Jadilah engkau semua umat yang menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemunkaran, maka merekalah golongan yang beruntung. (Qs. Ali Imron: 104)
Sejarah sufisme (tasawuf) adalah sejarah buramnya moralitas spiritual manusia. Ungkapan ini untuk melukiskan peran sufisme dalam pusaran sejarah kehidupan keberagamaan umat muslim. Secara historis, gerakan sufisme awal muncul dari refleksi ulama beberapa abad silam sebagai sikap atas tingkah polah keagamaan komunitas masyarakatnya.
Dalam catatan Fazlurrahman (1984: xxiv), bermula dari keunggulan kaum sunni atas Mu’taziliyyin
dalam pertarungan ideologis pada era imperium Abbasiyah, kalangan sunni
yang semasa Khalifah Al-Makmun hingga Al-Watsiq selalu tertekan oleh
mazhab rasionalis Mu’tazilah yang akrab dengan penguasa,
pascalengsernya Al-Watsiq dari tampuk kekuasaannya, secara perlahan
mampu menguasai pos-pos strategis kekuasaan formal. Dan mencapai
puncaknya kala hukum Islam mampu dilegalformalkan–tentunya yang menjadi rujukan hukum adalah mazhab keagamaan mereka.
Konsekuensi logis dari kemenangan ini, Islam kian terseret masuk ke percaturan politik kekuasaan. Sufisme lahir sebagai reaksi internal atas fakta sosial politik yang mengemuka, dan sebagai metode eskatis untuk mewujudkan cita spiritualitas Islam. Semenjak era tersebut, sufisme berkembang turun temurun antargenerasi dan melengkapi “diri” dengan konsep yang dicetuskan tokoh-tokohnya.
Dari sekilas sejarah tersebut, terdapat benang merah antara kondisi sosial politik yang melatarbelakangi kehadiran sufisme dengan situasi sosial politik sekarang. Memang kurang tepat komparasi seperti ini. Namun melalui cara demikian kita bisa melihat semangat di balik kemunculan sufisme; motif penyucian diri dari ambisi duniawi menuju spiritualitas Islam yang kokoh dan utuh.
Barangkali
kala itu banyak politisi muslim yang menggunakan Islam sebagai tameng
politiknya dan sebagai instrumen meraih ambisinya. Ajaran-ajaran Islam bukan sebagai sarana penghambaan manusia kepada Sang Khaliq, namun terpolitisasi sedemikian rupa. Kalangan ulama yang enggan terlibat dalam kancah politik praktis merasagerah akan hal tersebut dan menyingkir untuk melakukan proses eskapisme (menyepi).
Menilik
spirit yang melatarbelakangi kemunculannya, sebenarnya ada motivasi
yang lebih mendasar dari sekadar penepian diri dari hiruk pikuknya medan
politik. Lebihnya ialah cita perbaikan moralitas umat (Islam),
moralitas lahir ataupun batin –yang kedua lebih menonjol.
Bila kita amati sejenak fakta sosial politik kini, masyarakat muslim bangsa kita bisa dikatakan sedang berada pada titik nadir moralitas (masifnya korupsi yang bahkan dilakukan oleh elit Parpol yang mengusung simbol-simbol Islam, pembakaran hutan oleh pengusaha-pengusaha, dan sebagainya)dan bergerak menjauhi nilai-nilai keagamaannya sebagai implikasi dari modernisasi alat komunikasi yang berlari
tunggang langgang (pornografi dan pornoaksi [meruyaknya film porno
amatir sebagai konsekusensi kemudahan yang tersedia dari fasilitas
elektronik] semisal).
Yang
tak kalah mengkhawatirkan, arus politisasi agama kian tampak kencang
menggelinding. Kerapkali bagi aktor pelaku, pergulatan yang dijalaninya
menjadi semacam bumerang. Konflik batin yang tak kunjung reda, rasa
teralienasi dari nilai-nilai keagamaan, jauh dari Tuhan dan berbagai
gejala psikis lain sering mendera mereka.
Kiranya ini bisa menjadi momen sufisme untuk
ditumbuhkan kembali dan diinternalisasikan kepada mereka sebagai solusi
atas kegersangan spiritual yang menggejala. Jiwa mereka yang terkoyak
oleh pesatnya perubahan gaya hidup, perlu dicerahkan dengan siraman yang
mampu menyembuhkan krisis itu. Barangkali
majelis-majelis ta’lim dan zikir yang kini amat marak bertumbuh di
Jakarta adalah bagian dari upaya untuk mengangkat kembali semangat
sufisme tersebut, meski terkadang dengan cara kegiatan yang kurang tepat
seperti menutup jalan raya.
Moralitas
dan manajemen kalbu, dalam pengamatan saya, menjadi tema utama dalam
pengajian-pengajian yang digelar oleh majelis-mejelis tersebut. Kedua
unsur tersebut merupakan esensi ajaran sufisme klasik. Ketika
disampaikan kepada khalayak awam, khususnya yang mengalami problem
spiritual mutakhir seperti masyarakat-masyarakat di kota besar, seolah
menjadi ”barang” baru yang mampu menyejukkan kegersangan spiritualitas
mereka. Hal ini menunjukkan bahwa sufisme sekarang cukup dibutuhkan
bahkan bisa dijadikan sebagai salah satu solusi alternatif atas sebagian
problem masyarakat kita.
Namun seiring arus perubahan situasi dan kondisi kehidupan manusia, semua ajaran dan hasil ijtihad mesti
mampu beradaptasi dengan situasi mutakhir. Konsep-konsep sufisme yang
merupakan hasil ijtihad tokoh-tokoh masa lampau harus mampu bersejalan
dengan situasi kekinian. Maka menjadi sebuah keharusan untuk mempelajari
dan menelaah tasawuf secara kritis dan inovatif.
Bermacam
kritik dari intelektual-intelektual muslim yang dialamatkan kepada
sufisme sangat bisa dimaklumi, bila sufisme dipahami sebagai sebuah
konsep beku yang antipenelaahan ulang. Dalam asumsi para pengkritik,
kemunduran peradaban Islam dan kejumudan berpikir umat Islam, salah
satunya disebabkan oleh ajaran sufisme.
Hassan
hanafi (1993:114), sarjana muslim Mesir, dalam salah satu risalahnya
pernah menulis sebuah kritik tajam terhadap pemaknaan beberapa konsep
tasawuf: “Kita menderita karena nilai-nilai negatif yang kita kembangkan
seperti faqr, khauf, dan ju’u.
Maka kita semua benar-benar miskin, takut, dan lapar yang semuanya
membuat kita mengalami krisis. Tapi tidak ada di antara kita yang
mencoba untuk melepaskan diri dari krisis itu. Shabr telah membuat kita diam terhadap semua hal. Ridho’ menjadikan kita membiarkan segala sesuatu. Tawakkal membuat kita mengabaikan antisipasi masa depan. Sedangkan ittihad dan fana’ telah membuat kita tenggelam dalam ilusi. Kita memahami kehidupan dari mimpi-mimpi. Kita merasa sebagai ‘khoiro ummatin ukhrijat lil al-nasi’, bahwa
kita memiliki peradaban yang tinggi yang pernah lahir dalam sejarah;
bahwa kita bangsa yang unggul; padahal kenyataannya sangat berbeda
sekali.”
Kiranya
wajar statemen tersebut jika sebagian kalangan sering memahami beberapa
konsep sufisme secara individualistis sehingga ajaran-ajarannya
terkesan utopis dan egoistis. Padahal kalau mau mencermati, semestinya
konsep-konsep tersebut harus dipahami dengan semangat zamannya agar
menghasilkan pemahaman yang lebih fleksibel, relevan, dan aplicable.
Zuhud misalnya sering dipahami dengan membenci harta benda dan segala kenikmatan duniawi. Hidup miskin dan nriman dengan
dalih tidak menyukai kehidupan duniawi. Jika demikian maka kapan umat
Islam memiliki peradaban yang maju sekaligus mampu membuktikan slogan
bahwa “al islamu ya’lu wa la yu’la alaihi”? Alih-alih ingin
membuktikan slogan tersebut, untuk memenuhi kebutuhan primer sekunder
individual umatnya saja sudah sulit. Dalam hal ini saya sangat sepakat
dengan perkataan Zainuddin al-Malibary dalam kifayat al-atqiya’nya bahwa
“Zuhud bukan berarti hidup tanpa harta benda, melainkan hilangnya
perasaan ketergantungan hati terhadapnya.” Dan dalam hemat saya, inilah
etos zuhud.
Sedangkan uzlah (eskapisme)
dalam realitas kekinian kerap dijadikan sebagai jalan keluar dari
krisis psikologis, sebagai pelarian diri dari semua konflik dan problem
individual. Sebenarnya hal ini menunjukkan kegagalan seseorang dalam
mengaplikasikan konsep dzikrullah sebagai fondasi dasar
sufisme. Di mana dengan zikir (mengingat Tuhan) dengan ketuhanannya
setiap saat, termasuk saat manusia termasgulkan oleh ritual duniawi,
maka seseorang akan selalu merasakan damai dan ketenteraman hati seperti
janji Allah. Namun ketika gagal, penyakit psikologis akan bermuara pada
eskapisme; melarikan diri demi menjauhi kehidupan duniawi, bersemedi di
keheningan dalam rentang waktu yang panjang demi mendekatkan diri) kepada Tuhan.
Lantas
yang menjadi pertanyaan, tepatkah praktik seperti itu ketika
problematika sosial seperti kemiskinan, dekadensi moral, dan lain
sebagainya terus mengungkungi masyarakat kita? Dan bagaimana pula dengan
ayat-ayat al-Quran yang memerintahkan kita untuk beramar ma’ruf nahi
munkar (Qs. Ali Imron 104 dan 110)?
Bertautan dengan ‘uzlah,
dalam pandangan saya, orang yang jujur, bertanggungjawab, dan tidak
melakukan manipulasi di tengah bergelimangnya uang dan harta benda
publik, jauh lebih baik dan mulia daripada orang yang beri’tikaf di
masjid ataupun dalam keheningan lain walaupun terlihat khusyu’-tawadhu’.
Karena berzikir dalam kesunyian adalah hal lazim. Tetapi berzikir
–dengan mengingat dan melaksanakan nilai-nilai ketuhanan– di tengah
keriuhan dan sesuatu yang menggiurkan adalah perilaku luar biasa.
Sumber: Lazuardi Birru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar