Pancasila sebagai ideologi negara
belakangan ini tampak kian luntur penghayatannya di kalangan warga
Indonesia. Apalagi, sesudah mata pelajaran Pancasila selama hampir satu
dekade dihapuskan dalam pendidikan dasar maupun tinggi, dan digantikan
semata oleh Pendidikan Kewarganegaraan (Pkn).
Pengamalan nilai-nilai Pancasila pun
seakan-akan hanya manis di bibir karena senjangnya dimensi ajaran dan
praktik dari ideologi tersebut, terbukti dari kian banyaknya masalah
yang menghantam negeri ini: korupsi, konflik horizontal, dan lain
sebagainya. Alhasil, Pancasila dianggap sebagai sesuatu yang
mengawang-awang, tidak membumi, dan kurang konkret.
Padahal, nilai-nilai Pancasila sejatinya
mampu menjadi pendasaran kuat untuk merumuskan satu metode pendidikan
ampuh guna membangun kualitas SDM Indonesia yang unggul. Dan, siapa
sangka nilai-nilai Pancasila sebenarnya sudah pernah diolah menjadi satu
cetak biru (blue print) pendidikan bernama Sekolah Rakyat Pancasila
sejak 1950-an. Inilah satu gagasan revolusioner yang teronggok
mengenaskan di pojok sejarah dan menunggu direvitalisasi.
Sekolah Rakyat Pancasila (SRP) sebagai
satu konsep pendidikan digagas oleh Sutedjo Bradjanegara, Ketua Badan
Kongres Pendidikan Indonesia pada 1950-an. Menurut Bradjanegara dalam
dua bukunya, Djalan Baru untuk Memperbaharui Pendidikan dan Pengadjaran
Sekolah Rakyat Pantjasila dan Sedjarah Pendidikan Indonesia (dalam
Negara Minus Nurani, Penerbit Kompas, 2009), SRP bercita-cita membangun
satu masyarakat yang bersifat nasional, demokratis, berperikemanusiaan,
dan ber-Ketuhanan untuk mewujudkan keadilan sosial. Tujuan pendidikan
dan pengajaran, membentuk manusia susila yang cakap dan warga negara
yang demokratis serta bertanggung jawab atas kesejahteraan masyarakat di
Tanah Air.
Untuk itu, SRP kemudian menyaripatikan
metode pendidikannya menjadi dua prinsip. Pertama, pengajaran harus
diberikan menurut kodrat anak-anak. Maksudnya, sekolah tidak boleh
menerapkan aturan sempit yang terlalu keras karena hal demikian akan
mematikan kreativitas anak.
Kedua, sekolah harus berhubungan rapat
dengan kehidupan masyarakat sehari-hari. Sekolah menjadi bagian dari
masyarakat untuk menjadi agen perubahan masyarakat, bukannya menjadi
alat kekuasaan atau alat mempertajam elitisme dan fanatisme. Maka,
prinsip kedua SRP ini meniscayakan alam sekitar menjadi dasar pengajaran
pada pendidikan sekolah paling dasar. Guru harus tahu betul keadaan
sekitar sekolah, sehingga guru sekaligus sekolah dapat mengajarkan ilmu
yang ada hubungannya dengan masyarakat; mampu memperkaya pengetahuan
siswa lewat perbandingan dengan kondisi di lingkungan lain; dan bisa
menjaga agar pengaruh lingkungan buruk tidak menular kepada anak.
Konsep SRP pun mensyaratkan para gurunya
untuk menguasai sejarah pendidikan. Yaitu, pengetahuan tentang konsep
pendidikan warisan filsafat Yunani, Romawi, Israel, Zaman Abad
Pertengahan Eropa, Zaman Renaissance, Humanisme, realisme dan
rasionalisme selain juga mengenal ahli-ahli pendidikan seperti Dr
Montessori dan Frobel. Tak lupa pula konsep-konsep pendidikan yang
digali dari nilai-nilai bangsa sendiri seperti pemikiran Ki Hajar
Dewantara. Bayangkan betapa majunya konsep era 1950-an ini yang mampu
menggabungkan nilai Barat dan Timur.Tidak berhenti pada tataran teoretis
dan filosofis, SRP bisa dikembangkan secara lebih konkret untuk
memudahkan pelaksanaan di kelas.
Pertama, isi pelajaran harus diambil dari
kebudayaan bangsa yang menumbuhkan jiwa anak ditambah isi budaya asing
yang dapat memperkaya budaya sendiri. Contoh, kisah Harry Potter atau
Chronicles of Narnia yang menakjubkan dan memberikan nilai-nilai
kesatriaan bisa disandingkan dengan kisah Calon Arang yang bertemakan
serupa: wizardry alias dunia sihir. Atau, permainan Angry Birds bisa
diimbangi dengan dolanan serupa – ketapel – yang intinya sama-sama
melatih akurasi, presisi, dan ketelitian.
Kedua, sekolah harus lebih memperbanyak
porsi belajar lewat praktik dan penyelidikan seraya mengurangi porsi
belajar verbal. Di sini, murid diasah kreativitasnya dan aspek yang
kurang praktis dari satu ilmu tidak perlu menjadi terlalu dominan. Lebih
konkret lagi, murid diwajibkan mengikuti kegiatan pramuka (kepanduan)
dan mempelajari keterampilan seperti bela diri, pertanian, berkebun,
beternak, dan menenun. Hal ini tentu mensyaratkan sekolah memiliki
lapangan dan sejumlah hewan serta ragam tanaman. Langkah ini diharapkan
akan membuat anak lebih mandiri, percaya diri, mampu menjaga diri dan
lingkungan sekitar, bertanggung jawab, dan mampu mengembangkan benih
pemikiran awal untuk menciptakan lapangan pekerjaan kelak.
Ketiga, murid di sekolah seyogianya
diberikan pelajaran sosiologi untuk mengasah naluri dan empati
kemasyarakatannya serta filsafat dan etika. Tak kurang Sutedjo
Brajanagara sendiri sempat mengemukakan hal ini untuk meningkatkan nalar
dan kesadaran kritis siswa yang akan berguna mengasah daya asertifnya –
kemampuan mengekspresikan kepentingan diri secara bertanggung jawab
tanpa takut menyinggung perasaan orang lain – dalam kehidupan pergaulan
yang lebih luas di masyarakat.
Akhirnya, konsep SRP jelas merupakan satu
cetak biru potensial untuk melahirkan manusia-manusia Indonesia
berkarakter yang sangat dibutuhkan di era ketika negara ini dilanda
begitu banyak masalah. Tinggal, bagaimana para stakeholders pendidikan
bangsa ini bisa menghimpun komitmen bersama untuk merealisasikan secara
institusional satu metode pedagogis yang begitu visioner melampaui
zamannya. Satu metode yang jauh mendahului sejumlah konsep
sekolah-sekolah mahal yang konon, berkurikulum “progresif, termodern,
dan internasional.” Semoga terwujud suatu saat! ***
Sumber: Lazuardi Birru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar