Dalam Islam, kedudukan ilmu pengetahuan
dalam kehidupan manusia sangatlah mulia. Alquran menyebutkan segala hal
yang berkaitan dengan ilmu dalam 80 ayat. Allah SWT menjadikan ilmu
sebagai bekal utama dan paling penting bagi manusia dalam menjalankan
fungsi khilafahnya di dunia. Para ulama mengeluarkan kaidah mengenai
keutamaan ilmu, yakni al-‘ilmu qoblal qauli wal ‘amal (ilmu
dahulu sebelum berkata dan berbuat). Karena tingginya kedudukan ilmu dan
orang yang berilmu, Allah jadikan ilmu sebagai indikator tinggi
rendahnya derajat seorang hamba. Allah SWT berfirman:
“Hai orang-orang beriman, apabila dikatakan kepada kalian:
‘Berlapang-lapanglah dalam majlis!’ maka lapangkanlah niscaya Allah
akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: ‘Berdirilah
kalian!’ maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang
yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu
pengetahuan beberapa derajat. Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan” (QS. Al-Mujadilah: 11).
Setiap Muslim dituntut untuk mempelajari
ilmu dan tidak melakukan sesuatu tanpa ilmu. Allah membenci pengabaian
ilmu serta menjadikan ilmu sebagai bentuk pertanggungjawaban manusia di
akhirat kelak.
Mereka yang berilmu dalam Islam dikenal
sebagai ulama. Di tangan mereka, warisan-warisan kenabian disampaikan
kepada umat manusia melalui lisan, perbuatan, dan teladan. Dari mereka
pula kaum Muslimin mendapatkan pencerahan untuk mengenal dan mendalami
Islam. Ulama ialah pewaris para nabi. Warisan para nabi bukanlah
berbentuk dinar, dirham, atau harta benda fisik lainnya melainkan ilmu.
Sungguh merupakan musibah dan kerugian besar apabila kematian ulama satu
demi satu terjadi. Jika digambarkan, ibarat sedikit demi sedikit ilmu
Allah terangkat dan hilang dari kehidupan kaum Muslimin.
Dengan ilmu, seorang Muslim mendapatkan
cucuran rahmat yang luar biasa. Alangkah benar apa yang disabdakan oleh
Rasulullah SAW terkait kedudukan ilmu yang menjadi rahmat bagi semesta.
“Permisalan petunjuk dan ilmu yang
Allah mengutusku dengannya adalah bagai ghaits (hujan yang bermanfaat)
yang mengenai tanah sehingga ada tanah yang baik, yang bisa menyerap air
sehingga menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dan rerumputan yang banyak, dan
juga ada tanah yang ajadib (tanah yang bisa menampung air, namun tidak
bisa menyerap ke dalamnya). Dengan serapan/genangan air tersebut Allah
memberi manfaat untuk banyak orang, sehingga manusia dapat mengambil air
minum dari tanah ini. Lalu, manusia dapat memberi minum untuk hewan
ternaknya, dan manusia dapat mengairi tanah pertaniannya. Jenis tanah
ketiga adalah tanah qi’an (tanah yang tidak bisa menampung dan tidak
bisa menyerap air). Inilah permisalan orang yang memahami agama Allah,
bermanfaat baginya ajaran yang Allah mengutusku untuk membawanya. Dia
mengetahui ajaran Allah dan dia mengajarkan kepada orang lain. Dan
demikianlah orang yang tidak mengangkat kepalanya terhadap wahyu, dia
tidak mau menerima petunjuk yang Allah mengutusku untuk membawanya” (HR. Bukhari dan Muslim).
Begitu mulianya ilmu hingga Rasulullah SAW menjelaskan diperbolehkannya hasad (iri hati) pada dua hal. Dari ‘Abdullah bin Mas’ud RA, ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,
“Tidak boleh hasad (ghibtoh) kecuali
pada dua orang, yaitu orang yang Allah anugerahkan padanya harta lalu
ia infakkan pada jalan kebaikan dan orang yang Allah beri karunia ilmu
(Alquran dan Sunnah), ia menunaikan dan mengajarkannya” (HR. Bukhari).
Akan tetapi, dalam kehidupan era global
saat ini, umat Muslim mendapati banyak terjadi perbedaan pendapat di
kalangan para ahli ilmu. Sebagai umat yang cerdas, sungguh sangat bijak
jika umat Muslim berpikir jernih mengenai perdebatan di antara ulama.
Jika diselidiki mendalam, sesungguhnya perbedaan pendapat dalam ilmu
merupakan kewajaran. Terlebih lagi jika perbedaan pendapat terjadi dalam
perkara yang menuntut adanya ijtihad atau memutuskan suatu perkara yang
secara eksplisit tidak dijelaskan dalam sumber ilmu dalam Islam, yakni
Alquran dan Sunnah, dengan rasionalisasi atas kesungguhan yang telah
jelas tertera pada Alquran atau pernah diteladankan oleh Rasulullah SAW.
Perbedaan pendapat di kalangan ulama
adalah rahmat bagi umat Islam. Perdebatan terjadi untuk memperkaya
khazanah ilmu Islam yang luas. Perbedaan pendapat para ulama tidak
lantas memunculkan perselisihan terlebih lagi perpecahan. Sebab,
perbedaan pendapat ulama mengenai ilmu-ilmu Islam terjadi secara natural
atas dasar perbedaan wilayah, kondisi geografis dan fakta budaya
masyarakat Muslim. Kekayaan atau keluasan wawasan keislaman tersebut
ditujukan untuk menyediakan kemudahan bagi umat Islam, serta mendorong
mereka untuk senantiasa belajar dan mempelajari ilmu, baik ilmu-ilmu
Islam maupun ilmu pengetahuan umum.
Perbedaan pendapat atau dalam Islam dikenal dengan ikhtilaf, terbagi menjadi beberapa bagian. Pertama, ikhtilaf tanawwu’ -dua argumen atau dua amalan yang diperselisihkan adalah benar dan disyariatkan kedua-duanya. Berikutnya adalah ikhtilaf tadhadiy, yakni dua pendapat yang saling bertentangan (kontradikitif), baik itu dalam masalah ushul (prinsip/pokok) atau dalam masalah furu’ (cabang). Perbedaan tersebut kita temukan pada hal yang terkait dengan masalah ‘ibadah dan mu’amalah, seperti hukum-hukum terkait shaum (puasa), salat, zakat, adab bertetangga, adab menuntut ilmu dan perkara-perkara lainnya. Adapun untuk permasalahan ‘aqidah (prinsip tauhid/monotheisme), ulama tidak ber-ikhtilaf.
Semua meyakini bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan Rasulullah
Muhammad SAW ialah utusan Allah. Hal ini semata-mata karena persoalan ‘aqidah adalah hal yang bersifat tauqifiyyah alias sudah ditetapkan oleh Allah Ta’ala dan dijelaskan secara terang oleh Rasulullah SAW.
Perbedaan pendapat adalah fitrah manusia sebagai makhluk yang berpikir (ulul albab),
bahkan hal demikian sudah terjadi di zaman Rasulullah SAW dan di zaman
para sahabat. Pada masa itu, para sahabat yang mendapat perintah untuk
tidak melakukan shalat ashar sebelum sampai di pemukiman Suku Quraidhah,
sebagian sahabat memahami perintah tersebut bahwa Rasulullah
menghendaki para sahabat agar bersemangat, bergerak cepat dan bersegera
menuju desa Suku Quraidhah, dan sebagian lain memahaminya berdasarkan
bunyi perintah yang tegas menghendaki mereka untuk menegakkan salat
hanya di desa Suku Quraidhah. Setelah kejadian tersebut dilaporkan
kepada Rasulullah SAW, beliau membenarkan kedua pendapat, tanpa
menyalahkan satu pihak atau menyesalkan terjadinya perbedaan pendapat.
Dari fakta sejarah tersebut, semestinya umat Muslim masa kini menyadari
bahwa Rasulullah SAW pun sangat memahami betapa lumrah atau wajarnya
perbedaan pendapat di kalangan manusia, atau di antara ulama.
Mengenai hal ini, Umar bin Abdul Aziz
memiliki pandangan brilian, “Tidaklah membahagiakanku kalau para sahabat
Rasulullah SAW tidak berbeda pendapat, karena jika mereka tidak
berbeda, maka bagi kita tidak ada rukhsah (keringanan/kemudahan)” (Dr. Umar bin Abdullah Kamil, Mauqi’ Al Islam, hal. 38. Al Maktabah Asy Syamilah).