Rabu, 10 Juli 2013
Menapak Abad Baru Misi Pendidikan Muhammadiyah
Tahun 2012 terasa istimewa bagi warga Muhammadiyah. Pasalnya, sejak didirikan pada 1912 oleh KH. Ahmad Dahlan, organisasi ini terhitung genap berusia satu abad. Memang kemeriahan satu abad Muhammadiyah dalam hitungan Masehi ini tidak melebihi pelaksanaan Muktamar Muhammadiyah ke-46, yang sekaligus menyambut satu abad Muhammadiyah dalam hitungan kalender Hijriah, yang telah dilaksanakan dua tahun lalu di tanah kelahirannya, Yogyakarta. Meskipun demikian, usia seratus tahun berkarya untuk Indonesia tahun ini tetap sarat makna dan sangat berkesan bagi warga Muhammadiyah.
Sebagai komponen bangsa, berjalan 100 tahun membangun peradaban masyarakat Indonesia merupakan rekor tersendiri bagi Muhammadiyah. Baik pada periode sebelum kemerdekaan maupun pada era merdeka, organisasi Islam yang moderat ini telah berjuang melahirkan kemaslahatan sosial bagi Indonesia. Tercatat paling tidak bidang pendidikan, kesehatan, filantropi, dan kesejahteraan sosial telah disasar badan atau amal usaha milik Muhammadiyah. Pengamat Muhammadiyah, Mitsuo Nakamura, menyebutkan bahwa kontribusi Muhammadiyah tidak terbatas hanya untuk umat Muslim, tetapi juga masyarakat non-Muslim, dengan adanya sekolah dan rumah sakit Muhammadiyah di Papua dan Nusa Tenggara Timur yang mayoritas penduduknya non-Muslim.
Khusus dalam bidang pendidikan, setelah satu abad berkarya, partisipasi Muhammadiyah dalam dunia pendidikan Indonesia sungguh patut diapresiasi. Hingga kini, Mahammadiyah telah menyelenggarakan program pendidikan dengan menyediakan 1132 SD; 169 Madrasah Ibtidaiyah (MI); 1184 SMP; 534 Madrasah Tsanawiyah (MTs); 511 SMA; 263 SMK; 172 Madrasah Aliyah (MA); 67 Pondok Pesantren; 55 Akademi; 4 Politeknik; 70 Sekolah Tinggi dan 36 Universitas yang tersebar di seluruh Indonesia (Suara Muhammadiyah 05/95 1-15 Maret 2010).
Capaian yang luar biasa! Begitulah adanya, publik dan bangsa Indonesia secara fakta telah tercerahkan oleh organisasi Muhammadiyah melalui amal-amal usahanya di bidang pendidikan. Pendiri persyarikatan ini, KH. Ahmad Dahlan, seolah-olah telah meramalkan bahwa pendidikan adalah sarana yang efektif untuk menyebarkan perubahan dan pembaharuan.
Pendidikan Integral
Pada era kolonialisme, pola pendidikan yang dualistis masih terjadi di Indonesia, yaitu adanya sistem pendidikan kolonial dan sistem pendidikan Islam (pesantren). Pendidikan kolonial sangat berbeda dari pendidikan Islam yang saat itu terkesan “tradisional”. Perbedaannya tidak hanya dari segi metode, tetapi juga dari segi isi dan tujuan pendidikan.
Sesuai dengan landasan politik yang dijalankan pemerintah Belanda, tujuan sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah Belanda juga mencerminkan arah politiknya, yakni sekedar untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja yang cukup terdidik. Pendidikan yang dikelola oleh pemerintah kolonial, berorientasikan pada pengetahuan dan keterampilan duniawi. Corak pendidikan tersebut sesuai dengan strategi politik pemerintah kolonial Belanda yang ingin netral terhadap agama.
Sementara itu, pola pendidikan pondok pesantren yang dikelola oleh umat Islam cenderung hanya mengajarkan pendidikan agama, dan seolah mengabaikan ilmu-ilmu umum, sehingga santri sukar menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Di samping itu, secara umum pendidikan di pondok pesantren tidak mengenal kelas dan lama belajar sehingga murid terkesan terlalu lama menuntut ilmu sedang kontribusi pengamalan ilmunya untuk masyarakat kurang.
Dua model pendidikan yang saling bertolak belakang itu menandakan adanya krisis dalam dunia pendidikan. Pemisahan antara ilmu agama dan ilmu umum membawa dampak negatif pada keduanya. Pendidikan agama yang menjadi domain pendidikan pesantren dan ilmu umum yang dikembangkan di bawah kekuasaan politik pemerintah kolonial selain berakibat pada krisis relevansi juga mengakibatkan kebuntuan paradigmatis pada keduanya.
Di satu sisi, ilmu agama ketika dilepaskan dari ilmu umum akan kehilangan kontektualitasnya dalam kehidupan. Sedangkan ilmu sekuler jika dilepaskan dari ilmu agama akan kehilangan pegangan nilai dan spritiulitas. Dengan kata lain, agama tanpa diresapi oleh ilmu akan kehilangan fungsi dan perannya dalam kehidupan, dan ia hanya bermakna secara simbolis-ritualisme belaka. Sementara bagi ilmu umum, dikotomi dari agama hanya akan menjadikan status seorang ilmuan tidak jauh berbeda dengan robot, yang asing dari pertimbangan nilai dan moralitas terhadap apa yang ia kerjakan dan dampaknya bagi kehidupan manusia. Tanpa pegangan nilai, ilmu yang pada awalnya adalah ciptaan manusia berbalik memperbudak manusia.
Berangkat dari keprihatinan untuk menjadikan Islam semakin kontekstual dan menjadikan ilmu beretika, KH. Ahmad Dahlan menyelenggarakan pendidikan dengan menggabungkan kurikulum pondok pesantren dengan kurikulum sekolah Belanda (modern), dengan porsi pendidikan agama yang cukup. Cita-cita pendidikan yang digagas KH. Ahmad Dahlan adalah lahirnya generasi bangsa yang mampu tampil sebagai “ulama-intelek” atau “intelek-ulama”, yaitu seorang Muslim yang memiliki keteguhan iman dan ilmu yang luas, kuat jasmani dan rohani.
Dalam rangka mengintegrasikan kedua sistem pendidikan tersebut, KH. Ahmad Dahlan melakukan dua tindakan sekaligus. Beliau memberi pelajaran agama di sekolah-sekolah Belanda yang sekuler, dan mendirikan sekolah-sekolah sendiri di mana agama dan pengetahuan umum bersama-sama diajarkan. Metode pembelajaran yang dikembangkan KH. Ahmad Dahlan bercorak kontekstual melalui proses penyadaran. Contoh klasiknya adalah ketika KH. Ahmad Dahlan menjelaskan Surat Al-Ma’un kepada santri-santrinya secara berulang-ulang sampai para santri menyadari bahwa aksi nyata menyelesaikan persoalan sosial sangat dipentingkan dalam agama. Mendalami ilmu agama tanpa mampu memecahkan masalah yang membelit masyarakat sama saja berarti mengkhianati agama.
Dasar filosofis yang dikembangkan oleh KH. Ahmad Dahlan ini pada masa berikutnya mewujud menjadi latar belakang berdirinya sekolah semi pondok pesantren; Madrasah Muallimin Muhammadiyah dan Madrasah Muallimat Muhammadiyah di Yogyakarta. Saat itu KH. Ahmad Dahlan melakukan pembaruan yang masih dipandang aneh bagi kalangan umat Islam, yaitu sekolah menggunakan bangku dan kursi, murid-muridnya diperbolehkan latihan drumband dan menggunakan celana panjang serta dasi. Setelah Indonesia bergerak menjadi negara berkembang, SD, SMP, SMA dan perguruan tinggi Muhammadiyah mulai bermunculan. Lembaga pendidikan Muhammadiyah dari berbagai tingkat satuan pendidikan tersebut sangat membantu pemerintah mencerdaskan kehidupan bangsa.
Dari perjuangan KH. Ahmad Dahlan, yang patut diteladani oleh generasi penerus bangsa masa kini adalah semangat untuk melakukan perombakan atau etos pembaruan atas kemandegan pemikiran. Yang harus ditiru adalah perjuangannya melakukan perubahan bukan bentuk atau hasil ijtihadnya.
Semangat pendidikan yang dipakai Muhammadiyah sejak pertama kali didirikan pada 1912 adalah pembaruan. Semangat pembaruan ini didengungkan KH. Ahmad Dahlan ketika merintis sekolah untuk “menandingi” sekolah Belanda yang mengarahkan siswanya untuk menjadi mandor atau tukang. Sekolah yang dirintis Dahlan bukan sekedar memberi tambahan mata pelajaran agama Islam, melainkan lebih jauh dari itu, menanamkan nilai-nilai kebangsaan dan kejuangan, serta mengangkat martabat manusia Indonesia.[1]
Semangat pembaruan sesungguhnya juga yang menjadi folosofi dasar keberadaaan Muhammadiyah. Tafsir pendidikan KH. Ahmad Dahlan telah menjadikan Muhammadiyah tampil sebagai lembaga pendidikan Islam yang melakukan perubahan sosial dan memberi kemanfaatan kepada masyarakat dengan semangat pembaruan.
Dengan spirit pembaruan, apa yang dilakukan KH. Ahmad Dahlan dalam bidang pendidikan itu adalah upaya untuk memadukan atau mengintegrasikan dua keilmuan, ilmu agama dan ilmu umum. Model pendidikan integral yang mampu menggabungkan aspek keagamaan dan keduniaan itu diharapkan melahirkan generasi Muslim yang ulama dan sekaligus intelek.
Integrasi dua ranah keilmuan tersebut sangat penting karena agama tanpa ilmu menjadikannya semakin termitoskan, dan ilmu tanpa panduan agama menjerumuskan kehidupan manusia ke jurang kehancuran.
Tantangan Pendidikan di Abad Kedua
Setelah satu generasi berdiri, partisipasi Muhammadiyah dalam dunia pendidikan akan dihadapkan pada dua hal. Di satu sisi, perasaan bangga menyelimuti para warganya mengingat persyarikatan ini telah mendirikan dan mengelola banyak lembaga pendidikan, menciptakan ribuan guru dan dosen, dan mencerdaskan jutaan anak didik. Tetapi di sisi lain, anggota Muhammadiyah juga patut prihatin ketika melihat tren kualitas pendidikan Muhammadiyah cenderung mengalami disorientasi. Sekolah-sekolah Muhammadiyah masih banyak yang “kurang terurus”, terutama di daerah. Kualitas pendidikan di sekolah atau kampus Muhammadiyah juga banyak dicibir masyarakat sebagai pendidikan level dua yang tidak mampu bersaing dengan sekolah negeri dan sekolah favorit lainnya. Hal ini menjadi tantangan sekaligus tugas pimpinan dan seluruh warga Muhammadiyah untuk memperbaiki kualitas pendidikan Muhammadiyah.
Menurut hemat penulis, sumbangan penting dari pendidikan Muhammadiyah, yakni integrasi ranah agama dan keilmuan harus dilestarikan dan dikembangkan dalam menapaki abad kedua Muhammadiyah. Pada akhirnya, yang lebih penting dari perayaan satu abad adalah menemukan kembali dan reformulasi terhadap identitas Muhammadiyah sebagai gerakan pembaruan pendidikan untuk abad kedua. Semangat tafsir Al-Ma’un yang menjadi ruh reformasi keagamaan di tubuh Muhammadiyah perlu mendapat reformulasi pada dimensi epistemologi dan praktik pendidikan yang konkret. Cita-cita mewujudkan “masyarakat Islam yang sebenar-benarnya” dan meraih ”peradaban unggul” juga perlu dioperasionalkan dengan ukuran empiris, terutama melalui pendidikan. Inilah tantangan nyata bagi pendidikan Muhammadiyah dalam memasuki abad kedua, yakni sejuah mana Muhammadiyah mampu menjadi pemecah problem pendidikan di Indonesia dengan semangat pembaruan dan semangat menyelaraskan ilmu dengan Alquran dan sunnah.
Sumber: Lazuardi Birru
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar