Sudah menjadi kebiasaan yang mengganggu
kebersamaan, penetapan hari awal dan akhir bulan puasa senantiasa
berbeda-berbeda di kalangan ormas Islam. Sebagian menentukan dan
merayakan pada hari tertentu. Sedangkan sebagian yang lain menentukan
dan merayakan pada hari yang berbeda.
Sangat ironis, karena segenap
perbedaan ini terjadi di saat negara (melalui pemerintah) mengeluarkan
keputusan terkait dengan awal dan akhir bulan puasa. Tak heran bila
perbedaan yang ada terkesan bernuansa pembangkangan terhadap keputusan
negara. Walaupun kesan tersebut senantiasa ditolak oleh mereka yang
mengeluarkan keputusan berbeda dengan ketetapan negara.
Alasan utama yang dijadikan pegangan oleh masing-masing pihak adalah perbedaan ijtihad, terutama dalam hal metodologi penetapan hilal (tanggal) yang selama ini dikenal dengan motode rukyah (melihat) dan hisab (hitungan).
Secara normatif, penentuan awal dan
akhir bulan puasa merupakan otoritas negara. Hal ini sesuai dengan salah
satu ayat Al-Quran yang mengharuskan umat Islam patuh kepada ketetapan ulil amri atau negara (athi’u allaha wa ar-rasul wa ulil amri minkum).
Hal ini diperkuat oleh Hadis Nabi
Muhammad SAW terkait dengan awal dan akhir puasa. Hadis dimaksud
berbunyi, berpuasalah kalian semua dengan melihat hilal dan berbukalah
kalian semua dengan melihat hilal (shumu li ru`yatihi wafthuru lirau`yatihi).
Harus diperhatikan, secara
redaksional Hadis di atas ditujukan kepada seluruh umat Islam (kalian
semua). Artinya, berdasarkan Hadis tersebut masing-masing umat Islam
berkewajiban melihat hilal secara langsung untuk memulai dan mengakhiri
puasa di bulan Ramadhan.
Namun karena keterbatasan yang
dimiliki, masing-masing umat Islam hampir mustahil bisa melihat bulan
secara langsung dan secara personal. Kalaupun dilakukan, hal ini
dipastikan akan menimbulkan kekacauan akibat perbedaan-perbedaan yang
terjadi.
Di sinilah dibutuhkan adanya
otoritas/lembaga yang secara mufakat mewakili dan bertindak atas nama
masyarakat (termasuk di dalamnya umat Islam). Lembaga/otoritas tersebut
tak lain adalah negara. Karena negaralah yang scara fungsional
menjalankan apa yang tak mampu dilakukan oleh masyarakat secara
personal.
Dengan demikian, otoritas dalam
menentukan awal dan akhir bulan puasa sesunggunya berada di tangan
negara, bukan di tangan lembaga lain di luar negara. Karena hanya negara
yang secara mufakat mewakili dan bertindak atas nama masyarakat.
Semua pihak sejatinya tunduk dan
mengikuti ketentuan negara. Hingga tidak ada perbedaan dalam penentuan
awal dan akhir bulan puasa. Apalagi perbedaan yang ada terjadi antara
negara dengan lembaga-lembaga yang berada di bawah naungannya sendiri.
Hingga tak ada lagi hiruk-pikuk terkait dengan penetapan awal dan akhir
bulan puasa.
Sumber: Lazuardi Birru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar