Sunan Drajat nama dirinya adalah Raden
Qasim. Ia putra Sunan Ampel buah perkawinannya dengan Nyi Ageng Manila.
Sunan Ampel memiliki lima orang putri-putri. Siti Muntosiyah, yang
menjadi isteri Sunan Giri; Raden Qasim, Sunan Bonang, seorang putri yang
menjadi isteri Sunan Kalijaga, dan Nyi Ageng Maloka yang menjadi isteri
Raden Fatah. Sunan Ampel atau Raden Rahmat adalah putra Maulana Malik
Ibraim.
Sunan Drajat mendapat perintah dari
ayahnya, Raden Fatah, untuk berda’wah di sebelah Barat Gresik. Beliau
berangkat menuju desa yang dituju, tepatnya di Dusun Drajat, Kecamatan
Paciran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Di tempat ini beliau membuka
hutan, kemudian mendirikan pesantren yang berfungsi sebagai lembaga
pendidikan, lembaga da’wah dan lembaga pengembangan masyarakat desa.
Metode da’wah Sunan Drajat sebagaimana
yang dilakukan oleh Sunan Muria, Sunan Kalijaga, dan Sunan Bonang, yakni
da’wah dengan menggunakan media utamanya lagu-lagu Jawa. Metode da’wah
dengan tembang-tembang Jawa ini sangat efektif, karena penduduk setempat
menyenangi tembang yang lembut dan menyentuh kalbu. Sunan Drajat
menampilkan wajah Islam yang lembut dan bernuansa kebudayaan Jawa.
Inilah salah satu kunci sukses da’wah Islam para wali di tanah Jawa.
Filosofi da’wah Islam Sunan Drajat
berdiri di atas empat pilar. (1) Berilah tongkat kepada orang yang buta;
(2) Berilah makan kepada orang yang lapar; (3) Berilah pakaian kepada
orang yang telanjang; dan (4) Berilah tempat berteduh kepada orang yang
kehujanan. Dengan empat pilar ini, Sunan Drajat memadukan da’wah bil lisan dengan da’wah bil hal. Beliau, bahkan lebih menekankan da’wah bil hal
dengan menggerakkan pemberdayaan masyarakat. Sunan Drajat pun menjadi
anggota Dewan Wali yang dipimpin oleh Sunan Bonang. Beliau ikutu
menggagas pendirian Masjid Agung Demak yang monumental. Sunan Drajat
dimakamkan di Desa Drajat, Kecamatan Pancirann, Kabupaten Lamongan, Jawa
Timur. Kini, makam Sunan Drajat menjadi salah satu pusat ziarah
Walisongo yang terus dikunjungi kaum Muslimin untuk memanjatkan doa,
sekaligus mengambil pelajaran dari metode da’wahnya yang bernuansa
budaya dan berbasis pemberdayaan masyarakat.
Sumber: Lazuardi Birru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar