Mendengar kata “kaligrafi”, tentu orang
langsung merujuk pada tulisan indah dari ayat-ayat Alquran. Benar saja,
kaligrafi merupakan salah satu bentuk keindahan seni Islam dalam menulis
indah ayat Alquran. Seni kaligrafi lahir dari tangan seniman Islam
sejak kedatangan Islam di Arab, sehingga bisa dibilang sejarah kaligrafi
adalah sejarah Islam itu sendiri. Dibandingkan dengan bentuk kesenian
Islam lainnya, kaligrafi menempati kedudukan khusus, bahkan dapat
diaktakan yang paling populer, sebagai bentuk ekspresi ruh Islam yang
sangat khas dan unik. Oleh karenanya, tidak berlebihan jika mengatakan
kaligrafi sebagai “seninya seni Islam” (the art of Islamic art).
Meskipun lahir di tanah Arab, asal kata kaligrafi berasal dari bahasa Inggris calligraphy yang berarti tulisan tangan yang sangat elok, tulisan indah. Dalam bahasa Latin, kaligrafi berasal dari kata colios yang berarti indah dan graph yang
berarti tulisan, sehingga kaligrafi bermakna tulisan yang indah.
Sedangkan dalam bahasa Arab, padanan kata yang tepat untuk mewakili
kaligrafi adalah kata khath yang berarti seni menulis huruf Arab, dan orang atau seniman kaligrafinya disebut dengan khattath atau al-khattath.
Dilihat dari sisi historisnya, akar kaligrafi Arab sebenarnya adalah tulisan hierogliph
bangsa Mesir. Menurut al-Maqrizi (1364-1442), seorang pakar sejarah
Mesir, tulisan kaligrafi Arab pertama kali dikembangkan oleh masyarakat
Himyar, yaitu suku yang mendiami Semenanjung Arab bagian barat daya yang
hidup pada rentang tahun 115-525 S.M. Musnad sebagai salah satu jenisnya merupakan kaligrafi Arab kuno yang mula-mula berkembang dari sekian banyak jenis khath yang dipakai oleh masyarakat Himyar. Dari tulisan tua Musnad yang berkembang di Yaman, lahirlah sebuah khath gaya Kufi. Beberapa sumber menyebutkan bahwa khath
Kufi ini terus berkembang dan mencapai puncak kesempurnaannya pada
pertengahan abad ke-7 M, di mana penulisan Alquran banyak menggunakan
gaya Kufi.
Adalah Umar bin Khattab yang
menginisiasi pembukuan wahyu Ilahi (Alquran) oleh sebab kekhawatiran
akan banyaknya penghafal Alquran (huffadz) yang syahid dalam
peperangan pada tahun 633 M, setahun setelah meningalnya Nabi Muhammad.
Ketika Rasulullah Muhammad SAW masih hidup, Alquran sebagai pedoman
hidup umat manusia, disyiarkan secara langsung oleh beliau kepada para
sahabat serta kaumnya. Setelah Rasulullah wafat, wahyu tidak turun lagi.
Penyebaran ajaran dan nilai yang terkandung dalam Alquran dari seorang
Muslim ke Muslim lainnya dilakukan oleh para sahabat, secara khusus para
sahabat yang huffadz, yang mengumpulkan Alquran dalam hafalannya. Sebagian para huffadz
mencatat Alquran dalam lembaran daun-daun, tulang serta kulit binatang.
Kumpulan ayat-ayat tersebut menjadi harta yang tak ternilai harganya
bagi para huffadz. Namun, terbununhnya banyak huffadz
dalam serangkaian perang sepeninggal Nabi membuat gusar Umar bin
Khattab. Ia mendesak khalifah saat itu, Abu Bakar As-Siddiq untuk
menyelematkan Alquran dengan cara menuliskannya secara resmi. Khalifah
Abu Bakar merespon dengan baik dengan memerintahkan seorang sahabat yang
cakap dalam ilmu menulis Bahasa Arab, yaitu Zayd bin Sabit untuk
mengumpulkan file ayat-ayat Alquran yang dimiliki oleh para huffadz, baik dalam bentuk dokumen naskah maupun hafalan yang terjaga, sehingga menjadi berbentuk kitab.
Pada masa perkembangan berikutnya,
Alquran yang ditulis tersebut ditetapkan dan disempurnakan pada periode
khalifah ketiga dari Al-Khulafa Al-Rasyidin, yaitu masa Usman bin Affan
pada tahun 651 M. Oleh Khalifah Usman, naskah Alquran disalin ke dalam
empat atau lima edisi dan disebarkan ke wilayah-wilayah Islam yang
strategis bagi perkembangan Islam. Naskah Alquran tersebut kemudian
dikenal dengan Mushaf Usmani yang menjadi naskah baku Alquran hingga kini. Penulisan ayat Alquran pada mushaf tersebut dilakukan dengan seni khath yang indah dan menarik yang kemudian menginspirasi umat Muslim untuk mengembangkan seni penulisan Alquran yang indah.
Keahlian menulis, seiring dengan
berkembangnya pengetahuan dalam Islam memang tumbuh pesat pada abad 7
Masehi. Pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab (634-644), muncul
inisiasi membangun sistem administrasi yang menyertakan catatan dan
dokumen. Reformasi sistem administrasi pemerintahan tersebut menuntut
dibentuknya lembaga atau unit tata usaha. Awalnya, hal tersebut
ditujukan untuk pembuatan laporan para gubernur di propinsi yang jauh
dari ibukota kekhalifahan, seperti Irak, Syria dan Mesir. Sejalan dengan
berlakunya reformasi administrasi tersebut, dan dari kondisi itulah,
seni penulisan Bahasa Arab mulai berkembang dan menempati kedudukan
penting dalam kebudayaan Islam, terutama kontribusinya dalam
pengembangan seni penulisan Mushaf Alquran.
Selain Zayd bin Sabit, usaha penulisan
Alquran juga dilakukan tanpa lelah oleh para sahabat Nabi yang lain,
seperti Muadz bin Jabal, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Zubair, Said
bin ‘Ash, dan Abdurrahman bin Haris. Seni, gaya, serta karakteristik
masing-masing penulis tersebut yang kemudian menjadi cikal bakal awal
mulanya perkembangan seni kaligrafi Arab atau khath. Semakin luas cakupan syiar Islam, semakin berkembang seni kaligrafi Arab. Bahkan, jika diilustrasikan, seolah-olah para khattath
berlomba-lomba untuk menjadi penulis terbaik dan utama pada masanya,
dengan mengembangkan berbagai tipografi yang tergambar dalam kehidupan
masyarakat di sekitar jazirah Arabia waktu itu. Para seniman kaligrafi
awal Islam tersebut tidak hanya menulis, namun juga melakukan riset
lapangan untuk mengembangkan jenis, gaya, atau bentuk tulisan dalam
kaligrafi.
Ragam Gaya Kaligrafi
Dalam seni kaligrafi Islam, terdapat beberapa jenis gaya tulisan. Salah satunya adalah gaya
Kufi. Bentuk tulisan pada seni kaligrafi yang menggunakan gaya ini disebut
khath Kufi.
Gaya kaligrafi ini banyak digunakan untuk penyalinan Alquran periode
awal, sehingga bisa dikatakan menjadi model penulisan paling tua di
antara gaya kaligrafi. Ragam penulisan kaligrafi dengan gaya
Kufi
ini muncul dan berkembang di kota Kufah, Irak, yang merupakan salah
satu kota terpenting dalam sejarah peradaban Islam sejak abad ke-7 M.
Gaya
Kufi ini diperkenalkan oleh Ibnu Muqlah, seniman kaligrafi Arab yang merupakan seorang menteri (
wazir) pada masa
kekhalifahan Dinasti Abbasiyah. Karakteristik gaya tulisan
Kufi
berupa garis lurus pada huruf-hurufnya, baik garis lurus secara
vertikal, horisontal maupun diagonal, dengan sedikit lengkungan dan
terlihat sangat kaku, bahkan terkesan sangat formal. Dalam
perkembangannya, gaya ini kemudian berkembang menjadi
lebih ornamental dan sering dipadukan dengan ornamen atau hiasan floral.
Jenis gaya ini selain untuk penulisan mushaf Alquran juga banyak
dimanfaatkan untuk penulisan judul buku, dekorasi, atau lukisan.
Ragam gaya penulisan dalam seni kaligrafi berikutnya adalah gaya Tsulutsi. Kaligrafi yang memakai gaya ini disebut khath Tsulutsi.
Bentuk hurufnya tampak anggun dan berwibawa, serta memiliki kesan
keluwesan tersendiri yang membedakannya dengan gaya lain. Selain kuat
dalam ornamental, gaya kaligrafi ini banyak diwarnai dengan hiasan
tambahan serta sangat fleksibel atau mudah dibentuk dalam komposisi
tertentu untuk memenuhi ruang tulisan yang tersedia. Karakteristik gaya Tsulutsi
sangat terlihat pada bentuk tulisannya yang berbentuk kurva, dengan
kepala meruncing dan terkadang ditulis dengan gaya sambung serta
interseksi yang kuat. Gaya Tsulutsi ini banyak digunakan sebagai ornamen arsitektur masjid, sampul buku, dan dekorasi interior.
Di samping Kufi dan Tsulutsi, dalam seni kaligrafi Islam juga berkembang gaya Naskhi.
Ragam gaya jenis ini merupakan yang paling sering digunakan oleh umat
Islam dalam menulis atau melukis kaligrafi, baik untuk menulis naskah
keagamaan maupun tulisan keseharian. Berbagai sumber menyebut bahwa gaya
Naskhi termasuk dalam jajaran gaya penulisan kaligrafi tertua.
Ibnu Muqlah mensistematiskan kaidah penulisan gaya ini pada abad ke-10,
sehingga atas jasanya tersebut gaya kaligrafi ini menjadi populer dan
banyak digunakan untuk menulis mushaf Alquran hingga masa sekarang.
Karakter huruf dalam gaya Naskhi cukup sederhana, nyaris tanpa hiasan tambahan, sehingga mudah ditulis dan dibaca oleh penikmat khath.
Pada masa pemerintahan Dinasti
Usmaniyah, dikenal para seniman kaligrafi yang mengembangkan berbagai
gaya penulisan pada seni kaligrafi, seperti gaya Riq’ah atau Riq’i, dan gaya Ijazah atau Rihani atau Raihani. Keduanya merupakan hasil pengembangan kaligrafi gaya Naskhi dan Tsulutsi. Gaya riq’i, hurufnya sangat sederhana, tanpa harakat, sehingga memungkinkan untuk ditulis secara cepat. Sedangkan karakter huruf dalam Raihani seperti halnya Tsulutsi,
namun lebih sederhana, sedikit hiasan tambahan, dan tidak lazim ditulis
secara bertumpuk. Gaya ini umum digunakan untuk penulisan ijazah dari
seorang guru kaligrafi kepada muridnya.
Jenis gaya penulisan dalam seni kaligrafi Islam selanjutnya adalah Diwani. Gaya ini sangat
lembut dengan garis-garis melengkung dan meliuk-liuk, tidak berharakat,
dan tampak lugas dan jelas. Gaya kaligrafi ini mulanya dikembangkan
oleh Ibrahim Munif, yang kemudian disempurnakan oleh Syaikh Hamdullah
sekitar abad ke-15 dan awal abad ke-16. Gaya ini digunakan untuk menulis
kepala atau kop surat resmi kerajaan. Keindahan tulisan kaligrafi Diwani banyak
dimanfaatkan untuk ornamen arsitektur dan sampul buku, dan sering pula
untuk surat-surat resmi. Gaya ini mengalami pengembangan di tangan Hafiz
Usman, dari Daulah Usmaniyah di Turki, yang kemudian dikenal dengan Diwani Jali. Jika Diwani tanpa harakat, justru Diwani Jali
mempunyai harakat yang melimpah, sehingga sulit dibaca secara selintas.
Biasanya, model ini digunakan untuk aplikasi yang tidak fungsional,
seperti dekorasi interior masjid atau benda hias.
Berikutnya, ada seni penulisan kaligrafi dengan ragam gaya Farisi.
Sesuai namanya, gaya ini dikembangkan oleh seniman Persia dan hal itu
menjadikannya sebagai huruf resmi bangsa ini sejak pemerintahan Dinasti
Safawi hingga sekarang. Gaya ini mengutamakan unsur garis sebagai
cirinya, yang ditulis tanpa harakat. Kepiawaian seorang seniman dalam
menuliskannya sangat ditentukan oleh kelincahannya mempermainkan
tebal-tipis huruf dalam “takaran” yang tepat. Penggunaan gaya ini lebih
banyak untuk dekorasi eksterior masjid di Iran, yang dipadu dengan
warna-warni arabes.
Di samping gaya-gaya yang telah disebutkan, ragam gaya penulisan dalam seni kaligrafi Islam yang juga berkembang adalah gaya Tawqi dan Muhaqqaq. Gaya Tawqi muncul pada periode kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Gaya ini khusus digunakan untuk keperluan tulis-menulis resmi. Gaya Muhaqqaq
salah satu jenis penulisan yang cukup sederhana. Ujung-ujung huruf pada
gaya Muhaqqaq memanjang, sementara kurva berada pada ujung bawah baris
atau dapat dikatakan menggarisbawahi teks. Di antara jenis kaligrafi
yang ternama, ada gaya Moalla atau Mu’allaq. Gaya ini
memang kurang begitu populer, jarang dipakai dan tidak menjadi standard
buku panduan kaligrafi yang umum beredar. Gaya kaligrafi ini
diperkenalkan oleh Hamid Ajami, seorang kaligrafer kelahiran Teheran,
Iran, dan hanya berkembang di Iran.
Fungsi Kaligrafi
Sebagai salah satu wujud karya seni yang
dibangun dengan landasan pertimbangan-pertimbangan estetis dan
keagamaan, seni kaligrafi mempunyai beberapa fungsi yang sangat penting.
Pertama, secara ideal kaligrafi dapat dipakai sebagai media komunikasi
untuk menyampaikan “misi dakwah” kepada penikmat agar mendapatkan
sentuhan nilai atau rasa keagamaan. Lukisan kaligrafi yang bersifat
religius yang menampilkan ayat-ayat suci Alquran sarat dengan nilai
estetis relijius, sesuai dengan sifat Allah yang Maha Indah, “innnallaaha jamiilun yuhibbul jamaal” (sesungguhnya Allah Maha Indah, Dia menyukai keindahan).
Seni lukis kaligrafi bisa menjadi
semangat pelecut keimanan. Manakala manusia menyadari bahwa pena
merupakan senjata pemusnah keingkaran dan keinginan, maka dengan kitab
suci sebagai pemandu akal dan hasrat keinginan, seni kaligrafi menjadi
media komunikasi manusia dengan Tuhannya, yakni melalui wahyu-wahyu yang
mewujud dalam ayat-ayat Alquran. Dengan kata lain, ajaran-ajaran suci
Alquran akan bisa tersampaikan dan terwujudkan melalui karya seni
menulis indah itu.
Kedua, secara fisik kaligrafi dimanfaatkan sebagai dekorasi atau hiasan. Ismail R. Faruqi, dalam bukunya Cultural Atlas of Islam mengatakan
bahwa kaligrafi Arab, merupakan media ungkap nilai-nilai spiritual yang
dipengaruhi oleh kesucian wahyu Alquran yang dilakukan para seniman
Muslim di seluruh dunia. Dalam perkembangannya, kaligrafi dengan aneka
ragam aliran merasuk dalam berbagai bidang kehidupan kaum Muslim untuk
kemanfaatan keindahan dan spiritual. Oleh karenanya sangat wajar jika
kaligrafi Arab ini memenuhi ruangan hidup kaum Muslim, seperti ruang
masjid, buku-buku ilmiah, kitab suci Alquran, kitab-kitab hadis, makam,
arsitektur gedung perkantoran, hiasan dinding, tughra, stempel, senjata perang, busana dan sebagainya.
Bukti semangat tersebut dapat kita lihat
pada berbagai hiasan kaligrafi dan Arabeska di beberapa bangunan Islam
terkenal di dunia, seperti Masjid Cordoba di Spanyol, Masjid Al-Hambra
di Granada, Masjid Istambul Turki, Masjid Isfahan, Masjid Ibnu Toulon,
dan Istana Taj Mahal. Roger R, Garaudy, mengatakan bahwa budaya Qurani
yang dikembangkan para seniman kaligrafi Muslim, telah berpengaruh di
dada perupa Barat, seperti Kandinsky, Mondrian, Monet, Gauguin, dan
Matisse yang juga mengembangkan nilai-nilai keilahian pada karya-karya
mereka.
Kaligrafi sendiri tentu saja syarat
makna, dimana dalam tulisan atau naskahnya terkandung filosofi dan pesan
dakwah agar umat Islam senantisa selalu membaca ayat-ayat suci Alquran
dan ingat kepada Allah SWT. Maka banyak yang beranggapan bahwa menghias
ruangan atau bangunan dengan memajang kaligrafi lebih baik daripada
memajang patung atau gambar makluk hidup seperti manusia atau hewan.
Pasalnya, dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad SAW bersabda bahwa malaikat
tidak akan memasuki rumah yang di dalamnya terdapat patung atau gambar
yang berbentuk makhluk hidup, lantaran setan atau jin kafir bakal
mendiami pajangan atau gambar tersebut. Hadis tersebut memperkuat
pandangan umat Islam untuk menempatkan Kaligrafi selain sebagai hiasan
rumah juga mempunyai makna relijius tersendiri.
Saat ini, seni kaligrafi juga sudah
sangat variatif, mengingat dalam perkembangannya kaligrafi memiliki
trennya sendiri yang selalu mengalami perubahan dan perkembangan. Tidak
hanya sebatas seni lukis yang menggunakan media kanvas atau kertas saja,
kini kaligrafi telah banyak dituangkan dalam media logam, kuningan,
kaca, kolase ataupun ukiran kayu, sehingga seni Islam ini mampu
berkompetisi di tengah perkembangan seni, terutama seni rupa modern.
Seni kaligrafi Islam sebagai salah satu
nafas kebudayaan Islam tidak semata-mata hanya mengandalkan kemahiran
serta penguasaan teknik dan ketangkasan menangkap objek estetika. Namun,
yang lebih utama adalah sebagai karya seni, kaligrafi sebagai spirit
Islam juga ditentukan oleh wawasan intelektual dan pecapaian
spiritualitas seseorang serta kearifannya dalam menyerap hakikat
keindahan dan kenyataan yang selaras dengan pandangan Islam.