Kaum hedonisme adalah manusia
yang memandang bahwa perbuatan apa saja yang mendatangkan kepuasan,
kelezatan dan kenikmatan seksual dalam hidup ini adalah baik dan perlu
dilakukan. Manusia jenis ini mengukur kesuksesan hidup, kelayakan,
kepantasan, baik, indah, perlu, penting dalam hidup semata-mata dengan
materi. Mereka menjadi budak materi. Manusia serupa ini hidup dengan
tidak mendengarkan pertimbangan akal sehat, pemikiran yang jernih, suara
nurani, dan jeritan batin. Semuanya tertutup oleh kepentingan perut dan
kepentingan di bawah perut. Lebih jauh Al-Qur`an menegaskan:
“Dan sesungguhnya Kami (Allah)
telah mempersiapkan banyak calon penghuni neraka jahannam dari kalangan
jin dan manusia. Mereka adalah orang-orang yang mempunyai akal budi
tetapi tidak digunakan untuk memahami dan menghayati agama; mereka
mempunyai mata tetapi tidak digunakan untuk melihat tanda-tanda
kekuasaan Allah; dan mereka pun mempunyai telinga tetapi tidak digunakan
untuk mendengar peringatan Allah. Mereka seperti binatang, bahkan lebih
sesat dari binatang. Mereka adalah orang-orang yang lalai” (Al-A’raf: 179).
Mereka menganut faham materialisme-sekularistik,
hanya memikirkan soal materi, tidak percaya kepada kehidupan akhirat.
Mereka pun menjadikan materi sebagai satu-satunya standar penilaian
untuk mengukur kesuksesan dan kegagalan dalam menjalani kehidupan ini.
Manusia serupa ini kehilangan keseimbangan dalam hidupnya antara
kepentingan dunia dan akhirat. Keadaan ini akan mencelakakan dirinya di
dunia maupun di akhirat.
Dalam memasuki lembaran pertama
milenium baru, yang dinyatakan sebagai abad penuh persaingan,
ketegangan, goncangan, gejolak, dan ketidak-pastian; Al-Qur`an
memberikan bimbingan kepada setiap insan yang beriman. Pertama,
hendaklah setiap pribadi kita berani mengevaluasi keadaan dirinya
masing-masing dengan jujur. Mengakui kesalahan, kekeliruan, kelalaian,
kemalasan, pelanggaran, dosa, dan perbuatan maksiat yang mungkin pernah
kita lakukan, baik secara sengaja atau tidak, dengan kesadaran atau pun
keterpaksaan di hadapan keagungan dan kemurahan Allah, sambil memohon
ampunan dan kasih sayangnya. Seraya menyatakan kebulatan tekad untuk
menanggalkan dan meninggalkan kebiasaan lama yang buruk, dan menukarnya
dengan cara pandang yang baru yang diridhoi Allah. Kedua, menyusun
perencanaan untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas hidup, sambil
menatap zaman baru dengan sikap optimis atas karunia Allah. Al-Qur`an
menyatakan:
“Wahai orang-orang yang
beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah tiap-tiap pribadi
memperhatikan apa yang dipersiapkan untuk hari esok (masa depan), dan
(sekali lagi) bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah kamu seperti
orang-orang yang melupakan Allah, maka Allah pun menjadikan mereka lupa
pada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik” (Q.S. al-Hasyr: 18-19).
Manusia yang melupakan Tuhan akan dilupakan Tuhan. Manusia yang dilupakan Tuhan akan mengalami dehumanisasi
(tercabut dari akar-akar kemanusiaannya). Manusia yang melupakan Tuhan
adalah manusia yang berani hidup tanpa kedalaman iman, ketajaman
berpikir, kepekaan intuisi, kekohohan keyakinan, keluasaan wawasan, dan
keteguhan sikap. Manusia serupa ini akan mengalami goncangan batin yang
dahsyat, mudah terombang-ambing, terbawa arus, dan menjadi bangsa yang
rapuh. Tidak dapat menghormati manusia sebagai manusia, tidak dapat
dipercaya, tidak dapat menegakkan hukum dan keadilan, tidak ada
kejujuran di dalam hidupnya.
Melalui pelatihan mental dan fisik
pada bulan suci Ramadhan, kaum Muslimin dikader sedemikian rupa agar
dapat meningkatkan kualitas dirinya kepada tingkatan muttaqin,
yang senantiasa menjaga dirinya dari mental dan watak kebinatangan.
Beberapa watak kebinatang masih tetap ada pada diri manusia, tetapi hal
itu difungsikan sebagai sarana untuk beribadah dan mendekatkan diri
kepada Allah.
Adapun fithr dalam arti
kesucian tiada lain, bahwa ‘Idul Fitri mengandung pernyataan dan
keinginan kita untuk kembali kepada kesucian. Suci, menurut sementara
pakar adalah gabungan dari tiga hal, indah baik, benar. Mencari
keindahan menghasilkan hidup yang menghargai seni. Alam adalah karya
seniman agung yang tiada tertandingi. Allah menciptakan manusia, langit,
bumi, lautan dan daratan, serta flora dan fauna, dalam suatu simponi
agung yang begitu serasi, indah penuh pesona. Merasakan keindahan yang
hakiki, adalah ketika kita tadabbur alam, merawat,
melestarikan, dan mencintai alam, seraya merasakan keagungan Allah
dengan keheningan fikiran dan kepekaan intuisi; dengan fikir dan dzikir
yang menembus kedalam sukma insani dan terpaut dengan Khâliq al-’آlam, Allah SWT.
Sementara itu, mencari kebaikan
menghasilkan hidup dengan kesadaran menjunjung tinggi akhlak dan etika.
Kesucian hanya dapat diwujudkan dengan hidup yang berakhlak, dan hidup
yang berakhlak hanya dapat diraih dengan kesucian hati. Kita sewaktu
lahir terbebaskan dari segala dosa dan noda, kita ingin kembali kepada
kehidupan tanpa noda dan dosa. Kita bertobat, memohon ampunan kepada
Yang Maha Suci, Maha Indah, lagi Maha Benar. Mencari kebenaran
menghasilkan hidup dengan kesadaran mencari ilmu dan menjadikan ilmu
landasan untuk beramal sehingga membuahkan komiten moral yang terukir
dalam diri kita: ilmu amaliah amal ilmiah. Ilmu untuk menopang kualitas amal dan beramal dengan berdasarkan ilmu.
Mengamalkan agama secara kaffah,
yakni secara lengkap dan sempurna dalam bentuk kesalehan individu dan
kesalehan sosial merupakan pesan pokok Al-Qur`an untuk melindungi kita
dari kemungkinan terjerumus ke dalam model kehidupan kaum
hedonisme. Dengan keyakinan tauhid yang lurus, amal ibadah dan amal
sosial yang ikhlas, serta ditopang dengan pengembangan wawasan keilmuan
yang luas dan mendalam kita dapat mengembangkan kualitas ketaqwaan yang
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Kita pun akan menjadi manusia
yang senantiasa dekat dengan Allah dan jauh dari watak-watak
kebinatangan. Ketika kita mengumandangkan takbir, tahmid, dan tahlil memuji Allah dalam melakukan shalat lima waktu maupun ketika menunaikan ibadah haji dan umrah; kemudian menyempurnakan ucapan takbir, tahmid dan tahlil dalam ibadah mahdhah
itu dengan berbagai amal sosial dan kemanusiaan, maka sesungguhnya kita
sedang menyatakan deklarasi kebulatan tekad untuk kembali kepada agama
yang benar, agama tauhid yang lurus kepada Allah dan agama yang
bertanggung jawab atas persoalan manusia dan kemanusiaan sehingga kita
dapat meningkatkan kualitas diri kita, dekat dengan Allah serta peduli
dan berbuat untuk sesama umat manusia. Wa Allah a’lam bi al-shawwab.
Sumber: Lazuardi Birru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar