Rabu, 28 Agustus 2013

Jalan Menuju Tuhan dalam Sufisme Nusantara

 


Pada masa Islam awal terdapat dua perkembangan paham keagamaan dalam diri umat Islam, pertama adalah mereka yang tertarik pada persoalan teologi dan hukum Islam  dan golongan yang tertarik pada ajaran Islam dengan memberikan dasar yang lebih bersifat pribadi dan spiritual terkait peribadatan agama. Dua kalangan umat Islam ini sebenarnya mempunyai tujuan dan menjawab persoalan yang sama, bagaimana mendekatkan diri pada Allah. Golongan pertama meyakini bahwa jalan menuju Tuhan itu ditempuh dengan Syariat, sementara golongan kedua meyakini bahwa jalan menuju Tuhan hanya bisa ditempuh degan tasawwuf.

Namun demikian pertentangan antara kedua kubu atau golongan itu, tidak sepanas sebagaimana terjadi dalam golongan Tasawwuf sendiri. Sumbu pertentanganya adalah sama,  datang dari pertentangan antara aspek syariah dan tasawuf dalam tasawwuf Islam yang seolah berdiri masing-masing dalam mencapai ketuhanan.

Dalam sejarah Islam, tasawuf yang dimaknai sebagai ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihan akhlaq, membangun dhahir dan batin, untuk memporoleh kebahagian yang abadi  sudah ada sejak abad pertama hijriyah atau pada masa Nabi Muhammad di Makkah. Apa yang nampak pada sufisme masa pertama ini lebih dekat pada pengalaman spritiual untuk mendekatkan diri pada Tuhan.  Namun,  sandaran ajaranya yang tetap mengikuti kehidupan keagamaan Rasul menandakan bahwa pengalaman spiritual tersebut hanya bisa tercapai ketika mengikuti syariat Islam yang dibawa Nabi. Tapi, menurut Fazlur Rahman, pada masa berikutnya kesalehan spiritual ini  berkembang menjadi doktrin ekstrim pengingkaran terhadap dunia dan cenderung bermusuhan dengan golongan muslim yang mementingkan aspek syariah dalam agama.[i]

Jalan menuju Tuhan, Dengan atau Tanpa Syariat
Pada abad ke-3H muncul dua aliran besar dalam tasawuf yaitu aliran Khurasan dan aliran Bahdad.  Aliran Khurasan ditandai dengan konsep tasawuf yang cenderung spekulatif, asketik dan mengabaikan aspek syariat .Di antara tokoh yang terkenal adalah  Ibn al-Arabi dan Abu Yazid al Bustami.  Disisi lain aliran baghdad lebih cenderung mengembangkan doktrin tasawuf yang menolak asketisme radikal, menjauhi doktrin fana (kesatuan manusia dan Tuhan) dan tetap mempertimbangkan syariat sebagai pegangan untuk masuk dalam dunia sufisme. Di antara tokohnya adalah Harits al Muhasibi (w 234H),  Junaid al Baghdadi (w 298H). [ii]

Perkembangan aliran tasawwuf di Timur Tengah ini khurasan juga membawa pengaruh signifikan terhadp pola perkembangan Tasawuf di Nusantara. Meski penyebutanya, tidak lagi menggunakan kosakata Baghdad dan Khurasan, tapi lebih dengan perbedaaan antara corak sufisme Tradisional dan corak Theosufisme. Corak dari aliran teheosofi lebih bersifat filosofis, penekanan yang berlebihan  pada doktrin Tawakkul atau kepasarahan mutlak pada Tuhan, entah itu berbentuk cinta pengetahuan akaliyah ataupun cinta rohaniyah batiniyyah dan cenderung menjauhi atau lebih tepatnya mencoba melampuai ketentuan sayariat untuk sampai pada hakikat Tuhan.  Sementara aliran tradisional ciri utamanya adalah penekananya pada syariat sebagai prasyarat untuk memasuki dunia Tasawuf dan jalan menuju hakikat Ketuhanan.

Perbedaan dan dua aliran tasawuf tersebut dalam perkembanagan sufisme nusantara msing-masing memperoleh tempat  di Bumi Nusantara.  dari pengaruh Al Jilli dan Ibn Arabi berkembanglah suatu doktrin sufime spekulatif–filosofis sebagaimana diajarkan secara luas di Nusantara apda abad ke-17 oleh Hamzah Al Fansuri dan Sayams al Din al Sumatrani. Sedangkan dari aliran sufisme tardisional adalah Nur Al Din Al Raniri dengan konsep tasawuf yang lebih mendarakan diri pada syariat. Dalam amasa inilah munkin telah terjadi pergesaran besar dalam perkembangan corak sufisme dan ajaran tasawuf  di Nusaantara dari konsep wahdatul wujud dengan aspek sepklutif-filosofis dan eskatisme yang berlebihan dengan doktrin sufisme  yang lebih menekankan atau suatu model doktrin tasawwuf yang dibingkai oleh sufisme.

Pada masa lalu, usaha rekonsiliasi dan sintesis dua kecederungan sufisme dalam Islam ini telah diselesiakan oelh Al-Ghazali pada abad 4 H, teruatama ketika ia berhasil menjadikan tasawuf pada poisisi tinggi dalam Teologi Sunni dan ulama fiqih pada umumnya. Sementara dalam konteks Nusantara, bisa dikatakan bahwa Abdul al Rauf al Sinkili adalah orang yang mungkin pertama kali berhasil merumuskan secara teoritis perpaduan antara sufisme dan syariat dengan mengambil inti positif dari keduanya dari pada mempertentangkanya secara tegas sebagaimana kecenderungan pada masa sebelumnya.

Meski al Sinkili secara jelas merumuskan konsepnya tentang kesatuan anatara manusia dan Tuhan yang lebih dekat denbgan konsep wahdatul wujud, namun ia tidak bisa begitu saja dikategorikan sebagai penganut wahdatul wujud ekstrem. Sebab al-Singkili secara tegas tetap membedakan antar eksisitensi manusia dengan trensendensi Tuhan.[iii]

Konsep tasawwuf Al Sinkili tersebut teruatama terlacak pada karyanya Tanbih al-Masyi. Al Singkili menjelaskan bahwa segala penampakan yang ada pada dasarnya adalah satu.  Alam tidak lain adalah baying-bayang dari yang satu yang telah diketahui sejak zaman azali, yang kemudia memiliki wujud sebagaiman dikehendaki-Nya. Dalam konsep ini manusia tidak lain adlah bayang dari yang Haq atau bayangan dari bayanga-Nya. Karena alam hanyalah bayang dari wujud-Nya yang tunggal, maka  alam tidak mutlak identik dengan Tuhan.  Meski demikian, tidak menutup kemungkinana bahwa wujud alam dengan wujud al-haq memiliki keserupaan dan kemiripan. Sebab Tuhan telah melakukan pennmpakan wujud dirinya atas alam. Sedangkan sifat-sifat Tuhan secara reflektif nampak pada diri manusia. Namun ini hanya terjadi pada manuisa yang telah mencapai kategori insan kamil.

Dengan tetap bersikukuh menjaga trensendensi Tuhan atas makhluk, al Sinkili menjelaskan bahwa meski alam itu adalah emansi dari cahaya Tuhan, namun demkian ia bukanlah Tuhan sendiri. Karena posisi dari zat luar tak lebih sebagai Nazhar (bayangan) dari Tuhan. Demikian juga, meskip manusia sudah mencapai poisi sebagai insan kamil adan maratabatanya naik mendekati posisi Tuhan., namun posisinya tak lebih hanya sebagai makhluknya. Demikian pula Tuhan, meski ia turun dari kegaiban pada alam namun apda hakikatnya ia tetaplah sang Khaliq. Jadi bagaimanpaun posisinya, apakah itu kejadian pada makhluk yang naik pada tingkatan tertinggi spritualitas (tarraqi), ia tetapalah manusia, sedangkan Tuhan tetaplah Tuhan meski ia ia telah turun pada alam (tanazzul). Karena itu kesatuan antara Tuhan dan Manuisa secara total dalam konteks ini tidak bisa terjadi.

Pada dasarnya ajaran Tasawuf al Sinkili berusaha mengabungkan antara pendapat dan doktrin dari Theosufi dengan doktrin Sufisme Ortodoks. Ajaran al Singkili sendiri adalah suatu perumusan untuk menjaga keharmonisan antara aspek syariat dengan aspek aspek sufisme Islam yang cenderung esaktis dan anti syariat. Dia pun menjelaskan bahwa tasawwuf harus bergandengan dengan syariat. Hal demikian didasarkan atas keyakinanya bahwa jika Muhammad adalah sumber lahirnya seluruh realitas alam, kepatuhan terhadap segala ajaranya merupakan kepatuhan yang tak terbantahkan  untuk mencapai sumber dari segala wujud, yakni Allah. Dengan kepatuhan terhadap syariat , para sufi dapat memperoleh penagalaman sejati tentang haqiqah.

Demikinlah, syariat dan tasawwuf  sama-sama menempatkan Allah sebagai tujuan Ibadah. Perbedaan terletak pada segi motifasinya. Kaum sufi berkeinginan lebur bersama Allah karena dorongan cinta atau ijtihad, sedangkan pada kaum syariah motifasinya adalah keinginan taat kepada Allah. Namun demikian sebenarnya antara Syariat dan Tasawuf adalah dua sisi koin mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Syariat berhubungan dengan tatacara menata kehidupan lahiriyah dan ibadah yang bersifat lahiriyah, sementara  dunia tasawuf merupakan pengetahuan ubudiyahnya batin. Selain itu, dasar semua Tasawuf tidak lain adalah Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.

Sumber: Lazuardi Birru

Tidak ada komentar:

Posting Komentar