“Bicara soal zakat dikaitkan dengan
pemerataan ada kesan memaksakan diri, mengada-ada! Tapi, anehnya
orang tak kunjung kapok menjadikannya sebagai tema. Seolah-olah yang
penting bukan kesepadanan konsep zakat dengan pemerataan. Tapi adanya
kekuatan ghaib, magic, yang tersimpan dalam kata-kata
“zakat” itu sendiri. Ibarat figur, kata-kata zakat diyakini sebagai
tokoh imam mahdi atau ratu adil yang meskipun sangat sulit orang
mencernanya, tapi dalam hati tetap bercokol keyakinan, suatu saat
nanti, lambat atau cepat, kehebatan dan mukjizatnya diperlihatkan juga”
(Masdar Farid Mas’udi).
Seperti biasa, menjelang lebaran,
topik zakat kembali hangat diperbincangkan, khususnya sejak Presiden SBY
secara simbolis menyerahkan zakatnya sebesar dua puluh empat juta
rupiah kepada Badan Amil Zakat Nasional Nasional (Baznas) pertengahan
Ramadan ini. Padahal sejatinya, hanya zakat fitrah yang wajib ditunaikan
pada akhir Ramadan. Sedangkan zakat jenis lain bisa dikeluarkan kapan
saja mengikuti aturan yang digariskan. Terlepas dari itu, saya ingin
ikut nimbrung dalam perbincangan ini.
Tampaknya semua orang Islam sepakat
bahwa satu-satunya rukun Islam yang langsung bersentuhan dengan cita
penegakan keadilan sosial adalah zakat. Di sinilah setiap muslim yang
berkecukupan diwajibkan menyapa kaum dhuafa. Hal ini termaktub dalam
Al-Quran surat Al-Taubah: 60, “Sungguh zakat itu diperuntukkan bagi
kalangan fakir, miskin, para pengelola, orang-orang yang tengah
dijinakkan hatinya, bagi para budak, orang-orang yang terlilit utang,
bagi jalan Allah, dan anak jalanan. Itulah ketentuan Allah. Dan Allah
Mahatahu lagi Mahabijak.”
Berpijak pada ayat tersebut, semua orang
juga sepakat bahwa motif utama pensyariatan zakat adalah untuk
mengurangi kesenjangan ekonomi antara kalangan berpunya dan golongan
papa. Ada semangat pemerataan sosial dalam ajaran ini. Dengan prinsip
pemerataan, Ali Ahmad Al-Jurjawi dalam hikmatut tasyri’ wa falsafatuhu mencatat, ada tiga hikmah pokok yang terkandung di balik pewajiban zakat.
Pertama, pelaksanaan zakat adalah
sebagai pintu untuk membantu kaum lemah dan menolong orang yang tertimpa
kesusahan, sekaligus memberikan kekuatan agar mereka mampu menjalankan
segala hal yang diwajibkan Allah.
Kedua, sebagai media untuk pembersihan
diri pelaksana zakat dari segala “kotoran”, sebagai ajang perbaikan
moral individual dengan mendidiknya untuk berderma dan menanggalkan
sifat pelit dan tamak yang menjadi karakter setiap manusia.
Ketiga, dengan argumentasi bahwa segala
kekayaan material yang dinikmati golongan kaya adalah anugerah Allah,
maka kewajiban setiap hamba ialah mensyukurinya.
Tentu sangat gamang untuk mengatakan
bahwa praktik zakat saat ini telah sukses menggapai idealisme tersebut.
Tanpa pengelolaan yang tepat, zakat akan mengalami kesulitan bahkan
meleset mencapai bidik sasarannya. Praktik zakat di berbagai tempat
masih dominan bernuansa karitatif (santunan) belaka; memberi kemudian
selesai tanpa diiringi kontrol bagaimana zakat itu dikelola. Dana zakat
pun cepat ludes. Tanpa pengelolaan dan pemberdayaan yang baik oleh
lembaga amil terpercaya, jenis ibadah kemanusiaan yang berguna sebagai
alat pemberdayaan sosial ini akan mandul.
Menyikapi hal ini, beberapa tahun silam,
Masdar Farid Mas’udi melalui karyanya yang monumental bertajuk Agama
Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam (1993), bahkan mengusulkan
agar zakat disatukan dengan pajak, supaya lebih optimal. Sebab zakat
sebagai kewajiban agama tidak memiliki instrumen pemaksa yang otoriter
seperti pajak, di mana negara dapat mengenakan sangsi terhadap
pengemplang pajak. Usulan ini wajar mengingat potensi zakat di Indonesia
yang sangat besar, namun realisasinya masih sangat kecil.
Hasil penelitian Baznas/Laznas, Institut
Pertanian Bogor (IPB), dan Islamic Development Bank, potensi zakat di
Indonesia pada tahun 2013 mencapai Rp 217,3 triliun. Seandainya dana
tersebut dapat dihimpun dengan baik dan didistribusikan secara adil dan
merata guna memberdayakan ekonomi masyarakat bawah maka 21,73 juta
kelompok papa dapat menggerakkan roda ekonominya dengan modal Rp 10
juta/ orang. Sayang realisasinya tidak sebesar itu. Pada tahun 2012,
jumlah zakat yang dikelola Baznas “hanyalah” sebesar Rp 2,3 triliun.
Tetapi usulan Masdar tersebut tertolak
oleh situasi zaman di mana korupsi masih menggurita di tubuh birokrasi
pemerintahan Indonesia. Bahkan salah satu Ormas Islam pernah menyerukan
akan memboikot pajak jika ternyata uang rakyat banyak dikorupsi oleh
para pejabatnya.
Kendati demikian, secara substansial,
pola pengelolaan zakat yang diusulkan oleh Masdar patut
diimplementasikan. Melampaui aturan fiqh klasik, ia berpendapat bahwa
dana zakat tidak harus diperuntukkan secara individual bagi mereka para
penerima zakat, melainkan bisa digunakan untuk pembangunan infrastruktur
yang mendukung peningkatan aktivitas ekonomi rakyat, subsidi pertanian,
dan semacamnya.
Saya pribadi membayangkan, jika dalam
satu kecamatan ada lembaga pengelola zakat otoritatif yang bisa
meyakinkan warganya untuk menyalurkan kewajibannya di situ, lantas bisa
mengorganisasikannya secara baik, dengan laporan pertanggungjawaban
rutin yang terbuka seluas-luasnya bagi publik, insya Allah dalam beberapa tahun, masalah kesulitan pangan, biaya sekolah dan kesehatan, dan lainnya di wilayah tersebut akan tertuntaskan.
Jika dana yang dikelola besar, tentu
lembaga akan mudah memilah mana zakat konsumtif (bersifat santunan) dan
mana zakat produktif (bisa dikembangkan). Mana warga yang memang
mendesak untuk diberi zakat tunai, dan mana yang tidak.
Coba saja jika dana zakat yang terkumpul
dikembangkan dalam badan usaha berbentuk koperasi, di mana koperasi
memiliki unit usaha seperti toko serbaada (Toserba), klinik kesehatan,
dan lainnya. Pengelola, karyawan, dan konsumen adalah warga sendiri.
Sebagian keuntungan yang diperoleh dari unit usaha menjadi dana sosial
yang diperuntukkan untuk menyantuni fakir miskin secara rutin, pinjaman
modal usaha bagi warga, dan kepentingan umat lainnya. Warga, khususnya
penerima zakat konsumtif diwajibkan untuk berbelanja di koperasi itu
lagi agar perputaran dana terus berlangsung dan tidak keluar dari situ.
Namun praktik tentu tidak bisa berjalan
mudah. Selain butuh kesabaran pengelola, juga butuh perasaan saling
percaya antara pengurus dengan warga, dan sesama warga. Itu syarat
mutlak. Karena itu kontrol sosial aktif (amar ma’ruf nahi munkar) dari pelaku maupun penerima zakat harus dilakukan terus menerus agar tidak terjadi penyimpangan.
Dan negara yang memiliki otoritas
represif, berhak mengawasi, mengoordinir, dan menghukum lembaga-lembaga
zakat yang nakal. Dengan demikian masyarakat tetap nyaman berzakat tanpa
kehilangan kepercayaannya dan dana zakat dapat dioptimalkan oleh
lembaga-lembaga pengelolanya.
Menilik UU Nomer 23 Tahun 2011 tentang
Pengelolaan Zakat yang kini sebagian pasalnya sedang diuji materikan di
Mahkamah Konstitusi (MK), semangat pemerataan sosial masih kurang
terakomodasi. Pasalnya UU tersebut lebih mengatur soal lembaga pengelola
zakat bukan mekanisme pengelolaan.
Sumber: Lazuardi Birru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar