Ustadz Menjawab
Belajar adalah kunci dalam melaksanakan ibadah yang benar sesuai dengan
apa yang dituntunkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Lalu, berkumpullah dengan
orang-orang yang telah lebih dahulu belajar mengenai ibadah dalam
artian yang luas, baik itu berupa tuntunan ibadah mahdhoh (seperti; shalat, puasa, dll) maupun ghairu mahdhoh
(pergaulan dalam masyarakat, jual beli, dsbnya). Lebih sempurna dan
lebih baik lagi, ada baiknya sobat Ricky banyak mengkonsumsi bacaan
terkait ibadah-ibadah dalam Islam. InsyaAllah dengan cara seperti ini akan membawa kita pada ibadah yang benar. Selamat berjuang….
Sumber: Lazuardi Birru
Senin, 30 September 2013
Jumat, 27 September 2013
PEDOMAN DAKWAH TOLERAN
Sebagaimana sudah kita pahami, secara harfiyah, dakwah berasal dari kata da’a, yad’u, da’watan
yang artinya panggilan, seruan atau ajakan. Maksudnya adalah mengajak
dan menyeru manusia agar mengakui Allah SWT sebagai Tuhan yang benar
lalu menjalani kehidupan sesuai dengan ketentuan-ketentuan-Nya yang
tertuang dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Dengan demikian, target dakwah
adalah mewujudkan sumber daya manusia yang bertaqwa kepada Allah SWT
dalam arti yang seluas-luasnya.
Untuk mewujudkan
masyarakat yang rukun, damai dan toleran, para da’I memiliki peran yang
sangat penting. Karena itu ada pedoman dakwah yang bisa dijadikan
sebagai rujukan.
1. Menanamkan Prinsip Perbedaan Agama Tanpa Permusuhan.
Menanamkan prinsip bahwa agama
itu berbedaan antara satu dengan lainnya merupakan hal yang sangat
penting, sehingga jangan sampai hanya dengan maksud menciptakan
perdamaian dan toleransi antarumat beragama kita menganggap apalagi
sampai meyakini dan mengkampanyekan bahwa “semua agama sama, sama-sama
baik”, ini merupakan hal yang sama sekali tidak bisa dibenarkan. Dakwah
harus menanamkan kepada manusia bahwa Islam merupakan satu-satunya
agama yang benar. Karena itu, tertolak dihadapan Allah SWT bila
seseorang memilih agama selain Islam, ini merupakan keyakinan yang tidak
bisa ditawar-tawar, Allah SWT berfirman: Barangsiapa mencari agama
selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)
daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi (QS Ali
Imran [3]:85)
2. Tidak Mencela Tuhan dan Konsep Agama Lain.
Dalam dakwah kita tidak
dibenarkan menghina sesembahan selain Allah dan konsep agama yang
dilakukan oleh orang yang didakwahi, hal ini hanya akan menyebabkan
orang menjadi tersinggung perasaannya, meskipun ia tahu bahwa apa yang
disembahnya merupakan sesuatu yang salah, Allah SWT berfirman: Dan
janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah,
karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa
pengetahuan Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik
pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu
dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan. (QS. Al An’am [6]:108).
3. Tidak Memaksa Pemeluk Agama Lain Untuk Masuk Islam.
Bila manusia telah memilih
atau menganut suatu agama berdasarkan keyakinannya, maka meskipun kita
sangat ingin agar ia masuk Islam, tetap saja kita tidak dibenarkan untuk
memaksanya untuk masuk Islam, Allah SWT berfirman: Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari pada jalan yang sesat (QS Al Baqarah [2]:256).
Manakala seseorang sudah masuk
Islam, untuk melaksanakan ajaran Islam sebenarnya bukan dipaksa, tapi
harus disiplin dalam berislam dan untuk bias disiplin itu kadangkala
terasa ada unsure pemaksaan, pada hal itu hanyalah konsekuensi dan itu
berlaku dalam segala hal.
4. Memberikan Hak Beribadah Kepada Penganut Agama Lain.
Masyarakat yang plural
bukanlah masyarakat yang bingung tanpa keyakinan yang jelas, karena itu
dalam perkara ubudiyah atau peribadatan tidak bias dicampur-campur,
masing-masing penganut agama harus menjalankan peribadatan menurut
keyakinannya masing-masing. Rasulullah saw juga pernah diajak untuk
menjalankan peribadatan bersama dengan orang-orang kafir, namun dengan
tegas diarahkan oleh Allah SWT untuk tidak dipenuhi keinginan atau
ajakan itu sebagaimana firman-Nya: Katakanlah: “Hai orang-orang
kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan
penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah
apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah
Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu, dan untukku lahagamaku” (QS Al Kafirun [109]:1-6).
5. Menekankan Kembali Pada Al-Qur’an dan Sunnah Pada Umat Islam.
Pluralitas pada internal umat
Islam juga terjadi, mulai dari adat istiadat yang melatarbelakanginya
sampai pada perbedaan mazhab dan pemikiran. Selama keragaman itu
didasari oleh dasar hukum dan nilai di dalam ajaran Islam, maka
perbedaan pendapat itu bisa diterima. Oleh karena itu, setiap kali ada
perbedaan pendapat, seharusnya kaum muslimin mau mengembalikan atau
merujuknya kepada Al-Qur’an dan Hadis sambil melepaskan nilai-nilai
traidisi yang selama ini dipegang erat atau pendapat yang tidak benar
namun sudah terlanjur dianut, Allah SWT berfirman : Hai orang-orang
yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul serta ulul amri diantara
kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (QS An Nisa [4]:59).
6. Menegakkan Prinsip Keadilan
Dalam kehidupan sosial
kemasyarakatan, hubungan antarumat beragama dengan sukunya yang beragam
harus berlangsung sebaik mungkin, karena itu amat ditekankan untuk
menegakkan keadilan sehingga para da’i harus menekankan kepada jamaah
agar ketidaksukaan kita kepada penganut agama atau suku lain sampai
membuat kita tidak berlaku adil, Allah SWT berfirman: Hai
orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan
janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu
untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat
kepada taqwa dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS Al Maidah [5]:8).
Dalam suatu kasus, seorang
yang mengaku mukmin pada masa Nabi padahal hakikatnya adalah munafik
bersengketa dengan orang Yahudi. Si mukmin ini mengusulkan agar dicari
penengah dan ketika si munafik itu mengusulkan Rasulullah yang jadi
penengah ia setuju saja. Tapi setelah diputuskan oleh Rasul bahwa ia
yang salah, si munafik itu tidak menerima keputusan, ia pun bersengketa
lagi lalu mengusulkan Umar bin Khattab yang jadi penengah, si Yahudi
menerimanya. Setelah mendengar penjelasan dan mengetahui apa keputusan
Rasul, maka si munafik itu kemudian dibunuh oleh Umar karena ia terbukti
telah mengkhianati Rasul. Di situlah nampak betapa Rasul berlaku adil,
meskipun terhadap orang Yahudi.
Dari pokok-pokok pikiran di
atas, nampak sekali betapa penting peran para da’i atau muballigh dalam
upaya membangun kehidupan yang toleran antar umat yang beragam tanpa
harus mengabaikan identitas keislaman.
Sumber: Lazuardi Birru
Kamis, 26 September 2013
Tak Ada Perbedaan Semua Manusia Bersaudara
Pada hakikatnya kita semua ini bersaudara. Tak ada perbedaan di antara kita. Yang membedakan hanya ras, suku, bangsa, agama dan lain sebagainya. Namun pada hakikatnya kita sama, kita semua membutuhkan satu sama lainnya. Karena tak ada seorang manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Manusia bukan hidup karena penghancuran. Rasa cita diri mendorong untuk mementingkan orang lain. Bangsa-bangsa hidup rukun karena terdapat rasa saling mengindahkan kalangan warga nya. Seluruh umat manusia merupakan kesatuan manunggal, mengingat bahwa kita sama-sama tunduk kepada hukum susila. Setiap manusia adalah sama dalam pandangan Tuhan. Tentu saja terdapat perbedaan suku dan bangsa serta perbedaan derajat dan martabat, namun kian tinggi martabat seseorang, kian bertambah berat pula tanggung jawabnya.
Apakah yang membuat kekacauan di zaman sekarang? Sebabnya tidak lain adalah penindasan, dan saya tidak menyatakan penindasan bangsa yang lemah oleh bangsa yang kuat, melainkan oleh suatu bangsa terhadap yang lain dan kekerabatan saya yang pokok terhadap mesin didasarkan pada kenyataan bahwa alat mein itulah yang memungkinkan bangsa yang satu menindas bangsa yang lain. Kurang nya rasa kesadaran yang di miliki orang-orang sekitar membuat rasa acuh tak acuh menjadi pegangan mereka. Apakah tak ada kesadaran mereka bahwa untuk memajukan bangsa ini dibutuhkan suatu kekompakan untuk menjalin kerukunan antar sesama.
Seperti hal nya dalam buku “Semua Manusia Bersaudara” terdapat kutipan yang berupa, “seorang demokrasi sejati adalah dia yang mempertahankan kemerdekaan dengan menerapkan kemerdekaan bangsa dan akhirnya pula kemerdekaan seluruh umat manusia”. Buku ini menceritakan bagaimana sikap yang harus kita lakukan untuk meraih sebuah kerukunan antar umat bangsa. Buku yang membuat sang pembaca menjadi berfikir untuk merubah rasa egoisme yang ada pada diri masing-masing.
Buku yang jarang kita temui karena rasa kepedulian nya terhadap bangsa yang sangat tinggi. Kita bayangkan saja bagaimana jadi nya jika, semua bangsa saling mementingkan dirinya masing-masing. Buku ini pun memaparkan tentang kehidupan manusia secara menyeluruh. Banyak hal yang di utarakan oleh Mahatma Gandhi antara lain tentang agama dan kebenaran, cara dan tujuan, bagaimana mengendalikan diri, apa itu perdamaian dunia, beda dengan manusia mesin, bahwa kemiskinan ada di tengah-tengah kelimpahan, demokrasi dan rakyat, pendidikan, kaum wanita serta serba-serbi pandangan Mahatma Gandhi lainnya. Semua ini dipaparkan secara lengkap agar sang pembaca memahami arti persaudaraan di antara manusia.
Sumber: Lazuardi Birru
Rabu, 25 September 2013
Maulid dan Risalah Kenabian Muhammad SAW
Seiring berakhirnya bulan Safar, kaum Muslimin sudah bersiap menyambut bulan Rabiul Awal atau lebih dikenal dengan bulan Maulud yang merupakan bulan kelahiran baginda Nabi Muhammad SAW. Para sejarawan dan ulama sepakat bahwa Muhammad putra dari pasangan Abdullah bin Abdul Muthallib dan Siti Aminah lahir pada hari Senin tanggal 12 Rabi’ul Awwal pada tahun Gajah (570 M) atau bertepatan dengan 20 April 570. Penyebutan tahun Gajah yang menjadi tanda kelahiran Muhammad berkaitan dengan peristiwa besar waktu itu di mana kota Mekah diserang Abrahah beserta tentaranya yang berpusat di Yaman untuk menghancur-leburkan Ka’bah beserta peradaban kota Mekah. Tujuannya untuk mengalihkan pemusatan ibadah dan perziarahan bangsa Arab di Mekah, dengan menggantinya di Yaman. Namun, Allah punya kehendak lain. Bala tentara Abrahah yang gagah perkasa mengendarai gajah-gajah dibuat kocar-kacir oleh burung Ababil dengan lontaran batu-batu kecil yang panas.
Sebelum Muhammad lahir, ayahnya, Abdullah telah wafat, sehingga beliau diasuh oleh kakeknya, Abdul Muthalib. Sedangkan yang menyusui beliau ialah seorang perempuan bernama Halimatus Sa’diyah. Sepeninggal kakeknya, pengasuhan atas Muhamad beralih ke tangan pamannya, Abu Thalib.
Kelahiran sosok Muhammad sangat kuat diidentikkan dengan kebangkitan agama Ibrahimi atau samawi, atau lebih tepatnya sebagai detik kebangkitan ajaran keselamatan untuk seluruh umat manusia. Tidak berlebihan jika umat Muslim sangat mengagungkan sosok Nabi Muhammad yang telah diamanatkan untuk menjadi seorang pembawa risalah langit. Allah sendiri mengabadikan kehadiran beliau sebagai rahmat dan berkah, sehingga memerintahkan para malaikat-Nya memberikan shalawat kepada beliau. Hal tersebut sebagaimana tertuang dalam Alquran, “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya berselawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, berselawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya” (QS. Al-Ahzab: 56).
Oleh karenanya, umat Muslim sering memeringati tanggal kelahiran Nabi tersebut dengan memperbanyak shalawat sembari mengharap syafa’at-nya kelak di hari akhir. Tidak berhenti pada itu saja, umat Muslim memeringati kelahiran Nabi juga untuk mengambil hikmah atau pelajaran baik atas kehadiran Nabi sebagai manusia ataupun sebagai rasul untuk diteladani amal baiknya serta ditaati segala risalah kenabian yang dibawanya.
Risalah Kenabian Muhammad
Sebelum kenabian Muhammad, negeri Arab bukanlah sebuah wilayah dengan peradaban tinggi sebagaimana negeri lain seperti Romawi, Mesir, Persia, Yunani, China atau India. Tetapi, mengapa risalah kenabian terakhir tidak diturunkan di negeri-negeri yang berperadaban agung tersebut. Allah memilih jazirah Arab sebagai tempat risalah terakhir kenabian tentunya bukan tanpa alasan. Jazirah Arab merupakan negeri yang tandus dengan hamparan gurun pasir panas yang sulit ditaklukkan oleh imperium-imperium besar di sekitarnya, seperti Imperium Romawi yang beragama Kristen dan juga Imperium Persia yang beragama Majusi. Alasan kedua, masyarakat Arab secara sosial merupakan masyarakat kesukuan yang gemar berperang untuk memperebutkan kekuasaan wilayah. Ketiga, masyarakat Arab menganut beragam agama nenek moyang. Di antara mereka ada yang menyembah berhala, ada juga kelompok yang menyembah bintang, atau benda langit lainnya. Sebagian lagi memilih agama Abrahamic seperti Yahudi dan Kristen karena mempunyai anggapan bahwa agama nenek moyang mereka sesat.
Kenabian Muhammad, sebagaimana para nabi atau rasul sebelumnya, adalah sebagai penyempurna terhadap risalah kenabian sebelumnya. Namun, yang sangat spesial, kenabian Muhammad selain menjadi penyempurna juga sebagai penutup risalah kenabian. Disebutkan sebagai penyempurna risalah kenabian karena nabi-nabi terdahulu sejak Adam AS, sama-sama membawa risalah tauhid, yaitu ajaran mengesakan Allah SWT. Para nabi dan rasul diutus untuk umat tertentu dengan membenarkan risalah kenabian sebelumnya serta memberikan kabar akan kehadiran nabi sesudahnya. Hal tersebut berlangsung dari masa ke masa, hingga sampilah pada risalah terakhir, risalah paling sempurna yang diemban oleh Rasulullah Muhammad SAW. Hal tersebut ditegaskan Allah dalam firmannya dalam Alquran, “Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang diwasiatkan-Nya kepada Nuh, dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu tegakkan agama, dan janganlah kamu berpecah-belah tentangnya” (QS. Al-Syura: 13).
Di antara prinsip-prinsip utama dalam risalah yang dibawa Nabi Muhammad adalah ajaran persamaan manusia di hadapan Allah. Hal ini sebagaimana yang tertuang dalam QS. Al-Hujurat: 13, bahwa manusia diciptakan dengan segala macam perbedaan. Meskipun berbeda dalam jenis kelamin, suku, bangsa dan segala macam perbedaan, manusia berposisi sama di hadapan Sang Khaliq. Satu-satunya hal yang membedakan manusia di hadapan Allah adalah tingkat ketakwaannya. Ajaran persamaan derajat manusia juga diperkuat dengan hadis Rasulullah yang berbunyi, “Sesungguhnya Tuhan kalian adalah satu dan bapak kalian juga satu. Tidak ada kelebihan orang Arab atas orang non-Arab, tidak juga orang non-Arab atas orang Arab, tidak juga orang berkulit merah atas orang berkulit hitam, tidak juga orang berkulit hitam atas orang berkulit merah, kecuali dengan ketakwaan” (HR. Ahmad). Risalah equality ini mendobrak tatanan masyarakat Arab yang saat itu memlihara sistem perbudakan. Dalam perjalanan dan perkembangannya, Islam sangat menentang sistem perbudakaan dan mempromosikan sikap memerdekakan budak.
Seruan Nabi Muhammad untuk memerdekakan budak sebagai bentuk penegakan nilai persamaan dan kebebasan manusia dilandaskan atas perintah Allah dalam Alquran, “Maka hendaklah kalian mengadakan mukâtabah (seorang hamba yang meminta dimerdekakan oleh tuannya dengan cara menebus dirinya) dengan mereka jika engkau mengetahui bahwa di sana ada kebaikan..” (QS. An-Nur: 33).
Risalah yang tidak kalah pentingnya dengan persamaan manusia dalam Islam adalah ajaran keadilan. Al-‘adalah merupakan salah satu risalah penting untuk perbaikan tatanan masyarakat Arab. Begitu pentingnya nilai keadilan ini sehingga tidak hanya berlaku bagi masyarakat Muslim saja namun juga seluruh umat manusia. Risalah ini termaktub dalam Alquran, yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Al-Maidah: 8).
Risalah keadilan pulalah yang mengantarkan Nabi Muhammad sukses membangun masyarakat Madinah yang plural hidup dalam kedamaian dan kesejahteraan. Sebagaimana diketahui saat Nabi hijrah ke Madinah tidaklah mudah membangun peradaban di sana. Madinah adalah wilayah yang penduduknya sangat plural baik dari segi suku maupun agama. Risalah keadilan dalam Islam yang diamanatkan kepada Nabi termanifestasikan dalam sebuah dokumen kesepakatan warga, Piagam Madinah. Pihak-pihak yang menyepakati tidak lain adalah penduduk Madinah yang plural itu. Mereka menyatu sebagai ummah wahidah, umat yang menyatu, yang terdiri atas muhajirun, penduduk Madinah yang sudah masuk Islam, dan suku-suku Arab yang mengikuti mereka, bergabung dengan mereka dan berjuang bersama mereka. Selain pengikut Muhammad dan Yahudi, suku-suku Arab yang politeis juga bergabung menyetujui Piagam Madinah. Konsekuensinya, semua yang bernaung dalam konvensi ini mendapatkan keadilan yang sama, hak-hak sosial ekonomi budayanya juga dijamin secara konstitusi. Tidak ada penomorsatuan dan kelompok yang termarginalkan. Hal itu menunjukkan betapa kuatnya prinsip keadilan yang dikandung Islam dalam membangun tatanan masyarakat sipil yang berkeadilan.
Sebagai pengemban risalah kenabian dan kerasulan, pribadi Nabi Muhammad memiliki berbagai dimensi yang merupakan perpaduan antara sisi kemanusiaan dan sisi ketuhanan. Nabi Muhammad ialah manusia biasa yang dalam kapasitasnya sebagai makhluk Allah terikat dengan hukum alamiahnya sebagai manusia, yaitu lahir, berkembang dan meninggal dunia. Namun, dalam kapasitasnya sebagai utusan Allah, beliau merupakan pembawa risalah langit, ajaran ilahiyah, yang diberikan kelebihan dibandingkan dengan manusia lainnya.
Tidak hanya dari segi ucapan yang halus dan santun, budi pekerti beliau juga mencerminkan kepribadian yang berakhlak mulia sehingga sangat pantas dijadikan teladan. Beliau dikenal memiliki empat sifat yang menjadikannya manusia sempurna di mata Allah. Sifat pertama adalah sidiq, yaitu jujur, benar. Sifat yang kedua adalah terpercaya atau amanah. Dari sifatnya ini, beliau diberi gelar al-amin, yaitu orang yang terpercaya atau yang mampu mengemban amanat. Beliau dipercaya menjadi pemimpin umat. Sifat ketiga yang melekat dalam diri Nabi adalah tabligh, yang berarti menyampaikan. Yang disampaikan tentu saja risalah Islam. Sifat keempatnya adalah fatonah atau cerdas. Nabi terekam dalam sejarah memiliki kecerdasan dalam berbagai hal baik dalam berdagang, berdiplomasi maupun berperang.
Oleh karena itu, sebagai umatnya kita harus bisa melihat dengan jernih kapan beliau berkapasitas sebagai Nabi dan kapan bersikap seperti manusia pada umumnya. Itu semuanya tidak lain dalam rangka mengambil suri tauladan untuk peningkatan kualitas keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah SWT.
Sumber: Lazuardi Birru
Jumat, 20 September 2013
SEJARAH NABI MEMBANGUN PEMERINTAHAN ADIL DI MADINAH
Di antara kebanggaan yang dimiliki umat
Muslim adalah kemuliaan dua kota penting dalam sejarah Islam di Jazirah
Arab, Makkah Al-Mukarramah dan Madinah Al-Munawwarah. Dua kota tersebut
adalah tujuan ziarah dalam beberapa rangkaian ibadah haji dan umrah
seluruh umat Muslim dari segala penjuru dunia. Kemuliaan terpancar dari
kedua kota tersebut mengingat Allah SWT secara khusus melipat gandakan
pahala ibadah salat di dua masjid yang ada di kedua kota tersebut, yaitu
Masjid Al-Haram di Makkah dan Masjid Al-Nabawy di Madinah.
Rasulullah SAW lahir dan tumbuh dewasa
di kota Makkah namun perjalanan dakwah dan perjuangannya membangun
peradaban masyarakat sipil berkeadilan berawal dari Madinah. Secara
eksklusif, dalam tulisan ini akan dibahas kemuliaan kota Madinah dari
sisi sistem pemerintahannya.
Di Madinah, Rasulullah SAW memulai
dakwahnya setelah sebelumnya beliau terusir dari tanah kelahirannya,
Makkah. Kepindahan atau hijrah Nabi SAW itu disebabkan oleh karena
kebencian, embargo dan perlakuan jahat Suku Quraisy, kelompok yang
paling berpengaruh di Makkah saat itu, terhadap kaum Muslim atau para
pengikut dakwah Nabi semakin lama semakin kejam dan biadab. Strategi
hijrah tersebut membuahkan hasil, atas izin Allah. Di negeri Madinah,
Rasulullah SAW memimpin masyarakat yang plural menuju peradaban yang
maju dan berkeadilan. Persaudaraan terjadi di antara kaum Muslim yang
berasal dari Makkah ataupun dari Madinah. Konsolidasi dan persatuan
terbangun di antara warga Madinah, baik yang beragama Islam maupun
non-Islam. Pembangunan dan penyebaran ilmu pengetahuan secara merata
terjadi di sana. Semua itu berkat kepemimpinan dan pemerintahan adil
Rasulullah SAW.
Kisah keadilan kepemimpinan Nabi
Muhammad SAW terlihat dari perjuangan dakwah Islamnya. Dalam berdakwah,
Rasulullah mengedepankan unsur kebijakan, kebijaksanaan, toleransi,
kebaikan dan perbaikan masyarakat, serta kejujuran atas ajaran Islam
yang diamanatkan oleh Allah SWT. Dalam Alquran disebutkan:
“Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu
dengan hikmah [perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan
antara yang haq dan yang batil] dan pelajaran yang baik! Dan bantahlah
mereka dengan cara yang baik! Sesungguhnya Tuhanmu lebih mengetahui
siapa yang sesat dari jalan-Nya, dan Ia lebih mengetahui siapa yang
mendapatkan petunjuk” (QS. Al-Nahl: 125).
Di samping itu, dakwah Rasulullah SAW juga terinspirasi oleh ayat Alquran lainnya:
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam).
Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.
Karena itu, barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada
Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat
kuat yang tidak akan terputus. Dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui” (QS. Al-Baqarah: 256).
Ayat tersebut mencerminkan metode dakwah
Nabi yang pada perkembangannya dari model dakwah yang elegan tersebut,
kemajuan peradaban kehidupan sosial masyarakat Madinah terwujud.
Masyarakat Madinah yang sebelumnya hidup
dalam kecamuk konflik yang berkepanjangan, tumbuh menjadi masyarakat
berperadaban maju dan terhindar dari ancaman buta hukum dan pengetahuan.
Layaknya konflik masyarakat modern, konflik yang menggelayuti warga
Madinah sebelum kehadiran Rasulullah SAW sebagai pemimpin resmi juga
terjadi secara politis, meskipun sumber-sumber pemicunya bermacam-macam.
Warga Madinah yang majemuk secara suku dan budaya sangat rapuh untuk
terjadinya konflik komunal. Kondisi tersebut menempatkan penduduk
Madinah pada posisi terlemah dalam radar intaian dan serangan pihak
luar. Lemahnya keamanan wilayah Madinah menggiring warganya untuk
menemukan sosok pemimpin adil yang mampu mengentaskan Madinah dari
ancaman ledakan konflik komunal serta ancaman serangan dari luar. Dalam
situasi mencekam itulah Rasulullah SAW hadir di hati rakyat Madinah dan
beliau berhasil menerapkan sistem pemerintahan yang adil bagi seluruh
warga.
Profil Rasulullah SAW sebagai pemimpin
Madinah yang adil telah dilacak sejak lama oleh warga Madinah. Sejak
beliau masih berjuang mengentaskan masyarakat Makkah dari jurang
kebodohan dan kesesatan sosial serta spiritual, beberapa orang sebagai
representatif warga Madinah telah menemui beliau guna menilai kecakapan
Rasulullah dalam memimpin umat menuju kemajuan. Beberapa tahun sebelum
Rasulullah hijrah, representatif resmi dari penduduk Madinah mengajukan
proposal kepada Rasulullah agar beliau bersedia membimbing warga Madinah
sekaligus berjalan bersama dengan mereka menciptakan keamanan dan
keadilan di Madinah.
Tawaran warga Madinah ini selain
bernilai strategis juga merupakan langkah penting untuk menguatkan
pondasi dakwah Islam, mengingat jalan dakwah di Makkah semakin hari
terasa semakin sulit. Dari pertemuan wakil penduduk Madinah dan
Rasulullah SAW di kota Aqabah tersebut terjalin kesepakatan positif
antara kedua belah pihak. Penduduk Madinah menjanjikan akan beriman
kepada Allah SWT, tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun, tidak
membunuh anak perempuan mereka, tidak berzina, tidak mencuri dan tidak
melakukan tindak kejahatan sosial lainnya. Sementara itu, Rasulullah
juga bersedia membantu mereka untuk mengajarkan norma-norma kemanusiaan
yang harus ditegakkan sebagai syarat mencapai kemakmuran sosial.
Beberapa bulan berikutnya di kota yang
sama, Aqabah, lebih banyak lagi penduduk Madinah yang menyatakan
kesediaan untuk berjuang bersama-sama dengan Rasulullah SAW membangun
peradaban sipil di Madinah. Lebih dari itu, dalam pertemuan kedua di
Aqabah itu penduduk Madinah menyatakan pengangkatan Rasulullah SAW
sebagai pemimpin. Pernyataan tersebut berimplikasi besar bagi perjalanan
dakwah Islam serta pembangunan peradaban sipil masyarakat Madinah.
Berdasar pada keseriusan warga Madinah
itu, beberapa waktu kemudian Rasulullah SAW beserta para sahabat
berhijrah ke Madinah. Di sana, sebagai pemimpin beliau mengambil
kebijakan taktis untuk menerapkan sistem kehidupan sosial bagi seluruh
penduduk Madinah yang sangat multikultur, berdasarkan aturan hukum dan
bimbingan Allah SWT.
Pada tahun kedua Hijrah, Rasulullah SAW
menerbitkan peraturan tentang hubungan antarkomunitas di Madinah.
Peraturan ini dikenal dengan Piagam Madinah. Dokumen yang disepakati
oleh seluruh warga Madinah tersebut merupakan undang-undang untuk
pengaturan sistem politik dan sosial masyarakat Madinah yang plural.
Dokumen ini dinilai sebagai konstitusi negara tertulis pertama di dunia.
Dari Piagam Madinah, Rasulullah SAW menegakkan keadilan, menghadirkan
ketenteraman dan membangun peradaban maju di Madinah.
Demikianlah bentuk kepemimpinan adil
yang ditampilkan Rasulullah SAW dalam panggung politik pada masanya.
Tugas kita sebagai umat Muslim masa kini adalah meneruskan perjuangan
menegakkan keadilan di mana pun tempat. Madinah adalah wujud setting
masa lalu di mana Rasulullah SAW menegakkan pemerintahan yang adil. Pada
masa kini, tempat kita masing-masing, rumah kita, masyarakat kita, kota
kita, negara kita adalah medan perjuangan kita untuk menegakkan
keadilan.
Sumber: Lazuardi Birru
Rabu, 18 September 2013
Menelisik Relasi Jawa dan Terorisme
Belakangan persepsi masyarakat terhadap orang Jawa mulai berubah. Karaktek orang Jawa seperti ramah, santun, religius, dan suka mengalah mulai redup lantaran aksi-aksi horor terorisme yang notabene adalah orang Jawa. Apakah simbol-simbol pewayangan yang ada dalam tokoh Pandawa Lima sudah terkubur dalam budaya Jawa? Pandawa Lima yang terdiri Puntodewo, Werkudoro, Arjuna, Nakula, dan Sadewo terkenal dengan tokoh yang berkarakter mulia, berani, pantang menyerah dan tidak ketinggalan lemah-lembut dan selalu mengalah. Belum lagi jika menilik sejarah peradaban Islam yang disebarkan Walisongo, tentu rasanya fenomena terorisme kontradiktif dengan kultur Jawa. Apa gerangan yang sedang terjadi di masyarakat Jawa dan apakah benar ada suatu relasi antara Jawa dan terorisme.
Pertanyaan-pertanyaan seperti yang terlontar di atas coba dipecahkan Bambang Pranowo dalam karyanya ini. Isu teroris di dunia mencuat pasca tragedi 11/9 di Amerika. Ideologi radikal ini kemudian menjamur di mana-mana, tak terkecuali di Indonesia. Mereka yang mengusung paham semacam ini membopong panji-panji Jihad untuk memerangi kaum kafir seperti orang Amerika, Eropa dan negara-negara non Muslim lainnya yang ada di manapun berada. Indonesia, khusunya Jawa adalah salah satu tempat dakwah ideologi radikal. Banyak generasi muda orang Jawa di ajak untuk berjihad. Dengan dalih, Jihad suci sesuai perintah Agama dan di jamin akan masuk surga. Akhirnya, banyak orang-orang muda jawa terperangkap yang kemudian menjadi teroris akibat di cekoki ideologi radikal. Seperti, Amrozi, Imam Samudera, Abu Dujana, dan Abu Bakar Baasyir dll.
Upaya negara bahkan dengan bekerjasama dengan pihak internasional memang bisa dikatakan cukup berhasil dalam memerangi terorisme. Namun tetap saja terorisme bisa saja sekoyong-koyong hadir seketika menebarkan kekhawatiran dan ketakutan. Di Jawa sendiri bisa dikatakan kaum yang berpaham radikal bisa dikatakan cukup mengkhawatirkan kuantitasnya. Bahkan bisa dikatakan Jawa adalah pusat untuk mengendalikan aksi-aksi terorisme di seluruh wilayah kepulauan Indonesia. Sekalipun, para gembong teroris tersebut kini sudah banyak yang sudah tertembak mati dan tertangkap hidup-hidup namun, masih saja bermunculan wajah-wajah baru pelaku teroris. Ibarat mati satu tumbuh seribu.
Bambang Pranowo berusaha mendedahkan mengapa banyak orang Jawa terjerembab dalam dunia terorisme. Padahal, orang Jawa sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi toleransi, dan religius tidak mudah di pengaruhi oleh paham-paham lain yang bertentangan. Sebagaimana, Islam dapat masuk ke Jawa melalui akulturasi budaya. Berbeda dengan gerakan Islam radikal yang ada di Jawa mereka berdakwah dengan cara-cara picik dan licik. Sebagaimana diketahui bahwa “Abu Dujana, Abu Irsyad, Amrozi dll di gembleng secara fisik, psikologis, dan ideologis untuk melakukan perang dengan orang kafir yang harus di perangi”.
Daya pikat gerakan teroris semakin menggoda tatkala kondisi negara tidak stabil dalam berbagai bidang, terutama ekonomi dan politik. Kemiskinan yang merajalela, ketidakadilan yang dibiarkan berkuasa menjadi faktor utama yang mendorong banyak kalangan tergiur dengan aksi radikal.
Pertimbangan inilah yang membuat buku ini layak untuk dibaca. Ada sedikit kekurangan dari yang tentu saja tidak mengurangi positivitas buku ini, terutama pada format penulisan yang tidak utuh. Artinya buku ini meruopakan bunga rampai dari sekumpulan artikel yang tercecer di mana-mana. Sehingga sulit untuk menemukan benang merah yang menyatukan berbagai macam tulisan-tulisan yang tersaji. Namu bagi kalangan yang berkutat di persoalan terorisme, baik secara aktif maupun pasif, karya ini layak dibaca.
Sumber: Lazuardi Birru
Senin, 16 September 2013
Meneropong Tradisi Keilmuan Islam
Kemajuan suatu bangsa dan masyarakat
tidak bisa dilepaskan dari kemajuan dalam ilmu pengetahuan yang ada di
masyarakatnya. Ibarat antara isi dan wadah, ilmu pengetahuan merupakan
isi dari kemajuan, sementara bangsa dan masyarakat merupakan wadah
tempat bernaung ilmu tersebut. Sebagaimana kita tahu, Barat maju dalam
ilmu dan memberi banyak sumbangan kepada peradaban dunia karena ia
memiliki tradisi keilmuan yang agung. Demikian juga para ilmuwan Muslim
pada masa lalu telah terbukti secara historis meraih prestasi ilmiah
yang sangat gemilang dan memberikan sumbangan yang sangat signifikan
kepada peradaban dunia, karena mereka memiliki sebuah tradisi keilmuan
yang mapan. Pada akhirnya, bisa dikatakan bahwa tanpa dimilikinya sebuah
tradisi keilmuan, suatu bangsa tidak akan mencapai prestasi yang
gemilang dalam hal kemajuan.
Islam sendiri sejak awal sangat
mendorong kemajuan ilmu ini. Beberapa wahyu seperti Q.S. al-‘Alaq: 1-5
sangat penting perananya dalam mendorong keilmuan Islam. Karena itu,
tidak mengherankan jika tradisi keilmuan dalam Islam lantas begitu subur
dan semarak pada masa-masa berikutnya. Fondasi keilmuan Islam klasik
sebenarnya tidak terlepas dari upaya para intelektual Islam dalam
merespon persoalan-persoalan yang muncul dalam masyarakat atas dasar
pemahaman mereka terhadap al-Qur’an dan Sunnah. Pada perkembangan
berikutnya, jawaban dan respon ulama ini kemudian disusun dan
diklasifikasikan sesuai dengan bidang dan wilayah kajian dan objek
permasalahan yang dihadapi sehingga melahirkan klasifikasi ilmu-ilmu
keislaman.
Tidak dapat dipungkiri bahwa keilmuan
Islam pernah memimpin dunia. Ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh
dunia Islam tidak hanya berkisar pada ranah kedokteran, tetapi juga
termasuk matematika, astronomi dan ilmu bumi sebagaimana terbukti dari
banyaknya istilah-istilah modern (Barat) di bidang-bidang itu yang
berasal dari para ilmuan Muslim. Ini artinya bahwa prestasi yang pernah
diraih oleh dunia Muslim jauh lebih lama dari apa yang sudah diraih oleh
dunia Barat modern sekarang ini . Namun seiring rotasi sejarah,
perkembangan keilmuan ini beralih ke Barat. Menurut Muhammad Iqbal,
kemandekan yang terjadi di dunia Muslim tidak bisa dilepaskan dari sikap
memusuhi sains dan cara berpikir rasional dari umat Islam sendiri.
Secara epistemologis, wacana epistemologi keilmuan Islam klasik yang
bercorak tekstual-normatif belakangan lebih dominan daripada
epistemologi yang berusaha memaksimalkan akal dan menempatkannya sejajar
dengan teks suci dalam mendapatkan ilmu pengetahuan.
Nalar Pemikiran Islam
Menurut Abed al Jabiri dalam bukunya Arab-Islamic Philosopy: a Contemporary Critique,
untuk bisa memahami tradisi keilmuan Islam secara kritis, setidaknya
harus didasarkan pada dua persoalan utama. Persoalan pertama terkait
dengan pemahaman akan sistem pemikiran Islam secara utuh. Sementara
persoalan kedua terkait dengan keterkaitan antara ”kuasa” dan
“pengetahuan.” Maksudnya, tradisi keilmuan tidak muncul dengan
sendirinya, tapi selalu terkait dengan latar belakang sosial, politik
dan budaya suatu masyarakat. Dari situ diketahui bahwa pada dasarnya
aktifitas pemikir muslim dalam berbagai variasinya tetap berkutat pada
satu problematika umum yang sama, yaitu suatu usaha ”rekonsiliasi antara
nalar dan wahyu”. Sementara terkait dengan latar belakang
munculnya tradisi keilmuan bisa diketahui bahwa capaian dari pemikiran
filsafat Islam dalam memecahkan problematika antar wahyu dan nalar
tersebut sebenarnya memiliki keterkaitaan erat fungsi dan peranya
sebagai ideologi. Demikinlah, perkembangan kelimuan Islam terutama
filsafat tidak bisa dilepaskan peranya sebagai alat ideologis oleh
penguasa dan dijadikan sarana intelektual oleh para ulama untuk
menyerang musuh-musuh mereka.
Sebagaimana kita ketahui, keutuhan
negara dan solidaritas masyarakat yang sudah terwujud pada masa Nabi
Muhammad dan Khulafaurrasyidin mendapatkan masalah pada masa Dinasti
Umayyah. Untuk menghadapi lemahnya solidaritas dan kekuatan masyarakat
Islam itu, pemerintahan Umayyah lebih terfokus pada upaya
mempertahankan kelangsungan hidup dan berupaya membangun kemampuan untuk
menekan masyarakat, salah satunya dengan menggunakan ilmu.
Kecenderungan ini semakin jelas pada masa dinasti Abbasiyah yang menjadi
penerusnya. Untuk menghadapi berbagai kekuatan musuhnya yang datang
dari kelompok ahlu al-Bait (keluarga Nabi) yang menggunakan ideologi gnostisisme,
yakni keyakinan akan keberadaan sumber pengetahuan di luar akal dan
illuminasi, Dinasti Abbasiyah lebih menekankan al-Quran dan Hadits yang
dipadu dengan rasio.
Konflik antara dua tradisi yang mengambil bentuk antara pemikiran tektualis berhadapan dengan kaum ahli ma’rifat-mistis ini
bermula pada periode awal pemerintahan Abbasiyah dalam mencari
legitimasi politiknya dari khazanah Islam dengan pendekatan filsafat
Yunani melawan kebudayaan Persia yang dibawa para aristokrat yang gagal
melakukan perlawanan melalui medan real sosial-politik. Menyadari
kekuatan lawan yang menggunakan khazanah keilmuan Salaf dipadu dengan
logika Aristoteles sebagai kerangka pikirnya, maka kaum gnostik
dengan berpegang pada logika dan semangat tradisi Persia kuno
memperisai diri di balik pemikiran Syi`ah dengan inspirasinya pada
tradisi Islam sendiri. Karena itu tidak aneh jika pada masa berikutnya,
pola pemikiran Islam yang berkembang di Timur lebih banyak diwarnai
pertentangan antara epistemologi bayani (tektualis) yang lekat dengan Teologi Sunni dengan irfani yang
bersandar pada teologi Syi`ah (Tradisi iluminasi dan Gnostik) ini.
Konflik kognitif ini sebenarnya juga memiliki akarnya pada pertentangan
antara kekuasaan Abbasiyah yang berpusat di Baghdad yang menjadikan
Mu’tazilah sebagai doktrin utama dengan Dinasti Fatimiyyah di Mesir yang
beraliran Syi`ah. Jika nalar bayani ini lebih terpaku pada teks atau
pada dasar-dasar (dikenal dengan sebutan al-ushul al-arba’ah: Al-Qur’an,
sunnah, ijma’ dan qiyas) yang dipatok sebagai sesuatu yang baku dan
tidak berubah, maka nalar irfani (spiritual-intuitif) secara
epistemologis cenderung tidak rasional.
Dinamika pemikiran yang berkembang
di Islam Andalusia dan Maghribi dibawah kekuasaan dinasti Umayyah II
memiliki nuansa yang berbeda dengan Islam bagian Arab-Timur yang masih
dipegang oleh Dinasti Abbasiyah. Iklim keagamaan yang berkembang di
Maghribi adalah Islam yang masih murni, dengan model pemahaman kaum
Salafi dengan model fiqih hadits dan fatwa-fatwa sahabat dan paham Ahl
Sunnah. Perkembangan ini kemudian mendapat sokongan dari Mazhab Maliki
yang berwatak tektualis sebagai mazhab resmi negara menggantikan Mazhab
Awza’i sebagai tandingan dari Mazhab Hanafi sebagai mazhab resmi
Abbasiyah. Watak ortodoksi kalangan ulama Maliki yang melarang filsafat
ke-Tuhanan dan metafisika Aristoteles, Menurut Al Jabiri jutru malah
membawa perkembangan lingkungan ilmiah dan rasional di Andalusia atau
yang kemudian dalam ranah pemikiran Islam disebut dengan epistemologi
burhani. Dalam epistemologi burhani ini, penggunaan
rasionalitas tidak terhenti hanya sebatas rasio belaka, tetapi
melibatkan pendekatan empiris sebagai kunci utama untuk mendapatkan ilmu
pengetahuan, sebagaimana banyak dipraktekkan oleh para ilmuan Barat.
Apa yang berlaku dalam pemikiran orang-orang Andalusia ini bukan lagi
metode qiyas yang menjadikan teks dan masa lalu (salaf) sebagai otoritas
sebagaimana logika Bayani, tapi menggunakan logika Aristoteles dengan
metode deduksi (istintaj, qiyas jami’), induksi (istiqra’), konsep universalisme (al-kulli), universalitas-universalitas induktif, prinsip kausalitas dan historisitas, dan juga al-maqashid (tujuan syariah).
Meski demikian, corak dominan yang berkembang dalam kelimuan Islam adalah epistemologi Bayani sebagaimana diwakili oleh sosok Imam Al-Ghazali bukan epistemologi Burhani yang muncul belakangan. Sementara itu, pandangan Burhani yang
diwakili pemikiran Ibn Rusyd malah berkembang di Barat. Padahal
menurut, Al-Jabiri, model pemikiran yang bercorak bayani dan irfani
sangat sulit untuk dijadikan landasan pengembangan sains. Pasalnya,
padangan bayani lebih bercorak teologis, bukan antropologis maupun
kosmologis. Akibat dari pandangan ini menyebabkan pandangan dunia umat
menjadi lebih pasif bila dibenturkan dengan wacana pengembangan sains
yang lebih antroposentrik-kosmologik. Pandangan epistemologi keilmuan Bayani
ini cenderung menjadikan fenomena alam, moral dan sosial semuanya
“terserah” pada Tuhan Pandangan ini menjadi sangat teologik-normatif
bahkan cenderung mengarah pada mistisme, yang sudah barang tentu
bertolak belakang dengan prinsip social sciences maupun natural sciences.
Pada akhirnya bisa dikatakan fenomena
kemandekan epistemologi keilmuan Muslim ini sebenarnya bukan orisinal
ajaran Islam, tetapi hanya soal interpretasi pemahaman dari ajaran Islam
itu sendiri. Karena secara esensial dan substansial, potensi ajaran
Islam sangatlah mendorong adanya inovasi keilmuan. Karena itu, Agar
Islam dapat kembali pengembangan fenomena epistemologi keilmuan di dunia
Muslim, maka sebuah keniscayaan bagi ilmuan Muslim untuk melakukan shifting paradigm di bidang epistemologi keilmuan Islam yakni dari epistemologi keislaman normatif-tekstual-bayani
yang berakibat pada sulitnya mengadopsi dan mengelaborasi wawasan dan
temuan baru di bidang sains; ke epistemologi keilmuan Islam kontemporer
yang bercorak empiris-historis-burhani (secara epistemologis),
sehingga berdampak pada adanya temuan baru di bidang sains. Paling
tidak melalui beberapa tawaran diatas itulah peradaban sains dalam dunia
Islam kembali mengemuka.
Sumber: Lazuardi Birru
Jumat, 13 September 2013
MAKNA MEMBERI SALAM DAN BERSALAMAN
Islam sebagai agama rahmatan lil’alamin,
jelas memiliki cakupan di segala bidang dan aspek kehidupan. Dalam
bermasyarakat saja contohnya, bukti bahwa Islam menebarkan kasih sayang
(rahmat) kepada sesama kita adalah dengan dianjurkannya mengucapkan
salam. Bahkan, lebih jauh lagi salam dalam Islam memiliki kaidah-kaidah
tersendiri dan tentunya semua itu jika diamalkan dengan baik dan benar
akan menjadi nilai ibadah. Salam itu sendiri sangat banyak bentuk dan
cara penyampaiannya. Seperti “selamat pagi”, “selamat bertemu kembali”,
“selamat makan”, “good night”, dan lain-lain. Semua jenis salam
ada di setiap budaya dalam masyarakat. Namun, Islam justru mengajarkan
salam tersendiri dengan segala hikmah yang terkandung di dalamnya, jika
kita mau menggunakan sunnah ini. Adapun salam yang diajarkan oleh Islam
adalah dengan mengucapkan “assalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh”, atau kadang-kadang boleh disingkat menjadi “assalamu’alaikum wa rahmatullah” atau ”assalamu ‘alaikum”
saja. Dari maknanya saja, salam dalam Islam merupakan doa yang
ditujukan oleh si pemberi salam kepada orang lain. Kita dapat
menerjemahkannya dengan “semoga keselamatan, rahmat, dan keberkahan dari
Allah menyertaimu”. Dan yang memberikan salam tentunya mendapat doa
juga karena jawaban salam “wa’alaiakumussalam”. Coba saja kita bandingkan antara mengucapkan “selamat pagi” dengan “assalamu’alaikum” . Betapa indahnya Islam untuk umatnya.
Selain dari segi makna positif yang
terkandung dalam penyampaiannya, salam dalam Islam juga memiliki
kaidah-kaidahnya, sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh baginda
Rasulullah Saw. Ada pun adab-adab yang seharusnya kita jalani apabila
ingin mengucapkan salam, di antaranya adalah: 1) orang yang berkendara
hendaknya mengucapkan salam kepada orang yang sedang berjalan kaki; 2)
sedangkan orang yang sedang berjalan kaki hendaknya memberi salam kepada
orang yang sedang duduk; 3) lebih baik memulai dulu memberi salam; 4)
mengucapkan salam dengan benar dan fasih; 5) mengucapkan salam kepada
sesama muslim baik yang dikenal maupun tidak; 6) disertai dengan
berjabat tangan (bersalaman) jika orang tersebut berjenis kelamin sama
atau lawan jenis yang mahram; 7) dan berusaha untuk menjawab salam
dengan yang semisal atau lebih baik.
Terkait dengan berjabat tangan
(bersalaman), Islam menganjurkan kita untuk melakukannya apabila lawan
bicara kita tersebut berjenis kelamin sama atau lawan jenis yang mahram,
dan hukumnya sunnah. Malah, lebih baik lagi apabila kita menciumi
tangan orang tersebut jika mereka adalah orang tua kita, guru, atau
seorang pemimpin yang adil. Hal ini jelas membuat tali persaudaraan dan
emosional kita semakin erat karena tidak hanya salam dengan ucapan, tapi
juga ada kontak anggota tubuh, tidak hanya verbal dan visual, tetapi
juga kinestetik.
Adapun bersalaman dengan lawan jenis yang bukan mahram,
adalah haram hukumnya. Sedangkan pada poin terakhir di atas, maksudnya
adalah apabila seseorang mengucapkan salam kepada kita dengan ucapan “assalamu ‘alaikum”, maka hendaklah kita menjawabnya dengan ucapan yang semisal yaitu ”wa’alaikumussalam” atau dengan ucapan yang lebih baik, yaitu ”wa alaikumussalam wa rahmatullah”. Hal ini dijelaskan di dalam Al-Quran Surat An-Nisa ayat 86.“Dan
apabila kamu diberi penghormatan (salam) dengan sesuatu penghormatan,
Maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau
balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah
memperhitungankan segala sesuatu.”(Q.S.An-Nisa: 86)
Adapun berkaitan dengan hukum salam,
sudah sangat awam diketahui bahwa memberi salam hukumnya adalah sunnah.
Akan tetapi, bagi orang yang diberikan salam, wajib hukumnya menjawab
salam. Ya, hikmah dari diwajibkannya menjawab salam adalah kita memang
seharusnya membalas kebaikan orang lain yang telah mau mendoakan
keselamatan kepada kita, terutama karena dia adalah saudara kita sesama
muslim. Namun bagaimana pula dengan hukum memberi salam kepada orang
yang bukan muslim, dan hukum menjawab salam dari mereka. Berdasarkan
hadis, dikatakan bahwa kita seharusnya tidak memberi salam dahulu kepada
orang-orang yang bukan muslim. Maksud salam dalam pengertian ini tentu
saja adalah salamnya orang Islam, yaitu “assalamu ‘alaikum”.
Sedangkan salam dalam pengertian seperti “selamat siang”, “salam
sejahtera”, atau lainnya, tentu saja boleh diucapkan kepada mereka.
Artinya, apabila kita hendak mengucapkan salam kepada orang-orang yang
bukan muslim, silahkan ucapkan dengan ucapan-ucapan salam selain “assalamu ‘alaikum”.
Bagaimana pula dengan hukumnya menjawab
salam apabila mereka yang merupakan nonmuslim mengucapkan salam kepada
kita. Apabila mereka mengucapkan kata-kata seperti “selamat pagi”,
“salam sejahtera”, atau yang semisalnya, silahkan saja kita boleh
menjawab dengan nada dan kalimat yang sama. Namun, seandainya mereka
mengucapkan salam kepada kita dengan menggunakan ucapan salam Islam,
yaitu “assalamu ‘alaikum”, kita dilarang menjawabnya dengan “wa’alaikumussalam”.
Hal ini pernah dicontohkan baginda Nabi Muhammad Saw ketika seorang
Yahudi mengucapkan salam kepada beliau, dan Nabi Muhammad Saw
menjawabnya hanya dengan mengucapkan kata ”’alaikum” saja.
Begitulah bagaimana Islam yang dibawa oleh Rasulullah Saw mengajarkan
kita tata cara memberi dan menjawab salam. Mulai dari kaidah-kaidah atau
pun aturan-aturannya, hukumnya, sampai dengan aturan tentang salam dari
atau kepada orang-orang yang bukan muslim.
Kita dapat melihat dan merasakan bahwa
memberi dan menjawab salam, kejadiannya sangat intens terjadi dalam
kehidupan kita setiap hari. Setiap saat kita bertemu dan berpapasan
dengan sangat banyak orang baik yang kita kenali maupun tidak. Dengan
salam, kita bisa tetap menjalin hubungan, silaturahmi, tali
persaudaraan, dan membendung jurang pemisah antara kita dengan
individu-individu lainnya. Rasa-rasanya tidak terbayangkan apabila
setiap hari kita bertemu muka dan berpapasan dengan orang lain, kita
tidak menegur, menyapa, dan memberi salam kepada mereka. Karena itu,
Islam datang ke alam semesta ini untuk menjadi rahmat penebar kasih
sayang bagi seluruh makhluk-Nya. Bahkan hal-hal sepele dan sekecil
salam, telah diatur demi pesan-pesan perdamaian dari Islam tersebut.
Dengan begitu pun, hamba-hamba-Nya mendapatkan pula kasih sayang dari
Allah SWT, Rabb alam semesta.
Walaupun terkesan seperti hal yang
sepele, tetapi salam dan bersalaman bisa menjanjikan sesuatu yang lebih
besar, yaitu persatuan umat. Logikanya, apabila setiap di antara kita
saling memberi dan menjawab salam dengan ikhlas, maka lama-kelamaan akan
terbentuk ikatan emosional di antara kita sesama umat Islam. Kita
merasakan bahwa orang lain begitu perhatian kepada kita dan mau
mendoakan kita agar diberi keselamatan, rahmat, dan keberkahan Allah.
Begitu pula sebaliknya, yang dipikirkan oleh orang yang kita jawab
salamnya. Kita mendapatkan pesan kasih sayang dari orang lain, dan
begitu pun orang lain turut merasakan dan mendapatkan pesan kasih sayang
dari kita melalui saling memberi dan menjawab salam, dilengkapi dengan
bersalaman.
Sumber: Lazuardi Birru
Selasa, 10 September 2013
Meneropong Tradisi Keilmuan Islam
Kemajuan suatu bangsa dan masyarakat
tidak bisa dilepaskan dari kemajuan dalam ilmu pengetahuan yang ada di
masyarakatnya. Ibarat antara isi dan wadah, ilmu pengetahuan merupakan
isi dari kemajuan, sementara bangsa dan masyarakat merupakan wadah
tempat bernaung ilmu tersebut. Sebagaimana kita tahu, Barat maju dalam
ilmu dan memberi banyak sumbangan kepada peradaban dunia karena ia
memiliki tradisi keilmuan yang agung. Demikian juga para ilmuwan Muslim
pada masa lalu telah terbukti secara historis meraih prestasi ilmiah
yang sangat gemilang dan memberikan sumbangan yang sangat signifikan
kepada peradaban dunia, karena mereka memiliki sebuah tradisi keilmuan
yang mapan. Pada akhirnya, bisa dikatakan bahwa tanpa dimilikinya sebuah
tradisi keilmuan, suatu bangsa tidak akan mencapai prestasi yang
gemilang dalam hal kemajuan.
Islam sendiri sejak awal sangat
mendorong kemajuan ilmu ini. Beberapa wahyu seperti Q.S. al-‘Alaq: 1-5
sangat penting perananya dalam mendorong keilmuan Islam. Karena itu,
tidak mengherankan jika tradisi keilmuan dalam Islam lantas begitu subur
dan semarak pada masa-masa berikutnya. Fondasi keilmuan Islam klasik
sebenarnya tidak terlepas dari upaya para intelektual Islam dalam
merespon persoalan-persoalan yang muncul dalam masyarakat atas dasar
pemahaman mereka terhadap al-Qur’an dan Sunnah. Pada perkembangan
berikutnya, jawaban dan respon ulama ini kemudian disusun dan
diklasifikasikan sesuai dengan bidang dan wilayah kajian dan objek
permasalahan yang dihadapi sehingga melahirkan klasifikasi ilmu-ilmu
keislaman.
Tidak dapat dipungkiri bahwa keilmuan
Islam pernah memimpin dunia. Ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh
dunia Islam tidak hanya berkisar pada ranah kedokteran, tetapi juga
termasuk matematika, astronomi dan ilmu bumi sebagaimana terbukti dari
banyaknya istilah-istilah modern (Barat) di bidang-bidang itu yang
berasal dari para ilmuan Muslim. Ini artinya bahwa prestasi yang pernah
diraih oleh dunia Muslim jauh lebih lama dari apa yang sudah diraih oleh
dunia Barat modern sekarang ini . Namun seiring rotasi sejarah,
perkembangan keilmuan ini beralih ke Barat. Menurut Muhammad Iqbal,
kemandekan yang terjadi di dunia Muslim tidak bisa dilepaskan dari sikap
memusuhi sains dan cara berpikir rasional dari umat Islam sendiri.
Secara epistemologis, wacana epistemologi keilmuan Islam klasik yang
bercorak tekstual-normatif belakangan lebih dominan daripada
epistemologi yang berusaha memaksimalkan akal dan menempatkannya sejajar
dengan teks suci dalam mendapatkan ilmu pengetahuan.
Nalar Pemikiran Islam
Menurut Abed al Jabiri dalam bukunya Arab-Islamic Philosopy: a Contemporary Critique,
untuk bisa memahami tradisi keilmuan Islam secara kritis, setidaknya
harus didasarkan pada dua persoalan utama. Persoalan pertama terkait
dengan pemahaman akan sistem pemikiran Islam secara utuh. Sementara
persoalan kedua terkait dengan keterkaitan antara ”kuasa” dan
“pengetahuan.” Maksudnya, tradisi keilmuan tidak muncul dengan
sendirinya, tapi selalu terkait dengan latar belakang sosial, politik
dan budaya suatu masyarakat. Dari situ diketahui bahwa pada dasarnya
aktifitas pemikir muslim dalam berbagai variasinya tetap berkutat pada
satu problematika umum yang sama, yaitu suatu usaha ”rekonsiliasi antara
nalar dan wahyu”. Sementara terkait dengan latar belakang
munculnya tradisi keilmuan bisa diketahui bahwa capaian dari pemikiran
filsafat Islam dalam memecahkan problematika antar wahyu dan nalar
tersebut sebenarnya memiliki keterkaitaan erat fungsi dan peranya
sebagai ideologi. Demikinlah, perkembangan kelimuan Islam terutama
filsafat tidak bisa dilepaskan peranya sebagai alat ideologis oleh
penguasa dan dijadikan sarana intelektual oleh para ulama untuk
menyerang musuh-musuh mereka.
Sebagaimana kita ketahui, keutuhan
negara dan solidaritas masyarakat yang sudah terwujud pada masa Nabi
Muhammad dan Khulafaurrasyidin mendapatkan masalah pada masa Dinasti
Umayyah. Untuk menghadapi lemahnya solidaritas dan kekuatan masyarakat
Islam itu, pemerintahan Umayyah lebih terfokus pada upaya
mempertahankan kelangsungan hidup dan berupaya membangun kemampuan untuk
menekan masyarakat, salah satunya dengan menggunakan ilmu.
Kecenderungan ini semakin jelas pada masa dinasti Abbasiyah yang menjadi
penerusnya. Untuk menghadapi berbagai kekuatan musuhnya yang datang
dari kelompok ahlu al-Bait (keluarga Nabi) yang menggunakan ideologi gnostisisme,
yakni keyakinan akan keberadaan sumber pengetahuan di luar akal dan
illuminasi, Dinasti Abbasiyah lebih menekankan al-Quran dan Hadits yang
dipadu dengan rasio.
Konflik antara dua tradisi yang mengambil bentuk antara pemikiran tektualis berhadapan dengan kaum ahli ma’rifat-mistis ini
bermula pada periode awal pemerintahan Abbasiyah dalam mencari
legitimasi politiknya dari khazanah Islam dengan pendekatan filsafat
Yunani melawan kebudayaan Persia yang dibawa para aristokrat yang gagal
melakukan perlawanan melalui medan real sosial-politik. Menyadari
kekuatan lawan yang menggunakan khazanah keilmuan Salaf dipadu dengan
logika Aristoteles sebagai kerangka pikirnya, maka kaum gnostik
dengan berpegang pada logika dan semangat tradisi Persia kuno
memperisai diri di balik pemikiran Syi`ah dengan inspirasinya pada
tradisi Islam sendiri. Karena itu tidak aneh jika pada masa berikutnya,
pola pemikiran Islam yang berkembang di Timur lebih banyak diwarnai
pertentangan antara epistemologi bayani (tektualis) yang lekat dengan Teologi Sunni dengan irfani yang
bersandar pada teologi Syi`ah (Tradisi iluminasi dan Gnostik) ini.
Konflik kognitif ini sebenarnya juga memiliki akarnya pada pertentangan
antara kekuasaan Abbasiyah yang berpusat di Baghdad yang menjadikan
Mu’tazilah sebagai doktrin utama dengan Dinasti Fatimiyyah di Mesir yang
beraliran Syi`ah. Jika nalar bayani ini lebih terpaku pada teks atau
pada dasar-dasar (dikenal dengan sebutan al-ushul al-arba’ah: Al-Qur’an,
sunnah, ijma’ dan qiyas) yang dipatok sebagai sesuatu yang baku dan
tidak berubah, maka nalar irfani (spiritual-intuitif) secara
epistemologis cenderung tidak rasional.
Dinamika pemikiran yang berkembang
di Islam Andalusia dan Maghribi dibawah kekuasaan dinasti Umayyah II
memiliki nuansa yang berbeda dengan Islam bagian Arab-Timur yang masih
dipegang oleh Dinasti Abbasiyah. Iklim keagamaan yang berkembang di
Maghribi adalah Islam yang masih murni, dengan model pemahaman kaum
Salafi dengan model fiqih hadits dan fatwa-fatwa sahabat dan paham Ahl
Sunnah. Perkembangan ini kemudian mendapat sokongan dari Mazhab Maliki
yang berwatak tektualis sebagai mazhab resmi negara menggantikan Mazhab
Awza’i sebagai tandingan dari Mazhab Hanafi sebagai mazhab resmi
Abbasiyah. Watak ortodoksi kalangan ulama Maliki yang melarang filsafat
ke-Tuhanan dan metafisika Aristoteles, Menurut Al Jabiri jutru malah
membawa perkembangan lingkungan ilmiah dan rasional di Andalusia atau
yang kemudian dalam ranah pemikiran Islam disebut dengan epistemologi
burhani. Dalam epistemologi burhani ini, penggunaan
rasionalitas tidak terhenti hanya sebatas rasio belaka, tetapi
melibatkan pendekatan empiris sebagai kunci utama untuk mendapatkan ilmu
pengetahuan, sebagaimana banyak dipraktekkan oleh para ilmuan Barat.
Apa yang berlaku dalam pemikiran orang-orang Andalusia ini bukan lagi
metode qiyas yang menjadikan teks dan masa lalu (salaf) sebagai otoritas
sebagaimana logika Bayani, tapi menggunakan logika Aristoteles dengan
metode deduksi (istintaj, qiyas jami’), induksi (istiqra’), konsep universalisme (al-kulli), universalitas-universalitas induktif, prinsip kausalitas dan historisitas, dan juga al-maqashid (tujuan syariah).
Meski demikian, corak dominan yang berkembang dalam kelimuan Islam adalah epistemologi Bayani sebagaimana diwakili oleh sosok Imam Al-Ghazali bukan epistemologi Burhani yang muncul belakangan. Sementara itu, pandangan Burhani yang
diwakili pemikiran Ibn Rusyd malah berkembang di Barat. Padahal
menurut, Al-Jabiri, model pemikiran yang bercorak bayani dan irfani
sangat sulit untuk dijadikan landasan pengembangan sains. Pasalnya,
padangan bayani lebih bercorak teologis, bukan antropologis maupun
kosmologis. Akibat dari pandangan ini menyebabkan pandangan dunia umat
menjadi lebih pasif bila dibenturkan dengan wacana pengembangan sains
yang lebih antroposentrik-kosmologik. Pandangan epistemologi keilmuan Bayani
ini cenderung menjadikan fenomena alam, moral dan sosial semuanya
“terserah” pada Tuhan Pandangan ini menjadi sangat teologik-normatif
bahkan cenderung mengarah pada mistisme, yang sudah barang tentu
bertolak belakang dengan prinsip social sciences maupun natural sciences.
Pada akhirnya bisa dikatakan fenomena
kemandekan epistemologi keilmuan Muslim ini sebenarnya bukan orisinal
ajaran Islam, tetapi hanya soal interpretasi pemahaman dari ajaran Islam
itu sendiri. Karena secara esensial dan substansial, potensi ajaran
Islam sangatlah mendorong adanya inovasi keilmuan. Karena itu, Agar
Islam dapat kembali pengembangan fenomena epistemologi keilmuan di dunia
Muslim, maka sebuah keniscayaan bagi ilmuan Muslim untuk melakukan shifting paradigm di bidang epistemologi keilmuan Islam yakni dari epistemologi keislaman normatif-tekstual-bayani
yang berakibat pada sulitnya mengadopsi dan mengelaborasi wawasan dan
temuan baru di bidang sains; ke epistemologi keilmuan Islam kontemporer
yang bercorak empiris-historis-burhani (secara epistemologis),
sehingga berdampak pada adanya temuan baru di bidang sains. Paling
tidak melalui beberapa tawaran diatas itulah peradaban sains dalam dunia
Islam kembali mengemuka.
Sumber: Lazuardi Birru
Apa yang dimaksud dengan azab dalam Islam?
Ustadz Menjawab
Yang dimaksud dengan azab adalah
siksa Allah yang diturunkan kepada mereka (manusia) yang enggan untuk
beriman kepada Allah serta mengkufuri segala nikmat yang telah diberikan
oleh Allah SWT kepada mereka.Allah berfirman, “Dan sesungguhnya Kami telah membinasakan (memberikan azab) umat-umat sebelum kamu, ketika mereka berbuat kezaliman, padahal rasul-rasul mereka telah datang kepada mereka dengan membawa keterangan-keterangan yang nyata, tetapi mereka sekali-kali tidak hendak beriman. Demikianlah Kami memberi pembalasan kepada orang-orang yang berbuat dosa. Kemudian Kami jadikan kamu pengganti-pengganti (mereka) di muka bumi sesudah mereka, supaya Kami memperhatikan bagaimana kamu berbuat” (QS. Yunus: 13-14).
Adapun contoh-contoh azab yang telah Allah turunkan misalnya azab Allah terhadap Kaum Tsamud karena menentang ajaran Nabi Shalih AS. Allah mengazab mereka dengan gempa dan petir yang akhirnya menghancurkan peradaban mereka. Allah berfirman, “Karena itu mereka ditimpa gempa, maka jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di tempat tinggal mereka” (QS. Al-A’raf: 78).
Pada ayat yang lain, Allah berfirman, “Dan adapun Kaum Tsamud, mereka telah Kami beri petunjuk tetapi mereka lebih menyukai kebutaan (kesesatan) daripada petunjuk itu, maka mereka disambar petir azab yang menghinakan disebabkan apa yang telah mereka kerjakan” (QS. Fushilat: 17).
Sumber: Lazuardi Birru
Kamis, 05 September 2013
Semua Tentang Cinta
Ketika membaca judul Semua Tentang Cinta, mungkin banyak yang berfikiran bahwa isi dari buku ini adalah tentang cinta. Di mana cinta itu menurut orang indah. Namun berbeda dengan isi buku Tentang Cinta karya R.Valentina. Cinta menurut orang membutuhkan pengakuan. Pengakuan adalah harapan, pengakuan adalah kemestian yang secara bersamaan dipahami sebagai penghormatan dan perlindungan bagi rakyat (laki-laki dan perempuan) sebagai umat manusia yang berdaulat. Kemudian kejujuran, yang paling sulit dari hidup adalah memiliki kejujuran.Kejujuran menjadi barang langka di era kini. Kejujuran pun terbukti tidak serta merta dimiliki mereka yang telah menmepuh pendidikan formal sampai setinggi langit.
Menurut orang, cinta dapat mengubah segalanya. Karena cinta, dunia jadi berubah berwarna-warni. Namun cinta seperti apakah itu? Cinta yang dapat membuat negri kita damai dan terbebas dari kekerasan. Banyak saat ini terjadi kekerasan dikalangan wanita, anak-anak dan orang lenah yang tak tau apa salah mereka. Namun jika kita didasari cinta kasih yang saling menyayangi satu sama lain, insyaAllah negri ini akan damai sentosa.
Seperti dalam buku ini telah dikatakan,” Kalaupun berniat merayakan Hari Kasih Sayang, harusnya kita menyadari bahwa bangsa ini sesungguhnya sedang butuh lebih banyak kasih sayang , cinta. Dengan penuh cinta para pejabat menolak korupsi, dengan penuh cinta para politikus dan provokator berhenti mengangkangi kepentingan rakyat, dengan penuh cinta para abdi Negara membenahi fasilitas public bagi rakyat; dengan penuh cinta para suami tidak melakukan kekerasan terhadap istrinya. Semua tentang cinta.
Buku ini sangat menarik daan unik untuk dibaca karena bahasanya yang mudah untuk dipahami.
Kata-katanya yang tak asing untuk kita dengar. Siapa sih yang tak pernah dengar kata –kata cinta. Buku ini bukan menceritakan kisah cintah seorang pemuda dengan seorang gadis, namun buku ini menjelaskan cinta kasih dalam negri ini. Dimana kita harus selalu melindungi anak-anak dan perempuan dengan cinta kasih. Buku ini juga dapat membuat sang pembaca berada dalam posisinya. Mereka dapat merasa menjadi orang yang lebih sederhana dan menjadi seorang yang luar biasa.
Buku ini menceritakan hsl-hsl ysng telah dialami oleh negri kita. Semuanya seperti hal yang nyata dan memang terjadi. Buku ini pun memuat sebagian kecil perjalanan dunia kepenulisan penulis. Sebuah upaya kecil kami untuk sekedar berbagi pada dunia sedikit saja tentang kesederhanaan seorang perempuan yang bernama R.Valentina.
Sumber: Lazuardi Birru
Selasa, 03 September 2013
Apa yang dimaksud dengan azab dalam Islam?
Ustadz Menjawab
Yang dimaksud dengan azab adalah
siksa Allah yang diturunkan kepada mereka (manusia) yang enggan untuk
beriman kepada Allah serta mengkufuri segala nikmat yang telah diberikan
oleh Allah SWT kepada mereka.Allah berfirman, “Dan sesungguhnya Kami telah membinasakan (memberikan azab) umat-umat sebelum kamu, ketika mereka berbuat kezaliman, padahal rasul-rasul mereka telah datang kepada mereka dengan membawa keterangan-keterangan yang nyata, tetapi mereka sekali-kali tidak hendak beriman. Demikianlah Kami memberi pembalasan kepada orang-orang yang berbuat dosa. Kemudian Kami jadikan kamu pengganti-pengganti (mereka) di muka bumi sesudah mereka, supaya Kami memperhatikan bagaimana kamu berbuat” (QS. Yunus: 13-14).
Adapun contoh-contoh azab yang telah Allah turunkan misalnya azab Allah terhadap Kaum Tsamud karena menentang ajaran Nabi Shalih AS. Allah mengazab mereka dengan gempa dan petir yang akhirnya menghancurkan peradaban mereka. Allah berfirman, “Karena itu mereka ditimpa gempa, maka jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di tempat tinggal mereka” (QS. Al-A’raf: 78).
Pada ayat yang lain, Allah berfirman, “Dan adapun Kaum Tsamud, mereka telah Kami beri petunjuk tetapi mereka lebih menyukai kebutaan (kesesatan) daripada petunjuk itu, maka mereka disambar petir azab yang menghinakan disebabkan apa yang telah mereka kerjakan” (QS. Fushilat: 17).
Sumber: Lazuardi Birru
Senin, 02 September 2013
Prahara Negara Hukum
Hukum. Satu kata kunci yang penuh dengan
substansi dan fungsi. Di dalam hukum terdapat sejumlah aturan yang
mengikat bagi masyarakat dan ada kepastian yang bisa menciptakan
keteraturan, sesuai dengan hak dan kewajiban masing-masing. Tujuannya
adalah menegakkan keadilan dalam kehidupan masyarakat.
Indonesia kerap disebut sebagai negara
hukum. Hal ini tak lain karena Indonesia sudah mempunyai sejumlah produk
perundang-rundangan yang berlaku sebagai hukum bagi semua warga
masyarakat secara setara dan tanpa membedaka-bedakan, agama, ras,
budaya, kelas sosial, pangkat dan seterusnya. Semua produk
perundang-undangan yang ada mengacu kepada konstitusi negara sebagai
nilai puncak dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sebagai negara hukum, Indonesia sejatinya
mempunyai kepastian aturan main yang harus ditaati dan diberlakukan
secara setara kepada semua pihak. Dengan adanya kepastian aturan main,
sejatinya kehidupan berbangsa dan bernegara bisa berjalan secara lebih
teratur: siapa mendapatkan apa gara-gara berbuat apa. Dan semua itu
memuncak pada tegaknya pilar-pilar keadilan dalam hamparan luas
kehidupan masyarakat, mulai dari perkotaan hingga pelosok desa di
pedalaman.
Sebagai negara hukum, para elite dan
pemimpin bangsa sejatinya menjadi teladan bagi masyarakat luas dalam
menjalani kehidupan yang berkesadaran hukum, sesuai dengan aturan hukum
yang ada. Sebagai negara hukum, para penegak hukum sejatinya menjadi
“abdi hukum” yang sepenuhnya mengikuti semua ketentuan dari hukum
sebagai “bos besarnya”. Sebagai negara hukum, para ahli hukum (para
pengacara, dosen hingga para pengamat) sejatinya dapat mempermudah
penerapan hukum sesuai dengan semangat keadilan, bukan justru
mempersulit sebagai akibat dari benturan kepentingan masing-masing yang
berbeda.
Indonesia adalah negara hukum, tapi ini
adalah negara hukum yang paling aneh. Karena para pemimpin dan elite
bangsa yang sejatinya menjadi teladan penegakan hukum justru kerap
terlibat dalam pelbagai macam pelanggaran hukum seperti korupsi. Bahkan
di antara lembaga-lembaga penegak hukum kerap kali terjadi benturan dan
gesekan atas nama hukum. Lebih aneh lagi, para pakar hukum yang
sejatinya memberikan penjelasan yang cukup tentang hukum justru kerap
terjebak dalam debat kusir dengan semangat “kepakaran yang sempurna”.
Tak heran bila penegakan hukum di
Indonesia masih sangat jauh dari nilai-nilai keadilan yang tak lain
adalah gusti norma hukum. Dalam bahasa sederhana, hukum di Indonesia
kerap hanya tajam ke bawah menusuk orang-orang lemah-dilemahkan dan
miskin-dimiskinkan. Ada pun ke atas hukum yang ada kerap tumpul
terganjal jabatan, jaringan kuasa bahkan materi yang bertumpuk-tumpuk.
Tak heran pula bila penegakan hukum di
Indonesia bukan justru memberikan kepastian hukum bagi semua pihak;
siapa melakukan apa dan akan dapat hukuman apa. Tapi penegakan hukum di
Indonesia justru kerap memberikan ketidakpastian; siapa melakukan apa
dan belum tentu mendapatkan hukuman tertentu.
Sejatinya penegakan hukum dibarengi
dengan upaya menumbuhkan kesadaran berhukum. Hingga tidak terjadi lagi
prahara hukum atas nama hukum. Karena walau bagaimanapun, hukum hanyalah
sejumlah ketentuan norma yang mati di atas kertas. Sedangkan kesadaran
berhukum merupakan ketentuan norma tak tertulis yang senantiasa hidup di
dalam sanubari. Hanya dengan bersama kesadaran berhukum, ketentuan
hukum yang ada akan bergerak menuju puncak keadilan. Bukan justru
mengabaikannya.
Sumber: Lazuardi Birru
Langganan:
Postingan (Atom)