“Tuhan
menaburkan cahaya-Nya kepada segenap manusia. Bahagialah mereka yang
telah menadahkan kain untuk menerimanya. Mereka yang beruntung tak akan
melihat apa pun selain Tuhan. Tanpa kain cinta, kita kehilangan bagian kita. Karena
cinta pahit berubah menjadi manis, karena cinta tembaga berubah menjadi
emas. Karena cinta ampas berubah jadi sari murni, karena cinta pedih
menjadi obat. Karena cinta kematian berubah jadi kehidupan, karena cinta
raja berubah menjadi hamba”. Demikianlah kutipan yang penulis suguhkan untuk memulai sebuah ulasan ini,
rangkaian kalimat penuh makna tersebut adalah ungkapan kata seorang
tokoh sufistik kelahiran Persia yaitu Jalaluddin Rumi. Di dalam
kehidupan kita ini tentunya ada banyak hal yang menjadi pelajaran,
banyak hal yang sudah menyejarah, dan banyak hal yang sudah membuktikan
kecintaannya terhadap sang Khalik yaitu Allah SWT. mereka
tentunya tidak hanya sebatas merangkai makna untuk di anggap sebagai
seorang yang penuh hikmah, di jadikan sebagai guru spiritual atau di anggap layak sebagai seorang pintar, maupun sebaliknya tidak ada
tendensius bagi mereka yang mengina dan menyudukannya. Namun ada
sesuatu hal yang murni jauh di balik jubahnya, mereka bergerak tanpa
kepentingan untuk memulai sesuatu hal yang membuat mereka merasa damai,
membuat diri merasa bahagia, dan menjadikan penghambaan mereka sesuatu
hal yang tidak pernah sia-sia, kehidupan yang senantiasa di hujani
keikhlasan dan butir-butir kesyukuran yang sangat teramat dalam.
Menjadi
penting tasawuf itu karena tidak ada satupun manusia yang bisa lepas
dari penyakit hati seperti riya, dengki, lalai dan lain-lain. Dalam
pandangan Al Ghazali maka tasawuf lah yang bisa mengobati penyakit hati
itu. Karena dalam ilmu tasawuf berkonsentrasi untuk selalu mengamalkan
tiga hal dimana ketiga-tiganya sangat dianjurkan oleh al-Quran al-Karim.
Pertama, selalu melakukan kontrol diri, muraqabah dan muhasabah. Kedua, selalu berdzikir dan mengingat Allah SWT, dan ketiga, menanamkan sifat zuhud, cinta damai, jujur, sabar, syukur, tawakal, dermawan dan ikhlas. Mungkin kita perlu mempertanyakan model tokoh sufistik ideal,
maka jawabannya adalah Nabi Muhammad Saw. Akhlak nabi Saw merupakan
acuan akhlak yang tidak ada bandingannya. Begitupun dengan ibadah,
kepada Allah dan jiwa sosialnya yang sangat tinggi. Akhlak nabi Saw
bukan hanya dipuji oleh manusia, tetapi juga oleh Allah SWT. Hal ini
dapat dilihat dalam firman Allah SWT yang artinya: “Dan sesungguhnya kami (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung”.(QS.Al
Qalam:4) Tingkah laku nabi tercermin dalam kandungan al-Quran
sepenuhnya. Dalam diri nabi Saw terkumpul sifat-sifat utama, yaitu
rendah hati, lemah lembut, jujur, tidak suka mencari-cari cacat orang
lain, sabar, tidak angkuh, santun dan tidak mabuk pujian. Nabi Saw
selalu berusaha melupakan hal-hal yang tidak berkenan di hatinya, tidak
pernah berputus asa dalam
berusaha, dan yang paling penting adalah merasakan kehadiran TuhanNya
selalu menyertainya . Oleh karena itu, Nabi Saw merupakan tife
ideal bagi seluruh kaum muslimin, termasuk pula para sufi. Hal ini
sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Al-Ahzab ayat 21 yang
artinya:”Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri
teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat)
Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut nama Allah”.
Sampai
disini penulis tidak ingin terjebak kepada pemahaman yang mungkin orang
menganggap bahwa seorang sufi itu adalah orang yang sangat miskin, orang
yang tidak memiliki tempat tinggal, orang yang malas, dan orang yang
kumal penampilan atau cara berpakainnya, jika kita menganggap bahwa sufi
itu adalah sesuatu hal yang kontroversial maka perlu kita luruskan
karena memang pada dasarnya seperti penulis kemukakan di atas bahwa inti
dari sufi itu adalah merasakan kehadiran Allah dekat dengannya, tidak
berbuat serampangan, dan produktif pola kehidupannya. Seorang ahli sufi
tahu serta menyadari betul bahwa kehidupannya tidaklah abadi, akan di
minta pertanggung jawabannya, di tanya tentang sejauh mana ia bermanfaat
ketika di dunia, maka sudah pasti orang yang mengamalkan kajian sufi
orang yang senantiasa mengharap ridha Allah baik secara duniawi maupun
ukhrawi. Tidak menjadikan dunia sebagai permainan dan senda gurau, akan
tetapi dunia ia jadikan sebagai tempat menanam benih menuju tempat yang
kekal abadi.
Mengingat
kehidupan modern yang serba instan, kemajuan teknologi, komunikasi dan
transportasi yang tidak bisa di bendung, maka sejauh itu juga tidak
terlepas keberagaman pola kejahatan yang tercipta, mestinya orang baik
yang berjiwa sufistik tidak harus tinggal di gunung, bertafakkur, hanya
asyik beribadah sendiri, menjauhkan diri dari orang banyak serta tidak
bertanggung jawab atas kekhalifahannya untuk mengelola bumi atau
mengambil peran untuk mensosialisasikan kebenaran, meluruskan
penyimpangan, tentu dalam hal ini harusnya menjadi percontohan karena
ibadahnya yang takut, pengharapan, dan khusyuknya kepada Allah SWT. saat
ini model sufi tidak mesti memakai jubah, serban, dan terompah, tapi
sesuai dengan zaman yang mengitarinya tokoh sufi tentunya bisa saja
memakai dasi, dan masuk ke ruang publik. model seperti ini tentunya bisa
di terapkan dalam kehidupan modern, dan ini adalah solusi yang paling
solutif di tengah hiruk pikuk perkotaan yang sudah mulai luntur jiwa
sosial, keberagamaan, takut serta penghambaannya terhadap Allah SWT.
Sufisme perkotaan atau yang biasa disebut urban Sufism harus
mampu menggambarkan nilai keberagamaan di berbagai dimensi termasuk
sistem birokrasi, dunia bisnis, dunia kesehatan dan dunia pendidikan,
jika hati kita sudah kering akan ketakutan, dan fenomena riya atau
penyakit hati merajalela maka tidak akan ada lagi bisa kita temukan
kebaikan-kebaikan yang sistemik, segala sesuatu itu menjadi kering,
setiap manusia itu bertemu hanya karena urusan pribadi, manusia tercipta
seolah sebagai robot, mesin pencetak yang tidak bisa membaca nurani,
semuanya hanya sandiwara. Mungkin sepintas kita pernah berpikir,
bagaimana mungkin orang-orang terdahulu (ulama) bisa mengarang
ratusan buku, artikel, penemuan dan berbagai lintas disiflin ilmu,
padahal bisa di pastikan kecanggihan teknologi ketika itu jauh dari pada
era kekinian, maka jawabannya adalah seperti yang di sampaikan oleh
Wakil Menteri Agama “Kitab Kuning merupakan hasil dari goresan hati,
bukan buatan pikiran semata. Dalam kitab kuning ada tendensi kepasrahan
dan keberkahan, bukan sekedar transformasi pengetahuan,” kata Nasaruddin
Umar ketika membuka acara Temu Tokoh Agama (Ulama) Pendidikan Agama dan
Keagamaan di Surabaya, Minggu (1/12/2013). Arti dari pemahaman ini
adalah bahwa keikut sertaan Allah memudahkan segala cara, dan membuka
pikiran serta hati kita untuk manfaat yang lebih besar.
Ketahuilah
bahwa kita hidup ini tidak sendiri, ada yang menciptakan dan ada yang
diciptakan, ada hukum dan ada yang di hukum, begitu juga ada berbagai
macam aturan dan bentuk untuk menciptakan manusia yang sempurna (al kamil), jika
kita beriman dan bertakwa kepada Alalh maka Allah akan bukakan
keberkahan dari pintu langit dan penjuru bumi. Jangan engkau mengharap
sesuatu yang bukan milikmu, Allah akan memberikan kepadamu tanpa
sepengetahuanmu baik cepat ataupun lambat. Jika engkau memaksa untuk
mendapatkannya padahal itu bukan waktunya atau bahkan bukan milikmu,
berarti kamu berbuat tidak sopan dan memaksa takdir-Nya.
Sumber: Lazuardi Birru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar