Rabu, 18 September 2013

Menelisik Relasi Jawa dan Terorisme


Belakangan persepsi masyarakat terhadap orang Jawa mulai berubah. Karaktek orang Jawa seperti ramah, santun, religius, dan suka mengalah mulai redup lantaran aksi-aksi horor terorisme yang notabene adalah orang Jawa. Apakah simbol-simbol pewayangan yang ada dalam tokoh Pandawa Lima sudah terkubur dalam budaya Jawa? Pandawa Lima yang terdiri Puntodewo, Werkudoro, Arjuna, Nakula, dan Sadewo terkenal dengan tokoh yang berkarakter mulia, berani, pantang menyerah dan tidak ketinggalan lemah-lembut dan selalu mengalah. Belum lagi jika menilik sejarah peradaban Islam yang disebarkan Walisongo, tentu rasanya fenomena terorisme kontradiktif dengan kultur Jawa. Apa gerangan yang sedang terjadi di masyarakat Jawa dan apakah benar ada suatu relasi antara Jawa dan terorisme.

Pertanyaan-pertanyaan seperti yang terlontar di atas coba dipecahkan Bambang Pranowo dalam karyanya ini. Isu teroris di dunia mencuat pasca tragedi 11/9 di Amerika. Ideologi radikal ini kemudian menjamur di mana-mana, tak terkecuali di Indonesia. Mereka yang mengusung paham semacam ini membopong panji-panji Jihad untuk memerangi kaum kafir seperti orang Amerika, Eropa dan negara-negara non Muslim lainnya yang ada di manapun berada. Indonesia, khusunya Jawa adalah salah satu tempat dakwah ideologi radikal. Banyak generasi muda orang Jawa di ajak untuk berjihad. Dengan dalih, Jihad suci sesuai perintah Agama dan di jamin akan masuk surga. Akhirnya, banyak orang-orang muda jawa terperangkap yang kemudian menjadi teroris akibat di cekoki ideologi radikal. Seperti, Amrozi, Imam Samudera, Abu Dujana, dan Abu Bakar Baasyir dll.

Upaya negara bahkan dengan bekerjasama dengan pihak internasional memang bisa dikatakan cukup berhasil dalam memerangi terorisme. Namun tetap saja terorisme bisa saja sekoyong-koyong hadir seketika menebarkan kekhawatiran dan ketakutan. Di Jawa sendiri bisa dikatakan kaum yang berpaham radikal bisa dikatakan cukup mengkhawatirkan kuantitasnya. Bahkan bisa dikatakan Jawa adalah pusat untuk mengendalikan aksi-aksi terorisme di seluruh wilayah kepulauan Indonesia. Sekalipun, para gembong teroris tersebut kini sudah banyak yang sudah tertembak mati dan tertangkap hidup-hidup namun, masih saja bermunculan wajah-wajah baru pelaku teroris. Ibarat mati satu tumbuh seribu.
Bambang Pranowo berusaha mendedahkan mengapa banyak orang Jawa terjerembab dalam dunia terorisme. Padahal, orang Jawa sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi toleransi, dan religius tidak mudah di pengaruhi oleh paham-paham lain yang bertentangan. Sebagaimana, Islam dapat masuk ke Jawa melalui akulturasi budaya. Berbeda dengan gerakan Islam radikal yang ada di Jawa mereka berdakwah dengan cara-cara picik dan licik.  Sebagaimana diketahui bahwa “Abu Dujana, Abu Irsyad, Amrozi dll di gembleng secara fisik, psikologis, dan ideologis untuk melakukan perang dengan orang kafir yang harus di perangi”.

Daya pikat gerakan teroris semakin menggoda tatkala kondisi negara tidak stabil dalam berbagai bidang, terutama ekonomi dan politik. Kemiskinan yang merajalela, ketidakadilan yang dibiarkan berkuasa menjadi faktor utama yang mendorong banyak kalangan tergiur dengan aksi radikal.

Pertimbangan inilah yang membuat buku ini layak untuk dibaca. Ada sedikit kekurangan dari yang tentu saja tidak mengurangi positivitas buku ini, terutama pada format penulisan yang tidak utuh. Artinya buku ini meruopakan bunga rampai dari sekumpulan artikel yang tercecer di mana-mana. Sehingga sulit untuk menemukan benang merah yang menyatukan berbagai macam tulisan-tulisan yang tersaji. Namu bagi kalangan yang berkutat di persoalan terorisme, baik secara aktif maupun pasif, karya ini layak dibaca.

Sumber: Lazuardi Birru

Tidak ada komentar:

Posting Komentar