengabaikan antisipasi masa depan. Sedangkan ittihad dan fana’ telah membuat kita tenggelam dalam ilusi. Kita memahami kehidupan dari mimpi-mimpi. Kita merasa sebagai ‘khoiro ummatin ukhrijat lil al-nasi’, bahwa kita memiliki peradaban yang tinggi yang pernah lahir dalam sejarah; bahwa kita bangsa yang unggul; padahal kenyataannya sangat berbeda sekali.”
Kiranya wajar statemen tersebut jika sebagian kalangan sering memahami beberapa konsep sufisme secara individualistis sehingga ajaran-ajarannya terkesan utopis dan egoistis. Padahal kalau mau mencermati, semestinya konsep-konsep tersebut harus dipahami dengan semangat zamannya agar menghasilkan pemahaman yang lebih fleksibel, relevan, dan aplicable.       
Zuhud misalnya sering dipahami dengan membenci harta benda dan segala kenikmatan duniawi. Hidup miskin dan nriman dengan dalih tidak menyukai kehidupan duniawi. Jika demikian maka kapan umat Islam memiliki peradaban yang maju sekaligus mampu membuktikan slogan bahwa “al islamu ya’lu wa la yu’la alaihi”? Alih-alih ingin membuktikan slogan tersebut, untuk memenuhi kebutuhan primer sekunder individual umatnya saja sudah sulit. Dalam hal ini saya sangat sepakat dengan perkataan Zainuddin al-Malibary dalam kifayat al-atqiya’nya bahwa “Zuhud bukan berarti hidup tanpa harta benda, melainkan hilangnya perasaan ketergantungan hati terhadapnya.” Dan dalam hemat saya, inilah etos zuhud.
Sedangkan uzlah (eskapisme) dalam realitas kekinian kerap dijadikan sebagai jalan keluar dari krisis psikologis, sebagai pelarian diri dari semua konflik dan problem individual. Sebenarnya hal ini menunjukkan kegagalan seseorang dalam mengaplikasikan konsep dzikrullah sebagai fondasi dasar sufisme. Di mana dengan zikir (mengingat Tuhan) dengan ketuhanannya setiap saat, termasuk saat manusia termasgulkan oleh ritual duniawi, maka seseorang akan selalu merasakan damai dan ketenteraman hati seperti janji Allah. Namun ketika gagal, penyakit psikologis akan bermuara pada eskapisme; melarikan diri demi menjauhi kehidupan duniawi, bersemedi di keheningan dalam rentang waktu yang panjang demi mendekatkan diri) kepada Tuhan.
Lantas yang menjadi pertanyaan, tepatkah praktik seperti itu ketika problematika sosial seperti kemiskinan, dekadensi moral, dan lain sebagainya terus mengungkungi masyarakat kita? Dan bagaimana pula dengan ayat-ayat al-Quran yang memerintahkan kita untuk beramar ma’ruf nahi munkar (Qs. Ali Imron 104 dan 110)?
Bertautan dengan ‘uzlah, dalam pandangan saya, orang yang jujur, bertanggungjawab, dan tidak melakukan manipulasi di tengah bergelimangnya uang dan harta benda publik, jauh lebih baik dan mulia daripada orang yang beri’tikaf di masjid ataupun dalam keheningan lain walaupun terlihat khusyu’-tawadhu’. Karena berzikir dalam kesunyian adalah hal lazim. Tetapi berzikir –dengan mengingat dan melaksanakan nilai-nilai ketuhanan– di tengah keriuhan dan sesuatu yang menggiurkan adalah perilaku luar biasa. 

Sumber: Lazuardi Birru

Tidak ada komentar:

Posting Komentar