A. Pendahuluan
Problematika kehidupan manusia selalu
berkembang dan tidak pernah surut. Seiring dengan perkembangan kehidupan
manusia, hukum dan teologi Islam juga berkembang terus untuk memecahkan
problema tersebut. Sementara junjungan kita Nabi Muhammad Saw
yang menjadi panutan sekaligus penentu (pemutus). kebijakan (hukum)
telah tiada. Lebih-lebih jika merujuk pada teks ketentuan-ketentuan
tekstualnya sangat terbatas. Hal ini selaras dengan pernyataan para
ulama yang mengatakan bahwa: (peristiwa-peristiwa tidak terbatas, sedangkan nas bersifat terbatas).
Oleh karena itu, kegiatan untuk mencari dan memecahkan masalah – sesuai
dengan fitrah manusia tidak bisa dibendung. Dengan kata lain, kegiatan
dan proses melakukan ijtihad atau ziarah intelektual dan proses memahami
teks sebagai sumber hukum dan teologi yang humanis tidak bisa
dihalangi. Proses dan kegiatan ini dilakukan sebagai upaya untuk
memecahkan masalah kehidupan manusia yang selalu berkembang secara
dinamis. Dalam konteks ini lebih tegas lagi dinyatakan oleh ulama dengan
statement fiqh yang justeru memberi justifikasi dan legitimasi
terjadinya perubahan hukum atau teologi sebagai sandaran (kerangka
filosofis ) khalifatullah didasarkan pada ruang dan waktu.
Tentunya penulis tidak kemudian ingin
membicarakan hukum Islam secara universal dari beberapa hal yang menjadi
perdebatan dikalangan pemeluknya namun yang jauh lebih penting dari itu
adalah secara tegas penulis ingin mengemukakan bahwa pemahaman teologis
masih menyisakan doktrin kaku yang cukup sulit untuk harmoni dalam
perbedaan demi menemukan kesejahteraan sebagai happy ending dari sebuah wujud teologis yang humanistik transformatif, dan yang lebih disayangkan truth claim
telah mengkotak-kotakkan kesempatan dan harapan umat manusia hingga
kehilangan jati dirinya sebagai pengelola bumi yang memang menjadi tugas
utama dilahirkannya makhluk yang bernama manusia ini. Salah satu ciri
mendasar teologi inklusif adalah memberikan formulasi bahwa Islam itu
merupakan agama terbuka (open religion).
Keterbukaan bahkan merupakan sikap yang harus dianut umat Islam. Sikap
ini harus lebih ditonjolkan, mengingat kondisi umat Islam dan masyarakat
dunia yang pluralis. Dalam masyarakat yang demikian umat Islam
seharusnya bisa memberikan teladan sebagai mediator atau penengah (wasith) antara berbagai kelompok umat manusia dan diharapkan untuk menjadi saksi yang adil dan fair
dalam hubungan antar kelompok itu. Pada tataran tersebut diatas ketika
merumuskan konsep-konsep Islam yang universal berarti kita harus cerdas
dalam mendemontrasikan bahasa-bahasa Al-Quran yang bersifat metafisis
dan intuitif menjadi bahasa-bahasa yang empiris objektif dan sistematis.
Yang paling penting adalah tidak menutup mata atas realitas yang ada.
Alangkah lebih arifnya kita memetakan perkembangan dinamika teologis ini agar menjadi sesuatu yang membumi di era modern reformasi dan melahirkan kesejahteraan yang juga pastinya rukun dalam perbedaan.
1. Perjumpaan Teologi Islam Pra Modern (Klasik)
Sejarah telah membuktikan bahwa
kehidupan kanjeng Nabi Muhammad SAW adalah era dimana teologi
disampaikan oleh sang utusan Tuhan sendiri, mengungkap sisi-sisi
kebenaran dari teologi adalah sesuatu hal yang tidak asing bagi orang
yang hidup di zaman ini, karena memang pada dasarnya Muhammad sebagai
seorang panglima spiritual
telah mengejawantahkan kehidupan teologi dalam alam empiris hingga
berjumpa dengan Tuhan yang empirik, tidak hanya sekedar Tuhan konsepsi,
apalagi Tuhan persepsi, Tuhan Empirik yang kelak membentuk pribadi
manusia yang kuat, mandiri, kreatif, dan penuh harapan. Tuhan Empirik
membuat manusia sehat secara spritual. Pengalaman perjumpaan dengan
Tuhan adalah pengalaman yang bermakna peradaban yang memacu kreatifitas
manusia untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik, lebih sejahtera dan
lebih manusiawi, penuh harmoni dan tidak merusak lingkungan. Tuhan
Empirik itu, ia bersemayam dalam ruh manusia dan menjadi inti
spiritualitas, mungkin tidak berlebihan jika saya mengutip sebuah
pernyataan sufistik “Aku di dalam Dia dan Dia di dalam Aku”, yang
dimaksud, bahwa Tuhan itu masuk dan inheren dalam diri manusia dan
menjadi komponen paling utama dari tindakan baik manusia.
2. Teologi Islam era Modern
Salah satu alasan mengapa agama
tampak tidak relevan pada masa sekarang ini adalah karena banyak
diantara kita tidak lagi memiliki rasa bahwa kita dikelilingi oleh yang
gaib. (Karen Amstrong)
Mengapa kita harus membicarakan tentang
Tuhan, bukankah Tuhan itu adala sesuatu yang sudah given, yang sudah
harus kita terima begitu saja. Kita percaya bahwa Dia ada, dan
kepercayaan ini sudah lebih dari cukup, pertanyaan ini adalah pernyataan
sebagaimana dipegang oleh pendukung argumen ontologis bahwa Tuhan itu
ada secara apriori. Kita tidak perlu bukti dan membuktikan bahwa Tuhan
itu ada, namun perkembangan ilmu pengetahuan dan sesuai arus kritis
manusia modern mengatakan pertanyaan dan pernyataan ini tidak sepenuhnya
salah. Persoalannya, setiap pembicaraan spiritualitas harus mendapat
kejelasan eksistensi Tuhan dalam hal ini. Karena jika tidak jelas, maka
spiritualitas ini tak akan berbeda jauh dengan spiritualitas dalam
bayang-bayang psikologi humanistik.
Kalau kita mengklaisifikasikan era agama
dalam perkembangan pemikiran manusia maka tidak heran kenapa hidup di
saat sekarang ini membutuhkan pemahaman yang lebih utuh dan holistik
dari berbagai disiflin ilmu untuk menemukan spiritualitas karena tanpa
dorongan ilmu yang lain dalam hal ini ilmu umum, Amin Abdullah dalam
sebuah wawancara yang dilakukan oleh salah satu media Nasional yaitu
Republika menyatakan bahwa awalnya agama hanya dipahamai sebatas
tekstualis dengan penghayatan konteks dizaman ayat itu diturunkan,
kemudian bermuara kepada sikap kritis dan mencoba menggeluti secara
lebih serius arti pentingnya sebuah ajaran atau dogma dengan penalaran
yang lebih filosofi dengan pendekatan humanistik, salah satu satu konsep
KeTuhanan atau spiritualitas dalam menelaah Tuhan itu sendiri adalah
berperspektif kedokteran dengan memilih neurosains sebagai pendekatan
ilmu yang lebih ilmiah dan modern.
3. Teologi Islam Postmodern
Islam itu untuk maslahat manusia, bukan untuk Tuhan. Islam itu ada janjinya kepada manusia, rahmatan lil ‘alamin,
namun karena Islam atau agama itu sesungguhnya adalah untuk manusia
bukan manusia untuk agama maka yang menjadi subjek dalam kehidupan
beragama ini adalah tentunya manusia, untuk menciptakan progresifitas
agama (Islam) itu, maka kita harus menghadirkan gerakan sosial,
kemanusiaan dan science dalam ruang teologi hingga teologi dapat membaca
realitas kehidupan yang penuh gejolak, dinamika dan pertentangan yang
tidak manusiawi. Sehingga dapat dipastikan out put dari gerakan teologis
dapat berinteraksi dengan kehidupan manusia.
B. Teologi Islam dan Harmonisasi Bangsa
Doktrin agama Yahudi, Nasrani, dan Islam telah mengajarkan prinsip-prinsip tingkah laku tentang kewajiban orang-orang berada atas
orang-orang yang membutuhkan bantuan tanpa pertimbangan kepentingan
pribadi dan politik. Pemberian bantuan kepada orang lain sebaiknya
dilakukan tanpa banyak pertimbangan dan harus segera dilakukan. Tentunya
implikasi sosial dari teologi yang universal ini akan mampu menjawab
kebutuhan manusia yang hidup di era kegelisahan dan kesenjangan antara
pemimpin dengan masyarakat yang hidup dipinggiran. Mengutip pendapat
seorang filsuf Perancis, Andre Malraux, yang meramalkan bahwa abad ke-21
akan merupakan abad agama. pendapat Malraux ini sejalan dengan pendapat
A. Mukti Ali yang menyatakan bahwa “Jika kita boleh memperhatikan
keadaan agama di Indonesia khususnya, dan di dunia umumnya, pada masa
depan, katakanlah satu dekade pertama abad ke-21, maka kita akan
mengatakan bahwa akan dirasakan oleh umat manusia sebagai suatu hal yang
makin penting. Dihari-hari yang akan datang, umat manusia akan
merasakan bahwa agama adalah sesuatu yang sangat mereka perlukan”. Hal
ini lebih disebabkan, bahwa tidak sedikit umat manusia yang merasa
gelisah menghadapi pemerintahan yang dzalim, ekonomi dan kesempatan
kerja yang semakin sulit, dan kerusakan ekologi yang menjadikan
kehidupan kurang sehat. Dalam keadaan seperti itulah, pesan-pesan agama,
baik perorangan maupun kelompok muncul kembali dan menjadi penting. Di
era kegelisahan Indonesia modern ini banyak ketimpangan telah terjadi
dimana-mana, problemantika kebangsaan kita tidak cukup memperhatinkan
baik dari perspektif hukum, pendidikan, kemiskinan, kesehatan adalah
penghias media setiap harinya.
Teologi modern harus peka terhadap
permasalahan yang ada, karena teologi tidak lagi hanya sebatas Tuhan,
Nabi dan Wahyu, tetapi ia harus memasuki ruang simulasi yang lebih
kompleks, memanusiakan manusia, menghormati kebudayaan, patuh tunduk
terhadap hukum, dan semangat science ataupun pendidikan
merupakan pengembangan teologi yang harus dibumikan, ketika seseorang
mengaku beragama, terlepas dari pada agama apapun dan aliran apapun,
harus menyadari bahwa tujuan universal dari agama dan aliran adalah
sebuah peradaban, kebahagiaan dan kesejahteraan. Mengingkari hal ini
sama halnya mengingkari perjanjian primordial dengan Tuhan sang
pencipta.
C. Penutup
Fenomena keTuhanan tampaknya merupakan
fakta universal. Hal ini tidak saja dapat ditemukan pada masyarakat
modern, tetapi juga masyarakat yang paling primitif sekalipun. Bahkan
lebih dari itu, ide tentang keTuhanan dalam diri manusia oleh beberapa
kalangan sudah dikategorikan bersifat naluriah (instinctive). Bagi sebagian kelompok yang lain, ide tentang keTuhanan merupakan tuntutan akal (the voice of reason).
Mencintai Tuhan adalah mencintai segala ciptaan-Nya yang ada. Bukan
cinta yang egoistik yang hanya untuk memenuhi hasrat romantisme berTuhan
belaka. Pemahaman tentang teologi yang sebatas keTuhanan hanya
mempersempit arti dan sisi Kebesaran dan titah Tuhan yang lain di bumi
persada karena mungkin disatu sisi manusia beranggapan teologi kepada
Tuhan cukuplah mempertanggungjawabkan perilakunya hanya kepada Tuhan dan
bisa bertaubat, namun hubungan teologi yang berkaitan dengan manusia
dan alam dengan tegas mempunyai konsekwensi pertanggung jawaban kepada
makhluk lain selain manusia, dan dalam hal ini tentunya teologi
universal dan penuh kedamaian ini akan melahirkan kesalehan social dan
implikasi hidup yang lebih layak.
Sumber: Lazuardi Birru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar