Pada masa Islam awal terdapat dua
perkembangan paham keagamaan dalam diri umat Islam, pertama adalah
mereka yang tertarik pada persoalan teologi dan hukum Islam dan
golongan yang tertarik pada ajaran Islam dengan memberikan dasar yang
lebih bersifat pribadi dan spiritual terkait peribadatan agama. Dua
kalangan umat Islam ini sebenarnya mempunyai tujuan dan menjawab
persoalan yang sama, bagaimana mendekatkan diri pada Allah. Golongan
pertama meyakini bahwa jalan menuju Tuhan itu ditempuh dengan Syariat,
sementara golongan kedua meyakini bahwa jalan menuju Tuhan hanya bisa
ditempuh degan tasawwuf.
Namun demikian pertentangan antara kedua
kubu atau golongan itu, tidak sepanas sebagaimana terjadi dalam
golongan Tasawwuf sendiri. Sumbu pertentanganya adalah sama, datang
dari pertentangan antara aspek syariah dan tasawuf dalam tasawwuf Islam
yang seolah berdiri masing-masing dalam mencapai ketuhanan.
Dalam sejarah Islam, tasawuf yang
dimaknai sebagai ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa,
menjernihan akhlaq, membangun dhahir dan batin, untuk memporoleh
kebahagian yang abadi sudah ada sejak abad pertama hijriyah atau pada
masa Nabi Muhammad di Makkah. Apa yang nampak pada sufisme masa pertama
ini lebih dekat pada pengalaman spritiual untuk mendekatkan diri pada
Tuhan. Namun, sandaran ajaranya yang tetap mengikuti kehidupan
keagamaan Rasul menandakan bahwa pengalaman spiritual tersebut hanya
bisa tercapai ketika mengikuti syariat Islam yang dibawa Nabi. Tapi,
menurut Fazlur Rahman, pada masa berikutnya kesalehan spiritual ini
berkembang menjadi doktrin ekstrim pengingkaran terhadap dunia dan
cenderung bermusuhan dengan golongan muslim yang mementingkan aspek
syariah dalam agama.[i]
Jalan menuju Tuhan, Dengan atau Tanpa Syariat
Pada abad ke-3H muncul dua aliran besar
dalam tasawuf yaitu aliran Khurasan dan aliran Bahdad. Aliran Khurasan
ditandai dengan konsep tasawuf yang cenderung spekulatif, asketik dan
mengabaikan aspek syariat .Di antara tokoh yang terkenal adalah Ibn
al-Arabi dan Abu Yazid al Bustami. Disisi lain aliran baghdad lebih
cenderung mengembangkan doktrin tasawuf yang menolak asketisme radikal,
menjauhi doktrin fana (kesatuan manusia dan Tuhan) dan tetap
mempertimbangkan syariat sebagai pegangan untuk masuk dalam dunia
sufisme. Di antara tokohnya adalah Harits al Muhasibi (w 234H), Junaid
al Baghdadi (w 298H). [ii]
Perkembangan aliran tasawwuf di Timur
Tengah ini khurasan juga membawa pengaruh signifikan terhadp pola
perkembangan Tasawuf di Nusantara. Meski penyebutanya, tidak lagi
menggunakan kosakata Baghdad dan Khurasan, tapi lebih dengan perbedaaan
antara corak sufisme Tradisional dan corak Theosufisme. Corak dari
aliran teheosofi lebih bersifat filosofis, penekanan yang berlebihan
pada doktrin Tawakkul atau kepasarahan mutlak pada Tuhan, entah itu
berbentuk cinta pengetahuan akaliyah ataupun cinta rohaniyah batiniyyah
dan cenderung menjauhi atau lebih tepatnya mencoba melampuai ketentuan
sayariat untuk sampai pada hakikat Tuhan. Sementara aliran tradisional
ciri utamanya adalah penekananya pada syariat sebagai prasyarat untuk
memasuki dunia Tasawuf dan jalan menuju hakikat Ketuhanan.
Perbedaan dan dua aliran tasawuf
tersebut dalam perkembanagan sufisme nusantara msing-masing memperoleh
tempat di Bumi Nusantara. dari pengaruh Al Jilli dan Ibn Arabi
berkembanglah suatu doktrin sufime spekulatif–filosofis sebagaimana
diajarkan secara luas di Nusantara apda abad ke-17 oleh Hamzah Al
Fansuri dan Sayams al Din al Sumatrani. Sedangkan dari aliran sufisme
tardisional adalah Nur Al Din Al Raniri dengan konsep tasawuf yang lebih
mendarakan diri pada syariat. Dalam amasa inilah munkin telah terjadi
pergesaran besar dalam perkembangan corak sufisme dan ajaran tasawuf di
Nusaantara dari konsep wahdatul wujud dengan aspek sepklutif-filosofis
dan eskatisme yang berlebihan dengan doktrin sufisme yang lebih
menekankan atau suatu model doktrin tasawwuf yang dibingkai oleh
sufisme.
Pada masa lalu, usaha rekonsiliasi dan
sintesis dua kecederungan sufisme dalam Islam ini telah diselesiakan
oelh Al-Ghazali pada abad 4 H, teruatama ketika ia berhasil menjadikan
tasawuf pada poisisi tinggi dalam Teologi Sunni dan ulama fiqih pada
umumnya. Sementara dalam konteks Nusantara, bisa dikatakan bahwa Abdul
al Rauf al Sinkili adalah orang yang mungkin pertama kali berhasil
merumuskan secara teoritis perpaduan antara sufisme dan syariat dengan
mengambil inti positif dari keduanya dari pada mempertentangkanya secara
tegas sebagaimana kecenderungan pada masa sebelumnya.
Meski al Sinkili secara jelas merumuskan
konsepnya tentang kesatuan anatara manusia dan Tuhan yang lebih dekat
denbgan konsep wahdatul wujud, namun ia tidak bisa begitu saja
dikategorikan sebagai penganut wahdatul wujud ekstrem. Sebab al-Singkili
secara tegas tetap membedakan antar eksisitensi manusia dengan
trensendensi Tuhan.[iii]
Konsep tasawwuf Al Sinkili tersebut teruatama terlacak pada karyanya Tanbih al-Masyi.
Al Singkili menjelaskan bahwa segala penampakan yang ada pada dasarnya
adalah satu. Alam tidak lain adalah baying-bayang dari yang satu yang
telah diketahui sejak zaman azali, yang kemudia memiliki wujud
sebagaiman dikehendaki-Nya. Dalam konsep ini manusia tidak lain adlah
bayang dari yang Haq atau bayangan dari bayanga-Nya. Karena alam
hanyalah bayang dari wujud-Nya yang tunggal, maka alam tidak mutlak
identik dengan Tuhan. Meski demikian, tidak menutup kemungkinana bahwa
wujud alam dengan wujud al-haq memiliki keserupaan dan kemiripan. Sebab
Tuhan telah melakukan pennmpakan wujud dirinya atas alam. Sedangkan
sifat-sifat Tuhan secara reflektif nampak pada diri manusia. Namun ini
hanya terjadi pada manuisa yang telah mencapai kategori insan kamil.
Dengan tetap bersikukuh menjaga
trensendensi Tuhan atas makhluk, al Sinkili menjelaskan bahwa meski alam
itu adalah emansi dari cahaya Tuhan, namun demkian ia bukanlah Tuhan
sendiri. Karena posisi dari zat luar tak lebih sebagai Nazhar (bayangan)
dari Tuhan. Demikian juga, meskip manusia sudah mencapai poisi sebagai
insan kamil adan maratabatanya naik mendekati posisi Tuhan., namun
posisinya tak lebih hanya sebagai makhluknya. Demikian pula Tuhan, meski
ia turun dari kegaiban pada alam namun apda hakikatnya ia tetaplah sang
Khaliq. Jadi bagaimanpaun posisinya, apakah itu kejadian pada makhluk
yang naik pada tingkatan tertinggi spritualitas (tarraqi), ia tetapalah
manusia, sedangkan Tuhan tetaplah Tuhan meski ia ia telah turun pada
alam (tanazzul). Karena itu kesatuan antara Tuhan dan Manuisa secara
total dalam konteks ini tidak bisa terjadi.
Pada dasarnya ajaran Tasawuf al Sinkili
berusaha mengabungkan antara pendapat dan doktrin dari Theosufi dengan
doktrin Sufisme Ortodoks. Ajaran al Singkili sendiri adalah suatu
perumusan untuk menjaga keharmonisan antara aspek syariat dengan aspek
aspek sufisme Islam yang cenderung esaktis dan anti syariat. Dia pun
menjelaskan bahwa tasawwuf harus bergandengan dengan syariat. Hal
demikian didasarkan atas keyakinanya bahwa jika Muhammad adalah sumber
lahirnya seluruh realitas alam, kepatuhan terhadap segala ajaranya
merupakan kepatuhan yang tak terbantahkan untuk mencapai sumber dari
segala wujud, yakni Allah. Dengan kepatuhan terhadap syariat , para sufi
dapat memperoleh penagalaman sejati tentang haqiqah.
Demikinlah, syariat dan tasawwuf
sama-sama menempatkan Allah sebagai tujuan Ibadah. Perbedaan terletak
pada segi motifasinya. Kaum sufi berkeinginan lebur bersama Allah karena
dorongan cinta atau ijtihad, sedangkan pada kaum syariah motifasinya
adalah keinginan taat kepada Allah. Namun demikian sebenarnya antara
Syariat dan Tasawuf adalah dua sisi koin mata uang yang tidak bisa
dipisahkan. Syariat berhubungan dengan tatacara menata kehidupan
lahiriyah dan ibadah yang bersifat lahiriyah, sementara dunia tasawuf
merupakan pengetahuan ubudiyahnya batin. Selain itu, dasar semua Tasawuf
tidak lain adalah Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
Sumber: Lazuardi Birru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar