Rabu, 25 September 2013

Maulid dan Risalah Kenabian Muhammad SAW


Seiring berakhirnya bulan Safar, kaum Muslimin sudah bersiap menyambut bulan Rabiul Awal atau lebih dikenal dengan bulan Maulud yang merupakan bulan kelahiran baginda Nabi Muhammad SAW. Para sejarawan dan ulama sepakat bahwa Muhammad putra dari pasangan Abdullah bin Abdul Muthallib dan Siti Aminah lahir pada hari Senin tanggal 12 Rabi’ul Awwal pada tahun Gajah (570 M) atau bertepatan dengan 20 April 570. Penyebutan tahun Gajah yang menjadi tanda kelahiran Muhammad berkaitan dengan peristiwa besar waktu itu di mana kota Mekah diserang Abrahah beserta tentaranya yang berpusat di Yaman untuk menghancur-leburkan Ka’bah beserta peradaban kota Mekah. Tujuannya untuk mengalihkan pemusatan ibadah dan perziarahan bangsa Arab di Mekah, dengan menggantinya di Yaman. Namun, Allah punya kehendak lain. Bala tentara Abrahah yang gagah perkasa mengendarai gajah-gajah dibuat kocar-kacir oleh burung Ababil dengan lontaran batu-batu kecil yang panas.

Sebelum Muhammad lahir, ayahnya, Abdullah telah wafat, sehingga beliau diasuh oleh kakeknya, Abdul Muthalib. Sedangkan yang menyusui beliau ialah seorang perempuan bernama Halimatus Sa’diyah. Sepeninggal kakeknya, pengasuhan atas Muhamad beralih ke tangan pamannya, Abu Thalib.
Kelahiran sosok Muhammad sangat kuat diidentikkan dengan kebangkitan agama Ibrahimi atau samawi, atau lebih tepatnya sebagai detik kebangkitan ajaran keselamatan untuk seluruh umat manusia. Tidak berlebihan jika umat Muslim sangat mengagungkan sosok Nabi Muhammad yang telah diamanatkan untuk menjadi seorang pembawa risalah langit. Allah sendiri mengabadikan kehadiran beliau sebagai rahmat dan berkah, sehingga memerintahkan para malaikat-Nya memberikan shalawat kepada beliau. Hal tersebut sebagaimana tertuang dalam Alquran, “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya berselawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, berselawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya” (QS. Al-Ahzab: 56).

Oleh karenanya, umat Muslim sering memeringati tanggal kelahiran Nabi tersebut dengan memperbanyak shalawat sembari mengharap syafa’at-nya kelak di hari akhir. Tidak berhenti pada itu saja, umat Muslim memeringati kelahiran Nabi juga untuk mengambil hikmah atau pelajaran baik atas kehadiran Nabi sebagai manusia ataupun sebagai rasul untuk diteladani amal baiknya serta ditaati segala risalah kenabian yang dibawanya.

Risalah Kenabian Muhammad
Sebelum kenabian Muhammad, negeri Arab bukanlah sebuah wilayah dengan peradaban tinggi sebagaimana negeri lain seperti Romawi, Mesir, Persia, Yunani, China atau India. Tetapi, mengapa risalah kenabian terakhir tidak diturunkan di negeri-negeri yang berperadaban agung tersebut. Allah memilih jazirah Arab sebagai tempat risalah terakhir kenabian tentunya bukan tanpa alasan. Jazirah Arab merupakan negeri yang tandus dengan hamparan gurun pasir panas yang sulit ditaklukkan oleh imperium-imperium besar di sekitarnya, seperti Imperium Romawi yang beragama Kristen dan juga Imperium Persia yang beragama Majusi. Alasan kedua, masyarakat Arab secara sosial merupakan masyarakat kesukuan yang gemar berperang untuk memperebutkan kekuasaan wilayah. Ketiga, masyarakat Arab menganut beragam agama nenek moyang. Di antara mereka ada yang menyembah berhala, ada juga kelompok yang menyembah bintang, atau benda langit lainnya. Sebagian lagi memilih agama Abrahamic seperti Yahudi dan Kristen karena mempunyai anggapan bahwa agama nenek moyang mereka sesat.
Kenabian Muhammad, sebagaimana para nabi atau rasul sebelumnya, adalah sebagai penyempurna terhadap risalah kenabian sebelumnya. Namun, yang sangat spesial, kenabian Muhammad selain menjadi penyempurna juga sebagai penutup risalah kenabian. Disebutkan sebagai penyempurna risalah kenabian karena nabi-nabi terdahulu sejak Adam AS, sama-sama membawa risalah tauhid, yaitu ajaran mengesakan Allah SWT. Para nabi dan rasul diutus untuk umat tertentu dengan membenarkan risalah kenabian sebelumnya serta memberikan kabar akan kehadiran nabi sesudahnya. Hal tersebut berlangsung dari masa ke masa, hingga sampilah pada risalah terakhir, risalah paling sempurna yang diemban oleh Rasulullah Muhammad SAW. Hal tersebut ditegaskan Allah dalam firmannya dalam Alquran, “Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang diwasiatkan-Nya kepada Nuh, dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu tegakkan agama, dan janganlah kamu berpecah-belah tentangnya” (QS. Al-Syura: 13).
Di antara prinsip-prinsip utama dalam risalah yang dibawa Nabi Muhammad adalah ajaran persamaan manusia di hadapan Allah. Hal ini sebagaimana yang tertuang dalam QS. Al-Hujurat: 13, bahwa manusia diciptakan dengan segala macam perbedaan. Meskipun berbeda dalam jenis kelamin, suku, bangsa dan segala macam perbedaan, manusia berposisi sama di hadapan Sang Khaliq. Satu-satunya hal yang membedakan manusia di hadapan Allah adalah tingkat ketakwaannya. Ajaran persamaan derajat manusia juga diperkuat dengan hadis Rasulullah yang berbunyi, “Sesungguhnya Tuhan kalian adalah satu dan bapak kalian juga satu. Tidak ada kelebihan orang Arab atas orang non-Arab, tidak juga orang non-Arab atas orang Arab, tidak juga orang berkulit merah atas orang berkulit hitam, tidak juga orang berkulit hitam atas orang berkulit merah, kecuali dengan ketakwaan” (HR. Ahmad). Risalah equality ini mendobrak tatanan masyarakat Arab yang saat itu memlihara sistem perbudakan. Dalam perjalanan dan perkembangannya, Islam sangat menentang sistem perbudakaan dan mempromosikan sikap memerdekakan budak.
Seruan Nabi Muhammad untuk memerdekakan budak sebagai bentuk penegakan nilai persamaan dan kebebasan manusia dilandaskan atas perintah Allah dalam Alquran, “Maka hendaklah kalian mengadakan mukâtabah (seorang hamba yang meminta dimerdekakan oleh tuannya dengan cara menebus dirinya) dengan mereka jika engkau mengetahui bahwa di sana ada kebaikan..” (QS. An-Nur: 33).
Risalah yang tidak kalah pentingnya dengan persamaan manusia dalam Islam adalah ajaran keadilan. Al-‘adalah merupakan salah satu risalah penting untuk perbaikan tatanan masyarakat Arab. Begitu pentingnya nilai keadilan ini sehingga tidak hanya berlaku bagi masyarakat Muslim saja namun juga seluruh umat manusia. Risalah ini termaktub dalam Alquran, yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Al-Maidah: 8).
Risalah keadilan pulalah yang mengantarkan Nabi Muhammad sukses membangun masyarakat Madinah yang plural hidup dalam kedamaian dan kesejahteraan. Sebagaimana diketahui saat Nabi hijrah ke Madinah tidaklah mudah membangun peradaban di sana. Madinah adalah wilayah yang penduduknya sangat plural baik dari segi suku maupun agama. Risalah keadilan dalam Islam yang diamanatkan kepada Nabi termanifestasikan dalam sebuah dokumen kesepakatan warga, Piagam Madinah. Pihak-pihak yang menyepakati tidak lain adalah penduduk Madinah yang plural itu. Mereka menyatu sebagai ummah wahidah, umat yang menyatu, yang terdiri atas muhajirun, penduduk Madinah yang sudah masuk Islam, dan suku-suku Arab yang mengikuti mereka, bergabung dengan mereka dan berjuang bersama mereka. Selain pengikut Muhammad dan Yahudi, suku-suku Arab yang politeis juga bergabung menyetujui Piagam Madinah. Konsekuensinya, semua yang bernaung dalam konvensi ini mendapatkan keadilan yang sama, hak-hak sosial ekonomi budayanya juga dijamin secara konstitusi. Tidak ada penomorsatuan dan kelompok yang termarginalkan. Hal itu menunjukkan betapa kuatnya prinsip keadilan yang dikandung Islam dalam membangun tatanan masyarakat sipil yang berkeadilan.
Sebagai pengemban risalah kenabian dan kerasulan, pribadi Nabi Muhammad memiliki berbagai dimensi yang merupakan perpaduan antara sisi kemanusiaan dan sisi ketuhanan. Nabi Muhammad ialah manusia biasa yang dalam kapasitasnya sebagai makhluk Allah terikat dengan hukum alamiahnya sebagai manusia, yaitu lahir, berkembang dan meninggal dunia. Namun, dalam kapasitasnya sebagai utusan Allah, beliau merupakan pembawa risalah langit, ajaran ilahiyah, yang diberikan kelebihan dibandingkan dengan manusia lainnya.
Tidak hanya dari segi ucapan yang halus dan santun, budi pekerti beliau juga mencerminkan kepribadian yang berakhlak mulia sehingga sangat pantas dijadikan teladan. Beliau dikenal memiliki empat sifat yang menjadikannya manusia sempurna di mata Allah. Sifat pertama adalah sidiq, yaitu jujur, benar. Sifat yang kedua adalah terpercaya atau amanah. Dari sifatnya ini, beliau diberi gelar al-amin, yaitu orang yang terpercaya atau yang mampu mengemban amanat. Beliau dipercaya menjadi pemimpin umat. Sifat ketiga yang melekat dalam diri Nabi adalah tabligh, yang berarti menyampaikan. Yang disampaikan tentu saja risalah Islam. Sifat keempatnya adalah fatonah atau cerdas. Nabi terekam dalam sejarah memiliki kecerdasan dalam berbagai hal baik dalam berdagang, berdiplomasi maupun berperang.
Oleh karena itu, sebagai umatnya kita harus bisa melihat dengan jernih kapan beliau berkapasitas sebagai Nabi dan kapan bersikap seperti manusia pada umumnya. Itu semuanya tidak lain dalam rangka mengambil suri tauladan untuk peningkatan kualitas keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah SWT.

Sumber: Lazuardi Birru

Tidak ada komentar:

Posting Komentar