Jumat, 05 Juli 2013

Pesan Perdamaian Alquran Bagi Kemanusiaan Universal

 
Alquran, sumber utama ajaran Islam, adalah kitab suci yang membawa pesan perdamaian bagi kemanusiaan universal. Misi kerasulan Nabi Muhammad SAW menurut Alquran, adalah untuk menebar pesona perdamaian dan menjadi rahmat bagi seluruh alam (QS. Al-Anbiya`: 107). Oleh sebab itu, predikat Islam agama perdamaian adalah hal yang tidak diragukan lagi, kecuali oleh orang-orang yang sangat skeptis atau tidak memahami pesan perdamaian yang menjadi misi Alquran. Nabi Muhammad SAW ialah Alquran hidup. Beliau telah mewujudkan pesan perdamaian Alquran dalam realitas kehidupan masyarakat Madinah yang majemuk, dengan adil, terbuka dan demokratis. Masyarakat Madinah yang dipimpin oleh Nabi Muhammad SAW adalah masyarakat majemuk dari segi agama dan etnis, dengan komposisi kaum Muslimin yang terdiri atas Muhajirin dan Anshar, kaum Yahudi yang bersuku-suku dan saling bertentangan, serta kaum paganisme (al-musyrikun), yang semuanya dipersatukan oleh sebuah ikatan yang terkenal sebagai Perjanjian atau Piagam Madinah. Di dalam Piagam Madinah ini disebutkan dasar-dasar hidup bersama masyarakat majemuk dengan ciri utama kewajiban seluruh warga Madinah yang majemuk itu untuk menjaga dan membela pertahanan-keamanan bersama, serta menghormati kebebasan beragama. Dalam kaitannya dengan masyarakat Yahudi, Piagam Madinah menjelaskan: “Dan orang-orang Yahudi mengeluarkan biaya bersama orang-orang beriman (Muslim) selama mereka diperangi (oleh musuh dari luar). Orang-orang Yahudi Banu ‘Awf adalah satu umat bersama orang-orang beriman. Orang-orang Yahudi itu berhak atas agama mereka, dan orang-orang beriman berhak atas agama mereka pula. Semua suku Yahudi lain di Madinah sama kedudukannya dengan suku Yahudi Banu ‘Awf” (Muhammad Hamidullah, Majmu’at al-Watsa`iq al-Siyasiyyah (Kumpulan Dokumentasi Politik), (Beirut: Dar al-Irsyad, 1389 H/1969 M), h. 44-45).

Menurut, Nurcholish Madjid, Piagam Madinah mengandung makna selain pengukuhan solidaritas sesama orang beriman, juga pengukuhan jalinan solidaritas dan saling mencintai antara kaum beriman dengan orang-orang Yahudi, serta pengukuhan tentang kedudukan Madinah sebagai negeri  yang damai, aman dan bebas untuk kedua golongan itu. Maka berdasarkan Piagam Madinah, dalam menghadapi Perang Uhud, Nabi Muhammad SAW mengajak orang-orang Yahudi untuk meyertai kaum Muslimin berperang menghadapi musuh bersama, tetapi mereka tidak bersedia dengan alasan bahwa perang itu jatuh pada hari Sabtu, hari suci mereka. Nabi Muhammad SAW pun tidak memaksa mereka, namun, ada seorang Yahudi bernama Mukhayriq yang tetap berpartisipasi dalam membela pertahanan-keamanan Madinah, bahkan kemudian ia tewas dalam pertempuran itu. Nabi Muhammad SAW sangat terharu, dan memujinya dengan kata-kata yang terkenal: “Mukhayriq ialah sebaik-baiknya orang Yahudi”. (Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan, cet. Ke-1, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992), h. 122.).
Kebinekaan seperti tergambar dalam masyarakat majemuk pimpinan Nabi Muhammad SAW di Madinah sesungguhnya adalah sebuah aturan Allah (Sunnatullah) yang tidak akan berubah, sehingga juga tidak mungkin dilawan atau diingkari. Islam, sebagaimana dilaksanakan oleh Rasulullah SAW di Madinah adalah agama yang kitab sucinya dengan tegas mengakui hak agama-agama lain, kecuali yang berdasarkan paganisme atau syirik, untuk hidup dan menjalankan ajaran masing-masing dengan penuh kesungguhan. Kemudian, pengakuan akan hak agama-agama lain itu dengan sendirinya merupakan dasar faham kemajemukan sosial budaya dan agama, sebagai ketetapan Allah yang tidak berubah-ubah yang tercermin pada QS. Al-Maidah: 44-49.
Pesan perdamaian Alquran yang mengakui hak penganut agama-agama lain, khususnya Yahudi dan Nasrani untuk menjalankan ajaran agamanya, sebagaimana tercermin di dalam Piagam Madinah, telah mengilhami Khalifah Umar bin Khattab untuk menciptakan perdamaian di antara umat Yahudi, Nasrani, dan Muslim di Yerusalem yang dipersatukan di bawah ikatan perjanjian damai yang terkenal dengan Piagam Aliyya.  Berkenaan dengan perjanjian damai yang melahirkan kerukunan hidup antara umat Yahudi, Nasrani dan Muslim di Yerusalem ini, Karen Armstrong menulis: “Sebelum tentara Salib tiba di Yerusalem pada Juli 1099 dan membantai 40.000 orang Yahudi dan Islam secara biadab, para pemeluk ketiga agama itu telah hidup bersama dalam susana yang relatif damai di bawah naungan hukum Islam selama 460 tahun –hampir separuh millennium. Perang Salib telah membuat kebencian pada kaum Yahudi menjadi sebuah penyakit yang tak tersembuhkan di seluruh Eropa, dan Islam kemudian dipandang sebagai musuh peradaban Barat yang tak terdamaikan. Prasangka-prasangka kalangan Barat semacam ini jelas telah memberi andil dalam situasi konflik masa kini, dan telah mempengaruhi pandangan orang Barat terhadap Timur Tengah saat ini dalam cara yang betul-betul rumit” (Karen Armstrong, “Holy War: The Crusades and Their Impact on Today’s World”, dalam Hikmat Darmawan (penterj.), cet. Iv, Perang Suci Dari Perang Salib Hingga Perang Teluk, (Jakarta:  PT. Serambi Ilmu Semesta, 2006), h. 11-12.).
 Pesan perdamaian Alquran yang diwujudkan oleh Rasulullah SAW di Madinah yang kemudian diteruskan oleh Umar bin Khattab di Yerusalem tertimbun di balik reruntuhan Perang Salib. Sementara itu, pesan perdamaian Alquran di dunia kontemporer tenggelam di balik gencarnya arus publikasi media massa Barat yang menuduh Islam sebagai agama anti-perdamaian dan agama yang melindungi terorisme. Akibatnya, sebagaimana digambarkan oleh Stephen S. Schwartz, “kebanyakan orang Barat menganggap Islam sebagai sebuah kultus yang mengerikan, yang haus darah, tidak toleran dan agresif, dan Nabi Muhammad SAW sendiri digambarkan secara luas sebagai tokoh sesat, brutal, dan jahat. Orang Yahudi yang kejam telah mengembangkan gambaran-gambaran keji mengenai umat Islam. Orang Kristen yang bersikap bias juga menolak bahwa Tuhan yang disembah oleh Muhammad dan para pengikutnya adalah sama seperti Tuhan yang disembah oleh umat Yahudi dan Kristen”. Hegemoni dunia Barat, menurut Ziauddin Sardar, menjadikan mereka tidak mempunyai kemampuan untuk memahami otherness dunia Islam sehingga Islamfobia (kebencian terhadap Islam) merajalela di dalam alam pikiran Barat.

Islamfobia telah mendasari pandangan para orientalis tentang Nabi Muhammad SAW dan Alquran. Washington Irving (1783-1859), sarjana hukum dan diplomat Amerika Serikat di Spanyol, menyatakan pandangan penuh keraguan tentang Nabi Muhammad SAW. “Soalnya kini apakah dia (Muhammad) itu seorang penipu yang tiada berprinsip? Apakah  seluruh ra’yu dan wahyu dari pihaknya itu suatu kepalsuan yang sengaja diatur? Apakah seluruh sistemnya itu rangkaian kelicikan belaka? Mempertimbangkan soal tersebut kita mestilah senantiasa ingat bahwa dia (Muhammad) itu tidak dapat dikaitkan kepada sekian banyak keluarbiasaan yang selama ini dikaitkan kepada namanya”.
Sementara itu, W. Montgomery Watt, guru besar Universitas Edinburgh, dalam buku Muhammad, Prophet and Statesman sebagaimana dikutip Joesoef Sou’yb menyatakan: “Mengatakan Muhammad itu seorang jujur janganlah ditarik kesimpulan bahwa dia itu teliti dalam berbagai hal. Kepercayaan Muhammad bahwa wahyu itu datang dari Allah tidaklah mencegahnya untuk menyusun sendiri bahannya dan selanjutnya memperbaikinya dengan jalan penghapusan dan penambahan wahyu”. Islamfobia bahkan tercermin pula pada sikap Paus Benediktus XVI, pemimpin Katolik tertinggi, dalam pidatonya di Universitas Regensburg, Bavaria, Jerman 12 September 2006 dengan mengutip pandangan Kaisar Byzantium Manuel II Palaelogos: “Tunjukkanlah padaku apa hal baru yang dibawa Muhammad, dan di sana Anda hanya akan menemukan hal-hal buruk dan tak manusiawi, seperti perintahnya menyebarkan dengan pedang keimanan yang diserukannya.

Dengan perkataan lain, Alquran pun dinilainya sebagai kitab suci yang membenarkan umat Muslim untuk melakukan kekerasan  dalam penyiaran dakwah Islam. Selain itu, akhir-akhir ini muncul pula usulan untuk mengubah kurikulum pesantren, tempat para santri mendalami Alquran, dengan asumsi bahwa pesantren telah menjadi tempat persemaian kelompok radikal yang mendukung terorisme.

Sumber: Lazuardi Birru

Tidak ada komentar:

Posting Komentar