Islam masuk ke China pada awal
pertengahan abab ke-7. Perkembangan dan penyebaran Islam terjadi pada
periode Dinasti Tang, Song, Yuan, Ming dan Qing, serta pemerintahan
Republik (618-1949 M) selama 1300 tahun. Jumlah pemeluk Islam terus
mengalami perkembangan hingga mencapai 20 juta orang sampai saat itu.
Sampai-sampai Islam memiliki sebutan pada tiap-tiap periodesasi sejarah
pemerintahan di sana. Pada era Dinasti Tang (618-907 M) misalnya, Islam
dikenal dengan Dashi Jiao, agama Dashi, panggilan yang biasa disematkan
untuk orang Arab Dashi. Sementara di era Dinasti Ming (1368-1644 M),
Islam lebih populer dengan sebutan Tiangfang Jiao (agama bangsa Arab),
atau Hui Hui Jiao (agama bangsa Hui Hui). Karena itu, orang Muslim
dengan latar belakang etnik yang bervariasi umumnya dikenal sebagai
orang Hui Hui.
Begitu juga pada era Dinasti Ming dan
Qing (1616-1911 M), komunitas Muslim mempunyai panggilan yang khas
dengan sebutan Qingzhen Jiao, yang berarti agama yang benar dan murni.
Terakhir, pada era Republik (1912-1949 M), Islam disebut Hui Jiao atau
agama bangsa Hui, yakni sebuah kelompok etnik Muslim di China.
Setelah pemerintahan China Baru
didirikan pada 1949, Dewan Negara mengeluarkan kebijakan supaya mencatat
nama-nama Islam di tahun 1956. Kebijakan itu menghasilkan keputusan
bahwa Islam adalah agama yang mendunia, dan terminologi Islam merupakan
nama universal yang digunakan masyarakat secara internasional. Jadi,
tidak boleh lagi ada penyebutan Hui Jiao untuk Islam mulai saat itu,
cukup dengan penyebutan Islam.
Sejak itu, terma Islam secara umum
digunakan di daratan China, meski Islam di Hongkong, Macau, dan Taiwan
masih disebut Hui Jiao. Di antara 56 kelompok etnik China, terdapat 10
etnik yang menjadikan Islam sebagai kepercayaan nasional mereka. Di
antara etni-etnik tersebut terdapat etnik Hui, Uighur, Kazak, Dongxiang,
Khalkha, Sala, Tajik, Uzbek, Bao’an dan Tatar. Di samping itu ada juga
etnik yang sebagian kecil warganya memeluk Islam seperti yang terjadi
pada etnik Mongol.
Perkembangan Islam di China memunculkan
pertanyaan terbuka ketika Islam pertama kali dikenalkan di negeri tirai
bambu ini. Banyak peneliti dan cendekiawan yang meneliti hal ini tetapi
kerap berujung pada kesimpulan yang berbeda-beda. Yang ternilai paling
valid adalah penemuan sejarawan China kontemporer, Chen Yuan. Dia
mengatakan bahwa Islam mulai masuk pada tahun kedua Cefu Yonghui dari
Dinasti Tang.
Yuan menemukan dokumen-dokumen aktual
mengenai sejarah Dinasti Tang dan Yuangui. Hasil penelitiannya menjadi
rujukan utama pengetahuan sejarah Islam China. Yuan menyimpulkan, Islam
masuk ke China pada tahun kedua Yonghui kekaisaran Gaozong Dinasi Tang.
Saat itu, Khalifah Arab Othman ketiga (644-656 M) mengirim utusan
diplomatik ke ibukota Tang, yaitu Chang’an dalam rangka memenuhi
undangan Kaisar Gaozong. Kaisar ingin dikenalkan tentang kekhalifahan
dan adat budaya Islam. Banyak sejarawan yang menyebut tahun ini sebagai
awal mula masuknya Islam ke China.
Islam masuk ke China melalui dua rute,
laut dan darat. Komunikasi dan transportasi antara China dengan
negara-negara Bagian Barat (baca saat ini: Xinjiang dan Asia Tengah)
mulai terjalin sejak Zhangqian (?-114 M) dikirim oleh Kaisar Hanhe
sebagai utusan ke Bagian Barat di masa Dinasti Han pada tahun ke-9
Yongyuan. Dia diutus ke Semenanjung Arab dalam misi diplomatik ke Bagian
Barat. Saat itu, transportasi dan komunikasi jalur laut antara China
dan negara-negara di Bagian Barat sudah jauh berkembang.
Jalan darat yang terbentang dari Asia
Barat Daya melewati Persia, Afghanistan, Asia Tengah, Pegunungan
Tianshan dan Jalur Hexi hingga Chang’an merupakan jalur lintasan penting
yang menghubungkan China dan Barat. Banyak saudagar Muslim melakukan
perjalanan panjang dan berliku ke China untuk berbisnis. Dalam buku
bertajuk “Zhi Zhi Tong Jian/Sejarah sebagai Sebuah Cermin”
tercatat ada lebih dari 4.000 pebisnis asing yang masuk ke Cang’an pada
era Dinasti Tang. Mayoritas pedagang berasal dari Arab dan Persia.
Pedagang-pedagang China dan Arab
mendominasi jalur bisnis laut mulai dari teluk Persia dan laut Arab,
berlanjut ke teluk Bangladesh, selat-selat Malaka dan laut China
Selatan, hingga pelabuhan-pelabuhan di China seperti Guangzhou, Quanzhou
dan Yangzhou. Pedagang Arab dan Persia datang ke tempat-tempat ini
untuk melakukan bisnis, dan di antara mereka ada yang menetap di sana.
Tidak salah jika dikatakan Islam menyapa China melalui bisnis laut.
Hubungan China dengan negara-negara
Islam juga terjalin di bidang militer. Dinasti Tang kerap menjalin
hubungan militer dengan kerajaan Arab Islam. Selain itu, komunikasi
China dengan Islam tetap terjaga lebih dari 148 tahun, dari tahun kedua
Yonghui Kekaisaran Gaozong (651 M) sampai tahun ke-14 Zhengyuan
Kekaisaran Dezong (798 M). Kunjungan para utusan Arab ke China tercatat
mencapai 37 kali.
Sayangnya, di masa kekuasaan Tang,
pemerintahan pusat dilemahkan persoalan sosial dan politik internal
seperti korupsi dan otoritarianisme pusat terhadap kendali
propinsi-propinsi kecil. Karena penekanan itu, sejumlah penguasa lokal
seperti gubernur An Lushan melakukan pemberontakan di Fanyang (sekarang
Beijing) pada 755 M. Pemberontakan ini dibantu dengan jenderal Shi
Shiming yang menguasai provinsi Hebei. Mutlak, pemberontakan itu kian
melemahkan Dinasti Tang.
Dinasti Tang meminta bantuan militer
dari kerajaan Arab untuk meredam pemberontakan An dan Shi. Hubungan baik
dengan kerajaan Arab dipertahankan tetap langgeng. Setelah perang usai,
Kaisar Zongyun mengizinkan tentara-tentara Arab untuk tetap tinggal di
China. Dari hal itu, Islam semakin eksis di China.
Dinasti Tang dan Song (618-1279 M)
merupakan periode pertama Islam di China. Saat itu, pada dasarnya Muslim
di China terdiri dari para pedagang, tentara, dan utusan-utusan
diplomatik kerajaan Arab dan Persia. Mereka menetap dalam
komunitas-komunitas yang berkoloni. Mereka teguh menjaga agama dan cara
hidup mereka. Kehadiran mereka ke China lebih bertujuan pada upaya
bisnis, bukan sebagai misionaris. Karena alasan ini, kehadiran mereka
tidak ditentang para penguasa China. Keberadaan mereka malah dihargai
dengan dibolehkannya menetap dan menikah dengan penduduk setempat di
sana.
Orang-orang Islam yang menetap di China
dipanggil Zhu Tang, penduduk asing yang tinggal di China. Muslim Zhu
Tang menikahi perempuan China lokal dan beranak pinak. Keturunan mereka
menjadi pribumi asli yang terlahir sebagai Fan Ke, yang berarti orang
asing atau Muslim asing. Meski demikian, jumlah orang Islam si China
saat itu masih sedikit sekali. Keberadaan mereka rata-rata terkosentrasi
di kota-kota besar dan pelabuhan-pelabuhan di sepanjang jalur pusat
komunikasi pemerintahan.
Perkawinan silang antara Muslim asing
yang menetap di China dengan penduduk asli China menjadi sebuah fenomena
umum. Di antara generasi pertama Muslim asing di China, sebagian besar
datang secara individual. Mereka hidup dalam kemakmuran dan menikmati
status sosial yang tinggi, sebagai saudagar. Karena itu, pernikahan
silang bukanlah sesuatu yang sulit bagi mereka. Mereka menikahi
perempuan pribumi, pejabat, bahkan keluarga darah biru.
Kebutuhan melaksanakan ritual keagamaan
mendesak mereka untuk membangun beberapa masjid. Mereka menjadikan
masjid sebagai pusat komunikasi antar-Muslim di sana seperti masjid
Huaisheng di Guangzhou, Qingjing di Quanzhou, Xianhe di Yangzhou dan
Fenghuang di Hangzhou. Keempat masjid ini dibangun pada dinasti yang
berbeda-beda dan disebut sebagai empat masjid kuno China.
Seperti disebutkan di awal, selama
Dinasti Tang dan Song, perdagangan asing berkembang, sehingga banyak
pedagang Arab dan Persia yang menetap di China. Pada tahun ke-4 Zhenghe
Dinasti Song, mulai muncul generasi ke-5 penduduk lokal Fan Ke.
Pemerintahan Song secara khusus mengeluarkan kebijakan hukum waris bagi
generasi ke-5 penduduk lokal Fan Ke. Kebijakan ini betujuan untuk
menyepakati problem kewarisan mereka yang sebelumnya menjadi persoalan.
Sementara itu, masih pada era Song,
kalangan Muslim pribumi mulai menerima dengan positif pendidikan budaya
China. Di Guangzhou dan Quanzhou, di mana masyarakat Muslim
terkosentrasi, muncul sekolah-sekolah khusus yang dijalankan umat Muslim
sendiri. Sekolah-sekolah itu lebih dikenal dengan sebutan Fan Xue
–sekolah bagi orang asing–, yang hanya atau sebagian besar merekrut
anak-anak dari orang Muslim pribumi.
Pembangunan Fan Xue bertujuan untuk
mendidik anak-anak Muslim dengan budaya tradisional masyarakat China dan
membantu mereka supaya lebih cepat menyesuaikan diri dengan kebudayaan
China. Target akhir Fan Xue adalah ujian kekaisaran yang diselenggarakan
pengadilan setempat. Ujian tersebut merupakan jalur terpenting bagi
umat Muslim China untuk berpartisipasi dalam bidang politik. Dinasti
Song mengikuti sistem Tang yang membolehkan orang-orang asing dan
keturunan mereka yang tinggal di China untuk mengikuti ujian kekaisaran
dengan subjek sama seperti yang diujikan kepada masyarakat asli China.
Meski sistem ujian kekaisaran itu belum utuh, kuota tahunan memungkinkan
orang asing langsung terlibat di bidang politik.
Selain pernikahan silang dan pembangunan
basis pendidikan, peningkatan populasi Muslim di China pada era Dinasti
Song juga terjadi melalui “perbudakan”. Pada era Song, ada kewajiban
sosial yang menuntut lahan milik pribumi diakui sebagai milik
pemerintah. Karena alasan ini, sebagian petani lokal atau pemilik lahan
meminta perlindungan pejabat atau keluarga-keluarga kaya untuk merubah
identitas atau status sosial mereka agar bisa lari dari kewajiban sosial
itu. Dari itu, ada di antara mereka yang berkeinginan menjadi budak
keluarga Muslim agar lahan mereka tidak dicaplok pemerintah.
Fakta ini menjadi fenomena umum,
sejumlah petani penyewa meminta perlindungan kepada keluarga-keluarga
Muslim, yang kemudian mereka memeluk Islam di waktu yang bersamaan. Bagi
umat Islam, memelihara budak merupakan sesuatu yang biasa, sebab
menurut tradisi-tradisi Islam, budak seperti ini termasuk dalam bagian
yang turut mewarisi, bahkan dimasukkan ke dalam kualifikasi orang yang
mendapatkan warisan, bahkan seluruh lahan dari sang penguasa tanah.
Jadi, masyarakat Muslim di masa Dinasti Song terlibat dalam semua
aktivitas sosial kehidupan seperti menjalankan sekolah, melakukan ujian
kekaisaran, pernikahan silang dan melindungi budak. Hasilnya, populasi
masyarakat Muslim mengalami peningkatan dan pada akhirnya terbentuk
etnik baru bernama etnik Muslim Hui sebagai komunitas Muslim terbesar di
China. (bersambung…)