Ada banyak sunnah Rasulullah SAW yang harus kita laksanakan dalam kehidupan kita sebagai seorang Muslim. Salah satunya adalah yang terkait dengan telah dilahirkannya seorang anak, yakni aqiqah. Secara harfiyah, aqiqah artinya sembelihan untuk anak yang baru dilahirkan. Pada saat anak dilahirkan, orang tuanya menyembelihkan kambing pada hari ketujuh dari kelahirannya, satu ekor kambing bila yang dilahirkan anak perempuan dan dua ekor bila yang dilahirkan anak laki-laki. Ini merupakan salah satu ibadah yang hukumnya sunnah muakkad, sesuatu yang sangat ditekankan untuk kita laksanakan.
Anak merupakan anugerah atau
pemberian dari Allah SWT. Lahir dan terciptanya seorang anak bukanlah
karya bapak dan ibunya, karena bapak dan ibunya hanyalah sebab.
Karenanya, sebagai penyebab seseorang tidak bisa memastikan keturunannya
lahir seratus persen sebagaimana yang didambakan. Ada kalanya seorang
bapak ingin punya anak laki-laki tetapi yang lahir malah perempuan atau
sebaliknya. Karena anugerah, maka setiap kelahiran seorang anak haruslah
kita syukuri dan kita pun turut berbahagia karena satu lagi warga dunia
sudah dilahirkan. Itu sebabnya, sudah selayaknya kita bergembira dan
mengucapkan selamat atas kelahiran anak dari saudara, sahabat dan
tetangga kita. Dengan demikian, anak keberapa pun yang dilahirkan dari
sahabat atau saudara dan tetangga kita, janganlah kita merasa keberatan
apalagi sampai menumbuhkan rasa pesimis atau berkecil hati kepadanya
akan kemungkinan ia bisa membesarkan dan mendidik sang anak dengan baik.
Di samping anugerah, anak juga amanah
atau titipan dari Allah SWT yang harus dipelihara dengan sebaik-baiknya
sehingga pada saatnya ia kembali dalam kematiannya, ia mati dalam
keadaan suci sebagaimana dilahirkan. Di sinilah letak tanggung jawab
orang tua untuk selalu menjaga kesucian pribadi sang anak. Rasulullah
SAW bersabda: “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci).
Kedua orangtuanyalah yang bertanggung jawab apakah anak itu menjadi
Yahudi, Nasrani atau Majusi” (HR. Imam Malik, Al-Bukhari dan Muslim).
Empat Keharusan Orang Tua
Untuk membuktikan diri
sebagai orangtua yang bersyukur atas anugerah anak dan sekaligus
membuktikan bahwa mereka pandai menjaga amanah dari Allah SWT,
setidaknya ada ada empat hal yang harus diperhatikan dan dilaksanakan
oleh orangtua terhadap anak-anaknya. Pertama,
mendidik anak dengan memberikan bimbingan akhlak yang mulia sehingga
anak mengerti mana yang baik dan mana yang tidak, selanjutnya yang baik
dilaksanakan dalam kehidupan dan yang buruk ditinggalkan. Dalam proses
pendidikan kepada anak, orang tua tidak cukup hanya memberikan
arahan-arahan atau sekedar instruksi, tetapi orang tua harus mengikuti
secara langsung perkembangan kepribadian sang anak sehingga dalam kaitan
ini orangtua juga harus bergaul seakrab mungkin dengan anak-anaknya.
Rasulullah SAW bersabda: “Bergaullah dengan anak-anakmu dan bimbinglah kepada akhlak yang mulia” (HR. Muslim).
Mendidik anak agar menjadi
generasi yang shaleh dengan akhlaknya yang mulia merupakan bagian
terpenting dari tanggung jawab orangtua dalam mencegah anggota
keluarganya dari api neraka. Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu” (QS. At-Tahrim: 6).
Kedua, yang
harus diperhatikan oleh orang tua terhadap anaknya adalah memberi nafkah
yang halal dan baik. Hal ini merupakan kewajiban atau tanggung jawab
yang sangat penting. Jika terjadi perceraian antara suami dengan istri
atau bapak dengan ibu, lalu sang anak mengikuti ibunya, maka tanggung
jawab tetap terletak kepada bapak dalam menafkahi anaknya. Bila seorang
bapak tidak menafkahi anaknya dengan nafkah yang baik, maka ia disebut
sebagai orangtua yang tidak bertanggung jawab kepada anaknya. Rasulullah
SAW bersabda: “Cukuplah seseorang itu dianggap berdosa jika dia menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya” (HR. Abu Daud, Nasa`i dan Hakim).
Karena seorang bapak harus
menafkahi anaknya di samping istrinya atau ibu dari anak-anaknya, maka
menjadi keharusan baginya untuk mencari nafkah secara halal dan
bersungguh-sungguh. Jika demikian, Allah SWT menjadi senang kepadanya
dan ia pun disejajarkan dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah
SWT. Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah suka kepada hamba yang berkarya dan terampil.
Barangsiapa yang bersusah payah mencari nafkah untuk keluarganya, maka
dia serupa dengan seorang mujahid di jalan Allah Azza Wa Jalla” (HR. Ahmad).
Ketiga,
berlaku adil terhadap anak dengan memberi perlakuan yang sama kepada
mereka. Misalnya orang tua mempunyai dua anak, yang satu cantik yang
satu lagi jelek, pada saat bepergian, anak yang cantik yang selalu
diajak sedang anak yang jelek selalu ditinggal di rumah, sikap ini
merupakan sikap yang tidak adil kepada anak. Permisalan serupa misalnya
anak laki-laki yang disekolahkan hingga perguruan tinggi, sedang anak
perempuan cukup hanya sampai tingkat SLTA atau SLTP. Perlakuan orangtua
yang tidak adil kepada anak-anaknya akan membuat kekecewaan sang anak
kepada orangtuanya di samping hal itu juga akan membuat sang anak bila
kelak mempunyai anak, ia tidak mendapatkan pengalaman yang baik untuk
diteruskan kepada anak-anaknya. Rasulullah SAW bersabda: “Persamakan di antara anak-anakmu dalam pemberian, dan seandainya aku boleh memberikan kelebihan kepada salah satu di antara mereka, pasti akan aku berikan kepada anak perempuan” (HR. Ahmad dan Tirmidzi).
Keempat, memberikan
kasih sayang kepada anak dengan memperlakukan mereka sebaik mungkin.
Jangankan anak, manusia kadang-kadang memiliki binatang peliharaan yang
diurus dan disayang serta diperhatikan. Kalau binatang peliharaan saja
sedemikian disayang, sudah semestinyalah anak sendiri lebih disayang.
Rasulullah SAW menunjukkan kepada para sahabat dan kita semua sebagai
umatnya bahwa beliau begitu sayang kepada anak-anaknya. Dalam suatu
riwayat disebutkan: Abu Hurairah RA berkata: Rasulullah SAW mencium
(menyayangi) Hasan dan Husain (cucu-cucu Nabi SAW), sedang saat itu ada
Aqra bin Habis Al-Tamimi yang berkata: ‘Aku punya sepuluh anak, tak
seorang pun di antara mereka yang aku cium.’ Rasulullah SAW menoleh
kepadanya dan bersabda: “Siapa yang tidak mengasihi, tidak akan dikasihi” (HR. Bukhari dan Muslim).
Meskipun demikian, kasih
sayang kepada anak bukan berarti anak terlalu dimanja hingga sang anak
tidak bisa mandiri, apalagi bila orangtua sampai tidak bisa menunjukkan
sikap tegasnya terhadap kesalahan yang dilakukan sang anak. Mengenai hal
ini, Rasulullah SAW bersabda: “Perintahkanlah anak-anakmu salat ketika
berumur tujuh tahun dan pukullah (jika menolak perintah salat, dengan
pukulan yang bersifat mendidik dan tidak menyiksa) apabila ia berumur
sepuluh tahun dan pisahkanlah tempat tidurnya (dari saudaranya yang
berlainan jenis kelamin)” (HR. Abu Daud).
Manakala orangtua telah
berperan secara baik dan menjalankan kewajiban terhadap anak-anaknya,
insya Allah sang anak akan menjadi anak yang saleh dan menjadi penopang
yang sangat penting bagi terwujudnya keluarga yang bahagia, tidak hanya
di dunia tetapi juga dalam kehidupan di akhirat nanti.
Sumber: Lazuardi Birru