“Dan berpegangteguhlah kamu semuanya
pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah
nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliah) bermusuhan,
lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu
menjadi bersaudara, sedangkan (ketika itu) kamu berada di tepi jurang
neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari sana. Demikianlah, Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk.”(QS. Ali ‘Imran: 103)
Bangsa yang bersatu terlahir dari adanya
rasa persaudaraan dan kebersamaan dalam anggota komunitas bangsa
tersebut. Kebersamaan dalam satu bangsa ini pula yang diyakini menjadi
sebuah kekuatan yang mendorong para pejuang kita sehingga rela
mengorbankan jiwa raga demi tegaknya sebuah bangsa yang merdeka.
Kebersamaan dan persaudaraan yang erat menjadi motivator ulung yang
menyemangati para pejuang dalam memperjuangkan eksistensi bangsanya,
bangsa Indonesia.
Membaca firman Allah SWT dalam QS. Ali
Imran: 103 di atas, semakin mengukuhkan bahwa Allah SWT menghendaki agar
kita dapat menjadi umat yang bersatu,yang dibangun atas dasar rasa
persaudaraan satu sama lain, rasa senasib sepenanggungan. Bila dalam
konteks keagamaan, persatuan umat dibangun dalam sebuah ikatan
persaudaraan seagama, persaudaraan Islam atau ukhuwah Islamiyah.
Maka dalam konteks kebangsaan, di mana umat beragama berada dalam
lingkup sebuah negara bangsa, maka yang perlu dikedepankan pula adalah
prinsip ukhuwah insaniyah yaitu persaudaraan atas nilai-nilai
kemanusiaan bahwa kita merupakan anggota komunitas bangsa yang sama,
tanpa harus memandang dari agama, ras, suku atau kelompok mana berasal.
Dalam prosesnya mewujudkan umat yang bersatu dalam asas persaudaraan,
ayat ini juga mengemukakan prinsip-prinsip dasar yang menjadi sarana
pemersatu umat.
Berdasarkan ayat tersebut, setidaknya kita menemukan tiga poin penting sebagai alat pemersatu dan mempererat ikatan kebangsaan. Pertama; berpegang
teguh pada ajaran Allah. Yakni ajaran yang berlandaskan pada
nilai-nilai Qur’ani. Ajaran yang dapat mempererat ikatan persaudaraan di
antara sesama manusia, bahkan terutama sesama muslim. Ajaran untuk
saling peduli dan memahami satu sama lain. Ajaran yang dimulai dari tata
cara sederhana, dengan saling bertegur sapa, bersilaturahmi mengenal
satu sama lain, hingga akhirnya terjalin persahabatan yang erat.
Kedua; larangan bercerai-berai.
Yang berarti ini adalah sebuah perintah bahwa bila kita ingin menjadi
sebuah bangsa yang kokoh, hendaklah bersatu dan tidak terpecah belah.
Perbedaan tidak akan menjadi faktor pemecah belah bangsa, bila kita bisa
memahami latar belakang perbedaan yang muncul. Perbedaan juga bukan
kendala, bahkan rahmat yang diberikan Allah kepada kita, bila kita mau
bersilaturahmi, berbicara satu sama lain.
Ketiga; sebagai hamba Allah,
sudah sepantasnya kita senantiasa mensyukuri nikmat dan karunia yang
telah diberikan Allah kepada kita. Mensyukuri nikmat tidak hanya dengan
menengadahkan tangan, berdoa dan berterima kasih pada yang di Atas. Tapi
juga berupa syukur nikmat bila kita mau berbagi dengan sesama, saling
silaturahmi dengan peduli pada kehidupan yang lain, terutama pada mereka
yang benar-benar membutuhkan.
Bila kita mengamati secara lebih saksama,
ternyata ketiga poin penting tersebut bermuara pada satu hal yang sama,
yang menjadi salah satu inti ajaran Islam, dan juga teladan yang telah
diajarkan oleh Rasulullah SAW. Hal tersebut adalah silaturahmi. Dengan
bersilaturahmi, berarti kita telah menjalin persaudaraan. Dengan
persaudaraan yang kokoh, maka kita akan memiliki sebuah kekuatan
berbangsa yang erat. Diibaratkan, keluarga sebagai sebuah komunitas
berbangsa dalam lingkup kecil. Bila keluarga tersebut menjalin
komunikasi dan silaturahmi yang baik terhadap sesama anggota
keluarganya, maka akan timbul rasa memiliki yang kuat dari para
anggotanya. Dalam hal ini, mereka akan rela melakukan apapun untuk
menjaga keutuhan keluarganya. Mereka senantiasa berbagi, tak hanya pada
saat tawa dalam kegembiraan, tapi juga saat duka dalam kenestapaan.
Begitu pula hendaknya dalam suatu komunitas berbangsa.
Pada hakikatnya, silaturahmi bermakna
bersikap lemah lembut dan penuh kasih sayang. Adapun secara etimologi
kebahasaan, silaturahmi berasal dari dua rangkaian kata yaitu shilah yang berarti menyambung atau menyampaikan, dan rahm yang berarti kerabat, atau bisa pula bermakna lemah lembut dan kasih sayang.
Terlepas dari sedikit perbedaan arti yang
ditimbulkan kata tersebut. Pada dasarnya hal tersebut tidak memunculkan
perbedaan makna yang cukup signifikan. Silaturahmi dapat dimaknai
sebagai menyambung atau menjalin persaudaraan dengan kaum kerabat,
ataupun bersikap lemah lembut dan penuh kasih sayang. Dengan demikian,
tanpa mengurangi kedua pemaknaan tersebut, silaturahmi dapat diartikan
sebagai menjalin persaudaraan dengan sesama dengan bersikap lemah lembut
dan penuh kasih sayang.
Allah SWT pun senantiasa memotivasi
setiap mukmin dengan memberikan ganjaran berupa surga, agar selalu
menjalin silaturahmi dan berbuat baik terhadap sesama. Hal ini
sebagaimana tercermin dalam firman-Nya QS. al-Ra’du: 21-23
“Dan orang-orang yang menghubungkan
apa yang diperintahkan Allah agar dihubungkan (mengadakan hubungan
silaturahmi dan tali persaudaraan), dan mereka takut kepada Tuhannya dan
takut kepada hisab yang buruk. Dan orang yang sabar karena mengharap
keridaan Tuhannya, melaksanakan shalat, dan menginfakkan sebagian rezki
yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan
serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang itulah yang mendapat
tempat kesudahan (yang baik). (yaitu) surga-surga ‘Adn, mereka masuk ke
dalamnya….”
Lalu, bagaimanakah caranya kita menjalin
silaturahmi tersebut? Al-Imam Fakhruddin al-Razi mengatakan bahwa
menjalin silaturahmi hendaknya dimulai dari orang-orang terdekat kita,
yaitu para kerabat dalam sebuah keluarga. Sebab, keluarga merupakan
habitat utama untuk memupuk persatuan, menumbuhkan kasih sayang, dan
menjadi tempat perlindungan dan pertolongan yang pertama.
Hal tersebut akan dapat terwujud bila
kita senantiasa bersikap santun terhadap sesama anggota keluarga, turut
bersimpati dan berempati terhadap cobaan atau musibah yang menimpa
mereka, dan menunjukkan rasa cinta kasih kita terhadap mereka. Baik
dengan saling berbagi dan peduli, memahami yang lain, ataupun hanya
dengan sebuah upaya minimal yaitu bertegur sapa dan senyuman.
Dalam kaitannya memperkokoh ikatan
kebangsaan, silaturahmi tidak hanya dibangun di antara sesama muslim,
tapi juga suatu keharusan membinanya dengan siapapun tanpa memandang
muslim ataupun non-muslim. Dalam QS. al-Mumtahanah [60]: 8 Allah SWT
berfirman: Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil
terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak
mengusirmu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai
orang-orang yang berlaku adil.
Al-Wahidi dalam Asbab al-Nuzul
mengungkapkan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan sebuah peristiwa
yang diriwayatkan oleh Zubeir ibn al-‘Awwam. Ia mengatakan: “Suatu
ketika Qutailah hendak mengunjungi anaknya Asma binti Abu Bakar dan
memberinya beragam hadiah. Saat itu, Qutailah adalah seorang perempuan
non-muslim, sehingga Asma pun enggan menerima hadiah dari ibunya, bahkan
tidak mempersilahkan ibunya masuk ke dalam rumahnya. Mengetahui hal
tersebut, Rasulullah lalu menanyakan apa gerangan yang terjadi hingga ia
tidak berkenan terhadap ibunya. Lalu turunlah ayat tersebut. Rasulullah
pun kemudian memerintahkan kepada Asma untuk menerima pemberian ibunya,
dan mempersilahkannya untuk mengunjungi rumahnya.”
Sehubungan dengan ayat ini, dalam Shahih al-Bukhary disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Wahai Asma, jalinlah silaturahmi dengan ibumu!”
Pentingnya silaturahmi ini juga terlihat
dari pendapat mayoritas ulama yang mengatakan bahwa menjalin silaturahmi
adalah sebuah kewajiban. Bahkan memutuskan tali silaturahmi dapat
dikategorikan sebagai perbuatan dosa besar. Allah SWT berfirman: Maka
apakah sekiranya kamu berkuasa, kamu akan berbuat kerusakan di bumi dan
memutuskan tali kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dikutuk
Allah; lalu dibuat tuli (pendengarannya), dan dibutakan penglihatannya.”(QS. Muhammad: 22-23)
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa secara umum
ayat ini berbicara larangan berbuat kerusakan di muka bumi. Lalu,
kerusakan seperti apakah yang dimaksud? Maka, kelanjutan ayat ini
merincinya secara lebih khusus, bahwa di antara perbuatan kerusakan itu
adalah dengan memutuskan tali kekeluargaan atau tali silaturahmi. Jadi
sesungguhnya bila kita telaah secara saksama, dalam ayat ini Allah
memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya untuk berbuat kebaikan di bumi ini,
dengan menggalang persatuan dan menjalin silaturahmi terhadap sesama,
dengan bersikap ihsan yaitu ramah dan santun dalam bertutur
kata, ringan tangan dalam berbuat, bahkan rela menyisihkan harta untuk
kepentingan yang membutuhkan.
Sumber: Lazuardi Birru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar