Jumat, 18 Oktober 2013

SILATURAHIM SEBAGAI UPAYA PEMERSATU AGAMA DAN BANGSA




“Dan berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliah) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara, sedangkan (ketika itu) kamu berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari sana. Demikianlah, Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk.”(QS. Ali ‘Imran: 103)

Bangsa yang bersatu terlahir dari adanya rasa persaudaraan dan kebersamaan dalam anggota komunitas bangsa tersebut. Kebersamaan dalam satu bangsa ini pula yang diyakini menjadi sebuah kekuatan yang mendorong para pejuang kita sehingga rela mengorbankan jiwa raga demi tegaknya sebuah bangsa yang merdeka. Kebersamaan dan persaudaraan yang erat menjadi motivator ulung yang menyemangati para pejuang dalam memperjuangkan eksistensi bangsanya, bangsa Indonesia.

Membaca firman Allah SWT dalam QS. Ali Imran: 103 di atas, semakin mengukuhkan bahwa Allah SWT menghendaki agar kita dapat menjadi umat yang bersatu,yang dibangun atas dasar rasa persaudaraan satu sama lain, rasa senasib sepenanggungan. Bila dalam konteks keagamaan, persatuan umat dibangun dalam sebuah ikatan persaudaraan seagama, persaudaraan Islam atau ukhuwah Islamiyah. Maka dalam konteks kebangsaan, di mana umat beragama berada dalam lingkup sebuah negara bangsa, maka yang perlu dikedepankan pula adalah prinsip ukhuwah insaniyah yaitu persaudaraan atas nilai-nilai kemanusiaan bahwa kita merupakan anggota komunitas bangsa yang sama, tanpa harus memandang dari agama, ras, suku atau kelompok mana berasal. Dalam prosesnya mewujudkan umat yang bersatu dalam asas persaudaraan, ayat ini juga mengemukakan prinsip-prinsip dasar yang menjadi sarana pemersatu umat.

Berdasarkan ayat tersebut, setidaknya kita menemukan tiga poin penting sebagai alat pemersatu dan mempererat ikatan kebangsaan. Pertama; berpegang teguh pada ajaran Allah. Yakni ajaran yang berlandaskan pada nilai-nilai Qur’ani. Ajaran yang dapat mempererat ikatan persaudaraan di antara sesama manusia, bahkan terutama sesama muslim. Ajaran untuk saling peduli dan memahami satu sama lain. Ajaran yang dimulai dari tata cara sederhana, dengan saling bertegur sapa, bersilaturahmi mengenal satu sama lain, hingga akhirnya terjalin persahabatan yang erat.

Kedua; larangan bercerai-berai. Yang berarti ini adalah sebuah perintah bahwa bila kita ingin menjadi sebuah bangsa yang kokoh, hendaklah bersatu dan tidak terpecah belah. Perbedaan tidak akan menjadi faktor pemecah belah bangsa, bila kita bisa memahami latar belakang perbedaan yang muncul. Perbedaan juga bukan kendala, bahkan rahmat yang diberikan Allah kepada kita, bila kita mau bersilaturahmi, berbicara satu sama lain.

Ketiga; sebagai hamba Allah, sudah sepantasnya kita senantiasa mensyukuri nikmat dan karunia yang telah diberikan Allah kepada kita. Mensyukuri nikmat tidak hanya dengan menengadahkan tangan, berdoa dan berterima kasih pada yang di Atas. Tapi juga berupa syukur nikmat bila kita mau berbagi dengan sesama, saling silaturahmi dengan peduli pada kehidupan yang lain, terutama pada mereka yang benar-benar membutuhkan.

Bila kita mengamati secara lebih saksama, ternyata ketiga poin penting tersebut bermuara pada satu hal yang sama, yang menjadi salah satu inti ajaran Islam, dan juga teladan yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW. Hal tersebut adalah silaturahmi. Dengan bersilaturahmi, berarti kita telah menjalin persaudaraan. Dengan persaudaraan yang kokoh, maka kita akan memiliki sebuah kekuatan berbangsa yang erat. Diibaratkan, keluarga sebagai sebuah komunitas berbangsa dalam lingkup kecil. Bila keluarga tersebut menjalin komunikasi dan silaturahmi yang baik terhadap sesama anggota keluarganya, maka akan timbul rasa memiliki yang kuat dari para anggotanya. Dalam hal ini, mereka akan rela melakukan apapun untuk menjaga keutuhan keluarganya. Mereka senantiasa berbagi, tak hanya pada saat tawa dalam kegembiraan, tapi juga saat duka dalam kenestapaan. Begitu pula hendaknya dalam suatu komunitas berbangsa.

Pada hakikatnya, silaturahmi bermakna bersikap lemah lembut dan penuh kasih sayang. Adapun secara etimologi kebahasaan, silaturahmi berasal dari dua rangkaian kata yaitu shilah yang berarti menyambung atau menyampaikan, dan rahm yang berarti kerabat, atau bisa pula bermakna lemah lembut dan kasih sayang.
Terlepas dari sedikit perbedaan arti yang ditimbulkan kata tersebut. Pada dasarnya hal tersebut tidak memunculkan perbedaan makna yang cukup signifikan. Silaturahmi dapat dimaknai sebagai menyambung atau menjalin persaudaraan dengan kaum kerabat, ataupun bersikap lemah lembut dan penuh kasih sayang. Dengan demikian, tanpa mengurangi kedua pemaknaan tersebut, silaturahmi dapat diartikan sebagai menjalin persaudaraan dengan sesama dengan bersikap lemah lembut dan penuh kasih sayang.
Allah SWT pun senantiasa memotivasi setiap mukmin dengan memberikan ganjaran berupa surga, agar selalu menjalin silaturahmi dan berbuat baik terhadap sesama. Hal ini sebagaimana tercermin dalam firman-Nya QS. al-Ra’du: 21-23

“Dan orang-orang yang menghubungkan apa yang diperintahkan Allah agar dihubungkan (mengadakan hubungan silaturahmi dan tali persaudaraan), dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk. Dan orang yang sabar karena mengharap keridaan Tuhannya, melaksanakan shalat, dan menginfakkan sebagian rezki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik). (yaitu) surga-surga ‘Adn, mereka masuk ke dalamnya….” 
Lalu, bagaimanakah caranya kita menjalin silaturahmi tersebut? Al-Imam Fakhruddin al-Razi mengatakan bahwa menjalin silaturahmi hendaknya dimulai dari orang-orang terdekat kita, yaitu para kerabat dalam sebuah keluarga. Sebab, keluarga merupakan habitat utama untuk memupuk persatuan, menumbuhkan kasih sayang, dan menjadi tempat perlindungan dan pertolongan yang pertama.

Hal tersebut akan dapat terwujud bila kita senantiasa bersikap santun terhadap sesama anggota keluarga, turut bersimpati dan berempati terhadap cobaan atau musibah yang menimpa mereka, dan menunjukkan rasa cinta kasih kita terhadap mereka. Baik dengan saling berbagi dan peduli, memahami yang lain, ataupun hanya dengan sebuah upaya minimal yaitu bertegur sapa dan senyuman.
Dalam kaitannya memperkokoh ikatan kebangsaan, silaturahmi tidak hanya dibangun di antara sesama muslim, tapi juga suatu keharusan membinanya dengan siapapun tanpa memandang muslim ataupun non-muslim. Dalam QS. al-Mumtahanah [60]: 8 Allah SWT berfirman: Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusirmu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.

Al-Wahidi dalam Asbab al-Nuzul mengungkapkan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan sebuah peristiwa yang diriwayatkan oleh Zubeir ibn al-‘Awwam. Ia mengatakan: “Suatu ketika Qutailah hendak mengunjungi anaknya Asma binti Abu Bakar dan memberinya beragam hadiah. Saat itu, Qutailah adalah seorang perempuan non-muslim, sehingga Asma pun enggan menerima hadiah dari ibunya, bahkan tidak mempersilahkan ibunya masuk ke dalam rumahnya. Mengetahui hal tersebut, Rasulullah lalu menanyakan apa gerangan yang terjadi hingga ia tidak berkenan terhadap ibunya. Lalu turunlah ayat tersebut. Rasulullah pun kemudian memerintahkan kepada Asma untuk menerima pemberian ibunya, dan mempersilahkannya untuk mengunjungi rumahnya.”
Sehubungan dengan ayat ini, dalam Shahih al-Bukhary disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Wahai Asma, jalinlah silaturahmi dengan ibumu!”

Pentingnya silaturahmi ini juga terlihat dari pendapat mayoritas ulama yang mengatakan bahwa menjalin silaturahmi adalah sebuah kewajiban. Bahkan memutuskan tali silaturahmi dapat dikategorikan sebagai perbuatan dosa besar. Allah SWT berfirman: Maka apakah sekiranya kamu berkuasa, kamu akan berbuat kerusakan di bumi dan memutuskan tali kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dikutuk Allah; lalu dibuat tuli (pendengarannya), dan dibutakan penglihatannya.”(QS. Muhammad: 22-23)

Ibnu Katsir menjelaskan bahwa secara umum ayat ini berbicara larangan berbuat kerusakan di muka bumi. Lalu, kerusakan seperti apakah yang dimaksud? Maka, kelanjutan ayat ini merincinya secara lebih khusus, bahwa di antara perbuatan kerusakan itu adalah dengan memutuskan tali kekeluargaan atau tali silaturahmi. Jadi sesungguhnya bila kita telaah secara saksama, dalam ayat ini Allah memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya untuk berbuat kebaikan di bumi ini, dengan menggalang persatuan dan menjalin silaturahmi terhadap sesama, dengan bersikap ihsan yaitu ramah dan santun dalam bertutur kata, ringan tangan dalam berbuat, bahkan rela menyisihkan harta untuk kepentingan yang membutuhkan.

Sumber: Lazuardi Birru

Tidak ada komentar:

Posting Komentar