Alquran, sumber utama ajaran Islam,
adalah kitab suci yang membawa pesan perdamaian bagi kemanusiaan
universal. Misi kerasulan Nabi Muhammad SAW menurut Alquran, adalah
untuk menebar pesona perdamaian dan menjadi rahmat bagi seluruh alam
(QS. Al-Anbiya`: 107). Oleh sebab itu, predikat Islam agama perdamaian
adalah hal yang tidak diragukan lagi, kecuali oleh orang-orang yang
sangat skeptis atau tidak memahami pesan perdamaian yang menjadi misi
Alquran. Nabi Muhammad SAW ialah Alquran hidup. Beliau telah mewujudkan
pesan perdamaian Alquran dalam realitas kehidupan masyarakat Madinah
yang majemuk, dengan adil, terbuka dan demokratis. Masyarakat Madinah
yang dipimpin oleh Nabi Muhammad SAW adalah masyarakat majemuk
dari segi agama dan etnis, dengan komposisi kaum Muslimin yang terdiri
atas Muhajirin dan Anshar, kaum Yahudi yang bersuku-suku dan saling
bertentangan, serta kaum paganisme (al-musyrikun),
yang semuanya dipersatukan oleh sebuah ikatan yang terkenal sebagai
Perjanjian atau Piagam Madinah. Di dalam Piagam Madinah ini disebutkan
dasar-dasar hidup bersama masyarakat majemuk dengan ciri utama kewajiban
seluruh warga Madinah yang majemuk itu untuk menjaga dan membela
pertahanan-keamanan bersama, serta menghormati kebebasan beragama. Dalam
kaitannya dengan masyarakat Yahudi, Piagam Madinah menjelaskan: “Dan
orang-orang Yahudi mengeluarkan biaya bersama orang-orang beriman
(Muslim) selama mereka diperangi (oleh musuh dari luar). Orang-orang
Yahudi Banu ‘Awf adalah satu umat bersama orang-orang beriman.
Orang-orang Yahudi itu berhak atas agama mereka, dan orang-orang beriman
berhak atas agama mereka pula. Semua suku Yahudi lain di Madinah sama
kedudukannya dengan suku Yahudi Banu ‘Awf” (Muhammad Hamidullah, Majmu’at al-Watsa`iq al-Siyasiyyah (Kumpulan Dokumentasi Politik), (Beirut: Dar al-Irsyad, 1389 H/1969 M), h. 44-45).
Menurut, Nurcholish Madjid, Piagam
Madinah mengandung makna selain pengukuhan solidaritas sesama orang
beriman, juga pengukuhan jalinan solidaritas dan saling mencintai antara
kaum beriman dengan orang-orang Yahudi, serta pengukuhan tentang
kedudukan Madinah sebagai negeri yang damai, aman dan bebas untuk kedua
golongan itu. Maka berdasarkan Piagam Madinah, dalam menghadapi Perang
Uhud, Nabi Muhammad SAW mengajak orang-orang Yahudi untuk meyertai kaum
Muslimin berperang menghadapi musuh bersama, tetapi mereka tidak
bersedia dengan alasan bahwa perang itu jatuh pada hari Sabtu, hari suci
mereka. Nabi Muhammad SAW pun tidak memaksa mereka, namun, ada seorang
Yahudi bernama Mukhayriq yang tetap berpartisipasi dalam membela
pertahanan-keamanan Madinah, bahkan kemudian ia tewas dalam pertempuran
itu. Nabi Muhammad SAW sangat terharu, dan memujinya dengan kata-kata
yang terkenal: “Mukhayriq ialah sebaik-baiknya orang Yahudi”.
(Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan, cet. Ke-1, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992), h. 122.).
Kebinekaan seperti tergambar dalam
masyarakat majemuk pimpinan Nabi Muhammad SAW di Madinah sesungguhnya
adalah sebuah aturan Allah (Sunnatullah) yang
tidak akan berubah, sehingga juga tidak mungkin dilawan atau diingkari.
Islam, sebagaimana dilaksanakan oleh Rasulullah SAW di Madinah adalah
agama yang kitab sucinya dengan tegas mengakui hak agama-agama lain,
kecuali yang berdasarkan paganisme atau syirik, untuk hidup dan
menjalankan ajaran masing-masing dengan penuh kesungguhan. Kemudian,
pengakuan akan hak agama-agama lain itu dengan sendirinya merupakan
dasar faham kemajemukan sosial budaya dan agama, sebagai ketetapan Allah
yang tidak berubah-ubah yang tercermin pada QS. Al-Maidah: 44-49.
Pesan perdamaian Alquran yang mengakui
hak penganut agama-agama lain, khususnya Yahudi dan Nasrani untuk
menjalankan ajaran agamanya, sebagaimana tercermin di dalam Piagam
Madinah, telah mengilhami Khalifah Umar bin Khattab untuk menciptakan
perdamaian di antara umat Yahudi, Nasrani, dan Muslim di Yerusalem yang
dipersatukan di bawah ikatan perjanjian damai yang terkenal dengan Piagam Aliyya.
Berkenaan dengan perjanjian damai yang melahirkan kerukunan hidup
antara umat Yahudi, Nasrani dan Muslim di Yerusalem ini, Karen Armstrong
menulis: “Sebelum tentara Salib tiba di Yerusalem pada Juli 1099
dan membantai 40.000 orang Yahudi dan Islam secara biadab, para pemeluk
ketiga agama itu telah hidup bersama dalam susana yang relatif damai di
bawah naungan hukum Islam selama 460 tahun –hampir separuh millennium. Perang
Salib telah membuat kebencian pada kaum Yahudi menjadi sebuah penyakit
yang tak tersembuhkan di seluruh Eropa, dan Islam kemudian dipandang
sebagai musuh peradaban Barat yang tak terdamaikan. Prasangka-prasangka
kalangan Barat semacam ini jelas telah memberi andil dalam situasi
konflik masa kini, dan telah mempengaruhi pandangan orang Barat terhadap
Timur Tengah saat ini dalam cara yang betul-betul rumit” (Karen Armstrong, “Holy War: The Crusades and Their Impact on Today’s World”, dalam Hikmat Darmawan (penterj.), cet. Iv, Perang Suci Dari Perang Salib Hingga Perang Teluk, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2006), h. 11-12.).
Pesan perdamaian Alquran yang
diwujudkan oleh Rasulullah SAW di Madinah yang kemudian diteruskan oleh
Umar bin Khattab di Yerusalem tertimbun di balik reruntuhan Perang
Salib. Sementara itu, pesan perdamaian Alquran di dunia kontemporer
tenggelam di balik gencarnya arus publikasi media massa Barat yang
menuduh Islam sebagai agama anti-perdamaian dan agama yang melindungi
terorisme. Akibatnya, sebagaimana digambarkan oleh Stephen S. Schwartz, “kebanyakan orang Barat menganggap
Islam sebagai sebuah kultus yang mengerikan, yang haus darah, tidak
toleran dan agresif, dan Nabi Muhammad SAW sendiri digambarkan secara
luas sebagai tokoh sesat, brutal, dan jahat. Orang Yahudi yang kejam
telah mengembangkan gambaran-gambaran keji mengenai umat Islam. Orang
Kristen yang bersikap bias juga menolak bahwa Tuhan yang disembah oleh
Muhammad dan para pengikutnya adalah sama seperti Tuhan yang disembah
oleh umat Yahudi dan Kristen”. Hegemoni dunia Barat, menurut Ziauddin Sardar, menjadikan mereka tidak mempunyai kemampuan untuk memahami otherness dunia Islam sehingga Islamfobia (kebencian terhadap Islam) merajalela di dalam alam pikiran Barat.
Islamfobia telah mendasari pandangan para orientalis tentang Nabi Muhammad SAW dan Alquran.
Washington Irving (1783-1859), sarjana hukum dan diplomat Amerika
Serikat di Spanyol, menyatakan pandangan penuh keraguan tentang Nabi
Muhammad SAW. “Soalnya kini apakah dia (Muhammad) itu seorang penipu
yang tiada berprinsip? Apakah seluruh ra’yu dan wahyu dari pihaknya
itu suatu kepalsuan yang sengaja diatur? Apakah seluruh sistemnya itu
rangkaian kelicikan belaka? Mempertimbangkan soal tersebut kita mestilah
senantiasa ingat bahwa dia (Muhammad) itu tidak dapat dikaitkan kepada
sekian banyak keluarbiasaan yang selama ini dikaitkan kepada namanya”.
Sementara itu, W. Montgomery Watt, guru besar Universitas Edinburgh, dalam buku Muhammad, Prophet and Statesman sebagaimana dikutip Joesoef Sou’yb menyatakan: “Mengatakan Muhammad itu seorang jujur janganlah ditarik kesimpulan bahwa dia itu teliti dalam berbagai hal. Kepercayaan
Muhammad bahwa wahyu itu datang dari Allah tidaklah mencegahnya untuk
menyusun sendiri bahannya dan selanjutnya memperbaikinya dengan jalan
penghapusan dan penambahan wahyu”. Islamfobia bahkan
tercermin pula pada sikap Paus Benediktus XVI, pemimpin Katolik
tertinggi, dalam pidatonya di Universitas Regensburg, Bavaria, Jerman 12
September 2006 dengan mengutip pandangan Kaisar Byzantium Manuel II
Palaelogos: “Tunjukkanlah padaku apa hal baru yang dibawa
Muhammad, dan di sana Anda hanya akan menemukan hal-hal buruk dan tak
manusiawi, seperti perintahnya menyebarkan dengan pedang keimanan yang
diserukannya.”
Dengan perkataan lain, Alquran pun
dinilainya sebagai kitab suci yang membenarkan umat Muslim untuk
melakukan kekerasan dalam penyiaran dakwah Islam. Selain itu,
akhir-akhir ini muncul pula usulan untuk mengubah kurikulum pesantren,
tempat para santri mendalami Alquran, dengan asumsi bahwa pesantren
telah menjadi tempat persemaian kelompok radikal yang mendukung
terorisme.
Sumber: Lazuardi Birru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar